Share

TERKUAK

last update Terakhir Diperbarui: 2024-03-25 22:55:29

Setelah menutup gerbang, aku mengajak mama menyusuri trotoar. Mama hanya mengekor langkahku tanpa keluar sepatah kata pun.

"Mar, kalian kenapa?" tanya mama membuka percakapan. 

Malas sebetulnya menjawab pertanyaan mama, tetapi kalau aku hanya diam di kiranya aku yang keterlaluan. 

"Mas Anjar, Ma. Dia memintaku untuk membelikan jajan buat Meri, tapi nggak ngasih uang," jelasku.

"Jangan di kasih, biar dia mencoba mandiri!" 

Wanita berkerudung cokelat itu terus melangkah, sementara aku terperangah dengan ucapannya barusan. 

"Jadi, Mama nggak marah?" Aku balik bertanya.

"Untuk apa marah, lagi pun memang Anjar pelitnya minta ampun. Jadi wajar kalau harus di kasih peringatan. Biar dia tau kalau perbuatannya itu keterlaluan." 

Aku mencoba menggandeng tangannya, beliau tersenyum ramah, lalu mengaitkan jemari dan membawaku dalam langkahnya. 

Andai Simbok masih ada, mungkin aku akan sangat senang mengajaknya walau sekedar jalan membeli bubur kacang ijo langganan. 

"Mar, kenapa dulu kamu mau sama Anjar?"

Pertanyaan yang sangat di luar nalar. Kenapa mama bertanya demikian?

"Maryuni termakan janji manis, Ma. Dia bilang setelah menikah akan menanggung semuanya. Ternyata hanya janji saja. Bukannya ingin membuka aib suami, Ma. Tapi aku sudah capek!"

Mama berbalik, manik mata hitam itu menatapku seperti meminta penjelasan.

"Semua berbanding terbalik, 'kan?" 

"Mama pasti tau." 

Belum juga mama menjawab pertanyaanku, aku sudah di kejutkan dengan kedatangan hewan yang paling aku takuti. 

Mama memintaku untuk tetap diam dan mengikuti instruksinya. Lah, dasar akunya yang bandel. 

Aku justru berlari tunggang langgang karena ketakutan, setelah berlari cukup jauh dan berbalik kebelakang aku justru di kejutkan dengan mama yang turut berlari mengejarku.

"Ya ampun, Mar." 

Napas mama tidak beraturan saat berhenti di hadapanku.

"Mama? An jing tadi ngejar mama juga?" Aku celingak-celinguk mencari keberadaan hewan itu, takutnya tiba-tiba dia datang dan menggigitku.

Mama sibuk mengatur napas karena mengejarku yang berlari kencang tanpa melihat situasi. 

"Anj ingnya di ikat, kenapa kamu lari? Tadi 'kan mama sudah menahan kamu?" tanya mama keheranan dengan tingkah konyol ini.

Yaa Allah, kenapa tadi aku main lari saja? Dasar o'on! Aku menepuk jidat. 

+++

Semenjak kejadian beberapa waktu lalu bersama mama, kami semakin akrab, ternyata mama tidak seperti dugaanku selama ini. Mungkin, aku hanya terpengaruh oleh pikiranku sendiri, sehingga terlalu berpikir jauh tentang perangai mama yang tidak terduga.

Sementara Mas Anjar belum juga memberikan aku izin untuk bekerja. Walaupun sebenarnya aku memantau kinerja karyawan dari rumah. Aku tidak ingin semuanya terendus oleh suami pelitku.

Genap dua bulan sudah aku menjadi istri mas Anjar, semakin hari kepelitannya semakin kentara. Hari ini adalah tanggal gajian. Sebagai karyawan biasa di sebuah kantor yang katanya bergelut di bidang properti. Aku kurang paham dengan semua itu jadi aku iyakan saja.

"Dek, ini jatah kamu sebulan." Mas Anjar mengangsurkan uang merah lebih dari sepuluh lembar, perkiraanku.

Aku meraihnya dengan malas, tetapi aku juga tidak ingin mengecewakannya. Setelah kuhitung, ternyata benar lebih dari sepuluh karena ternyata ada lima belas lembar. 

Peningkatan. Aku yang tidak tahu berapa sebenarnya gajinya tersenyum senang. 

"Terima kasih, Mas," ucapku sembari meletakan uang pemberiannya di laci meja yang terletak samping tepat aku berada sekarang.

"Sama-sama, kamu yang pinter ngelola dan jangan boros! Kamu kan nggak pernah pegang uang banyak, takutnya malah buat senang-senang!" ketusnya. 

Ya ampun, hanya uang satu juta lima ratus saja dia sudah berkata demikian. Dia tidak tahu uang segitu hanya laba dari penjualan sayuran sehari belum laba cabe selama tiga hari. 

Hitung saja. 15.000×500kg, kadang kalau harga lagi bagus lebih juga dari itu. 

"Ya sudah, Mas saja yang mengelolanya aku tau beres saja!" Kuambil uang yang sudah kusimpan tadi. 

"Oke! Kamu tulis saja apa yang perlu dibeli. Biar aku sama Meri yang belanja," sungutnya sembari menyambar uang yang masih berada ditanganku. 

"Siap, harus cukup selama satu bulan, ya, Mas. Oiya, Mas belum memberi jawaban tentang permintaanku dulu, aku mau kerja."

"Terserah, tapi pekerjaan rumah harus sudah rampung baru berangkat kerja. Jangan lupa tanggung jawab."

Aku hanya mengacungkan ibu jari tanda setuju, besok aku akan ke toko. Kangen rasanya bercanda ria bersama teman-teman di pasar. 

Keesokannya kulihat Mas Anjar dan Meri sudah siap untuk pergi belanja. Hari minggu Mas Anjar libur kerja jadi sesuai dengan kesepakatan kemarin, bahwa dia dan Meri yang akan pergi belanja kebutuhan selama sebulan ini.

Aku yang sudah selesai mengerjakan pekerjaan rumah dan bersiap untuk berangkat ke toko. Aku bilang kepada Mas Anjar kalau aku bekerja di toko kelontong milik teman, jadi hari minggu tetap berangkat.

"Mas aku berangkat dulu, ya?" pamitaku kepada Mas Anjar yang masih menikmati teh buatanku.

"Hari minggu, kok, kerja. Hari minggu, tu, enaknya jalan-jalan!" ejek Meri tiba-tiba.

"Emang situ kerja?" sindirku.

"Sialan!" bentak Meri.

"Sudah-sudah, sana berangkat!" perintah Mas Anjar menengahi. 

"Siap!" 

Aku pergi meninggalkan rumah pada pukul tujuh, setelah mencari-cari mama yang entah di mana. Kuputuskan untuk secepatnya berangkat ke toko.

+++

Sengaja aku tidak bilang sama mbak Wati. Saat aku turun dari motor tukang ojek, kuhampiri pegawai lain karena dia sedang sibuk membersihkan daun brokoli.

"Mbak, beli brokoli satu kwintal?" 

"Baru ada delapan puluh kilo, Mbak," ucap seseorang yang aku tahu dia adalah pegawai baruku. 

Sebelum berangkat, aku menanyakan kepada mbak Wati apa saja yang telah dia beli dan harga jualnya. Dan sekarang aku hanya ingin memastikan. 

"Oke, berapa satu kilo?" 

Wanita itu cukup cekatan saat mbak Wati berada di dekatnya, tetapi setelah pergi dia sibuk dengan hape di tangannya. 

Mbak Wati tidak mengenaliku karena aku menggunakan masker dan topi.

"Emm ... Dua puluh lima ribu," jawabnya pelan sambil melirik ke arah mbak Wati. 

"Di total saja, trus nanti di antar ke mobil itu," imbuhku, sembari mengeluarkan uang untuk pembayaran.

Setelah menerima uang, entah apa yang dia lakukan di laci kasir. Dia pergi mengantar brokoli pesananku. Sengaja aku memintanya untuk mengantar kemobil langgananku agar nanti dia tidak kecewa dengan kelakuan pegawaiku.

"Mbak Wati." 

Mbak Wati kaget dengan kedatanganku. Dia melempar buku yang berada di tangannya lalu menghampiriku. 

Sedang asik bersenda gurau, pegawai satu yang melayani aku tadi datang. 

"Mbak Wati. Tadi brokolinya sudah terjual, uangnya ada di laci," ucapnya.

"Itu kan pesanan, Des!" 

"Nanti kulakan lagi, to. Masih pagi, kok." Gadis berperawakan kurus itu memberi alasan. 

"Memang berapa harga brokoli, Mbak," tanyaku pura-pura tidak tahu. 

"Dua puluh ribu, Mbak. Kemarin turun sekarang naik lagi," jawab mbak Wati apa adanya.

"Bukanya dua puluh lima?" tanyaku yang sukses membuat gadis itu terperanjat. 

Jangan main-main dengan Maryuni!

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • MARYUNI (Dari Kampung Dikira Miskin)   Wanita tidak tahu malu

    "Yuni, aku kesini mau minta biaya rumah sakit untuk mas Anjar!" teriaknya tidak tahu malu.Dari mana perempuan ini tahu kalau aku berada di sini?"Ha!" Suara kami berempat hampir bersamaan. "Kenapa malah bengong? Sudah sini uangnya?" pintanya semakin kasar. Yaa Allah, kenapa Engkau pertemukan hamba dengan orang-orang seperti mereka? Hamba lelah Yaa Allah. Kuhembuskan napas kesal, jujur ingin rasanya menampar mu lut itu. Dia pikir aku ini mesin ATM yang sewaktu-waktu butuh tinggal ambil? Dasar E dan!"Saya tidak pernah di kasih uang sama calon suami, Anda, jadi jangan minta kepada saya. Karena Anda yang selalu di beri uang dan apa saja yang Anda butuhkan selalu di turuti, kenapa nggak Anda sendiri yang membayarnya? Apa Anda terlalu miskin?" ejekku.Wajah santi merah padam, mendengar omonganku. Aku sengaja membuatnya marah dan meninggalkan tempat ini. "Heh! Dasar perempuan udik! Nggak tahu diri! Seharusnya kamu itu sadar diri kenapa sampai Anjar tidak mau sama kamu? Lihat wajahmu

  • MARYUNI (Dari Kampung Dikira Miskin)   Kecelakan Anjar

    "Permisi, apa benar ini toko Ibu Anjar?" tanya seorang berseragam kepolisian."Benar, ada yang bisa kami bantu, Pak?" tanya bapak sembari berjalan mendekati lelaki berseragam dinas tersebut. "Pak Anjar mengalami kecelakan sekarang sudah di bawa ke rumah sakit, mohon untuk segera datang ke sana," tambahnya."Baik, Pak. Kami akan segera datang," jawab bapak mewakili. Aku hanya terdiam, bukan aku tidak khawatir dengan keadaan mas Anjar sekarang, tetapi kenapa polisi ini bisa tahu kalau aku istrinya mas Anjar? "Kalau begitu kami permisi," pamitnya undur diri. "Silahkan, Pak." Bapak menatapku sebentar, kemudian membuang napas kesal. Aku tahu perasaan bapak saat ini, mungkin heran kenapa mas Anjar bisa kecelakaan di daerah sini. Bukankah jarak antara rumah dan tempat ini lumayan jauh? Entahlah aku tidak ingin menduga-duga. "Sebaiknya kamu segera datang, Yun. Tunjukkan bahwa kamu bukan wanita biasa. Tapi bapak sarankan agar kamu hati-hati dalam bersikap, terlebih Anjar sudah tahu kalau

  • MARYUNI (Dari Kampung Dikira Miskin)   Keputusan bapak

    "Tidak berlagak, untuk membayar barang belanjaan wanita di sampingmu itu saja dia mampu!" tantangnya. Yaa Allah, dia datang. Lelaki cinta pertamaku itu sedikit menegang urat lehernya, setahu dia aku selalu baik-baik saja dengan pernikahan ini, nyatanya di depan mata kepalanya sendiri anak gadis yang sangat istimewa untuknya di permalukan. "Bapak!" Suaraku dan mas Anjar hampir bersamaan. "Siapa lelaki tua itu, Mas?" Gun dik mas Anjar terlihat tidak suka dengan kedatangan bapak. Sebab dia tidak tahu kalau mas Anjar begitu hormat dengan beliau, entah kalau sekarang. "Saya mertua lelaki yang saat ini sedang berada di samping mu!" Bapak menekan suaranya.Tidak ada takut-takutnya perempuan itu, aku lihat dia justru tersenyum sinis. "Anjar, apa yang sedang kau lakukan dengannya? Kenapa kau membiarkan istrimu persegi seorang diri? Di mana tanggung jawabmu?" tanya bapak menelisik.Aku tidak bergeming, tetap berdiri di depan kasir di sebelah gun dik dan suamiku. Kubiarkan bapak mengeluar

  • MARYUNI (Dari Kampung Dikira Miskin)   Tak tau diri

    "Ternyata ini alasan kamu ingin meninggalkan Aku!" Yaa Allah, kenapa dia harus datang di waktu yang tidak tepat. Dengan sigap aku segera melepaskan pegangan dari lelaki itu. "Ini bukan seperti yang kamu pikirkan, Mas. Dia menolongku," jelasku. Jujur, ada perasaan khawatir, takut dia mempermalukan aku. "Tidak bagaiamana? Jelas-jelas kalian sedang pegangan tangan di tempat begini. Di sini nggak semua orang lihat, lo. Jadi, mau berkilah yang bagaiamana?" Mas Anjar memojokkan aku, aku tidak tahu lagi mau berbuat apa. Aku takut jika orang lain datang, orang pasar banyak yang mengenalku. Mereka banyak tahu tentang aku, takutnya mereka akan memberitahukan siapa aku sebenarnya."Maaf, Bung! Apa nggak sebaiknya masalah rumah tangga di selesaikan di rumah. Ini tempat umum, seharusnya Anda punya etika," sela lelaki yang sedang berdiri tegak di sampingku. "Ini bukan urusanmu! Apa sejak dia mengenalmu dia rela merubah penampilan? Demi apa aku sangat menyayangimu, Dek. Tidak perlu kamu harus

  • MARYUNI (Dari Kampung Dikira Miskin)   Chat dari nomor baru

    "Kamu siapa!" teriak seseorang yang tiba-tiba sudah berada di belakangku. Sungguh aku kaget bukan main, tiba-tiba mas Anjar sudah ada di belakangku. "Yuni?" Mas Anjar terlihat terkejut melihat kedatanganku. "Iya, aku Yuni, Mas. Aku kesini hanya ingin mengambil pakaianku saja," jelasku, masih tetap membereskan pakaian dan perlengkapan miliku. Dia kembali melihatku dari ujung kaki hingga ujung kepala. "Kamu cantik sekali," gumamnya pelan, tetapi dapat tertangkap oleh indera pendengaranku.Aku tersenyum sinis, mungkin selama ini dia tidak pernah melihatku secantik ini. Bukan aku tidak mampu melakukannya, tetapi aku sangat berharap bahwa lelaki yang akan menerimaku adalah orang yang akan berjuang membuatku semakin cantik. Nyatanya, dia sangat perhitungan dalam segala hal, apa lagi mengeluarkan uang untuk membuatku semakin cantik. "Aku permisi, Mas. Aku merasakan bahwa hubungan kita sudah tidak sehat. Mungkin selama ini aku hanya akan diam saat mas mengabaikanku dan pelit dalam mena

  • MARYUNI (Dari Kampung Dikira Miskin)   Awal perubahan

    Apa benar ini Maryuni yang kampungan itu? Aku menatap cermin kembali, betulkah yang aku lihat? Benar kata mbak Wati, aku harus merubah penampilanku. Akan aku buat mas Anjar menyesal setelah bertemu denganku nanti. "Ada yang masih kurang, Mbak?" tanya pegawai yang berada tepat di sampingku. "Nggak, sudah cukup," jawabku, sembari takjub dengan karunia Allah yang selama ini aku abaikan. "Belum, masih kurang, lihat ini." Dia menunjuk pakaian yang berada di tangannya. Aku mengerutkan kening, belum paham apa maksudnya. "Coba mbak kalau baju ini," perintahnya. Aku hanya menurut, berjalan menuju kamar pas. Di dalam kamar pas aku merasa sangat bahagia, tetapi kalau aku berpakaian seperti ini bagaimana kalau sedang jualan? Entahlah, itu urusan nanti, yang penting sekarang menikmati saat ini. "Cantiknya," sambut para pegawai salon.Sejujurnya aku pun takjub dengan karunia Allah yang selama ini aku abaikan ini. Hari ini aku berubah, terlihat begitu sempurna, bahkan pesta pernikahan yang

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status