“Ya Ampun, Mami kan udah bilang bawa mobilnya tuh pelan-pelan. Belom juga ada satu jam kita pisah, ketemunya malah di kantor polisi!”
“Coba kamu jadi anak tuh nurut apa kata Mami, Nan. Dijamin hidup kamu bener, nggak kena azab kayak begini!”
“Udah tua loh kamu itu!”
Adnan harus rela mendengar caci-maki maminya. Wanita itu tidak tahu saja jika penyebab mengapa anak laki-lakinya sampai digelandang menuju kantor polisi setempat, tak lain disebabkan oleh calon menantu yang sangat diidam-idamkan olehnya.
“Mami, enough ya. Diliatin Pak Pol-nya tuh, Mam..” Ucap papi Adnan, mencoba menenangkan sang istri yang uring-uringan.
“Bela aja terus, Pi. Adnan ini mending nggak usah balik Indo kalau kerjaannya bikin kesel Mami aja..”
Adnan mengerjapkan kelopak mata. Padahal ia pulang ke tanah air sudah lama sekali, itu pun karena desakkan sang mami yang tak mengizinkannya menetap di Singapura.
“Cinta, Sayang. Kamu baik-baik aja kan? Nggak ada luka apa lecet kan, Sayang?!”
Cinta mengangguk, “nggak ada, Tante. Jantung Cinta doang aja yang rasanya kayak lagi diajak nikah sama Mas Adnan.”
Jika tadi karena maminya Adnan mengerjap, maka kali ini mata itu berotasi usai mendengar penuturan sekretarisnya.
Antik memang! Hanya Cinta seorang yang ketika berada di kantor polisi tetap percaya diri dalam melancarkan rayuan.
Adnan salut meski gemas juga.
“Cinta, ih!! Ya udah, kamu santet aja itu si Ara biar kamunya dinikahin Adnan.”
“Heh!” Pekik papi Adnan. “Di kantor polisi ini,” imbuhnya memperingati sang istri supaya tidak berkata yang tidak-tidak. Kalau sudah bersama Cinta, istrinya memang suka tidak tahu tempat. Lihat sendiri betapa percaya dirinya mulut wanita itu ketika merencanakan tindak kejahatan.
“Kris, kamu urus ya.. Mati cepet saya nanti kalau lama-lama disini.” Ucap papi Adnan, menyerahkan seluruh penyelesaian kepada salah satu pengacara keluarganya.
“Nan, Nan. Abis ini Cinta dianterin pulang aja. Nggak bagus kalau lanjut kerja sedangkan dia lagi shock gini.”
Adnan mengerutkan keningnya. Berbanding terbalik dengan kalimat yang maminya ucapkan, Adnan sama sekali tak melihat adanya tanda-tanda guncangan dalam diri sekretarisnya.
Perempuan itu terlihat seperti biasanya, masih energik dan butuh pertolongan peruqyah.
“Mas jangan liatin Cinta mulu dong. Cinta kan jadi salting ih..”
Nah, kan?! Adnan bilang juga apa. Cinta ini harus segera diruqyah supaya tidak menjadi hamba yang tersesat.
“Saya lihatnya ke papan dibelakang kamu, Cin. Kurang-kurangin ya PD-nya. Nanti kamu gila loh.”
Plak!!!
“Kurang ajar! Berani ya kamu jahatin Cinta di depan Mami?! Mau Mami coret bagian kamu?” Amuk Diah, menjadi pihak yang tidak terima jika Cinta dianiaya.
Mami Adnan lalu memeluk Cinta, meminta maaf atas kekurangajaran anaknya dan berharap Cinta tidak sakit hati atas perkataan putranya.
“Aman, Tante. Everything about Mas Adnan, Cinta tuh pasrah kok. Kalau mau dijadiin selingkuhan juga Cinta pasrah, hehehehe..”
Adnan menyerah. Ia lelah menghadapi modus Cinta. Stok sabarnya hari ini perlu diisi ulang lagi supaya still waras.
“Ayo..” karena tidak ingin terlalu lama merasakan pening, Adnan menarik lengan Cinta, menyeret gadis itu agar mereka segera meninggalkan kantor kepolisian.
“Aduh! Anak orang ditarik-tarik begitu, kalau hamil gimana?!”
Papi Adnan mendesah. “Ditariknya ke mobil kita, Mi. Bukan ke hotel. Anakmu aja masih nggak doyan sama si Cinta.”
Mendengar itu, kedua pundak mami Adnan pun berjengit.
“Hush! Harusnya Papi bilang amin dong biar Mami tuh cepet dapet cucu!”
“Hadeh! Nanti Papi kasih tau caranya kalau ngebet pengen dapet cucu cepet. Sekarang pulang dulu. Muka Papi udah longsor, nggak sanggup ketemu orang.”
Kedua orang tua Adnan pun menyusul langkah kaki anak mereka, meninggalkan pengacara keluarga yang tak dapat menahan rasa herannya.
“Tolong dimaklumi, Pak. Kedua klien saya dijodohkan tapi salah satunya sudah punya kekasih.”
“Itu kekasihnya?”
“Bukan, itu gadis yang dijodohkan dengan klien saya.”
“Oh, pantes nggak mau, orang anaknya begitu..”
Kris bergidik. Cinta memang cantik, tapi ya begitulah. Ia kalau jadi anak atasannya pun juga pasti menolak mentah-mentah.
Di pelataran kantor polisi, Cinta dan Adnan tengah memperdebatkan suatu hal yang menurut Bagas aneh. Bagas sendiri adalah supir pribadi yang ditugaskan untuk mengantar jemput mami Adnan.
Disana terlihat Adnan yang berjuang mati-matian dalam mempertahankan tutur katanya. Pria itu tampak memberikan pengertian dengan suara yang sangat lembut.
Kepada siapa?!
Pada siapa lagi kalau bukan sekretarisnya.
“Cinta, nggak bisa loh kita kita berdua di depan. Kursi joknya nggak akan cukup diduduki saya dan kamu sekaligus.”
“Bisa Mas Adnan. Di dunia ini nggak ada yang nggak bisa.”
Kepala Adnan seketika berdenyut. Jika ia yang katanya sabar saja bisa kesal, bagaimana para manusia yang tingkat kesabarannya setipis tisu?
Bisakah mereka menghadapi kekeraskepalaan sekretarisnya ini? Sepertinya sih tidak. Adnan sanksi kalau nyawa Cinta masih tetap selamat.
“Ya sudah. Sekarang kamu kasih tahu saja caranya.”
“Abis Cinta kasih tau, Mas Adnan nggak boleh nyuruh Cinta duduk belakang ya?”
“Ya kalau kamu nggak mau, biar saya yang duduk sama Mami-Papi.”
Cinta pun mencebik dengan bibir yang ia monyongkan setelahnya.
“Aduh!! Panas di luar, kenapa nggak masuk mobil, Cinta? Nanti kamu pusing loh.” Ujar mami Adnan, khawatir. Perempuan itu berlari sesaat setelah mengetahui keberadaan Cinta.
“Bentar, Tante. Cinta lagi ngajuin transaksi penting.”
“Eh, transaksi apa?” tanya mami Adnan, kepo.
“itu, Mas Adnan nggak percaya kalau kita berdua bisa duduk didepan bareng Mas Bagas..”
“Lah?! Emangnya bisa? Kan jadi sempit, Cin.”
“Bisa. Kan Mas Adnan pangku Cinta. Nggak bakalan sempit kan kalau kayak gitu?”
“Ngaco kamu!” sentak Adnan, meski nada suaranya tidak meninggi. “Sudah. Biar saya yang duduk dibelakang.”
Menyaksikan raut kecewa calon menantu kesayangannya, Diah pun melayangkan pukulan pada punggung bahu Adnan.
“Turutin aja kenapa, Nan! Nggak usah sok suci. Kamu kan juga pasti sering mangku si Ara. Giliran Cinta dong sekarang! Jadi laki-laki tuh harus adil, Adnan!”
“YA?”
Pusing nggak tuh Mas Adnannya, wkwkwk.
“O-iya loh. Mirip.” Samuel tak hentinya memandangi album foto berisikan potret bayi mungil yang tak lain adalah menantu perempuannya. Ia lalu menggeser pandangan, memindai kembali rupa cucu hasil pernikahan putranya dengan wanita itu. “Nggak ada bedanya sama sekali. Plek-ketiplek kayak yang Cinta bilang.” Plak! Gemas dengan keheranan suaminya, Diah pun melayangkan pukulan pada pundak pria paruh baya itu. “Apa sih, Pi? Masa baru percaya sekarang. Kita loh punya fotonya Cinta dari segala usia.” Tutur ibu kandung Adnan itu, memarahi Samuel yang baru bisa mempercayai penuturan mereka. Sudah dibilang Amora itu cetakannya Cinta. Tidak ada satupun bagian dari Cinta yang terlewat dalam proses terbentuknya rupa cucunya. “ini kali ya, yang dibilang kita punya 7 kembaran.” Diah melengos sedangkan Dimas, besannya— pria itu mengedikkan bahu. ‘Suka-Suka lo aja-lah, Sam.’ lontar Dimas, membatin. “Ckckckck! Niar banget loh sampe bawain foto bayi aku. Orang tuh nengok lahiran bawa makanan
Amora Anindya Wiyoko— nama itu Adnan ciptakan dengan mengingat sang istri dalam setiap pertimbangannya. Amora, suku pertama ini Adnan ambil dari kata amor yang jika diartikan kedalam bahasa Indonesia, akan merujuk pada nama wanita yang telah bertaruh nyawa untuk melahirkan putrinya. Sedangkan untuk Anindya, Adnan mengambilnya dari bahasa Sansekerta yang berartikan cantik. Paras ayu Cinta pasti akan menurun pada sang putri. Adnan berharap putrinya kelak dapat tumbuh rupawan seperti halnya istri yang ia kasihi. “Astaga.. Cinta banget mukanya. Padahal anak cewek loh.” Dan, yah! Harapan Adnan terkabul. Gen istrinya bekerja lebih banyak, membuat Adnan kini mempunyai miniatur wanita yang sangat dirinya cintai. “Bangun-bangun pingsan ini anaknya.” Mendengar celotehan ibu mertuanya, Adnan pun tak dapat menahan kekehannya. Semoga saja istrinya tidak berulah setelah sadar. “Aneh banget ya? Anak cewek loh. Kok malah lebih mirip mamanya daripada papanya.” Ucap Dimas, ikut heran sama se
“Simon gimana, Mas? Ada bales?” Adnan menggenggam erat telapak tangan Cinta. “Sayang.. Nggak usah mikirin Simon dulu ya.” Ia lalu meminta agar sang istri fokus pada persalinannya saja. Bagaimanapun juga, ketidakhadiran istrinya dalam pernikahan pria itu berada diluar kendali manusia. Absennya Cinta disebabkan oleh perihal yang tidak dapat diganggu gugat oleh seorang makhluk. Sungguh, ini benar-benar diluar kuasa mereka. “Iya, Cin. Bunda juga udah minta maaf ke maminya Simon. Kamu tenang aja. Simon pasti ngerti.” Ucap Nirmala, membelai kepala putrinya. Dini hari menjelang subuh, sahabatnya menelepon, mengabarkan jika Cinta mengalami kontraksi hebat. Setelah dilarikan ke rumah sakit ibu dan anak di daerah Kemang, dalam perjalanannya menyusul sang putri, ia mendapatkan kabar bila Cinta sudah mengalami pecah ketuban. Saat itulah, ditengah kepanikannya, ia menghubungi mami Simon. “Sakit, Mas.” “Sabar ya, Sayang. Kamu.. Kamu mau operasi aja?” tanya Adnan, semakin tak tega melihat sang i
“Bun, shopping yuk.” Ajak Cinta, tiba-tiba.Mendengar itu, Nirmala pun menghentikan aktivitas menyulam yang sedang ia kerjakan. Ia menatap sang putri, lalu bertanya, “mau belanja apa?” Saat putri dan menantunya berkunjung bersama suaminya, ibunda Cinta itu tengah mengisi waktu luangnya dengan menciptakan sebuah karya yang nantinya akan ia jadikan sebagai hadiah kelahiran cucu pertamanya.“Emang kalau shopping harus udah ada yang mau dibeli dulu ya?”“Ya, iya dong. Kocak ini anak. Kalau nggak ada yang mau dibeli, ngapain kamu ngajakin Bunda belanja?”“Astaga, Bun. Konsep dari mana itu? Nggak mesti ya! yang penting pergi aja dulu. Ntar juga pasti ada yang pengen dibeli.”Nirmala pun berdecak dan decakkannya itu membuat Cinta kembali berkata-kata.“Please, Bun. Jangan pelit-pelit banget sama diri sendiri. Suami Bunda loh banyak duit. Matanya dimanjain. Kalau nemu barang bagus, bungkus. Shopping diluar kebutuhan nggak akan bikin Bunda miskin kok.”Nirmala menggelengkan kepala, tak habis p
Keributan yang disebabkan oleh Cinta di dalam showroom milik sang ayah dapat teratasi dengan cepat setelah Dimas mendatangkan relasinya bersama datangnya satu unit motor bebek keluaran terbaru ke hadapan si ibu hamil. “Kalau ini dijamin Ibunya bisa naikin.” Seloroh Dimas, menepuk bagian kepala motor yang didatangkannya.Tahu bahwa ayahnya kesal, Cinta pun meringis. “Hehe..” Ia menunjukkan deretan gigi putihnya. Memasang ekspresi bersalah yang dibalut dengan cengiran manisnya. Ia kan hanya ingin berbuat baik. Berhubung ayahnya mempunyai bisnis jual-beli kendaraan, situasi itu hendak ia manfaatkan agar dirinya tak perlu keluar uang.“Moge yang tadi keren loh padahal. Ibu beneran nggak mau?” tanya Cinta untuk memastikan apakah si ibu benar-benar tidak berminat dengan motor yang ia pilihkan.Sedikit ngeyel nggak ngaruh kan? Toh keluarga ayahnya tidak akan jatuh miskin hanya karena menghibahkan sebuah motor.“Nggak, Non. Bahaya. Selain saya nggak bisa naikinnya, di lingkungan saya pasti r
Kata siapa menjadi istri pria kaya akan menghindarkan kita dari berbagai masalah? Siapa yang bilang, hah?!Sebagai istri pria keyong-reyong yang nantinya akan mewarisi kerajaan bisnis papi mertuanya, Cinta dengan sungguh menolak keras statement menyesatkan kaum materialistis itu.Para wanita yang memiliki pemikiran sesempit itu, Cinta yakin mereka hanya hidup di dalam angan-angan indah belaka. Mereka jelas merupakan kaum-kaum pengkhayal yang tak melibatkan unsur kelogisan ke dalam cara berpikirnya.Mana ada kaya sama dengan bebas masalah. Tidak seperti itu, Suketi! Karena yang namanya masalah pasti tidak memandang kasta. Akan tiba masanya dia datang tanpa membawa surat undangan. Seperti sekarang contohnya.“Hiks, itu orangnya mati nggak, Pak?” Cinta bertanya dengan tangis sesenggukannya.Secara tidak sengaja ia terlibat dengan kecelakaan ketika hendak menyusul Adnan. Sejak meninggalkan kediaman orang tua suaminya, ia tidak pernah menyusun planning untuk menabrak pengendara lain di jal