Share

PELIT YANG MENDARAH DAGING

Mas Anjar tidak bertanya tentang toko yang di katakan oleh Meri. Mungkin karena Meri tidak bisa membuktikannya. 

"Mas, bagaimana permintaanku kemarin?" tanyaku pada Mas Anjar yang masih sibuk dengan lembar-lembar kertas yang berada di depannya.

"Untuk apa kita pindah, Yank? Bukankah di sini lebih asik? Banyak temen ngobrol, ada mama juga Meri yang selalu di rumah," jawabnya seperti tanpa beban. 

Dia tidak tahu bahwa kelakuan adik perempuannya layaknya bayi, mama masih mending tidak begitu mencampuri urusanku.  

"Justru karena Meri dan Mama di rumah, Mas." 

"Terus maksud kamu Mama dan Meri suruh pergi begitu?" tanyanya memicingkan mata. 

"Siapa yang bilang begitu? Justru karena mereka di rumah kita harus pindah, biar bisa mesra-mesraan setiap saat. Aku nggak nyaman begini," keluhku.

Urat leher Mas Anjar sedikit mengendur setelah mendengar penjelasanku barusan. 

Aku kira dia akan memprioritaskan aku, tetapi semua hanya keinginanku saja. 

Drett!

Drett!

Drett!

Hape yang sengaja aku letakan di atas nakas bergetar panjang, menandakan panggilan masuk. Rupanya juragan cabe yang kemarin gagal bertemu. 

"Hallo?" Suara dari seberang terdengar keras.

"Iya, hallo. Bagaimana, Pak?" tanyaku.

"Bagaimana, Mbak Yun? Apa masih bisa bekerja sama?" tanyanya.

Aku menyingkir dari Mas Anjar. Agar dia tidak mendengar pembicaraanku dengan juragan cabe. 

"Bisa, Pak. Bapak tinggal kirim saja berapa kintal setiap tiga hari sekali, soalnya kalau di drop setiap hari selain sayuran yang lain saya tidak bisa, Pak." 

"Kalau begitu, cabe kriting sama cabe setan saja? lima kintal di bagi dua, begitu?" tanya juragan cabe dari seberang.

"Iya, Pak. Nanti langsung saja di kirim ke tempat yang kemarin saya kasih tau, ya dan pembayarannya seperti biasa," jelasku.

Akhirnya sambungan telepon terputus setelah mendapat harga kesepakatan. Tidak mengira bisa bekerja sama dengan juragan cabe satu ini, dia terkenal njlimet dan tidak suka keterlambatan. Semoga kerja sama ini adalah awal yang baik.

+++

"Dek, tadi bapak telpon, Mas. Katanya hari ini pupuk kotoran ayam sudah datang." 

Mas Anjar berkata sambil terus bermain game. Aku masih memaklumi kegemaran Mas Anjar bermain game, toh dia masih bisa di ajak komunikasi dan tetap melakukan tugasnya sebagai seorang tulang punggung, meski kepelitan yang sangat luar biasa. 

"Iya, Mas. Nanti Yuni telepon bapak balik." 

Tanganku terus melipat baju kering, aku tidak menyetrika baju harian milik kami, hanya baju kerja Mas Anjar saja yang harus rapi dan sesekali aku menyetrika baju saat akan ku kenakan. 

"Buat apa kotoran ayamnya, Dek? Hih, apa nggak bau? Dari pada buat beli kotoran ayam lebih baik di tabung, Dek," ucap Mas Anjar yang sudah berada di depanku.

"Iya, itu juga tabungan buat Yuni, Mas. Kalau ngandelin Mas, ya, mana mungkin Yuni bisa nambung," ucap ku tanpa tedeng aling-aling. 

"Biar mas yang nabung sendiri, takut kamu boros. Kan kamu nggak pernah pegang uang, takut kilap," sanggahnya.

Yaa Salam. Dia pikir selama ini yang tombok urusan perdapuran siapa? Tepok jidat. 

"Memang selama ini, Mas kasih uang ke Yuni berapa? Mas pikir uang tiga puluh ribu sehari cukup untuk makan empat kepala?" 

Aku terpancing, emosiku sampai ke ubun-ubun. Awalnya aku akan memaklumi uang nafkah yang dia beri, tetapi mendengar ucapannya barusan membuat aku enggan untuk membantu menutupi kekurangan dapur. 

"Mas pikir cukup, toh selama ini kamu tidak pernah protes. Lagi pun, makanan selalu terhidang dengan menu yang selalu berbeda setiap harinya. Jadi, ya, untuk apa mas tambahin? Nanti yang ada malah kamu buat seneng-seneng sendiri."

Mas Anjar bicara seolah tanpa dosa. Oke, fiks! keinginanku untuk tetap pisah rumah dari keluarganya adalah pilihan tepat. 

"Oke, mulai sekarang, Mas, sendiri yang pegang uang itu, Yuni mau kerja." Aku beranjak menuju lemari dan meletakan pakaian yang baru saja aku lipat. 

"Lha nanti yang beberes rumah siapa, Yank?" tanya Mas Anjar.

"Meri, mungkin?" jawabku asal. 

"Apa nggak kasihan kalau Meri suruh bersi-bersih rumah?" 

Pertanyaan yang sangat membagongkan. Dia kasihan terhadap adiknya yang amat sangat menyebalkan di banding dengan istrinya? Yaa Allah kenapa dia nggak nikah adiknya aja sekalian! Kesal!

"Trus kalau Yuni yang beres-beres nggak kasihan, gitu?" 

"Ya, bukan begitu. Tapi kan memang kewajiban sebagai seorang istri untuk mengurus rumah tangga," kekehnya membuat aku semakin jengkel. 

"Ngaji yang bener, Mas. Trus buka juga tu kewajiban seorang suami, jangan cuma separo-separo! Sudah pokoknya mulai besok aku mau kerja!" Keputusanku sudah bulat, lelah rasanya mengahadapi kelakuan Mas Anjar.

"Tapi uangnya di tabung, ya, jadiin satu sama punya mas. Biar cepet kumpul banyak," pintanya penuh keyakinan. 

"Dijadiin satu gitu? Trus Atm mas yang pegang?" tanyaku pura-pura polos. 

"Iya, Biar kamu nggak boros," imbuhnya lagi masih kekeh dengan keinginannya. 

"Big no! Uang hasil kerjaku adalah murni milikku, jadi tidak akan pernah masuk ke rekening yang entah ada isinya atau tidak milikmu itu, Mas!" 

Aku berjalan keluar dari kamar, jengah juga rasanya mengahadapi suami seperti Mas Anjar, ditambah lagi dengan kelakuan adik perempuannya. Astagfirullah.

"Mau kemana, Mbak?" tanya Meri yang duduk selonjoran di depan tv. 

"Jajan," jawabku malas. 

"Beliin sekalian, dong, Mbak. Aku juga mau," pintanya tanpa malu. 

"Beliin sana, Dek." Suara Mas Anjar mengagetkanku.

"Mana uangnya." Dengan sengaja ku ulurkan tangan di depan Mas Anjar.

"Pake uang kamu dulu." 

"Dari mana aku punya uang? Kan aku cuma dari kampung orang bo doh, pula!" 

Biasanya Meri akan marah-marah kalau tidak ada Mas Anjar, tetapi kalau di depan kakaknya dia seolah-olah yang paling terdzolimi. 

"Ada apa ini ribut-ribut?" tanya Mama yang keluar dari kamarnya. 

"Nggak apa-apa, temenin Yuni keluar, yuk, Ma," pintaku mendekat lalu menggandeng tangan mama tanpa persetujuan darinya.

Meninggalkan dua orang yang tidak punya perasaan itu perlu, agar kewarasan tetap terjaga. 

Bersambung.....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status