Inikah bukti cinta yang selalu Mas Akmal gaungkan? Dia sampai rela bersimpuh di kakiku, dan meminta izin untuk pernikahannya yang kedua.
Inikah buah kesabaran yang harus kutuai?Aku tak pernah menanam luka, tapi kenapa harus menuai air mata?Aku seolah tak berpijak. Tak peduli berapa lama suamiku bersimpuh."Akmal, jangan merendah di hadapan istri yang nggak bisa kasih kamu keturunan!" Ibu menarik tubuh Mas Akmal."Segera nikahi Raina, bahagiakan ibu. Bosan ibu mendengar ocehan orang. Biar kita buktikan kalau anak ibu bisa memiliki keturunan!" Ibu berteriak, kemarahan terlihat nyata.Jadi masih saja ini tentang anak yang tak kunjung hadir di rahimku, karena itu dia mencoba peruntungan dengan wanita lain?"Marta …, tolong biarkan Akmal menikahi Raina. Ibu janji, hanya sampai anak mereka lahir. Dan Raina sudah setuju memberikan anaknya untuk kalian. Ibu mohon …," tangis mertuaku teMas Akmal memandangku dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Sementara Panji, lelaki itu masih berdiri di depan pintu kamarku. Kedua tangannya sibuk mengeringkan rambut dengan handuk."Kamu …," desis Mas Akmal."Kenapa?""Benar kata ibu. Kamu istri yang tak tahu diuntung," tandas Mas Akmal. Aku menatapnya heran."Maksudmu apa?""Aku berusaha mempertahankan kamu, walaupun ibu sering memintaku untuk mencari istri lagi, nyatanya kamu bukan cuma nggak bisa hamil. Kamu juga murahan! Baru berapa malam kita tidak tidur bersama, dan kamu sudah gatal untuk tidur dengan laki-laki lain, hah?"Merasa tak terima dengan ucapan Mas Akmal, aku mendekat dan langsung mendorong bahunya."Kamu pikir kamu apa? Kamu lebih baik dariku?""Sampai
Aku tak tahu berapa lama aku tak sadarkan diri. Saat membuka mata, aku berada dalam pelukannya. Dari jarak sedekat ini semakin tajam aroma alkohol tercium dari mulutnya. Tentu saja itu membuatku mual.Aku menggeser tubuhku pelan, berusaha menyingkirkan lengan yang menindih perutku. Laki-laki itu tertidur lelap setelah menyeretku ke dalam kamar. Dan menuntaskan hasratnya seperti binatang.Pelan aku bergegas beringsut ke kamar mandi. Membersihkan diriku secepat mungkin. Membasuh tubuh, mengacuhkan perih dari luka yang terlihat di beberapa tempat. Laki-laki yang dulu begitu lembut memperlakukanku telah berubah menjadi monster.Aku harus pergi dari rumah ini. Setidaknya sampai aku benar-benar bisa berdiri di atas kakiku. Beberapa surat penting ku masukkan ke dalam koper, menyusul baju-baju yang tak seberapa. Aku harus cepat sebelum laki-laki gila itu bangun.
Kacau, kacau.Aku menatap nanar ruangan yang menjadi saksi bisu kebejatanku. Samar tergambar bagaimana perempuan yang begitu ku cintai itu menolak, hingga berujung pada perlakuan kasarku padanya.Hatiku teriris oleh derai air matanya yang perlahan surut. Kebisuannya seolah menantang kelelakianku. Aku masih suaminya, tapi dia pergi begitu saja dengan lelaki brengsek bernama Panji.Dan lebih brengseknya, dengan setengah sadar aku telah melukai harga dirinya. Kehormatan yang selama ini terjaga dengan segenap cinta dan kelembutan koyak oleh nafsu.Otakku kacau, pikiranku terbelah.Raina tiba-tiba mengaku bahwa dia tengah mengandung anakku. Perempuan manja sepupu Marta itu mengungkit kejadian dua bulan yang lalu, saat dia dan aku b
Aku menggeliat sebentar, sebelum membuka mata. Penginapan ini sungguh menyenangkan. Berada jauh dari pusat kota membuat tempat sangat nyaman untuk menenangkan diri.Dari luar terdengar beberapa alat kebersihan beradu di halaman. Penginapan ini cukup unik. Tiap kamar berdiri sendiri, tidak saling menempel. Sehingga privasi pengunjung sangat terjaga. Beberapa pohon rindang juga tumbuh di halaman, begitu juga dengan tanaman bunga.Semua tertata apik, pemilik penginapan benar-benar memanjakan pengunjung.Tok … tok …!Suara ketukan terdengar pelan."Kopinya, Kak." Suara perempuan terdengar."Ya, terima kasih," sahutku."Perlu
Sejauh mata memandang hanya ada kilauan putih menyilaukan. Dengan tertatih ku langkahkan kaki mengitari tempat ini. Putih, hening.Tak ada jalan keluar menuju tempat lain. Sepi, bahkan angin pun tak ku rasakan. Tempat apa ini, batinku terus bertanya.Aku yakin ini bukan surga. Aku belum ingin meninggalkan dunia. Masih banyak hal yang ingin ku lakukan.Aku terus melangkah, berharap segera keluar dari sini.Tanpa sadar aku berlari ketika melihat sesosok lelaki berjalan di depanku. Punggung itu, sepertinya sangat ku kenal. Bahkan aroma tubuh yang sekarang semakin dekat tak asing di indra penciumanku."Hai …!" Aku berteriak sekeras mungkin. Berharap sosok itu membalikkan badan, atau paling tidak menungguku."Berhenti!" seruku lagi.Namun sosok lelaki
Sudah hampir satu minggu aku menginap di penginapan ini. Sebenarnya Maya menawariku untuk mencari tempat kos. Tapi aku menolaknya.Tinggal di tempat kos bagiku sama saja. Bahkan ada beberapa hal yang mungkin tidak akan ku dapatkan di sana.Aku mulai menggunakan ponselku. Mengaktifkan kartu baru dan mulai mencari pengacara di internet. Aku butuh pengacara handal yang mampu menyelamatkan aku. Dan pastinya aku harap bisa bertindak cepat. Masalah biaya, aku berencana menjual rumah yang selama ini aku tinggali.Meskipun rumah itu penuh kenangan dan satu-satunya peninggalan orang tuaku, tapi di rumah itu juga aku pernah berbagi kisah dengan orang yang sangat ku benci.Aku yakin, kedua orang tuaku pastinya ingin melihatku bahagia. Rencananya sisa penjualan rumah itu akan ku buat
"Aku punya ini dan ini," kataku sambil menjejerkan beberapa surat penting di atas meja teras kamarku.Panji memeriksa satu persatu. "Ini sertifikat rumah Raina?" tanya Panji."Bukan, itu rumah kakek. Raina yang menempatinya." Aku menjelaskan sambil menyesap teh hangat."Mau kamu jual? Lalu Raina?""Aku nggak sejahat itu, hasil penjualan akan ku bagi dua. Aku hanya tak ingin diantara kami berdebat tentang rumah itu."Laki-laki di seberangku itu menganggukkan kepala. Bagaimanapun aku dan Raina memiliki alur darah yang sama. Aku menghindar darinya untuk meredam kemarahanku.Karena jujur dari dalam hati aku takut menyesal jika sampai terjadi sesuatu yang mengerikan antara aku dan sepupuku.Untuk saat ini, biar dia dan rasa bersalahnya dan aku dengan amar
Kembali menempuh perjalanan bersama Panji. Menyusuri jalan yang akan membawaku ke rumah Akmal.Ya, rumah Akmal dan ibunya. Karena sejak kejadian malam itu ternyata Akmal cukup tahu diri untuk tidak menghuni rumahku. Pengacara Panji telah memastikan hal itu.Akmal hanya datang sesekali untuk membersihkan rumah dan merawat tanaman milikku.Rumah ibu dan rumahku lumayan dekat. Hanya berjarak sekitar lima belas menit dengan berjalan kaki. Cukup dekat, sehingga ibu sering berjalan kaki menuju rumahku, olahraga, begitu kata beliau.Ibu sosok perempuan yang masih energik di usia akhir lima puluh tahun. Bicaranya ketus, namun dia begitu menyayangiku. Dulu.Sekarang semua berubah, hanya karena aku belum bisa memberinya cucu. Dulu hampir seminggu sekali ibu memberiku ramuan penyubur. Kadang belum sampai dua hari ibu datang lagi me