Setelah menutup gerbang, aku mengajak mama menyusuri trotoar. Mama hanya mengekor langkahku tanpa keluar sepatah kata pun.
"Mar, kalian kenapa?" tanya mama membuka percakapan. Malas sebetulnya menjawab pertanyaan mama, tetapi kalau aku hanya diam di kiranya aku yang keterlaluan. "Mas Anjar, Ma. Dia memintaku untuk membelikan jajan buat Meri, tapi nggak ngasih uang," jelasku."Jangan di kasih, biar dia mencoba mandiri!" Wanita berkerudung cokelat itu terus melangkah, sementara aku terperangah dengan ucapannya barusan. "Jadi, Mama nggak marah?" Aku balik bertanya."Untuk apa marah, lagi pun memang Anjar pelitnya minta ampun. Jadi wajar kalau harus di kasih peringatan. Biar dia tau kalau perbuatannya itu keterlaluan." Aku mencoba menggandeng tangannya, beliau tersenyum ramah, lalu mengaitkan jemari dan membawaku dalam langkahnya. Andai Simbok masih ada, mungkin aku akan sangat senang mengajaknya walau sekedar jalan membeli bubur kacang ijo langganan. "Mar, kenapa dulu kamu mau sama Anjar?"Pertanyaan yang sangat di luar nalar. Kenapa mama bertanya demikian?"Maryuni termakan janji manis, Ma. Dia bilang setelah menikah akan menanggung semuanya. Ternyata hanya janji saja. Bukannya ingin membuka aib suami, Ma. Tapi aku sudah capek!"Mama berbalik, manik mata hitam itu menatapku seperti meminta penjelasan."Semua berbanding terbalik, 'kan?" "Mama pasti tau." Belum juga mama menjawab pertanyaanku, aku sudah di kejutkan dengan kedatangan hewan yang paling aku takuti. Mama memintaku untuk tetap diam dan mengikuti instruksinya. Lah, dasar akunya yang bandel. Aku justru berlari tunggang langgang karena ketakutan, setelah berlari cukup jauh dan berbalik kebelakang aku justru di kejutkan dengan mama yang turut berlari mengejarku."Ya ampun, Mar." Napas mama tidak beraturan saat berhenti di hadapanku."Mama? An jing tadi ngejar mama juga?" Aku celingak-celinguk mencari keberadaan hewan itu, takutnya tiba-tiba dia datang dan menggigitku.Mama sibuk mengatur napas karena mengejarku yang berlari kencang tanpa melihat situasi. "Anj ingnya di ikat, kenapa kamu lari? Tadi 'kan mama sudah menahan kamu?" tanya mama keheranan dengan tingkah konyol ini.Yaa Allah, kenapa tadi aku main lari saja? Dasar o'on! Aku menepuk jidat. +++Semenjak kejadian beberapa waktu lalu bersama mama, kami semakin akrab, ternyata mama tidak seperti dugaanku selama ini. Mungkin, aku hanya terpengaruh oleh pikiranku sendiri, sehingga terlalu berpikir jauh tentang perangai mama yang tidak terduga.Sementara Mas Anjar belum juga memberikan aku izin untuk bekerja. Walaupun sebenarnya aku memantau kinerja karyawan dari rumah. Aku tidak ingin semuanya terendus oleh suami pelitku.Genap dua bulan sudah aku menjadi istri mas Anjar, semakin hari kepelitannya semakin kentara. Hari ini adalah tanggal gajian. Sebagai karyawan biasa di sebuah kantor yang katanya bergelut di bidang properti. Aku kurang paham dengan semua itu jadi aku iyakan saja."Dek, ini jatah kamu sebulan." Mas Anjar mengangsurkan uang merah lebih dari sepuluh lembar, perkiraanku.Aku meraihnya dengan malas, tetapi aku juga tidak ingin mengecewakannya. Setelah kuhitung, ternyata benar lebih dari sepuluh karena ternyata ada lima belas lembar. Peningkatan. Aku yang tidak tahu berapa sebenarnya gajinya tersenyum senang. "Terima kasih, Mas," ucapku sembari meletakan uang pemberiannya di laci meja yang terletak samping tepat aku berada sekarang."Sama-sama, kamu yang pinter ngelola dan jangan boros! Kamu kan nggak pernah pegang uang banyak, takutnya malah buat senang-senang!" ketusnya. Ya ampun, hanya uang satu juta lima ratus saja dia sudah berkata demikian. Dia tidak tahu uang segitu hanya laba dari penjualan sayuran sehari belum laba cabe selama tiga hari. Hitung saja. 15.000×500kg, kadang kalau harga lagi bagus lebih juga dari itu. "Ya sudah, Mas saja yang mengelolanya aku tau beres saja!" Kuambil uang yang sudah kusimpan tadi. "Oke! Kamu tulis saja apa yang perlu dibeli. Biar aku sama Meri yang belanja," sungutnya sembari menyambar uang yang masih berada ditanganku. "Siap, harus cukup selama satu bulan, ya, Mas. Oiya, Mas belum memberi jawaban tentang permintaanku dulu, aku mau kerja.""Terserah, tapi pekerjaan rumah harus sudah rampung baru berangkat kerja. Jangan lupa tanggung jawab."Aku hanya mengacungkan ibu jari tanda setuju, besok aku akan ke toko. Kangen rasanya bercanda ria bersama teman-teman di pasar. Keesokannya kulihat Mas Anjar dan Meri sudah siap untuk pergi belanja. Hari minggu Mas Anjar libur kerja jadi sesuai dengan kesepakatan kemarin, bahwa dia dan Meri yang akan pergi belanja kebutuhan selama sebulan ini.Aku yang sudah selesai mengerjakan pekerjaan rumah dan bersiap untuk berangkat ke toko. Aku bilang kepada Mas Anjar kalau aku bekerja di toko kelontong milik teman, jadi hari minggu tetap berangkat."Mas aku berangkat dulu, ya?" pamitaku kepada Mas Anjar yang masih menikmati teh buatanku."Hari minggu, kok, kerja. Hari minggu, tu, enaknya jalan-jalan!" ejek Meri tiba-tiba."Emang situ kerja?" sindirku."Sialan!" bentak Meri."Sudah-sudah, sana berangkat!" perintah Mas Anjar menengahi. "Siap!" Aku pergi meninggalkan rumah pada pukul tujuh, setelah mencari-cari mama yang entah di mana. Kuputuskan untuk secepatnya berangkat ke toko.+++Sengaja aku tidak bilang sama mbak Wati. Saat aku turun dari motor tukang ojek, kuhampiri pegawai lain karena dia sedang sibuk membersihkan daun brokoli."Mbak, beli brokoli satu kwintal?" "Baru ada delapan puluh kilo, Mbak," ucap seseorang yang aku tahu dia adalah pegawai baruku. Sebelum berangkat, aku menanyakan kepada mbak Wati apa saja yang telah dia beli dan harga jualnya. Dan sekarang aku hanya ingin memastikan. "Oke, berapa satu kilo?" Wanita itu cukup cekatan saat mbak Wati berada di dekatnya, tetapi setelah pergi dia sibuk dengan hape di tangannya. Mbak Wati tidak mengenaliku karena aku menggunakan masker dan topi."Emm ... Dua puluh lima ribu," jawabnya pelan sambil melirik ke arah mbak Wati. "Di total saja, trus nanti di antar ke mobil itu," imbuhku, sembari mengeluarkan uang untuk pembayaran.Setelah menerima uang, entah apa yang dia lakukan di laci kasir. Dia pergi mengantar brokoli pesananku. Sengaja aku memintanya untuk mengantar kemobil langgananku agar nanti dia tidak kecewa dengan kelakuan pegawaiku."Mbak Wati." Mbak Wati kaget dengan kedatanganku. Dia melempar buku yang berada di tangannya lalu menghampiriku. Sedang asik bersenda gurau, pegawai satu yang melayani aku tadi datang. "Mbak Wati. Tadi brokolinya sudah terjual, uangnya ada di laci," ucapnya."Itu kan pesanan, Des!" "Nanti kulakan lagi, to. Masih pagi, kok." Gadis berperawakan kurus itu memberi alasan. "Memang berapa harga brokoli, Mbak," tanyaku pura-pura tidak tahu. "Dua puluh ribu, Mbak. Kemarin turun sekarang naik lagi," jawab mbak Wati apa adanya."Bukanya dua puluh lima?" tanyaku yang sukses membuat gadis itu terperanjat. Jangan main-main dengan Maryuni!"Siapa bilang, Mbak?" tanya mbak Wati kebingungan. "Teman kamu ini," ucapku menunjuk wanita yang kutahu bernama Desti tersebut. "Jangan menuduh, Mbak!" sentaknya. "Oh, ya! Lalu tadi siapa yang menjual brokoli seharga dua puluh lima ribu kepadaku tadi? Bukankah kamu yang melayaniku?" "Mbak itu siapa berani-beraninya memfitnah saya!" bentaknya tidak terima. "Wow! Ternyata ini karyawan baru yang beberapa hari yang lalu nangis-nangis minta di beri pekerjaan?" Suaraku tidak kalah lantang. Dia pikir aku akan takut dengan gertakkannya. Keributan kami mengundang para pengunjung pasar pagi itu penasaran. Akan tetapi, aku tidak peduli. Toh, orang ini sudah berbuat curang di tokoku. "Desti! Jangan kurang ajar kamu! Mulai sekarang kamu berhenti dari sini!" usir mbak Wati. "Mbak percaya sama dia! Tolong mbak jangan mudah percaya! Aku butuh pekerjaan ini," rengeknya seolah dia orang yang terdzolimi. "Iya, aku lebih percaya pada bos pemilik toko ini, di bandingkan dengan kamu. Orang yang t
Setelah menutup gerbang dan bersiap untuk membuka aplikasi Go Car, tiba-tiba saja ada orang yang menyiramkan air ke arahku dengan sengaja. "Sial!" Aku menoleh, ternyata Meri yang melakukan itu semua. Dasar manusia tidak punya tata krama."Itu ganjaran buat orang yang sudah merusak kebahagiaanku!" teriak Meri dari dalam gerbang. "Kebahagiaan apa? Kebahagiaan menipu saudara sendiri? Wow ... Ternyata ada orang yang bisa bahagia di atas penderitaan orang lain?" Segera aku kembali kedalam untuk berganti baju, untung saja ponsel di tangan masih aman. Kalau sampai rusak gara-gara kena air, aku pasti akan menuntut Meri. Belum saja menginjakkan kaki di teras, Meri menarik rambutku yang tergerai. "Dasar orang kampung! Sudah miskin bela gu! Sebelum kamu datang ke sini semua baik-baik saja! Tapi sekarang aku harus kehilangan kasih sayang mas Anjar!" teriak Meri kalap sambil menarik dan mencakar wajahku. Dengan sigap aku menarik tangan Meri dan segera menjatuhkannya ke tanah. Sebelum wajahk
"Siapa yang kuli? Dia bukan kuli! Dia itu pemilik semua ini!" Yaa Allah, Mbak Wati. Aku melotot ke arah mbak Wati. Untungnya Meri menghadap ke arahnya, jadi ketika aku memberi kode, Meri tidak melihat. "Maksudnya apa? Siapa pemilik semua ini?" tanya Meri seperti penasaran. "Em ... Itu ... Dia pemilik semua barang sampah ini. Jadi dia bukan kuli. Dia mengambil semua itu untuk tambah-tambah pemasukan," sanggah mbak Wati."Oh ... Aku kira dia pemilik toko ini. Duit dari mana? Hasil ngepet!" sindir Meri sambil berlalu.Aku bernapas lega. Jika tadi mbak Wati sampai membocorkan semua ini, alamat Meri akan berubah seratus delapan puluh derajat. "Kenapa, si, Mbak? Dia siapa?" tanya mbak Wati penasaran dengan kejadian barusan. "Dia iparku, Mbak. Pokoknya jangan sampai ada keluarga mas Anjar yang tau kalau toko ini milikku. Apa lagi perempuan tadi," jelasku.Kami kembali ke rutinitas semula, setelah menutup toko, Mbak Wati berpamitan untuk pulang. Sementara aku menuju warung nasi padang.
Maksudnya seperti mantan istrinya yang bagimana?Menajamkan pendengaran dan menjernihkan pikiran yang aku lakukan saat ini. Aku ingin mendengar apa saja yang ingin mereka bicarakan, bisa jadi di luar pikiranku."Kamu sabar dulu, jangan gegabah," lanjut mas Anjar."Makasih buat semuanya, ya, Mas." Meri beranjak lalu mencium pipi suamiku.Astagfirullah. Aku bersandar di dinding agar Meri tidak melihat keberadaanku. Kini jarak antara Meri dan mas Anjar sangat dekat, bahkan mas Anjar balik mencium kening Meri. Apa seperti ini yang mereka lakukan setiap kali aku tidak ada. Bukankah mereka saudara kandung? Yaa Allah, nyeri sekali dadaku. Kuputuskan untuk kembali ke kamar, sungguh kenyataan ini sangat menyakitkan. Kenapa mereka melakukan hal yang sangat menjijikan. Bahkan mereka melakukan selayaknya orang pacaran? Apakah hal ini yang membuat mas Anjar bercerai dengan istrinya? Kepalaku berdenyut nyeri memikirkan kemungkinan-kemungkinan di luar nalar. Tidak terasa tanggul yang sengaja da
"Maryuni, kamu dari mana?" Suara lembut itu membuatku menoleh ke sumber suara. Belum pernah aku bertemu dengan orang ini, tetapi dia bisa tahu namaku."Dia siapa?" batinku bermonolog.Perempuan berjilbab lebar itu mendekat, lalu mengulurkan tangannya menyapaku. "Hai, perkenalkan aku Naomi mantan istri Anjar," sapanya ramah.Sejenak aku tertegun dengan ucapannya barusan, dia adalah mantan istri mas Anjar? Apa tidak salah mas Anjar menceraikannya? Wanita ini sungguh terlihat luar biasa. Bukan hanya parasnya, tetapi tuturnya pun lembut tidak di buat-buat. "Kok, malah bengong," imbuhnya sambil tersenyum renyah. "Em ... Saya Maryuni, Mbak. Dari mana mbak tau kalau saya istri mas Anjar? 'Kan kita belum pernah bertemu sebelumnya?" tanyaku penasaran. "Bagaimana kalau kita istirahat sebentar di sana," ajaknya menuju sebuah warung kopi.Aku menurut saja, mengikuti langkahnya sedangkan aku menyalakan motor menuju warung itu. "Kopi guday karebian satu pake es, ya, Pak. Kamu mau minum apa,
Setelah menyerahkan tas, mas Anjar bergegas memasuki kamar kami, tetapi dia berpapasan dengan Meri. "Kamu sudah jadi masak, Mer?" Meri gelagapan mendapat pertanyaan dari mas Anjar. "Belum, Mas. Meri capek banget rasanya hari ini, jadi seharian hanya tiduran saja di kamar," jawab Meri. Aku tahu ucapannya itu hanya alibi saja, toh, tadi siang dia sedang bermain dengan sangat liar, jadi mungkin kelelahan. "Trus aku makan apa? Aku belum makan dari siang, kamu yang aku titipi malah nggak masak!" sungutnya."Aku bawa ayam goreng, apa mau?" tanyaku."Yang penting bisa segera makan, tolong siapkan, ya, Dek. Aku mau mandi dulu," pamitnya. Setelah mas Anjar masuk ke dalam kamar, aku membalas tatapan tajam Meri. "Kenapa kelelahan, ya? Berapa kali?" sindirku."Apa maksudmu!" bentak Meri seolah tidak terima. Aku menyusul mas Anjar memasuki kamar, lauk dan nasi yang aku bungkus sengaja kubawa sekalian ke kamar, agar Meri tidak ikut serta menikmatinya.Sembari menunggu mas Anjar selesai de
"Ada hal penting yang harus kita bicarakan, Dek!" teriak mbak Naomi seraya melambaikan tangan. "Oke!" Sebenarnya ada hal penting apa? Apakah mbak Naomi ingin menceritakan masa lalunya? Apakah menyangkut mas Anjar dengan Meri? Entahlah, Aku tidak mau menduga-duga dan membuat kepalaku nyeri karena kebanyakan mikir. Beberapa saat aku termenung, tetapi mengingat chat yang mencurigakan milik mas Anjar segera aku bangkit dan meneruskan langkah. Perumahan ini tidak terlalu jauh dari pasar, jadi aku tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai di tempat itu. Dengan mengendarai motor maticku sampailah aku di perumahan yang cukup mewah, bagiku tentunya, tetapi mungkin akan murah bagi kalangan orang berada. Setelah bertemu dengan salah satu satpam, aku bertanya perihal berapa saja harga perumahan yang ada di sini. Ternyata berbeda-beda, tetapi kisaran di atas empat ratus juta. Wow!Harga yang lumayan bagi kalangan sepertiku. Lalu aku bertanya tentang rumah bernomor dua belas, dengan sistem ap
"Dek, pulanglah! Tolong mama!" teriaknya mengagetkanku. "Mama kenapa, Mas?" Dadaku berdebar dan terasa nyeri. Takut terjadi sesuatu dengan mama. "Tolong pulang, sekarang," ucap mas Anjar lalu menutup sambungan telepon sepihak.Jelas aku sangat khawatir dengan keadaan mama saat ini, meski bagaimanapun aku pernah kehilangan seorang ibu, bahkan aku tahu rasanya jadi mas Anjar saat ini. "Pak, sebelumnya saya minta maaf, saya harus segera pulang. Mertua saya dalam keadaan tidak baik-baik saja," ucapku sembari mempersiapkan tas kecil serta ponselku agar tidak tertinggal. "Tidak apa-apa, Mbak. Lalu bagaimana dengan pencuri ini," tanyanya sembari menoleh ke arah Desti, sementara Desti layaknya pesakitan, terdiam membisu gerakknya terkunci oleh tatapan-tatapan intimidasi. "Mbak Wati, datang kerumahnya, lalu katakan semua kelakuan dia kepada keluarga tanpa ada satu apa pun yang di tutup-tutupi. Kalau dia menolak, saya akan meminta teman saya yang seorang polisi untuk mengunci pergerakannya