Bab 6
AKIBAT MENGHAMILI KEMBANG DESA
___________🖤__________
"Dek Marni!"
"Eh, Mas angga. Ada apa?" Senyum ramah tersemat di wajah ayu Marni.
"Ini, Mas bawakan kue, buat kamu." Sekotak kue rasa pisang keju Angga berikan pada Marni yang tengah mengurusi tanamannya.
"Wah, terimakasih Mas pisang kejunya," tebak Marni.
"Tahu, ini pisang keju?" Angga balik bertanya.
"Tahu dong Mas, kemarin-kemarin Mas juga kan, yang ngasih ini, titip ke ibu."
Angga tersenyum. "Hm, iya. Kalau kamu bosan. Nanti biar Mas carikan yang varian baru."
"Enggak' Mas. Justru aku mau bilang, jangan repot-repot belikan kue. Oh iya, aku bekalkan nasi dan lauk, ya Mas. Kebetulan aku sudah masak," ucap Marni antusias.
Mata tetap bisa berseri, wajah bisa tersenyum. Tetapi tetaplah, Marni merasakan ada yang menarik dari diri Angga. Hingga terus saja Marni terasa ingin segera m e n c e k i k n y a. Tapi waktu seolah tidak mengizinkan.
"Masyaallah, baik sekali kamu dek. Mas selalu merepotkanmu dan ibumu. Banyak-banyak berterimakasih buat kamu, Mas jadi tak enak," ucap Angga memuji.
"Sama-sama, Mas."
"Mas, pamit dulu ya. Sudah mau Maghrib."
"Baiklah kalau begitu."
Angga melangkah meninggalkan halaman rumah Marni. Dengan jantung berdebar, Marni merasakan ketulusan cinta dari Mas Angga. Sedikit luluh, tapi amarah cepat menguasai tubuhnya kembali. Entahlah, apa mungkin ini ada hubungannya dengan masalalu Nyai?
_____
"Bu, ibu." Marni antusias membuka kotak kue kesukaannya itu.
"Kemari Bu. Lihat, Mas Angga bawa kue lagi buat Marni," ucapnya saat melihat ibunya menghampiri.
"Walah, cah bagus kirimi kue kanggo gadise ibu. Iki tandane dhe'e seneng karo koe, Mar."
**"Wah, nak ganteng kirimin kue buat gadis ibu. Ini tandanya dia suka sama kamu, Mar."
Mendengar itu, Marni benci. Suasana hati yang tadinya berbunga, menjadi kelam sesaat. Meski sebenarnya dia pun sedikit menaruh hati pada Angga, tetapi mungkin roh jahat telah bersemayam di tubuhnya, membuat dirinya tak seperti gadis lain yang memiliki empati lebih.
"Tidak Bu!!! Aku tidak suka."
Kue yang baru saja di buka bungkusnya, dia banting dengan sembarang, membuat kue kue itu berhamburan.
Srett!
"Astagfirullah, nduk!" Ningsih terlonjak kaget dengan sikap putrinya.
Marni mendelik lalu pergi ke kamarnya dengan membanting pintu.
"Astagfirullah, lailahaillallah. Nduk, nduk, kenapa sifatmu begitu?" keluh Ningsing hampir saja menangis.
_____
Tok! Tok!
Ningsih yang sedang mengelus dada, langsung menghampiri pintu melihat siapa yang datang.
"Eh, cah Bagus. Mriki, mlebet rien!"
**"Eh, nak baik. Mari, masuk dulu!"
Ningsih mempersilahkan Angga untuk masuk. Angga tersenyum lalu masuk mengekor pada Bu Ningsih, kemudian duduk di ruang tamu yang bangunannya masih khas orang jaman dulu. Luas dengan kursi kayu jati yang simpel.
"Enteni, yo. Tak gawekke wedang teh,"
**"Tunggu dulu. Ibu buatkan teh dulu,"
Semenjak ayahnya meninggal Angga terlalu merepotkan Bu Ningsing dan Marni, karena dengan perhatian selalu mengirim sarapan dan makan malam. Angga merasa tidak enak hati telah berdiam diri, maka malam ini dia menyempatkan diri, niatnya ingin bersilaturahmi.
Di dalam kamar Marni mengetahui Angga datang. Amarahnya seperti kian memuncak, tetapi tidak dengan hatinya.
"Marni, kenapa kau tak mau membantuku?!!" Raga itu berbicara di hadapan cermin.
"Dia tidak menyakitimu Nyai. Untuk apa kau ingin m e l e n y a p k a n n y a. Dia peduli padaku," satu suara itu saling berbicara satu sama lain di hadapan cermin.
"Jangan kau mudah percaya dengan mulut manis laki-laki. Mereka semua mencoba membodohi perasaan mu," ucapnya dengan suara bergetar.
"Tidak Nyai, dia berbeda. Dia tulus mencintaiku. Lihatlah ibu, betapa bahagianya dia saat diri ini mulai di kagumi lelaki.
Jika dia bukan lelaki baik, aku yakin ibu tak kan pernah sebahagia ini," Marni mencoba menyeimbangi antara dirinya dan juga Nyai Asih, meski sulit.
Keringat bercucuran, dada sesak, rasanya seperti tercekik.
"Tidak!!!"
"Ghroaaamm ... !!! Aku lebih berhak, dari pada dirimu," Dia mengaum kadang bedesis seperti ular.
"Tepati janjimu Nyai, kau hanya ingin membalaskan dendammu, bukan?" Marni berusaha melawan dirinya sendiri.
"Ya, tentu. Termasuk dia. Aku mencium d a r a h keturunan Yudha melekat disana."
Entah bagaimana menghentikan Nyai, baru kali ini Marni berasa bertentangan dengan roh jahat yang bersemayam di tubuhnya sejak kecil.
Akan tetapi, dari mana garis keturunan Yudha bisa berada di Angga. Jika benar, mengapa begitu tepat, tempatnya disini. Dekat dengan dirinya.
"Kau b u n u h saja Yudha-mu itu, aku sudah tidak mau membunuh orang lain lagi."
"Kemana dendammu selama ini? Ingat! tidak pernah ada yang peduli padamu, termasuk dia. Jika bukan aku yang lebih dulu mendekatkanmu dengannya."
Marni merenung, nyatanya dia tak cukup nyali berteman dengan siapapun. Dia terlalu takut pada manusia-manusia yang selalu mengejeknya.
"Aku benci yang lemah, Marni!" Gigi gemertak, rahang wanita itu mengeras. Tangan itu menggebrak meja.
Ningsih terkejut, saat mendengar suara gebrakan dari dalam kamar putrinya. Ningsih paham betul, Marni pasti sedang marah.
"Gus, ngapunten mbok menawa Marni saiki
ora pengen di ganggu,"
**"Gus, maaf mungkin Marni sedang tidak ingin di ganggu," ucap Ningsih dengan raut wajah yang gelisah karena suara keributan dari dalam kamar.
Angga menyadari itu, ada sesuatu yang tidak beres. Tapi dia berusaha netral dengan keadaan. Mencoba bertanya sewajarnya saja.
"Ono opo tho, Bu? Opo dhe'e bhoyen nopo-nopo?
**"Kenapa dengan dek Marni, Bu? Apa dia baik-baik saja?"
"Mmm ... Itu. Dhe'e mungkin ora apik awak'e, kekeselen,"
**"Mmm ... Anu. Dia mungkin sedang tidak enak badan," ucap Ningsih beralasan.
"Aku bisa ndelok sedhelo, Bu. Mungkin dheweke saiki sek kloroan?"
**"Boleh aku melihatnya sebentar, Bu. Mungkin dia sedang kesakitan?"
Ningsih semakin panik, ingin melarang tak berani apalagi mengusir. Tak elok jika tamu sebaik Angga harus dia usir. Tetapi, jika Angga masuk, mungkin akan fatal bagi Ningsih, dia tak mau putrinya semakin marah padanya.
"Ghroaaamm ... !!!"
"Aakhh!!!"
"Astagfirullahal'adzim, suoro opo kui, Bu?"
**"Astagfirullahal'adzim, suara apa itu, Bu?"
Angga langsung menghampiri kamar Marni, yang terdengar keributan di dalamnya. Ningsih pun tak kalah kagetnya dengan suara itu.
"Buka'en, Gus!"
**"Bukalah, Gus!" ucap Ningsih panik pada putrinya.
Braakk!
Pintu dengan kasar di buka paksa oleh Angga.
"Aaaaaa ... Marni ... Nduk!!!" Ningsih seketika ambruk.
___________🖤__________
Bersambung...
Jangan lupa koment ya
Bab 20 TAMAT________🖤_______"Aku akan melenyapkan Yudha, ingat itu! Ragamu yang akan aku gunakan. Jadi patuhlah!" Sukma itu perlahan pergi meninggalkan raga Marni yang tak berdaya."Mas lihat, Mbak Marni pingsan!""Masha Allah." Segera Angga melepas ikatan yang ada di tubuh Marni. "Ya Allah, Sayang ... Maafkan Mas, ya," ucap lirih Angga sambil membopong Marni ke dalam kamar. "Tidurkan dikamar ini Mas!" Vio membukakan pintu kamar yang telah dia siapkan untuk kedatangan Angga beserta keluarga."Ya Allah, nduk. Piye Iki, kowe kok urung mari mari,"**"Ya Allah, nak. Bagaimana ini, kenapa kamu belum sembuh juga," ucap lirih Ningsih dengan memijit-mijit lengan putrinya setelah dibaringkan."Sabar, Bu." Angga menjawab dengan nada lesu. Dia begitu lelah."Mbak Marni kenapa Mas? Aku mau tahu!""Dia kerasukan," jawab Angga melamun."Sudah kuduga kalau itu kerasukan. Tetapi kenapa? Mas Angga seperti sudah paham betul, apa Mbak Marni sering seperti ini?"Angga hanya mengangguk dan bertatap se
Bab 19___________🖤________Vio melihat Bi Sumi sedang berjalan ke arahnya dengan tergopoh-gopoh. Sepertinya tamu yang di tunggu sudah datang."Ada apa, Bi? Mas Angga sudah datang?"Bi Sumi berhenti tepat di hadapan Vio dengan mengerem kasar langkangnya. Napasnya dia atur sebelum berbicara, membuat Vio menggeleng dengan tingkah Bi Sumi yang sedikit konyol dan gerusa-gerusu."Makanya Bi, jalan tuh, pelan dong!" Vio berdiri dan beranjak pergi meninggalkan Bi Sumi sebelum dia berbicara apapun, karena dia tengah berusaha mengumpulkan kata untuk bicara. Akan tetapi Vio terburu pergi meninggalkannya dan memilih melihat sendiri siapa yang datang.Belum sampai ke pintu utama, perempuan berbaju sexy itu bangkit dari duduknya diruang tv."Hay lady!" Bola mata Vio memutar, jengah melihat tamu yang dia kira istimewa itu.Perlahan Reysa melangkah mendekati Vio."Jangan begitu dong, Sayang. Judes banget sih!" Bibir tipis milik Reysa tersenyum licik pada Vio, kemudian jari lentiknya menjawil dagu V
Bab 18________🖤_______"Yudha, tolong aku!"'Degh, suara itu ... 'Yudha sangat mengenali suara itu. Seketika dia langsung menoleh ke sumber suara."Ratih?!" ucapnya sedikit tercekat, bertahun-tahun tak bertemu rasanya ini mustahil. 'Kenapa Ratih bisa berada di tempat seperti ini?'"Ratih?!" Yudha mendekat, tapi Ratih seolah menjauh, padahal tubuh Ratih terikat di sebuah pohon besar dengan luka-luka lebam."Yudha, tolong!" pekiknya lagi, namun semakin berlari, Ratih semakin sulit di raih."Jangan hampiri siapapun, jika kau mau selamat!" Suara nenek itu terdengar di telinga Yudha, tapi wujudnya tak ada. Aneh. Itu aneh. Hanya remang sekelebat bayangan tubuh bungkuk sang nenek yang menjauh. Begitu membuat bulu kuduk Yudha meremang.Akan tetapi, ia kembali melihat ke arah sana, jika tak menolongnya, bagaimana dengan Ratih? Dia sangat butuh bantuannya. Siapa yang tahu, mungkin setelah dia berhasil menyelamatkan Ratih, tentunya Ratih bisa memaafkan kesalahannya di masa lalu. Dia akan kemb
Bab 17... ____________ ..."Baiklah sayang aku pulang dulu, nanti Vio marah jika aku pulang terlambat!" Lelaki itu memakai pakaiannya kembali setelah mandi, jika tak mandi bisa-bisa Vio curiga, bahwa dia baru saja melakukan p e r g u l a t a n panasnya bersama Reysa. "Hah ... Putrimu lagi. Aku bosan mendengarnya. Padahal kita bisa lakukan lagi beberapa kali," rengek wanita itu sambil menyibakkan selimut dan mulai menutupi tubuh p o l o s n y a."Maaf ya, kita lakukan lain kali, malam ini, cukup." Dia mencium kening wanita itu lalu ke bibir, perlahan pergi dan menutup pintu."Hihhh ... kesal aku pada bocah, s i a l a n itu," ucapnya marah dan melempar selimut yang menutupi tubuhnya. Dia beranjak ke kamar mandi."Lihat saja, nanti setelah aku resmi jadi istri Yudha, perempuan itu harus bisa tersingkir," gerutu Reysa kesal.___________Deru mesin mobil berhenti, Vio melihat dari atas balkon kamarnya, bahwa Papanya telah pulang. Dia melihat jam di ponselnya, pukul 21.00 WIB. Ternyata Pa
Bab 16__________🖤_________Sampai di rumah Marni turun dari mobil dengan menutupi seluruh wajahnya dengan kerudung. Banyak orang menatap Marni dengan sinis, dia menyadari itu tanpa harus melihat mereka. Namun tak sepatah katapun dari mereka yang berani berbicara, mungkin takut. Semua itu membuat Marni tak nyaman, dia merasa enggan untuk tinggal di rumah itu lagi. Dengan alasan trauma, Marni meminta pindah rumah. Apalagi tatapan sinis dari warga membuat Angga dan Ningsih tak tega atas kesembuhan mental Marni. Untuk itu mereka tetaplah pulang untuk membereskan barang, dan Angga berniat membawa Marni pergi ke luar daerah."Dek, bagaimana jika kita pergi ke kota, kita tinggal sementara di rumah om-nya Mas." Angga mendekati Marni yang sedang duduk di tepi ranjang. Marni menunduk, melihat baju gamis pemberian suaminya kemarin. Dia melihat pantulan cermin di hadapannya, dia begitu tertutup dengan baju yang dia kenakan."Mas, masih punya keluarga?" tanyanya sambil menoleh pada suaminya."M
Bab 15____________🖤__________***"Mas, aku nggak terima! Kenapa tubuhku penuh dengan luka bakar?! Apa yang terjadi Mas?" amuk Marni pada Angga.Dipegangnya wajah, kepala, hingga tangan dan kakinya yang penuh perban. Rasanya pun perih juga panas, terasa gerah ingin membuka semuanya. Perlahan, dengan isak tangis dia mencoba membuka selotip yang merekatkan diperban tersebut."Aaa ... !!! Sakit Mas!!!" pekik Marni saat membuka perban di kakinya."Sabar Dek, ini ujian buat kita. Aku janji, akan temani kamu sampai sembuh." Angga berusaha memegang tangan istrinya yang terus memberontak."Aku, akan balas dendam, Mas." Wussh!!!Angin kencang seperti menerpa keseluruh ruangan. Seolah pertanda buruk kian menanti, mendengar penuturan Marni yang sangat buruk didengar."Istighfar, kamu Dek!!!" Telunjuk itu, berhasil membuat Marni tercegang. Angga bahkan hampir saja kelepasan menampar Marni."Jaga ucapanmu, Dek. Jika masih mau, aku lindungi!!!" tegas Angga. "Lagian siapa yang menyuruhmu seperti