“Aku belum menikah!”
Maya menatap nyalang Bisma. Wanita dengan blouse biru muda itu sudah sampai puncak. Selain ketenangan yang telah dirampas orang-orang kantin yang bising, seorang anak kisaran lima tahunan telah mengguncang hidupnya.“Terus itu apa?” Bisma menunjuk anak kecil itu dengan dagu. “Mukanya mirip banget sama kamu, May!”“Mama?" ucap anak kecil itu, lalu memandangi wanita di sebelahnya.“Tuh, sampai manggil kamu mama, May." Bisma mencari pembenaran.Maya mengangkat kedua alis. Anak kecil itu tadinya tersesat dan tidak sengaja bertemu Maya. Oleh karena khawatir kenapa-kenapa, Maya membawanya ke kantin. Kebetulan di sana bertemu dengan Bisma dan berhasil mengacaukan makan laki-laki itu.“Dik, coba sebut lagi. Kamu tadi manggil tante ini apa?” Bisma kembali menunjuk Maya dengan dagu.Si objek pembicaraan mendesis. Sewot. "Sembarang banget, sih! Orang masih awet muda gini dibilang tante-tante!”Bisma tidak peduli. Dia kembali bertanya, “coba bilang, Dek. Tadi manggil apa?”“Mama!” katanya riang.“Tuh!”Maya melambaikan tangan di udara, menatap anak kecil itu dengan wajah bingung. “Salah, Dek. Saya bukan mama kamu.”Anak kecil itu menggeleng. “Mama!”Maya tetap pada pendiriannya. “Adek salah orang. Saya bukan mama kamu.”“Kapan kamu nikah, May?” Belum habis perkara dengan si anak kecil, Bisma kembali berulah. Mendapat delikan tajam dari Maya.“Jaga mulut kamu, Bis! Kamu sendiri tahu kalau aku single!”Yah, itu benar. Kalau pun Maya sudah menikah, tidak mungkin di KTP-nya tertera status belum kawin. Tapi bisa saja ‘kan Maya kawin lebih dulu?Bisma menggaruk kepala yang tak gatal. Dia ingin bertanya, tapi urung. Maya sudah memelototinya lebih dulu.“Mama, Dila kangen mama.” Mata anak itu seperti menyerbu Maya untuk balas menatapnya.Maya tengah sibuk mengawasi sekitar. Dia berharap ada yang datang mencari anak ini. “Bis, telponin pihak sekolah dong. Gak mungkin sekolah kita bisa kemasukan orang dari luar kalo gak berkepentingan. Mungkin anak dari salah satu wali murid.”“Oke,” balas Bisma sekenanya, lalu mengambil ponsel yang berada di meja.Sekali lagi, sebelum menelpon penjaga sekolah, Bisma memperhatikan si anak kecil dan Maya bergantian. “Serius bukan anakmu, May?”“Apa sih, Bis?” Maya berujar tak sabar. Kalau saja tidak terhalang meja, sudah habis laki-laki yang lebih muda darinya itu kena jitak.Bisma berkata hati-hati. “Ya, aku cuma mau memastikan. Mukamu sama anak ini bisa dibilang mendekati seratus persen tau gak.”“Ngaco kamu!” Maya menampaki anak kecil itu. Sebenarnya dalam hati, Maya juga mengakuinya. Maya seperti berkaca pada dirinya sendiri di waktu kecil.Bisma mengusap leher, merasa tak nyaman atas chemistry yang menguar di antara Maya dan anak kecil itu. Mereka saling bertatapan dan sukses membuat Bisma bergidik. Segera saja dia menelpon penjaga sekolah untuk mengalihkan perhatian.Bel berbunyi tak lama kemudian dan semua siswa berhamburan keluar. Tinggal Maya, Bisma, si anak kecil, dan petugas kebersihan yang duduk di ujung kantin.“Mama …” Anak kecil itu menarik ujung blouse Maya. Matanya berbinar.Astaga. Maya mengerjap mendengarnya. Jangan-jangan dia telah melewatkan kejadian-kejadian besar dalam hidup? Bagaimana jika anak ini memang anaknya?! Maya menggeleng cepat. Lekas menyingkirkan pemikiran konyol tersebut.“Mama ….”Apakah anak ini sedang iseng? Pikir Maya.“Mama?”Maya mengusap lehernya yang tegang. Memilih untuk tidak mempedulikan anak kecil itu.“Apa katanya, Bis?” tanyanya sesudah Bisma mengakhiri telepon.“Kita tunggu di sini. Nanti mereka yang akan ke sini, May.”Raut lega tidak bisa disembunyikan dari wanita itu. “Tenang, ya, Dek. Sebentar lagi ada yang menjemput kamu.”Bisma melanjutkan bicaranya selepas menenggak habis jus jeruk yang sebelumnya dipesan. “Ternyata dia anak kepala yayasan kita yang baru.”Maya memanggutkan kepala. Berita itu memang menjadi trending di grup guru, tapi Maya tak acuh. Baginya pergantian pemimpin tidak akan membawa perubahan yang berarti banyak dalam hidupnya.“O, ya, kamu mau apa?” Maya melirik anak kecil yang terus mengayunkan kaki itu. “Biar kakak yang traktir kamu.”“Pffft …!” Bisma hampir tergelak ketika Maya menyebut dirinya demikian.“Eh, nama kamu siapa, sih, Dik?” Kali ini dilontarkan pada anak kecil yang tidak mereka ketahui namanya itu.“Dila!” jawabnya penuh semangat.“Dila?” Maya mengulang.Anak kecil itu menggeleng. “Dila!” ucapnya lebih keras.Bisma mengernyit. Memikirkan sesuatu. “Jangan-jangan Dira, ya?”Akhirnya anak kecil itu mengangguk. “Dila!”Maya menatap guru PPKn di depannya itu. Menunjukkan gelagat bangga atas keberhasilan menebak nama. “Wuu … keren.”Bisma memutar mata, berlagak menaikkan kerah kemeja. “Ah, biasa aja.”“Mama, Dila mau susu pisang.” Anak kecil bernama Dira itu kembali menarik ujung blouse Maya.Alih-alih menanggapi keinginannya, Maya lebih ingin tahu kenapa Dira memanggilnya ‘mama’.Maya berdeham untuk menetralisir rasa gugup, barangkali benar spekulasinya di awal tentang kejadian besar yang terlewat dalam hidup.“Dira, kenapa, sih, manggil Kakak, mama?”Bisma ikut menantikan jawaban Dira. Jantungnya berdegup tak karuan karena Maya dan anak itu sama-sama memiliki alis rapi alami, hidung yang tak terlalu mancung, dan bentuk wajah bulat.“Kalena mama ‘kan, mamanya Dila!” Anak kecil itu berkata penuh semangat. Jawaban yang tidak diharapkan Maya dan Bisma.“Ayo, Mama, Dila mau susu pisang,” katanya lagi.Selanjutnya karena terus mendapat desakan mengenai apa itu susu pisang, Maya memutar otak lebih keras. Perbedaan waktu yang jauh antara Dira dan dirinya membuat Maya tidak mengetahui trend yang ada saat ini.“Susu pisang apa, sih, Bis?” Maya menyerah.“Minuman, mungkin? Semacam perisa rasa susu pisang.” Bisma membalas.“Oh.” Maya turun dari kursi panjang, lalu mengulurkan tangan di depan Dira. Turut melupakan keingintahuan sebelumnya. “Ayok, Dira. Biar kita cek di freezer.”Dira menyambut dan tersenyum. “Ayok, Mama.”Maya tersenyum lebih lebar. Dia melakukan ini untuk cari muka di hadapan kepala yayasan nanti. Siapa tahu ‘kan kebaikannya dibayar sepuluh kali lipat harga susu pisang atau mungkin gajinya dinaikkan?Sebelum sempat mereka sampai di freezer, Dira malah berlari keluar kantin. Tidak ingin lading cuannya menghilang, Maya mengejar.“Dira, jangan lari-lari!”Maya segera menghentikan langkah ketika anak kecil itu memeluk kaki seseorang. Semua tiba-tiba sepi di dalam kepalanya.Tatapan tajam menyapa manik coklat terang wanita itu. Gemuruh hebat telah terjadi di dalamnya dadanya. Sebentar lagi badai akan turun!Bisma yang kini berdiri di samping wanita itu menampaki seseorang dengan setelan jas mahal. Orang itu berjongkok untuk mensejajari tinggi Dira.“Ayah, itu Mama!” kata Dira sambil menunjuki Maya.Orang yang dipanggilnya ayah itu mengikuti arah padang Dira. Ada senyum tipis yang membayang di wajah tampan milik laki-laki itu.Dibawanya Dira dalam gendongan.Kepala sekolah yang baru saja tiba mengelus dada. Peluh sebiji jagung membasahi pelipis laki-laki beruban itu. “Syukurlah kalau Nak Dira sudah ditemukan!”Tidak ada sahutan dari laki-laki berjas mahal itu. Dia mendekat ke arah Maya yang bergeming. Berdiri dengan jarak dekat. Menciptakan ketegangan yang tidak terbendung.“Halo, Lia. Kita bertemu lagi.”[Sebenarnya selama ini aku suka kamu, May.]Bisma memijat pelipisnya yang berdenyut. Tangannya tertahan untuk mengirimkan pesan itu pada Maya. Pikirannya berkecamuk hebat. Jika dia tidak mengatakannya sekarang, bisa jadi Angga yang lebih dahulu memiliki Maya.Bisma tidak ingin membiarkan hal itu terjadi. Sudah cukup bagi Bisma menahan rasa sakit yang terus-terusan menjarah jiwanya. Dia akan mengatakannya sekarang.Satu pesan masuk sebelum laki-laki itu sempat menekan tanda pesawat.***Maya dapat merasakan tatapan tak bersahabat Angga. Laki-laki itu melipat tangannya sambil mengernyit dalam-dalam.“Kamu sedang apa dengan Bisma?” tanyanya penuh intimidasi. Seketika otak Maya dibayangi kata-kata bahwa laki-laki itu sedang cemburu.Oh, astaga. Mereka bukan remaja kasmaran lagi padahal.“Cuma ngobrol biasa, kok.” Maya tidak ingin memperkeruh suasana. Dia ingin mengakhiri obrolan itu sebelum menjalar ke banyak hal. “Ayo kita pulang. Kamu bisa jalan sendiri atau harus dibantu?”Angga menghe
“Coba jelasin ke aku. Kok bisa gini?”Maya mengamati memar di lutut kanan Angga. Wanita itu sebenarnya sudah tahu apa yang menyebabkan memar Angga semakin parah. Namun, dia ingin Angga yang menjelaskannya sendiri.Angga mengangkat bahu tak tahu. “Saya tidak tahu kenapa memar begitu. Sepertinya tiba-tiba muncul.”Maya mendengkus. Wanita itu berpikir Angga hanya berpura-pura padanya. Padahal kenyataannya Angga memang benar tidak ingat.Tidak lama kemudian dokter sekolah –Bu Susi masuk ke ruangan. Perawakannya agak kurus dengan setelan jas putih. Tangannya membawa nampan berisi mangkok, saputangan, gorengan, dua botol air, dan juga obat-obatan.Bu Susi meletakkan nampan di atas nakas. Sebelumnya wanita paruh baya itu sudah memeriksa memar yang dimiliki Angga.“Memarnya tinggal dikompres aja, Bu Maya. Saya juga bawakan obat paracetamol dan ampicillin untuk diminum Pak Angga,” ucap dokter sekolah yang umurnya tidak lagi muda itu. Wajahnya dihiasi senyum tipis. “Kalau begitu saya tinggal sa
“Kamu ngapain di sini?!”Maya kaget bukan main. Wanita itu sampai melongo. Di sampingnya sudah ada Angga dengan setelan pakaian olahraga.“Saya mau ikut lomba, memangnya tidak boleh?” ucap Angga tanpa melirik Maya sedikit pun.“Bukannya gak boleh. Kalo itu, sih, terserah kamu. Tapi kenapa tiba-tiba banget?” Maya melipat tangan, menatap Angga penuh tanda tanya. “Lagian aku ‘kan udah bilang bakalan main sama Bisma.” Angga menghela napas dalam. Kali ini mereka saling bersitatap. “Apa kamu tidak mengerti mengapa saya sampai melakukan ini, Lia?”“Apa?” Maya semakin menantang tatapan itu lebih jauh, menelisik jawaban di mata laki-laki itu.Angga mengalihkan pandangan, lurus kehadapan. Ditatap demikian oleh Maya membuat debar jantungnya tak nyaman. Laki-laki itu berucap dengan tegas. “Saya cemburu. Puas kamu?”Maya terdiam. Tidak tahu harus bereaksi apa. Yang pasti, jantungnya berdebar akibat pernyataan blak-blakan itu.Angga pergi ke panitia, meminta tali pengikat. Tanpa meminta persetujua
“Wah, kalo masalah itu saya gak ikut campur, deh.”Salsa melihat Dira yang tadinya sudah berada di sekolah kembali lagi menuju parkiran. Sebelum sempat anak kecil itu berdiri di antara dua orang dewasa yang ribut masalah lomba, atau sebenarnya cinta, Salsa lebih dahulu menjauhkan Dira.“Dira sayang, ayok kita ke kantor. Mama sama ayah kamu lagi ada yang dibicarain sebentar. Kita gak boleh ikut campur masalah mereka, oke?” kata Salsa pada anak kecil itu, sedangkan Angga dan Maya saling diam."Kenapa Dila gak boleh ikut?" Salsa memutar otak, tapi tidak juga menemukan alasan yang tepat. "Pokoknya kita gak boleh ikut campur, Dira. Kita masuk lagi ke sekolah, ya?"Dira menurut saja ketika Salsa memegang tangan dan membawanya pergi. Kelegaan menyeruak dalam diri Salsa karena berhasil menyelamatkan Dira dari situasi yang benar-benar tidak terduga ini.“Kamu mengerti atau tidak perasaan saya, Lia?” Angga mengulang perkataannya.Suara berat itu menyapu pendengaran hingga dada Maya berdesir ha
“Angga kenapa, sih?”Maya mengamati buket mawar di tangannya. Selesai makan tadi, Angga langsung kembali ke kantornya. Laki-laki itu juga tidak berbicara sepatah kata apapun, sehingga membuat Maya semakin bingung.Bunyi notifikasi di ponsel Maya sejak tadi tidak berhenti. Maya meletakkan buketnya di meja rias, kemudian menilik apa yang sedang hangat dibicarakan oleh orang-orang di grup guru. Ternyata tidak lain dan tidak bukan mengenai lomba yang akan dilaksanakan besok.Maya hanya menyimak, tidak berminat untuk bergabung. Seperti biasa Salsa yang paling banyak bersuara di sana.Lalu satu notifikasi dari pengirim pesan yang lain masuk ke ponsel Maya.Bisma pengirimnya.[May, besok kamu ikut lomba apa?] tanyanya.Maya mengetik apa adanya. [Belum tau, sih. Liat besok aja. Emang lombanya ada apa aja?]Tidak lama setelahnya Bisma mengirimkan susunan acara yang dilaksanakan besok. Agenda terakhir di jadwal adalah lomba-lomba yang dilakukan oleh siswa dan guru seperti tarik tambang, balap k
“Kesambet, Pak?!” Han harap-harap cemas dengan keadaan Angga yang jauh dari kebiasaan. Laki-laki itu sudah bersiap memanggil dukun seandainya Angga memang tidak bisa diselamatkan. Sejak tadi atasannya tidak berhenti tersenyum dan tertawa sendiri. Han sadar tidak termasuk dalam fokus Angga. Tahu tidak dipedulikan, Han yang tadinya agak takut mendekat lekas berdiri di samping Angga dan menaruh dokumen secara sembarang di meja. Laki-laki itu memberanikan diri untuk mengguncang tubuh atasannya. “Pak Angga jangan gila!” “HAANN!” Angga menyorot dengan marah. “Apa yang kamu lakuin ke saya?!” Han mundur beberapa langkah, takut diamuki. “Ya saya kira Bapak lagi kesurupan. Salah siapa senyum-senyum sendiri kayak orang gak waras.” Angga membenarkan jasnya, lalu menghela napas dalam. Ungkapan cinta Maya telah menghinoptis membuat Angga tidak bisa berhenti memikirkannya. Meski masih diperhatikan oleh Han, Angga bersikap untuk tidak peduli. Laki-laki itu memilih menghadapi laptop dan memilih