Share

MAU KAN, JADI MAMA DIRA?
MAU KAN, JADI MAMA DIRA?
Author: Olia Safitri

BAB 1 : AKU BELUM MENIKAH!

“Aku belum menikah!”

Maya menatap nyalang Bisma. Wanita dengan blouse biru muda itu sudah sampai puncak. Selain ketenangan yang telah dirampas orang-orang kantin yang bising, seorang anak kisaran lima tahunan telah mengguncang hidupnya.

“Terus itu apa?” Bisma menunjuk anak kecil itu dengan dagu. “Mukanya mirip banget sama kamu, May!”

“Mama?" ucap anak kecil itu, lalu memandangi wanita di sebelahnya.

“Tuh, sampai manggil kamu mama, May." Bisma mencari pembenaran.

Maya mengangkat kedua alis. Anak kecil itu tadinya tersesat dan tidak sengaja bertemu Maya. Oleh karena khawatir kenapa-kenapa, Maya membawanya ke kantin. Kebetulan di sana bertemu dengan Bisma dan berhasil mengacaukan makan laki-laki itu.

“Dik, coba sebut lagi. Kamu tadi manggil tante ini apa?” Bisma kembali menunjuk Maya dengan dagu.

Si objek pembicaraan mendesis. Sewot. "Sembarang banget, sih! Orang masih awet muda gini dibilang tante-tante!”

Bisma tidak peduli. Dia kembali bertanya, “coba bilang, Dek. Tadi manggil apa?”

“Mama!” katanya riang.

“Tuh!”

Maya melambaikan tangan di udara, menatap anak kecil itu dengan wajah bingung. “Salah, Dek. Saya bukan mama kamu.”

Anak kecil itu menggeleng. “Mama!”

Maya tetap pada pendiriannya. “Adek salah orang. Saya bukan mama kamu.”

“Kapan kamu nikah, May?” Belum habis perkara dengan si anak kecil, Bisma kembali berulah. Mendapat delikan tajam dari Maya.

“Jaga mulut kamu, Bis! Kamu sendiri tahu kalau aku single!”

Yah, itu benar. Kalau pun Maya sudah menikah, tidak mungkin di KTP-nya tertera status belum kawin. Tapi bisa saja ‘kan Maya kawin lebih dulu?

Bisma menggaruk kepala yang tak gatal. Dia ingin bertanya, tapi urung. Maya sudah memelototinya lebih dulu.

“Mama, Dila kangen mama.” Mata anak itu seperti menyerbu Maya untuk balas menatapnya.

Maya tengah sibuk mengawasi sekitar. Dia berharap ada yang datang mencari anak ini. “Bis, telponin pihak sekolah dong. Gak mungkin sekolah kita bisa kemasukan orang dari luar kalo gak berkepentingan. Mungkin anak dari salah satu wali murid.”

“Oke,” balas Bisma sekenanya, lalu mengambil ponsel yang berada di meja.

Sekali lagi, sebelum menelpon penjaga sekolah, Bisma memperhatikan si anak kecil dan Maya bergantian. “Serius bukan anakmu, May?”

“Apa sih, Bis?” Maya berujar tak sabar. Kalau saja tidak terhalang meja, sudah habis laki-laki yang lebih muda darinya itu kena jitak.

Bisma berkata hati-hati. “Ya, aku cuma mau memastikan. Mukamu sama anak ini bisa dibilang mendekati seratus persen tau gak.”

“Ngaco kamu!” Maya menampaki anak kecil itu. Sebenarnya dalam hati, Maya juga mengakuinya. Maya seperti berkaca pada dirinya sendiri di waktu kecil.

Bisma mengusap leher, merasa tak nyaman atas chemistry yang menguar di antara Maya dan anak kecil itu. Mereka saling bertatapan dan sukses membuat Bisma bergidik. Segera saja dia menelpon penjaga sekolah untuk mengalihkan perhatian.

Bel berbunyi tak lama kemudian dan semua siswa berhamburan keluar. Tinggal Maya, Bisma, si anak kecil, dan petugas kebersihan yang duduk di ujung kantin.

“Mama …” Anak kecil itu menarik ujung blouse Maya. Matanya berbinar.

Astaga. Maya mengerjap mendengarnya. Jangan-jangan dia telah melewatkan kejadian-kejadian besar dalam hidup? Bagaimana jika anak ini memang anaknya?! Maya menggeleng cepat. Lekas menyingkirkan pemikiran konyol tersebut.

“Mama ….”

Apakah anak ini sedang iseng? Pikir Maya.

“Mama?”

Maya mengusap lehernya yang tegang. Memilih untuk tidak mempedulikan anak kecil itu.

“Apa katanya, Bis?” tanyanya sesudah Bisma mengakhiri telepon.

“Kita tunggu di sini. Nanti mereka yang akan ke sini, May.”

Raut lega tidak bisa disembunyikan dari wanita itu. “Tenang, ya, Dek. Sebentar lagi ada yang menjemput kamu.”

Bisma melanjutkan bicaranya selepas menenggak habis jus jeruk yang sebelumnya dipesan. “Ternyata dia anak kepala yayasan kita yang baru.”

Maya memanggutkan kepala. Berita itu memang menjadi trending di grup guru, tapi Maya tak acuh. Baginya pergantian pemimpin tidak akan membawa perubahan yang berarti banyak dalam hidupnya.

“O, ya, kamu mau apa?” Maya melirik anak kecil yang terus mengayunkan kaki itu. “Biar kakak yang traktir kamu.”

“Pffft …!” Bisma hampir tergelak ketika Maya menyebut dirinya demikian.

“Eh, nama kamu siapa, sih, Dik?” Kali ini dilontarkan pada anak kecil yang tidak mereka ketahui namanya itu.

“Dila!” jawabnya penuh semangat.

“Dila?” Maya mengulang.

Anak kecil itu menggeleng. “Dila!” ucapnya lebih keras.

Bisma mengernyit. Memikirkan sesuatu. “Jangan-jangan Dira, ya?”

Akhirnya anak kecil itu mengangguk. “Dila!”

Maya menatap guru PPKn di depannya itu. Menunjukkan gelagat bangga atas keberhasilan menebak nama. “Wuu … keren.”

Bisma memutar mata, berlagak menaikkan kerah kemeja. “Ah, biasa aja.”

“Mama, Dila mau susu pisang.” Anak kecil bernama Dira itu kembali menarik ujung blouse Maya.

Alih-alih menanggapi keinginannya, Maya lebih ingin tahu kenapa Dira memanggilnya ‘mama’.

Maya berdeham untuk menetralisir rasa gugup, barangkali benar spekulasinya di awal tentang kejadian besar yang terlewat dalam hidup.

“Dira, kenapa, sih, manggil Kakak, mama?”

Bisma ikut menantikan jawaban Dira. Jantungnya berdegup tak karuan karena Maya dan anak itu sama-sama memiliki alis rapi alami, hidung yang tak terlalu mancung, dan bentuk wajah bulat.

“Kalena mama ‘kan, mamanya Dila!” Anak kecil itu berkata penuh semangat. Jawaban yang tidak diharapkan Maya dan Bisma.

“Ayo, Mama, Dila mau susu pisang,” katanya lagi.

Selanjutnya karena terus mendapat desakan mengenai apa itu susu pisang, Maya memutar otak lebih keras. Perbedaan waktu yang jauh antara Dira dan dirinya membuat Maya tidak mengetahui trend yang ada saat ini.

“Susu pisang apa, sih, Bis?” Maya menyerah.

“Minuman, mungkin? Semacam perisa rasa susu pisang.” Bisma membalas.

“Oh.” Maya turun dari kursi panjang, lalu mengulurkan tangan di depan Dira. Turut melupakan keingintahuan sebelumnya. “Ayok, Dira. Biar kita cek di freezer.”

Dira menyambut dan tersenyum. “Ayok, Mama.”

Maya tersenyum lebih lebar. Dia melakukan ini untuk cari muka di hadapan kepala yayasan nanti. Siapa tahu ‘kan kebaikannya dibayar sepuluh kali lipat harga susu pisang atau mungkin gajinya dinaikkan?

Sebelum sempat mereka sampai di freezer, Dira malah berlari keluar kantin. Tidak ingin lading cuannya menghilang, Maya mengejar.

“Dira, jangan lari-lari!”

Maya segera menghentikan langkah ketika anak kecil itu memeluk kaki seseorang. Semua tiba-tiba sepi di dalam kepalanya.

Tatapan tajam menyapa manik coklat terang wanita itu. Gemuruh hebat telah terjadi di dalamnya dadanya. Sebentar lagi badai akan turun!

Bisma yang kini berdiri di samping wanita itu menampaki seseorang dengan setelan jas mahal. Orang itu berjongkok untuk mensejajari tinggi Dira.

“Ayah, itu Mama!” kata Dira sambil menunjuki Maya.

Orang yang dipanggilnya ayah itu mengikuti arah padang Dira. Ada senyum tipis yang membayang di wajah tampan milik laki-laki itu.

Dibawanya Dira dalam gendongan.

Kepala sekolah yang baru saja tiba mengelus dada. Peluh sebiji jagung membasahi pelipis laki-laki beruban itu. “Syukurlah kalau Nak Dira sudah ditemukan!”

Tidak ada sahutan dari laki-laki berjas mahal itu. Dia mendekat ke arah Maya yang bergeming. Berdiri dengan jarak dekat. Menciptakan ketegangan yang tidak terbendung.

“Halo, Lia. Kita bertemu lagi.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status