____________🖤___________
Angga menepis pikiran negatifnya, dan membaringkan tubuh Marni yang lemas dan suhu badannya terasa panas, di jok belakang. Namun, setelah di sandarkan, mata hitam legam itu menatap sangar pada wajah Angga.
"Astagfirullah," ucap Angga spontan. Membuat Ningsih yang mulai mendekati mobil terkaget.
"Ono opo, Gus?"
**"Ada apa, nak?"
Setengah berlari Ningsih segera menghampiri 'Cah Bagus' (lelaki tampan) yang membopong putrinya itu.
"Mboten, Bu,"
** "Tidak, Bu," ucap Angga menoleh pada Bu Ningsing, dengan sekejap wajah itu kembali pucat, wajah Marni yang sedang merintih.
Di perhatikannya Bu Ningsing yang mulai menaiki mobil miliknya. Tak ada yang aneh, mungkin hanya halusinasi saja, melihat hal yang mengerikan tadi.
Bergegas Angga menyetir mobil. Jarak rumah bidan hanya lima belas menit. Karena kondisi Marni yang begitu lemas, Bu Ningsih memberanikan diri minta tolong pada tetangganya, karena biasanya mereka hanya menggunakan sepeda ontel untuk pergi ke tempat-tempat tertentu.
Di dalam mobil Angga sesekali melihat dari cermin di hadapannya ke arah belakang. Di lihatnya Bu Ningsing tengah memeluk Marni, dan mengusap kepalanya. Di benarkannya rambut yang terurai ke depan.
Sekilas Angga prihatin pada Marni, dia mengamati wajah ayu seorang Marni, yang disebut-sebut gadis tercantik di desa ini. Angga pun tersenyum, dia tersipu sendiri memperhatikan Marni diam-diam.
Bersekolah di luar kota sejak kecil, hingga sibuk bekerja seperti sekarang, membuat Angga tidak terlalu dekat dengan Marni, dia hanya sebatas kenal dan jarang sekali bertegur sapa meski rumahnya bersebelahan.
Marni terlalu lugu dan pendiam, hingga membuat Angga merasa sungkan. Padahal di kesempatan yang tidak sengaja, Angga sering melihat Marni yang sedang menyiram bunga, kadang berlatih tari di halaman rumahnya dengan alas tanah. Cukup unik pikir Angga, gadis cantik, kalem, dan suka seni daerah.
Satu yang tidak enak terdengar yaitu kecantikan Marni, pemuda disini menyalah gunakan peran Marni sebagai penari. Dianggap mirin, karena para lelaki terlalu tergila-gila saat melihat Marni. Tak jarang para pasutri ribut gara-gara Marni. Kadang juga menyawer Marni dengan jumlah yang tidak wajar.
Meski begitu dalam pandangan Angga, Marni sosok gadis yang lugu. Tidak seharusnya di perlakukan dengan tidak sepantasnya.
"Gerah'e wiwit nopo, Bu?"
**"Sakitnya sejak kapan, Bu." Angga mencoba mencairkan suasana.
Ningsih mendekap Marni erat.
"De'wingi dewe'e sehat-sehat wae kok, Gus. Mulane bu'e kaget, ora nyongko de'e kademen."
**"Semalam dia sehat sehat kok, Gus. Makanya ibu kaget, tau-tau masuk kamar dia sudah mengigil."
"Mugi gur kademen biasa,"
**"Semoga demam biasa," harap Angga prihatin.
"Iya, Gus. Aamiin!"
Seketika suara ghendingan terdengar samar-samar jelas. Harum bunga kantil pun terasa memenuhi seisi dalam mobil, menyengat, dan semakin lama berubah bau amis. Angga sedikit menahan nafas, tapi baunya makin aneh, berbau b u s u k.
Angga melihat sisi spion dengan tak sengaja menatap pantulan dari belakang. Mendadak yang duduk di belakang bertambah satu. Seorang wanita menghimpit Marni, dengan wajah pucat seperti m a y a t.
"Astagfirullahaldziim," pekik Angga sambil memejam mata. Dia mengerem mobil membuat tubuh Ningsih dan Marni sedikit terhuyung.
"Astagfirullah, Gus. Ono opo?" **Ada apa? Teriakan Ningsing membuat Angga yang mengerem secara mendadak menoleh ke belakang.
"Mboten Bu, maaf."
**" tak apa, Bu, maaf." Angga merasa tidak enak hati akibat kepanikannya tadi. Di lihatnya Ningsih dan Marni yang hanya berdua di belakang, tidak ada siapa-siapa lagi. Namun bau b u s u k menguar begitu menusuk hidungnya, itu membuatnya m u a l, anehnya Ningsing dan Marni seperti tidak terpengaruh dengan bau aneh, seperti yang Angga rasakan sekarang. Jadi, Angga urung untuk menanyakan keanehan ini.
"Yo, wes, ati-ati, Gus!" titah Ningsih, Angga mengangguk seraya kembali menatap Marni yang terlihat pucat dan mulai berkeringat.
"Kasihan sekali kamu, Mar," bathin Angga. " Bismillahirrahmanirrahim." Angga fokus menyetir mobil.
Dalam hati, Angga terus berdzikir. Menyadari sesuatu kejanggalan yang sudah di rasakan sejak pagi ini, bukan hal yang biasa. Hingga sampai ke rumah bidan, rasanya begitu lama untuk sampai. Sebelumnya Angga tak pernah mengalami seperti ini.
Sementara, wajah panik Ningsing tidak bisa di tutup-tutupi, terakhir menjelang maghrib Marni masih memetik bunga melati di halaman rumah. Dia mengingat-ingat lagi kejadian kemarin, hal apa yang membuat putrinya sakit. Tetapi rasanya Ningsih tak menemukan hal yang menjadi sebab Marni demam, selain mandi yang sudah terlalu sore.
"Bu, pun tekan niki,"
**"Bu, sudah sampai," ucap Angga sambil berlalu keluar membukakan pintu untuk Ningsih.
"Nduk, mudhuna karo Gus Angga!"
**"Turunlah dengan nak Angga!" ucap Ningsih pada putrinya. Marni mengangguk pelan dan pasrah saat Angga membopong tubuhnya.
Pemeriksaan di rumah bidan berlansung singkat. Ningsih dan Marni pulang di antar kembali oleh Angga setelah mendapat obat.
"Yen ngono kulo pamit dhisit, mugi Marni ndang mari. Tekanke salamku kanggo Marni."
**"Kalau begitu aku pamit dulu, semoga Marni cepat sembuh. Ya, Bu. Sampaikan salam saya untuk Marni." Angga pamit setelah mengantar Marni ke kamar.
"Ojo cepet-cepet mulih, madhang disit. Ibu wis olah olah gudhek, karo iwak lele goreng, sambel terasi. Yok!"
**"Jangan buru-buru, makanlah dulu. Ibu sudah masak 'gudhek', ikan lele goreng dan sambal terasi. Yuk!" Ningsih dengan semangat menjamu tamu, yang telah berbaik hati pada putrinya.
Ingin menolak namun Angga tak tega, apalagi masakan Bu Ningsih enak, sering dia mendapatkan sayur geratis dari Bu Ningsih, masakan nya sesuai dengan selera Angga. Akan tetapi, dia teringat hal janggal di sepanjang perjalanan, membuat dia tidak berselera makan.
"Hm, anu Bu. Kulo pun sarapan, sedurunge tekan mriki."
**"Hm, ini Bu. Saya sudah sarapan, sebelum datang kesini," jawabnya beralasan.
Ningsih memaklumi dan memutuskan mengizinkannya pulang.
"Yo wes. Kerep-kerep dolan rene. Kayane Marni ora kaboten, nek kowe sing dolan rene."
**"Ya sudah. Tapi sering-sering main ke sini. Sepertinya Marni tidak keberatan, jika kamu yang datang."
"Nggeh, Bu. Pamit ya, assalamualaikum!"
**"Iya, Bu. Permisi ya, assalamualaikum!"
"Wa'alakumussalam."
Ningsih menyayangkan nak Angga, yang tak mau mencicipi masakannya, padahal biasanya anak itu sering memuji masakannya. Katanya mirip masakan budhe nya.
"Cah Bagus tenan,"
**"Pemuda yang baik, tampan sekali," bahtin Ningsih menatap kepergian Angga.
Marni pun berdiri di depan jendela kamarnya, tirai berterbangan tertutup setengahnya. Mata hitam legam itu menatap nanar mobil Angga yang berhenti. Ada rasa benci ketika bersentuhan dengan lelaki itu, Marni rasa ada sesuatu yang krnyelimuti Angga.
Seketika Angga keluar dari mobil, memasuki rumahnya, sebelum itu dengan sengaja menoleh ke arah kamar Marni. Dia menyadari Marni sedang menatapnya jauh. Meski agak jauh, terlihat kilas senyum Angga untuk Marni. Terkesan tulus. Tetapi di hati, seolah Marni semakin merasa m u r k a.
"Ada d a r a h di sana. Aku ingin dia malam ini."
___________🖤__________
Bersambung...
Bab 20 TAMAT________🖤_______"Aku akan melenyapkan Yudha, ingat itu! Ragamu yang akan aku gunakan. Jadi patuhlah!" Sukma itu perlahan pergi meninggalkan raga Marni yang tak berdaya."Mas lihat, Mbak Marni pingsan!""Masha Allah." Segera Angga melepas ikatan yang ada di tubuh Marni. "Ya Allah, Sayang ... Maafkan Mas, ya," ucap lirih Angga sambil membopong Marni ke dalam kamar. "Tidurkan dikamar ini Mas!" Vio membukakan pintu kamar yang telah dia siapkan untuk kedatangan Angga beserta keluarga."Ya Allah, nduk. Piye Iki, kowe kok urung mari mari,"**"Ya Allah, nak. Bagaimana ini, kenapa kamu belum sembuh juga," ucap lirih Ningsih dengan memijit-mijit lengan putrinya setelah dibaringkan."Sabar, Bu." Angga menjawab dengan nada lesu. Dia begitu lelah."Mbak Marni kenapa Mas? Aku mau tahu!""Dia kerasukan," jawab Angga melamun."Sudah kuduga kalau itu kerasukan. Tetapi kenapa? Mas Angga seperti sudah paham betul, apa Mbak Marni sering seperti ini?"Angga hanya mengangguk dan bertatap se
Bab 19___________🖤________Vio melihat Bi Sumi sedang berjalan ke arahnya dengan tergopoh-gopoh. Sepertinya tamu yang di tunggu sudah datang."Ada apa, Bi? Mas Angga sudah datang?"Bi Sumi berhenti tepat di hadapan Vio dengan mengerem kasar langkangnya. Napasnya dia atur sebelum berbicara, membuat Vio menggeleng dengan tingkah Bi Sumi yang sedikit konyol dan gerusa-gerusu."Makanya Bi, jalan tuh, pelan dong!" Vio berdiri dan beranjak pergi meninggalkan Bi Sumi sebelum dia berbicara apapun, karena dia tengah berusaha mengumpulkan kata untuk bicara. Akan tetapi Vio terburu pergi meninggalkannya dan memilih melihat sendiri siapa yang datang.Belum sampai ke pintu utama, perempuan berbaju sexy itu bangkit dari duduknya diruang tv."Hay lady!" Bola mata Vio memutar, jengah melihat tamu yang dia kira istimewa itu.Perlahan Reysa melangkah mendekati Vio."Jangan begitu dong, Sayang. Judes banget sih!" Bibir tipis milik Reysa tersenyum licik pada Vio, kemudian jari lentiknya menjawil dagu V
Bab 18________🖤_______"Yudha, tolong aku!"'Degh, suara itu ... 'Yudha sangat mengenali suara itu. Seketika dia langsung menoleh ke sumber suara."Ratih?!" ucapnya sedikit tercekat, bertahun-tahun tak bertemu rasanya ini mustahil. 'Kenapa Ratih bisa berada di tempat seperti ini?'"Ratih?!" Yudha mendekat, tapi Ratih seolah menjauh, padahal tubuh Ratih terikat di sebuah pohon besar dengan luka-luka lebam."Yudha, tolong!" pekiknya lagi, namun semakin berlari, Ratih semakin sulit di raih."Jangan hampiri siapapun, jika kau mau selamat!" Suara nenek itu terdengar di telinga Yudha, tapi wujudnya tak ada. Aneh. Itu aneh. Hanya remang sekelebat bayangan tubuh bungkuk sang nenek yang menjauh. Begitu membuat bulu kuduk Yudha meremang.Akan tetapi, ia kembali melihat ke arah sana, jika tak menolongnya, bagaimana dengan Ratih? Dia sangat butuh bantuannya. Siapa yang tahu, mungkin setelah dia berhasil menyelamatkan Ratih, tentunya Ratih bisa memaafkan kesalahannya di masa lalu. Dia akan kemb
Bab 17... ____________ ..."Baiklah sayang aku pulang dulu, nanti Vio marah jika aku pulang terlambat!" Lelaki itu memakai pakaiannya kembali setelah mandi, jika tak mandi bisa-bisa Vio curiga, bahwa dia baru saja melakukan p e r g u l a t a n panasnya bersama Reysa. "Hah ... Putrimu lagi. Aku bosan mendengarnya. Padahal kita bisa lakukan lagi beberapa kali," rengek wanita itu sambil menyibakkan selimut dan mulai menutupi tubuh p o l o s n y a."Maaf ya, kita lakukan lain kali, malam ini, cukup." Dia mencium kening wanita itu lalu ke bibir, perlahan pergi dan menutup pintu."Hihhh ... kesal aku pada bocah, s i a l a n itu," ucapnya marah dan melempar selimut yang menutupi tubuhnya. Dia beranjak ke kamar mandi."Lihat saja, nanti setelah aku resmi jadi istri Yudha, perempuan itu harus bisa tersingkir," gerutu Reysa kesal.___________Deru mesin mobil berhenti, Vio melihat dari atas balkon kamarnya, bahwa Papanya telah pulang. Dia melihat jam di ponselnya, pukul 21.00 WIB. Ternyata Pa
Bab 16__________🖤_________Sampai di rumah Marni turun dari mobil dengan menutupi seluruh wajahnya dengan kerudung. Banyak orang menatap Marni dengan sinis, dia menyadari itu tanpa harus melihat mereka. Namun tak sepatah katapun dari mereka yang berani berbicara, mungkin takut. Semua itu membuat Marni tak nyaman, dia merasa enggan untuk tinggal di rumah itu lagi. Dengan alasan trauma, Marni meminta pindah rumah. Apalagi tatapan sinis dari warga membuat Angga dan Ningsih tak tega atas kesembuhan mental Marni. Untuk itu mereka tetaplah pulang untuk membereskan barang, dan Angga berniat membawa Marni pergi ke luar daerah."Dek, bagaimana jika kita pergi ke kota, kita tinggal sementara di rumah om-nya Mas." Angga mendekati Marni yang sedang duduk di tepi ranjang. Marni menunduk, melihat baju gamis pemberian suaminya kemarin. Dia melihat pantulan cermin di hadapannya, dia begitu tertutup dengan baju yang dia kenakan."Mas, masih punya keluarga?" tanyanya sambil menoleh pada suaminya."M
Bab 15____________🖤__________***"Mas, aku nggak terima! Kenapa tubuhku penuh dengan luka bakar?! Apa yang terjadi Mas?" amuk Marni pada Angga.Dipegangnya wajah, kepala, hingga tangan dan kakinya yang penuh perban. Rasanya pun perih juga panas, terasa gerah ingin membuka semuanya. Perlahan, dengan isak tangis dia mencoba membuka selotip yang merekatkan diperban tersebut."Aaa ... !!! Sakit Mas!!!" pekik Marni saat membuka perban di kakinya."Sabar Dek, ini ujian buat kita. Aku janji, akan temani kamu sampai sembuh." Angga berusaha memegang tangan istrinya yang terus memberontak."Aku, akan balas dendam, Mas." Wussh!!!Angin kencang seperti menerpa keseluruh ruangan. Seolah pertanda buruk kian menanti, mendengar penuturan Marni yang sangat buruk didengar."Istighfar, kamu Dek!!!" Telunjuk itu, berhasil membuat Marni tercegang. Angga bahkan hampir saja kelepasan menampar Marni."Jaga ucapanmu, Dek. Jika masih mau, aku lindungi!!!" tegas Angga. "Lagian siapa yang menyuruhmu seperti