Share

PELIT YANG MENDARAH DAGING

last update Terakhir Diperbarui: 2024-03-25 22:54:20

Mas Anjar tidak bertanya tentang toko yang di katakan oleh Meri. Mungkin karena Meri tidak bisa membuktikannya. 

"Mas, bagaimana permintaanku kemarin?" tanyaku pada Mas Anjar yang masih sibuk dengan lembar-lembar kertas yang berada di depannya.

"Untuk apa kita pindah, Yank? Bukankah di sini lebih asik? Banyak temen ngobrol, ada mama juga Meri yang selalu di rumah," jawabnya seperti tanpa beban. 

Dia tidak tahu bahwa kelakuan adik perempuannya layaknya bayi, mama masih mending tidak begitu mencampuri urusanku.  

"Justru karena Meri dan Mama di rumah, Mas." 

"Terus maksud kamu Mama dan Meri suruh pergi begitu?" tanyanya memicingkan mata. 

"Siapa yang bilang begitu? Justru karena mereka di rumah kita harus pindah, biar bisa mesra-mesraan setiap saat. Aku nggak nyaman begini," keluhku.

Urat leher Mas Anjar sedikit mengendur setelah mendengar penjelasanku barusan. 

Aku kira dia akan memprioritaskan aku, tetapi semua hanya keinginanku saja. 

Drett!

Drett!

Drett!

Hape yang sengaja aku letakan di atas nakas bergetar panjang, menandakan panggilan masuk. Rupanya juragan cabe yang kemarin gagal bertemu. 

"Hallo?" Suara dari seberang terdengar keras.

"Iya, hallo. Bagaimana, Pak?" tanyaku.

"Bagaimana, Mbak Yun? Apa masih bisa bekerja sama?" tanyanya.

Aku menyingkir dari Mas Anjar. Agar dia tidak mendengar pembicaraanku dengan juragan cabe. 

"Bisa, Pak. Bapak tinggal kirim saja berapa kintal setiap tiga hari sekali, soalnya kalau di drop setiap hari selain sayuran yang lain saya tidak bisa, Pak." 

"Kalau begitu, cabe kriting sama cabe setan saja? lima kintal di bagi dua, begitu?" tanya juragan cabe dari seberang.

"Iya, Pak. Nanti langsung saja di kirim ke tempat yang kemarin saya kasih tau, ya dan pembayarannya seperti biasa," jelasku.

Akhirnya sambungan telepon terputus setelah mendapat harga kesepakatan. Tidak mengira bisa bekerja sama dengan juragan cabe satu ini, dia terkenal njlimet dan tidak suka keterlambatan. Semoga kerja sama ini adalah awal yang baik.

+++

"Dek, tadi bapak telpon, Mas. Katanya hari ini pupuk kotoran ayam sudah datang." 

Mas Anjar berkata sambil terus bermain game. Aku masih memaklumi kegemaran Mas Anjar bermain game, toh dia masih bisa di ajak komunikasi dan tetap melakukan tugasnya sebagai seorang tulang punggung, meski kepelitan yang sangat luar biasa. 

"Iya, Mas. Nanti Yuni telepon bapak balik." 

Tanganku terus melipat baju kering, aku tidak menyetrika baju harian milik kami, hanya baju kerja Mas Anjar saja yang harus rapi dan sesekali aku menyetrika baju saat akan ku kenakan. 

"Buat apa kotoran ayamnya, Dek? Hih, apa nggak bau? Dari pada buat beli kotoran ayam lebih baik di tabung, Dek," ucap Mas Anjar yang sudah berada di depanku.

"Iya, itu juga tabungan buat Yuni, Mas. Kalau ngandelin Mas, ya, mana mungkin Yuni bisa nambung," ucap ku tanpa tedeng aling-aling. 

"Biar mas yang nabung sendiri, takut kamu boros. Kan kamu nggak pernah pegang uang, takut kilap," sanggahnya.

Yaa Salam. Dia pikir selama ini yang tombok urusan perdapuran siapa? Tepok jidat. 

"Memang selama ini, Mas kasih uang ke Yuni berapa? Mas pikir uang tiga puluh ribu sehari cukup untuk makan empat kepala?" 

Aku terpancing, emosiku sampai ke ubun-ubun. Awalnya aku akan memaklumi uang nafkah yang dia beri, tetapi mendengar ucapannya barusan membuat aku enggan untuk membantu menutupi kekurangan dapur. 

"Mas pikir cukup, toh selama ini kamu tidak pernah protes. Lagi pun, makanan selalu terhidang dengan menu yang selalu berbeda setiap harinya. Jadi, ya, untuk apa mas tambahin? Nanti yang ada malah kamu buat seneng-seneng sendiri."

Mas Anjar bicara seolah tanpa dosa. Oke, fiks! keinginanku untuk tetap pisah rumah dari keluarganya adalah pilihan tepat. 

"Oke, mulai sekarang, Mas, sendiri yang pegang uang itu, Yuni mau kerja." Aku beranjak menuju lemari dan meletakan pakaian yang baru saja aku lipat. 

"Lha nanti yang beberes rumah siapa, Yank?" tanya Mas Anjar.

"Meri, mungkin?" jawabku asal. 

"Apa nggak kasihan kalau Meri suruh bersi-bersih rumah?" 

Pertanyaan yang sangat membagongkan. Dia kasihan terhadap adiknya yang amat sangat menyebalkan di banding dengan istrinya? Yaa Allah kenapa dia nggak nikah adiknya aja sekalian! Kesal!

"Trus kalau Yuni yang beres-beres nggak kasihan, gitu?" 

"Ya, bukan begitu. Tapi kan memang kewajiban sebagai seorang istri untuk mengurus rumah tangga," kekehnya membuat aku semakin jengkel. 

"Ngaji yang bener, Mas. Trus buka juga tu kewajiban seorang suami, jangan cuma separo-separo! Sudah pokoknya mulai besok aku mau kerja!" Keputusanku sudah bulat, lelah rasanya mengahadapi kelakuan Mas Anjar.

"Tapi uangnya di tabung, ya, jadiin satu sama punya mas. Biar cepet kumpul banyak," pintanya penuh keyakinan. 

"Dijadiin satu gitu? Trus Atm mas yang pegang?" tanyaku pura-pura polos. 

"Iya, Biar kamu nggak boros," imbuhnya lagi masih kekeh dengan keinginannya. 

"Big no! Uang hasil kerjaku adalah murni milikku, jadi tidak akan pernah masuk ke rekening yang entah ada isinya atau tidak milikmu itu, Mas!" 

Aku berjalan keluar dari kamar, jengah juga rasanya mengahadapi suami seperti Mas Anjar, ditambah lagi dengan kelakuan adik perempuannya. Astagfirullah.

"Mau kemana, Mbak?" tanya Meri yang duduk selonjoran di depan tv. 

"Jajan," jawabku malas. 

"Beliin sekalian, dong, Mbak. Aku juga mau," pintanya tanpa malu. 

"Beliin sana, Dek." Suara Mas Anjar mengagetkanku.

"Mana uangnya." Dengan sengaja ku ulurkan tangan di depan Mas Anjar.

"Pake uang kamu dulu." 

"Dari mana aku punya uang? Kan aku cuma dari kampung orang bo doh, pula!" 

Biasanya Meri akan marah-marah kalau tidak ada Mas Anjar, tetapi kalau di depan kakaknya dia seolah-olah yang paling terdzolimi. 

"Ada apa ini ribut-ribut?" tanya Mama yang keluar dari kamarnya. 

"Nggak apa-apa, temenin Yuni keluar, yuk, Ma," pintaku mendekat lalu menggandeng tangan mama tanpa persetujuan darinya.

Meninggalkan dua orang yang tidak punya perasaan itu perlu, agar kewarasan tetap terjaga. 

Bersambung.....

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • MARYUNI (Dari Kampung Dikira Miskin)   Wanita tidak tahu malu

    "Yuni, aku kesini mau minta biaya rumah sakit untuk mas Anjar!" teriaknya tidak tahu malu.Dari mana perempuan ini tahu kalau aku berada di sini?"Ha!" Suara kami berempat hampir bersamaan. "Kenapa malah bengong? Sudah sini uangnya?" pintanya semakin kasar. Yaa Allah, kenapa Engkau pertemukan hamba dengan orang-orang seperti mereka? Hamba lelah Yaa Allah. Kuhembuskan napas kesal, jujur ingin rasanya menampar mu lut itu. Dia pikir aku ini mesin ATM yang sewaktu-waktu butuh tinggal ambil? Dasar E dan!"Saya tidak pernah di kasih uang sama calon suami, Anda, jadi jangan minta kepada saya. Karena Anda yang selalu di beri uang dan apa saja yang Anda butuhkan selalu di turuti, kenapa nggak Anda sendiri yang membayarnya? Apa Anda terlalu miskin?" ejekku.Wajah santi merah padam, mendengar omonganku. Aku sengaja membuatnya marah dan meninggalkan tempat ini. "Heh! Dasar perempuan udik! Nggak tahu diri! Seharusnya kamu itu sadar diri kenapa sampai Anjar tidak mau sama kamu? Lihat wajahmu

  • MARYUNI (Dari Kampung Dikira Miskin)   Kecelakan Anjar

    "Permisi, apa benar ini toko Ibu Anjar?" tanya seorang berseragam kepolisian."Benar, ada yang bisa kami bantu, Pak?" tanya bapak sembari berjalan mendekati lelaki berseragam dinas tersebut. "Pak Anjar mengalami kecelakan sekarang sudah di bawa ke rumah sakit, mohon untuk segera datang ke sana," tambahnya."Baik, Pak. Kami akan segera datang," jawab bapak mewakili. Aku hanya terdiam, bukan aku tidak khawatir dengan keadaan mas Anjar sekarang, tetapi kenapa polisi ini bisa tahu kalau aku istrinya mas Anjar? "Kalau begitu kami permisi," pamitnya undur diri. "Silahkan, Pak." Bapak menatapku sebentar, kemudian membuang napas kesal. Aku tahu perasaan bapak saat ini, mungkin heran kenapa mas Anjar bisa kecelakaan di daerah sini. Bukankah jarak antara rumah dan tempat ini lumayan jauh? Entahlah aku tidak ingin menduga-duga. "Sebaiknya kamu segera datang, Yun. Tunjukkan bahwa kamu bukan wanita biasa. Tapi bapak sarankan agar kamu hati-hati dalam bersikap, terlebih Anjar sudah tahu kalau

  • MARYUNI (Dari Kampung Dikira Miskin)   Keputusan bapak

    "Tidak berlagak, untuk membayar barang belanjaan wanita di sampingmu itu saja dia mampu!" tantangnya. Yaa Allah, dia datang. Lelaki cinta pertamaku itu sedikit menegang urat lehernya, setahu dia aku selalu baik-baik saja dengan pernikahan ini, nyatanya di depan mata kepalanya sendiri anak gadis yang sangat istimewa untuknya di permalukan. "Bapak!" Suaraku dan mas Anjar hampir bersamaan. "Siapa lelaki tua itu, Mas?" Gun dik mas Anjar terlihat tidak suka dengan kedatangan bapak. Sebab dia tidak tahu kalau mas Anjar begitu hormat dengan beliau, entah kalau sekarang. "Saya mertua lelaki yang saat ini sedang berada di samping mu!" Bapak menekan suaranya.Tidak ada takut-takutnya perempuan itu, aku lihat dia justru tersenyum sinis. "Anjar, apa yang sedang kau lakukan dengannya? Kenapa kau membiarkan istrimu persegi seorang diri? Di mana tanggung jawabmu?" tanya bapak menelisik.Aku tidak bergeming, tetap berdiri di depan kasir di sebelah gun dik dan suamiku. Kubiarkan bapak mengeluar

  • MARYUNI (Dari Kampung Dikira Miskin)   Tak tau diri

    "Ternyata ini alasan kamu ingin meninggalkan Aku!" Yaa Allah, kenapa dia harus datang di waktu yang tidak tepat. Dengan sigap aku segera melepaskan pegangan dari lelaki itu. "Ini bukan seperti yang kamu pikirkan, Mas. Dia menolongku," jelasku. Jujur, ada perasaan khawatir, takut dia mempermalukan aku. "Tidak bagaiamana? Jelas-jelas kalian sedang pegangan tangan di tempat begini. Di sini nggak semua orang lihat, lo. Jadi, mau berkilah yang bagaiamana?" Mas Anjar memojokkan aku, aku tidak tahu lagi mau berbuat apa. Aku takut jika orang lain datang, orang pasar banyak yang mengenalku. Mereka banyak tahu tentang aku, takutnya mereka akan memberitahukan siapa aku sebenarnya."Maaf, Bung! Apa nggak sebaiknya masalah rumah tangga di selesaikan di rumah. Ini tempat umum, seharusnya Anda punya etika," sela lelaki yang sedang berdiri tegak di sampingku. "Ini bukan urusanmu! Apa sejak dia mengenalmu dia rela merubah penampilan? Demi apa aku sangat menyayangimu, Dek. Tidak perlu kamu harus

  • MARYUNI (Dari Kampung Dikira Miskin)   Chat dari nomor baru

    "Kamu siapa!" teriak seseorang yang tiba-tiba sudah berada di belakangku. Sungguh aku kaget bukan main, tiba-tiba mas Anjar sudah ada di belakangku. "Yuni?" Mas Anjar terlihat terkejut melihat kedatanganku. "Iya, aku Yuni, Mas. Aku kesini hanya ingin mengambil pakaianku saja," jelasku, masih tetap membereskan pakaian dan perlengkapan miliku. Dia kembali melihatku dari ujung kaki hingga ujung kepala. "Kamu cantik sekali," gumamnya pelan, tetapi dapat tertangkap oleh indera pendengaranku.Aku tersenyum sinis, mungkin selama ini dia tidak pernah melihatku secantik ini. Bukan aku tidak mampu melakukannya, tetapi aku sangat berharap bahwa lelaki yang akan menerimaku adalah orang yang akan berjuang membuatku semakin cantik. Nyatanya, dia sangat perhitungan dalam segala hal, apa lagi mengeluarkan uang untuk membuatku semakin cantik. "Aku permisi, Mas. Aku merasakan bahwa hubungan kita sudah tidak sehat. Mungkin selama ini aku hanya akan diam saat mas mengabaikanku dan pelit dalam mena

  • MARYUNI (Dari Kampung Dikira Miskin)   Awal perubahan

    Apa benar ini Maryuni yang kampungan itu? Aku menatap cermin kembali, betulkah yang aku lihat? Benar kata mbak Wati, aku harus merubah penampilanku. Akan aku buat mas Anjar menyesal setelah bertemu denganku nanti. "Ada yang masih kurang, Mbak?" tanya pegawai yang berada tepat di sampingku. "Nggak, sudah cukup," jawabku, sembari takjub dengan karunia Allah yang selama ini aku abaikan. "Belum, masih kurang, lihat ini." Dia menunjuk pakaian yang berada di tangannya. Aku mengerutkan kening, belum paham apa maksudnya. "Coba mbak kalau baju ini," perintahnya. Aku hanya menurut, berjalan menuju kamar pas. Di dalam kamar pas aku merasa sangat bahagia, tetapi kalau aku berpakaian seperti ini bagaimana kalau sedang jualan? Entahlah, itu urusan nanti, yang penting sekarang menikmati saat ini. "Cantiknya," sambut para pegawai salon.Sejujurnya aku pun takjub dengan karunia Allah yang selama ini aku abaikan ini. Hari ini aku berubah, terlihat begitu sempurna, bahkan pesta pernikahan yang

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status