Share

Bab 5

__________🖤__________

Suara serak sedikit terdengar begitu dekat. Membuat bulu kuduk meremang. Hawa panas terasa menjalar ke seluruh tubuh. 

"Giliramu!"

Angga merasakan itu, namun tak menggubrisnya. Dia memilih untuk segera merapikan kamar ayahnya.

Beberapa orang tampak berbincang tentang k e m a t i a n Pak Radhi. Kejadian aneh pun di sangkut-pautkan karena k e m a t i a n n y a terlalu mendadak.

"Kok bisa ya, Pak Radhi pas sekali meninggal tadi malam, dan kenapa bisa ada di kamar ganti si Marni?" ucap wanita bertubuh gempal itu, sambil mengaduk adonan terigu yang telah di campur sayuran-sayuran.

"Iya, ya. Apa jangan-jangan! Marni ... " Wanita kerempeng dengan bedak tebal ala biduan kondang menimpali dengan serius.

Ningsih paham betul dengan gosip yang mulai merembet membawa nama putrinya. Jelas tidak mungkin jika putrinya penyebab kematian Pak Radhi. Apa untungnya?

"Heh, cangkemmu ojo sembarangan. Wong Marni kui balek Karo aku, kok."

**"Heh, mulutmu itu jangan sembarangan. Marni itu pulang bareng sama aku, kok." Ningsih sedikit tak terima putrinya di gosipkan.

"Enggak usah nyolot juga dong, Bu. Saya kan, cuma berargumen," kilahnya.

"Berargumen, e n d a s m u!!! Nek ngloroni atiku karo anakku, iku dadi fitnah. Nem!"

**"Berargumen, k e p a l a m u!!! Jika itu membuat sakit hati aku dan anakku, nanti jadinya fitnah. Nem!"

Rinem mendelik karena teguran Ningsih. Padahal dia baru saja sekedar menduga-duga.

"Sudah, kami minta maaf, Bu Ningsing, Lagian Marni itu kan pendiem, mana mungkin juga."

"Meminta maaf, tapi ujung-ujungnya mengejek juga," batin Ningsing.

Angga sekilas mendengar keributan itu. Tetapi benar juga, Marni itu lembut, tak mungkin Marni m e m b u n u h ayahnya. Bagaimana caranya? Tidak ada bukti k e k e r a s a n di tubuh Pak Radhi.

"Ibu-ibu, sudahlah jangan di ungkit lagi. Ini sudah takdir bapak saya. Minta do'anya saja, moga husnul khotimah." 

"Aamiin ... " jawab mereka bersamaan.

Malamnya setelah acara tahlilan yang pertama selesai. Suasana dirumah-rumah mendadak sepi. 

Bapak-bapak yang mendapatkan giliran ronda berkumpul di pos dengan sedikit takut. Pasalnya rumor k e m a t i a n Pak Radhi masih terus di bicarakan para warga.

"Menurutku wajar saja kok, jika Pak Radhi di temukan meninggal, di ruang ganti si Marni itu. Bukannya Pak Radhi itu salah satu pimpinan penyelenggaraan hajat bumi semalam.

Mungkin, dia kesana hanya sekedar mengecek keadaan, tapi ternyata malah keburu ajal menjemput."

Teman-teman Aji nampak manggut-manggut, mendengar penjelasan itu.

"Tapi, istriku menceritakan kejadian yang aneh-aneh, jadi sampe sekarang bulu kudukku merinding. Di tambah lagi rasanya malam ini seperti berbeda," eluh Wandi.

Salah satu diantara mereka tertawa. "Eh, Wandi. Istrimu pasti kebanyakan baca novel gratis di grup f* itu, yakin deh ceritanya enggak' tamat. Jadi istrimu menyimpulkan sendiri ending ceritanya."

"Hm. Rupanya gitu," jawab Aji terkekeh.

Tiba-tiba angin berhembus, menambah kesan mistis malam itu, sunyi sepi. Samar terdengar ghendingan mengalun dan wangi bunga kantil bersemilir.

"Ji, kok, hawanya begini ya?" Wandi celingak-celinguk sambil terus memegangi tengkuk.

"Hawanya dingin, kan?" Dani menambahi.

Blukkh!

Ketiganya kemudian di kejutkan benda jatuh tepat diatas atap pos ronda. Wandi dan Dani sontak meloncat mendekati Aji.

"Itu apa ya, Ji. Bulu kudukku merinding, ini!"

"Ayok kita cek!" ajak Aji pada kedua temannya.

Keduanya beringsut mundur, wangi bunga kantil semakin terasa di indera penciuman. Aji pun turun dan keluar dari pos untuk memastikan. Dia melihat ke atap, tapi tidak ada apapun. Hanya saja, ghendingan itu makin terdengar. Rasanya mustahil jika warga yang memutar lagu itu.

Aji beranjak kembali ke pos ronda, tapi lampu tiba-tiba padam, biasanya jika lampu padam orang-orang ramai bersuara, ini tidak, tetaplah sepi sunyi. 

"Ji, kemarilah," ucap Dani.

Aji melihat senter yang menyala. Senter itu milik Dani. Segera Aji mencoba mendekat karena jaraknya memang tidak seberapa. Namun dari sebelah kiri seperti ada bayangan seorang wanita menari. Bulu kuduk meremang, sosok itu terlihat menari, namun Aji enggan menyapa. Dia meyakini itu adalah sebuah halusinasi. Dengan mata utuh tanpa kelopak, mulut menganga membuat b e l a t u n g itu berjatuhan.

"Setaannn ... !" Aji terbirit meninggalkan teman-temannya yang masih di pos ronda.

Sambil berlari, Aji berusaha menghidupkan baterai di gawainya. Jalanan begitu gelap seolah rumah-rumah yang sedari tadi dia lintasi terasa tak berpenghuni.

Baru saja berhasil menggidupkan baterai, Aji tersandung sesuatu, hingga membuatnya terjatuh. Panik, keringat mulai membanjiri keningnya. Hal tak terduga terjadi begitu menguras tenaga, antara percaya dan tidak, tapi nyatanya ini sungguh terjadi.

Aji terduduk, menerangi sesuatu yang telah membuatnya terjatuh.

"Aaa ... aaaa!!!" teriaknya histeris.

Aji begitu panik saat melihat Pak Radhi dengan muka yang sangat m e n y e r a m k a n, terbaring di tengah jalan.

"Astagfirullah, astagfirullah! Pocong ...," pekik Aji.

Rasanya dia lemas dan tak bertenaga, namun ketakutannya membuat dia berusaha tetap lari. Dalam pikirannya masih bertanya-tanya, apakah dia berada di alam lain?

"Astagfirullah, jangan ganggu, mit-demitt!!!" ucap Aji agak tertahan, ketika kaget melihat sosok itu kembali ada di hadapannya.

Gelak tawa itu semakin membuat bulu kuduk berdiri, rasanya merembet merasakan ingin kencing. Namun dalam hati, Aji terus membaca surat sebisanya dan seingatnya. Justru disaat genting seperti ini, dia begitu sulit mengingat surat yang biasanya hafal.

Tiba-tiba sosok itu mendekat.

"Groooakh ... !"

Pandangan Aji seketika gelap. Namun tak lama, samar terdengar suara Dani dan Wandi memanggil.

"Ji, bangun! Kenapa tidur disini?" Dani dan Wandi membopong tubuh Aji masuk ke pos ronda, mereka melihat Aji tiduran di tengah jalan, setelah beberapa menit di panggil tak kunjung datang.

"Ji-Aji?" teriak Wandi.

Terlonjak Aji bagun. Dia meraba tubuhnya yang ternyata masih utuh. Dia melihat sekeliling, ternyata dia beserta teman-temannya masih berada di pos ronda. Suasana masih gelap dan sunyi, pertanda listrik belum menyala.

Gelagapan Aji mengajak Dani dan Wandi pulang. Rumah mereka tidak terlalu jauh, hingga mereka cepat sampai. 

Aji segera berjalan menuju rumahnya dan masuk. Namun anehnya di dalam rumahnya begitu terang. Istrinya membukakan pintu dan menutupnya kembali.

"Dek, bukannya mati lampu. Kapan hidupnya?" tanya Aji dengan begitu lemasnya, karena kejadian tadi.

"Mati lampu? Enggak mati lampu kok, Mas. Dari tadi aku aja masih nonton TV." 

Degh.

Istri Aji membuka sedikit tirai rumah, menengok keadaan di luar kemudian menutupnya kembali.

"Tuh lihat, Mas! Terang-benderang kok dari tadi. Mas menghalu kali." 

Aji cemas, bukannya dari tadi memang mati lampu. Berjalan pulang kerumah saja dia menggunakan baterai. Bagaimana bisa istrinya mengatakan tidak mati lampu.

"Mas, ayo. Lebih baik kita tidur. Hkhrammm ... "

Suara serak itu membuat Aji ingin berteriak.

_________🖤_________

 Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status