Mas Anjar tidak bertanya tentang toko yang di katakan oleh Meri. Mungkin karena Meri tidak bisa membuktikannya.
"Mas, bagaimana permintaanku kemarin?" tanyaku pada Mas Anjar yang masih sibuk dengan lembar-lembar kertas yang berada di depannya."Untuk apa kita pindah, Yank? Bukankah di sini lebih asik? Banyak temen ngobrol, ada mama juga Meri yang selalu di rumah," jawabnya seperti tanpa beban. Dia tidak tahu bahwa kelakuan adik perempuannya layaknya bayi, mama masih mending tidak begitu mencampuri urusanku. "Justru karena Meri dan Mama di rumah, Mas." "Terus maksud kamu Mama dan Meri suruh pergi begitu?" tanyanya memicingkan mata. "Siapa yang bilang begitu? Justru karena mereka di rumah kita harus pindah, biar bisa mesra-mesraan setiap saat. Aku nggak nyaman begini," keluhku.Urat leher Mas Anjar sedikit mengendur setelah mendengar penjelasanku barusan. Aku kira dia akan memprioritaskan aku, tetapi semua hanya keinginanku saja. Drett!Drett!Drett!Hape yang sengaja aku letakan di atas nakas bergetar panjang, menandakan panggilan masuk. Rupanya juragan cabe yang kemarin gagal bertemu. "Hallo?" Suara dari seberang terdengar keras."Iya, hallo. Bagaimana, Pak?" tanyaku."Bagaimana, Mbak Yun? Apa masih bisa bekerja sama?" tanyanya.Aku menyingkir dari Mas Anjar. Agar dia tidak mendengar pembicaraanku dengan juragan cabe. "Bisa, Pak. Bapak tinggal kirim saja berapa kintal setiap tiga hari sekali, soalnya kalau di drop setiap hari selain sayuran yang lain saya tidak bisa, Pak." "Kalau begitu, cabe kriting sama cabe setan saja? lima kintal di bagi dua, begitu?" tanya juragan cabe dari seberang."Iya, Pak. Nanti langsung saja di kirim ke tempat yang kemarin saya kasih tau, ya dan pembayarannya seperti biasa," jelasku.Akhirnya sambungan telepon terputus setelah mendapat harga kesepakatan. Tidak mengira bisa bekerja sama dengan juragan cabe satu ini, dia terkenal njlimet dan tidak suka keterlambatan. Semoga kerja sama ini adalah awal yang baik.+++"Dek, tadi bapak telpon, Mas. Katanya hari ini pupuk kotoran ayam sudah datang." Mas Anjar berkata sambil terus bermain game. Aku masih memaklumi kegemaran Mas Anjar bermain game, toh dia masih bisa di ajak komunikasi dan tetap melakukan tugasnya sebagai seorang tulang punggung, meski kepelitan yang sangat luar biasa. "Iya, Mas. Nanti Yuni telepon bapak balik." Tanganku terus melipat baju kering, aku tidak menyetrika baju harian milik kami, hanya baju kerja Mas Anjar saja yang harus rapi dan sesekali aku menyetrika baju saat akan ku kenakan. "Buat apa kotoran ayamnya, Dek? Hih, apa nggak bau? Dari pada buat beli kotoran ayam lebih baik di tabung, Dek," ucap Mas Anjar yang sudah berada di depanku."Iya, itu juga tabungan buat Yuni, Mas. Kalau ngandelin Mas, ya, mana mungkin Yuni bisa nambung," ucap ku tanpa tedeng aling-aling. "Biar mas yang nabung sendiri, takut kamu boros. Kan kamu nggak pernah pegang uang, takut kilap," sanggahnya.Yaa Salam. Dia pikir selama ini yang tombok urusan perdapuran siapa? Tepok jidat. "Memang selama ini, Mas kasih uang ke Yuni berapa? Mas pikir uang tiga puluh ribu sehari cukup untuk makan empat kepala?" Aku terpancing, emosiku sampai ke ubun-ubun. Awalnya aku akan memaklumi uang nafkah yang dia beri, tetapi mendengar ucapannya barusan membuat aku enggan untuk membantu menutupi kekurangan dapur. "Mas pikir cukup, toh selama ini kamu tidak pernah protes. Lagi pun, makanan selalu terhidang dengan menu yang selalu berbeda setiap harinya. Jadi, ya, untuk apa mas tambahin? Nanti yang ada malah kamu buat seneng-seneng sendiri."Mas Anjar bicara seolah tanpa dosa. Oke, fiks! keinginanku untuk tetap pisah rumah dari keluarganya adalah pilihan tepat. "Oke, mulai sekarang, Mas, sendiri yang pegang uang itu, Yuni mau kerja." Aku beranjak menuju lemari dan meletakan pakaian yang baru saja aku lipat. "Lha nanti yang beberes rumah siapa, Yank?" tanya Mas Anjar."Meri, mungkin?" jawabku asal. "Apa nggak kasihan kalau Meri suruh bersi-bersih rumah?" Pertanyaan yang sangat membagongkan. Dia kasihan terhadap adiknya yang amat sangat menyebalkan di banding dengan istrinya? Yaa Allah kenapa dia nggak nikah adiknya aja sekalian! Kesal!"Trus kalau Yuni yang beres-beres nggak kasihan, gitu?" "Ya, bukan begitu. Tapi kan memang kewajiban sebagai seorang istri untuk mengurus rumah tangga," kekehnya membuat aku semakin jengkel. "Ngaji yang bener, Mas. Trus buka juga tu kewajiban seorang suami, jangan cuma separo-separo! Sudah pokoknya mulai besok aku mau kerja!" Keputusanku sudah bulat, lelah rasanya mengahadapi kelakuan Mas Anjar."Tapi uangnya di tabung, ya, jadiin satu sama punya mas. Biar cepet kumpul banyak," pintanya penuh keyakinan. "Dijadiin satu gitu? Trus Atm mas yang pegang?" tanyaku pura-pura polos. "Iya, Biar kamu nggak boros," imbuhnya lagi masih kekeh dengan keinginannya. "Big no! Uang hasil kerjaku adalah murni milikku, jadi tidak akan pernah masuk ke rekening yang entah ada isinya atau tidak milikmu itu, Mas!" Aku berjalan keluar dari kamar, jengah juga rasanya mengahadapi suami seperti Mas Anjar, ditambah lagi dengan kelakuan adik perempuannya. Astagfirullah."Mau kemana, Mbak?" tanya Meri yang duduk selonjoran di depan tv. "Jajan," jawabku malas. "Beliin sekalian, dong, Mbak. Aku juga mau," pintanya tanpa malu. "Beliin sana, Dek." Suara Mas Anjar mengagetkanku."Mana uangnya." Dengan sengaja ku ulurkan tangan di depan Mas Anjar."Pake uang kamu dulu." "Dari mana aku punya uang? Kan aku cuma dari kampung orang bo doh, pula!" Biasanya Meri akan marah-marah kalau tidak ada Mas Anjar, tetapi kalau di depan kakaknya dia seolah-olah yang paling terdzolimi. "Ada apa ini ribut-ribut?" tanya Mama yang keluar dari kamarnya. "Nggak apa-apa, temenin Yuni keluar, yuk, Ma," pintaku mendekat lalu menggandeng tangan mama tanpa persetujuan darinya.Meninggalkan dua orang yang tidak punya perasaan itu perlu, agar kewarasan tetap terjaga. Bersambung.....Setelah menutup gerbang, aku mengajak mama menyusuri trotoar. Mama hanya mengekor langkahku tanpa keluar sepatah kata pun."Mar, kalian kenapa?" tanya mama membuka percakapan. Malas sebetulnya menjawab pertanyaan mama, tetapi kalau aku hanya diam di kiranya aku yang keterlaluan. "Mas Anjar, Ma. Dia memintaku untuk membelikan jajan buat Meri, tapi nggak ngasih uang," jelasku."Jangan di kasih, biar dia mencoba mandiri!" Wanita berkerudung cokelat itu terus melangkah, sementara aku terperangah dengan ucapannya barusan. "Jadi, Mama nggak marah?" Aku balik bertanya."Untuk apa marah, lagi pun memang Anjar pelitnya minta ampun. Jadi wajar kalau harus di kasih peringatan. Biar dia tau kalau perbuatannya itu keterlaluan." Aku mencoba menggandeng tangannya, beliau tersenyum ramah, lalu mengaitkan jemari dan membawaku dalam langkahnya. Andai Simbok masih ada, mungkin aku akan sangat senang mengajaknya walau sekedar jalan membeli bubur kacang ijo langganan. "Mar, kenapa dulu kamu mau sam
"Siapa bilang, Mbak?" tanya mbak Wati kebingungan. "Teman kamu ini," ucapku menunjuk wanita yang kutahu bernama Desti tersebut. "Jangan menuduh, Mbak!" sentaknya. "Oh, ya! Lalu tadi siapa yang menjual brokoli seharga dua puluh lima ribu kepadaku tadi? Bukankah kamu yang melayaniku?" "Mbak itu siapa berani-beraninya memfitnah saya!" bentaknya tidak terima. "Wow! Ternyata ini karyawan baru yang beberapa hari yang lalu nangis-nangis minta di beri pekerjaan?" Suaraku tidak kalah lantang. Dia pikir aku akan takut dengan gertakkannya. Keributan kami mengundang para pengunjung pasar pagi itu penasaran. Akan tetapi, aku tidak peduli. Toh, orang ini sudah berbuat curang di tokoku. "Desti! Jangan kurang ajar kamu! Mulai sekarang kamu berhenti dari sini!" usir mbak Wati. "Mbak percaya sama dia! Tolong mbak jangan mudah percaya! Aku butuh pekerjaan ini," rengeknya seolah dia orang yang terdzolimi. "Iya, aku lebih percaya pada bos pemilik toko ini, di bandingkan dengan kamu. Orang yang t
Setelah menutup gerbang dan bersiap untuk membuka aplikasi Go Car, tiba-tiba saja ada orang yang menyiramkan air ke arahku dengan sengaja. "Sial!" Aku menoleh, ternyata Meri yang melakukan itu semua. Dasar manusia tidak punya tata krama."Itu ganjaran buat orang yang sudah merusak kebahagiaanku!" teriak Meri dari dalam gerbang. "Kebahagiaan apa? Kebahagiaan menipu saudara sendiri? Wow ... Ternyata ada orang yang bisa bahagia di atas penderitaan orang lain?" Segera aku kembali kedalam untuk berganti baju, untung saja ponsel di tangan masih aman. Kalau sampai rusak gara-gara kena air, aku pasti akan menuntut Meri. Belum saja menginjakkan kaki di teras, Meri menarik rambutku yang tergerai. "Dasar orang kampung! Sudah miskin bela gu! Sebelum kamu datang ke sini semua baik-baik saja! Tapi sekarang aku harus kehilangan kasih sayang mas Anjar!" teriak Meri kalap sambil menarik dan mencakar wajahku. Dengan sigap aku menarik tangan Meri dan segera menjatuhkannya ke tanah. Sebelum wajahk
"Siapa yang kuli? Dia bukan kuli! Dia itu pemilik semua ini!" Yaa Allah, Mbak Wati. Aku melotot ke arah mbak Wati. Untungnya Meri menghadap ke arahnya, jadi ketika aku memberi kode, Meri tidak melihat. "Maksudnya apa? Siapa pemilik semua ini?" tanya Meri seperti penasaran. "Em ... Itu ... Dia pemilik semua barang sampah ini. Jadi dia bukan kuli. Dia mengambil semua itu untuk tambah-tambah pemasukan," sanggah mbak Wati."Oh ... Aku kira dia pemilik toko ini. Duit dari mana? Hasil ngepet!" sindir Meri sambil berlalu.Aku bernapas lega. Jika tadi mbak Wati sampai membocorkan semua ini, alamat Meri akan berubah seratus delapan puluh derajat. "Kenapa, si, Mbak? Dia siapa?" tanya mbak Wati penasaran dengan kejadian barusan. "Dia iparku, Mbak. Pokoknya jangan sampai ada keluarga mas Anjar yang tau kalau toko ini milikku. Apa lagi perempuan tadi," jelasku.Kami kembali ke rutinitas semula, setelah menutup toko, Mbak Wati berpamitan untuk pulang. Sementara aku menuju warung nasi padang.
Maksudnya seperti mantan istrinya yang bagimana?Menajamkan pendengaran dan menjernihkan pikiran yang aku lakukan saat ini. Aku ingin mendengar apa saja yang ingin mereka bicarakan, bisa jadi di luar pikiranku."Kamu sabar dulu, jangan gegabah," lanjut mas Anjar."Makasih buat semuanya, ya, Mas." Meri beranjak lalu mencium pipi suamiku.Astagfirullah. Aku bersandar di dinding agar Meri tidak melihat keberadaanku. Kini jarak antara Meri dan mas Anjar sangat dekat, bahkan mas Anjar balik mencium kening Meri. Apa seperti ini yang mereka lakukan setiap kali aku tidak ada. Bukankah mereka saudara kandung? Yaa Allah, nyeri sekali dadaku. Kuputuskan untuk kembali ke kamar, sungguh kenyataan ini sangat menyakitkan. Kenapa mereka melakukan hal yang sangat menjijikan. Bahkan mereka melakukan selayaknya orang pacaran? Apakah hal ini yang membuat mas Anjar bercerai dengan istrinya? Kepalaku berdenyut nyeri memikirkan kemungkinan-kemungkinan di luar nalar. Tidak terasa tanggul yang sengaja da
"Maryuni, kamu dari mana?" Suara lembut itu membuatku menoleh ke sumber suara. Belum pernah aku bertemu dengan orang ini, tetapi dia bisa tahu namaku."Dia siapa?" batinku bermonolog.Perempuan berjilbab lebar itu mendekat, lalu mengulurkan tangannya menyapaku. "Hai, perkenalkan aku Naomi mantan istri Anjar," sapanya ramah.Sejenak aku tertegun dengan ucapannya barusan, dia adalah mantan istri mas Anjar? Apa tidak salah mas Anjar menceraikannya? Wanita ini sungguh terlihat luar biasa. Bukan hanya parasnya, tetapi tuturnya pun lembut tidak di buat-buat. "Kok, malah bengong," imbuhnya sambil tersenyum renyah. "Em ... Saya Maryuni, Mbak. Dari mana mbak tau kalau saya istri mas Anjar? 'Kan kita belum pernah bertemu sebelumnya?" tanyaku penasaran. "Bagaimana kalau kita istirahat sebentar di sana," ajaknya menuju sebuah warung kopi.Aku menurut saja, mengikuti langkahnya sedangkan aku menyalakan motor menuju warung itu. "Kopi guday karebian satu pake es, ya, Pak. Kamu mau minum apa,
Setelah menyerahkan tas, mas Anjar bergegas memasuki kamar kami, tetapi dia berpapasan dengan Meri. "Kamu sudah jadi masak, Mer?" Meri gelagapan mendapat pertanyaan dari mas Anjar. "Belum, Mas. Meri capek banget rasanya hari ini, jadi seharian hanya tiduran saja di kamar," jawab Meri. Aku tahu ucapannya itu hanya alibi saja, toh, tadi siang dia sedang bermain dengan sangat liar, jadi mungkin kelelahan. "Trus aku makan apa? Aku belum makan dari siang, kamu yang aku titipi malah nggak masak!" sungutnya."Aku bawa ayam goreng, apa mau?" tanyaku."Yang penting bisa segera makan, tolong siapkan, ya, Dek. Aku mau mandi dulu," pamitnya. Setelah mas Anjar masuk ke dalam kamar, aku membalas tatapan tajam Meri. "Kenapa kelelahan, ya? Berapa kali?" sindirku."Apa maksudmu!" bentak Meri seolah tidak terima. Aku menyusul mas Anjar memasuki kamar, lauk dan nasi yang aku bungkus sengaja kubawa sekalian ke kamar, agar Meri tidak ikut serta menikmatinya.Sembari menunggu mas Anjar selesai de
"Ada hal penting yang harus kita bicarakan, Dek!" teriak mbak Naomi seraya melambaikan tangan. "Oke!" Sebenarnya ada hal penting apa? Apakah mbak Naomi ingin menceritakan masa lalunya? Apakah menyangkut mas Anjar dengan Meri? Entahlah, Aku tidak mau menduga-duga dan membuat kepalaku nyeri karena kebanyakan mikir. Beberapa saat aku termenung, tetapi mengingat chat yang mencurigakan milik mas Anjar segera aku bangkit dan meneruskan langkah. Perumahan ini tidak terlalu jauh dari pasar, jadi aku tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai di tempat itu. Dengan mengendarai motor maticku sampailah aku di perumahan yang cukup mewah, bagiku tentunya, tetapi mungkin akan murah bagi kalangan orang berada. Setelah bertemu dengan salah satu satpam, aku bertanya perihal berapa saja harga perumahan yang ada di sini. Ternyata berbeda-beda, tetapi kisaran di atas empat ratus juta. Wow!Harga yang lumayan bagi kalangan sepertiku. Lalu aku bertanya tentang rumah bernomor dua belas, dengan sistem ap