"Dila bisa sendili, Ayah."
Anak kecil itu menarik sendiri koper kecilnya dan menolak dibantu. Langkahnya terkesan ringan, berbanding terbalik dengan sang ayah yang tampak mengintimidasi.Laki-laki dengan setelan jas mahal itu baru saja melakukan penerbangan bersama seorang anak perempuan.Bisa dibilang keduanya adalah perpaduan timpang. Anak kecil bernama Dira itu sosok ceria, sedangkan ayahnya dipenuhi raut keras dan arogan.“Han, kami sudah tiba.” Laki-laki itu berbicara lewat telepon.Fokusnya terbagi karena Dira tertinggal lumayan jauh di belakang. Dijauhkannya ponsel beberapa detik, lalu menoleh. “Dira, perhatikan jalanmu.”“Baik, Ayah.” Dira segera mempercepat langkah dan berjalan mendahului sang ayah.Angga memasukkan ponsel ke saku celananya yang mengilap, baru selesai melakukan panggilan. Laki-laki itu telah menghubungi direktur PT. Maheswari tentang kepindahnnya ke Kalimantan.Sebuah rumah elite siap dihuni. Atas permintaan Angga, letaknya akan berdekatan dengan sekolah yayasan yang dikelola keluarga dan perusahaan miliknya.PT. Maheswari merupakan perusahaan yang bergerak di bidang agribisnis dan industri sebagai pemasok Bahan Bakar Nabati jenis biodesel. Angga adalah pendiri sekaligus CEO di perusahannya itu.“Bagaimana perjalanannya tadi, Dira?” tanya seorang laki-laki berambut keriting dengan kacamata yang menggantung di hidungnya yang mancung.“Dila suka naik pesawat!”Binar kebahagiaan tidak dapat terbendung dari mata anak kecil itu. Suasana di dalam mobil sedikit mencair dari sikap dingin yang ditunjukkan Angga.“Kamarmu cantik, Dira. Tadi Mas Han sudah liat. Dindingnya warna ungu dan ada banyak boneka. Nanti kita main bersama, boleh?” Han menampaki Dira dari kaca spion. Tapi yang dilihatnya malah sang bapak yang menatap sinis.“Asiiiik …!” Dira semakin senang. "Dila mau!"“Fokus dengan kerjaanmu saja, Han.” Angga berujar. Sekilas menatap ke luar jendela yang mulai dituruni gerimis.Han mengatupkan bibir. Dia hanya ingin memberikan kesan yang baik pada anak atasannya itu. Siapa tahu ‘kan gajinya ikut membaik."Baik, Pak." Han menundukkan kepala beberapa saat sebelum mengingat sesuatu.“O, iya, Pak. Saya sudah carikan informasi yang Bapak minta.” Han menyerahkan map biru yang sejak awal berada di kursi sebelahnya.Angga menerima dan membuka map. Mata dengan tatapan menelisik dibingkai tulang pipi tegas itu segera membaca dengan saksama.“Maya Amalia. 33 tahun. Guru Biologi.” Angga terus memperhatikan. Dahinya mengernyit dalam. “Saya sudah baca resume ini sebelumnya. Tapi ada apa dengan tempat tinggalnya yang lama?”Han meneguk ludah susah payah. Mulai mengingat-ingat hasil investigasi mendalamnya pada sosok yang dicari sang atasan. “Oh, itu karena rumah dan toko mereka kebakaran, Pak. Makanya Ibu Maya dan keluarganya pindah.”Angga menghela napas, lalu menyandarkan diri ke kursi. Laki-laki itu menutup map birunya. Bertanya-tanya, apa saja ‘kah yang telah terjadi pada kehidupan wanita itu?Dira yang sibuk membaca buku anak tentang cantiknya sosok ibu, mengalihkan perhatian pada map biru sang ayah. Tanpa menunggu persetujuan, Dira mengambilnya dan meneliti tiap kata yang ada di sana.Dira memelototkan mata. Mulutnya menganga. “Ayah! Ini mama Dila ‘kan?”Han memasang telinganya lebih intens.Angga mengusap lembut kepala Dira. Mengangguk.Dira tidak percaya.“Ini mama, Yah?” tanyanya takjub. "Mama Dila cantik, Yah!"Angga mengangguk lagi. Han melongo. Ada apa sebenarnya?“Yeey!” Senyum Dira tidak terbendung. “Kapan Dila bisa beltemu mama, Yah?”Angga menilik ke luar jendela sambil melipat tangan. Sekarang gerimis sudah berganti hujan lebat. Wajah kakunya dipaksakan tersenyum.“Secepatnya, Dira.”***Maya merasa bulu kuduknya berdiri. Tidak dapat mengelak dari tatapan tajam yang dilayangkan. Napasnya seperti tercekat di kerongkongan; pendek-pendek dan tidak lagi beraturan.Hanya ada dua orang yang memanggilnya ‘Lia’ di sepanjang hidupnya. Pertama, orang tuanya. Kedua, seseorang yang tidak ingin dia sebut, tapi harus dibeberkan demi kejelasan alur cerita.Mantannya!“Astaga.” Maya bergumam, nyaris tidak terdengar. Dia sedang mempertimbangkan apakah berubah jadi batu adalah opsi terbaik yang dipunya sekarang.Situasi ini agak membingungkan bagi kepala sekolah. Laki-laki kurus itu mulai mengingat-ngingat. Menurutnya, kepala yayasan yang baru itu salah orang. “Mohon maaf sebelumnya, Pak. Sepertinya Bapak salah orang. Nama guru itu bukan Lia, tapi Maya Ama –“Seketika kepala sekolah itu bungkam mengingat nama terakhir pegawainya. Kebetulan macam apa ini?!Maya terpaku dan merasa kakinya seperti dipaku. Dia tidak dapat mengenali laki-laki dengan maskulinitas tak terbantahkan itu. Auranya menguar dan mendominasi sekitar.Kepala sekolah berdeham. Mengharapkan atensi dari pegawai-pegawainya yang kelihatan linglung. “Sebelumnya perkenalkan, beliau adalah Angga Bagaskara, kepala yayasan kita yang baru.”Maya mengepalkan tangan. Tidak salah lagi. Laki-laki itu adalah mantannya. Setelan jas mahal itu seakan mengajaknya berkanalan pada kualitas premium dengan harga melangit.Potongannya yang ramping telah mencetak bahu yang lebar, dada yang kokoh, dan pinggul sempit itu dalam fantasi liar seorang laki-laki sempurna. Dilihat dari sisi mana pun, dia bukan seseorang yang bisa dikenali Maya.“Selamat datang, Pak.” Bisma maju selangkah, mengulurkan tangan dengan wajah penuh senyum.Awalnya laki-laki dengan setelan jas mahal itu tidak ingin mempedulikannya. Namun, dia harus menjaga kehormatannya dengan menghargai orang lain bukan?“Terima kasih.” Dengan tangan kanan yang bebas, dibalasnya jabatan tangan itu.“Maya!” Kepala sekolah menyadarkan pegawainya yang melamun itu. Tatapannya mengintrupsi; bersikap ramahlah dengan kepala yayasan kita!Maya merasa jantungnya telah jatuh ke perut. Demi menjaga diri agar tidak berlari sekencang mungkin sesuai instruksi alam bawah sadarnya, Maya mengembuskan napas perlahan.Seuntai senyum yang dipaksa terpampang jelas di wajah wanita itu sebagai bentuk profesionalitas. Dia ingin bersikap senatural dan setenang mungkin. Dia tidak ingin Angga mengetahui bahwa laki-laki itu sukses menggetarkan jiwanya.“Ha-halo, Pak. Selamat datang.” Tapi yang keluar malah kegetiran. Wanita itu membungkukkan badan layaknya di negara Jepang atau Korea. Pada kenyataannya Maya sedang menanggung malu dengan sikapnya itu.“May, jangan lama-lama. Jatuhnya kamu malah menyembah Pak Angga,” tegur Bisma di tengah keheranannya.Bibir Maya bergetar. Dia masih belum bangkit dari posisi itu.“May, udah. Kita gak lagi di masa penjajahan Jepang.” Bisma membantu Maya untuk tegap kembali. Betapa kagetnya laki-laki itu melihat Maya yang pucat. Sepertinya darah berhenti mengalir di raga wanita itu.“Kamu kenapa, sih?” Bisma berbisik, merasakan hawa tak nyaman di antara Maya dan kepala yayasan yang baru itu. Wanita itu tidak merespons.“Mama,” panggil Dira yang menambah daftar panjang ketegangan Maya.Kepala sekolah hanya diam sambil mengamati sejak tadi. Tapi wajah terkejutnya tidak bisa disembunyikan saat ini. Mama? Apa hubungan Maya Amalia dengan anak kepala yayasan mereka?Angga menoleh, melirik kepala sekolah yang sibuk mencari kemungkinan-kemungkinan di kepalanya. “Kalau Anda berkenan, saya ingin Ibu Maya Amalia yang membawa saya berkeliling sekolah.”Kepala sekolah celingukan. Refleks mengangguk beberapa kali. “Silakan, Pak. Tidak masalah.”Tapi itu masalah bagi Maya."Saya keberatan!"[Sebenarnya selama ini aku suka kamu, May.]Bisma memijat pelipisnya yang berdenyut. Tangannya tertahan untuk mengirimkan pesan itu pada Maya. Pikirannya berkecamuk hebat. Jika dia tidak mengatakannya sekarang, bisa jadi Angga yang lebih dahulu memiliki Maya.Bisma tidak ingin membiarkan hal itu terjadi. Sudah cukup bagi Bisma menahan rasa sakit yang terus-terusan menjarah jiwanya. Dia akan mengatakannya sekarang.Satu pesan masuk sebelum laki-laki itu sempat menekan tanda pesawat.***Maya dapat merasakan tatapan tak bersahabat Angga. Laki-laki itu melipat tangannya sambil mengernyit dalam-dalam.“Kamu sedang apa dengan Bisma?” tanyanya penuh intimidasi. Seketika otak Maya dibayangi kata-kata bahwa laki-laki itu sedang cemburu.Oh, astaga. Mereka bukan remaja kasmaran lagi padahal.“Cuma ngobrol biasa, kok.” Maya tidak ingin memperkeruh suasana. Dia ingin mengakhiri obrolan itu sebelum menjalar ke banyak hal. “Ayo kita pulang. Kamu bisa jalan sendiri atau harus dibantu?”Angga menghe
“Coba jelasin ke aku. Kok bisa gini?”Maya mengamati memar di lutut kanan Angga. Wanita itu sebenarnya sudah tahu apa yang menyebabkan memar Angga semakin parah. Namun, dia ingin Angga yang menjelaskannya sendiri.Angga mengangkat bahu tak tahu. “Saya tidak tahu kenapa memar begitu. Sepertinya tiba-tiba muncul.”Maya mendengkus. Wanita itu berpikir Angga hanya berpura-pura padanya. Padahal kenyataannya Angga memang benar tidak ingat.Tidak lama kemudian dokter sekolah –Bu Susi masuk ke ruangan. Perawakannya agak kurus dengan setelan jas putih. Tangannya membawa nampan berisi mangkok, saputangan, gorengan, dua botol air, dan juga obat-obatan.Bu Susi meletakkan nampan di atas nakas. Sebelumnya wanita paruh baya itu sudah memeriksa memar yang dimiliki Angga.“Memarnya tinggal dikompres aja, Bu Maya. Saya juga bawakan obat paracetamol dan ampicillin untuk diminum Pak Angga,” ucap dokter sekolah yang umurnya tidak lagi muda itu. Wajahnya dihiasi senyum tipis. “Kalau begitu saya tinggal sa
“Kamu ngapain di sini?!”Maya kaget bukan main. Wanita itu sampai melongo. Di sampingnya sudah ada Angga dengan setelan pakaian olahraga.“Saya mau ikut lomba, memangnya tidak boleh?” ucap Angga tanpa melirik Maya sedikit pun.“Bukannya gak boleh. Kalo itu, sih, terserah kamu. Tapi kenapa tiba-tiba banget?” Maya melipat tangan, menatap Angga penuh tanda tanya. “Lagian aku ‘kan udah bilang bakalan main sama Bisma.” Angga menghela napas dalam. Kali ini mereka saling bersitatap. “Apa kamu tidak mengerti mengapa saya sampai melakukan ini, Lia?”“Apa?” Maya semakin menantang tatapan itu lebih jauh, menelisik jawaban di mata laki-laki itu.Angga mengalihkan pandangan, lurus kehadapan. Ditatap demikian oleh Maya membuat debar jantungnya tak nyaman. Laki-laki itu berucap dengan tegas. “Saya cemburu. Puas kamu?”Maya terdiam. Tidak tahu harus bereaksi apa. Yang pasti, jantungnya berdebar akibat pernyataan blak-blakan itu.Angga pergi ke panitia, meminta tali pengikat. Tanpa meminta persetujua
“Wah, kalo masalah itu saya gak ikut campur, deh.”Salsa melihat Dira yang tadinya sudah berada di sekolah kembali lagi menuju parkiran. Sebelum sempat anak kecil itu berdiri di antara dua orang dewasa yang ribut masalah lomba, atau sebenarnya cinta, Salsa lebih dahulu menjauhkan Dira.“Dira sayang, ayok kita ke kantor. Mama sama ayah kamu lagi ada yang dibicarain sebentar. Kita gak boleh ikut campur masalah mereka, oke?” kata Salsa pada anak kecil itu, sedangkan Angga dan Maya saling diam."Kenapa Dila gak boleh ikut?" Salsa memutar otak, tapi tidak juga menemukan alasan yang tepat. "Pokoknya kita gak boleh ikut campur, Dira. Kita masuk lagi ke sekolah, ya?"Dira menurut saja ketika Salsa memegang tangan dan membawanya pergi. Kelegaan menyeruak dalam diri Salsa karena berhasil menyelamatkan Dira dari situasi yang benar-benar tidak terduga ini.“Kamu mengerti atau tidak perasaan saya, Lia?” Angga mengulang perkataannya.Suara berat itu menyapu pendengaran hingga dada Maya berdesir ha
“Angga kenapa, sih?”Maya mengamati buket mawar di tangannya. Selesai makan tadi, Angga langsung kembali ke kantornya. Laki-laki itu juga tidak berbicara sepatah kata apapun, sehingga membuat Maya semakin bingung.Bunyi notifikasi di ponsel Maya sejak tadi tidak berhenti. Maya meletakkan buketnya di meja rias, kemudian menilik apa yang sedang hangat dibicarakan oleh orang-orang di grup guru. Ternyata tidak lain dan tidak bukan mengenai lomba yang akan dilaksanakan besok.Maya hanya menyimak, tidak berminat untuk bergabung. Seperti biasa Salsa yang paling banyak bersuara di sana.Lalu satu notifikasi dari pengirim pesan yang lain masuk ke ponsel Maya.Bisma pengirimnya.[May, besok kamu ikut lomba apa?] tanyanya.Maya mengetik apa adanya. [Belum tau, sih. Liat besok aja. Emang lombanya ada apa aja?]Tidak lama setelahnya Bisma mengirimkan susunan acara yang dilaksanakan besok. Agenda terakhir di jadwal adalah lomba-lomba yang dilakukan oleh siswa dan guru seperti tarik tambang, balap k
“Kesambet, Pak?!” Han harap-harap cemas dengan keadaan Angga yang jauh dari kebiasaan. Laki-laki itu sudah bersiap memanggil dukun seandainya Angga memang tidak bisa diselamatkan. Sejak tadi atasannya tidak berhenti tersenyum dan tertawa sendiri. Han sadar tidak termasuk dalam fokus Angga. Tahu tidak dipedulikan, Han yang tadinya agak takut mendekat lekas berdiri di samping Angga dan menaruh dokumen secara sembarang di meja. Laki-laki itu memberanikan diri untuk mengguncang tubuh atasannya. “Pak Angga jangan gila!” “HAANN!” Angga menyorot dengan marah. “Apa yang kamu lakuin ke saya?!” Han mundur beberapa langkah, takut diamuki. “Ya saya kira Bapak lagi kesurupan. Salah siapa senyum-senyum sendiri kayak orang gak waras.” Angga membenarkan jasnya, lalu menghela napas dalam. Ungkapan cinta Maya telah menghinoptis membuat Angga tidak bisa berhenti memikirkannya. Meski masih diperhatikan oleh Han, Angga bersikap untuk tidak peduli. Laki-laki itu memilih menghadapi laptop dan memilih
“Eh tau gak kalo Pak Angga ternyata udah punya pacar?” “Masa, sih? Gak percaya!” “Iya, sih, susah dipercaya apalagi katanya pacar Pak Angga itu guru.” “Astaga, makin gak percaya aku. Masa orang sekeren Pak Angga pacarannya sama guru. Mustahil banget!” Wanita dengan rambut kucir kuda itu mengambil lipstik dari tasnya, lalu melihat lawan bicaranya dengan heran. “Emang dapat gosip dari mana, sih? Ada-ada aja.” “Budi yang nyeritain. Dia bilang ketemu Pak Angga sama pacarnya di kondangan.” Wanita dengan rambut tergerai itu menjelaskan, sedangkan tangannya sibuk menyapukan bedak ke wajah. “Budi?” Ada nada tidak percaya di dalamnya. Senyum penuh ledekan dilemparkan pada kawannya itu. “Heh? Emang kondangannya anak siapa sampe Budi bisa satu tempat sama Pak Angga? Gila ngaco banget tau gak.” Wanita dengan rambut tergerai mengangkat bahu tak tahu. Terlepas dari benar atau tidaknya berita itu, dia tidak ingin terlibat terlalu jauh. “Iya, sih. Emang mustahil Budi bisa satu tempat sama Pak An
“Apa, sih, maunya Angga?!” Maya memijat pelipis, berakhir dengan sungutan kesal dan meninggalkan Angga dengan Bisma di koridor. Baiklah, sekarang Maya tidak peduli dua orang laki-laki itu dewasa itu akan bertengkar karena pikirannya telah terbawa arus lain. Segala tindakan Angga yang membuatnya merasa ‘dicintai’ membuat Maya pening. Apa sebenarnya motif laki-laki itu? “Mama kenapa?” Dira bertanya dengan raut khawatir, sedangkan Maya hanya menggeleng pelan. Wanita itu merasa tertangkap basah. “Mama gak papa, kok, Sayang.” Maya tersenyum pada anak kecil di sampingnya. Kalau sampai ditegur begini, berarti emosinya benar-benar menguar keluar, bukan? Anak kecil itu masih menatap Maya seperti mencari jawaban lain di sana. “Ayok, kita main lego blocks aja, Sayang.” Maya berusaha mengalihkan pembicaraan. Wanita itu mengambil tas Dira, lalu mengeluarkan isinya. “Yey! Dila mau buat lumah, Mama!” kata Dira antusias. Anak kecil itu kemudian mengambil beberapa blocks dan mulai membangun imaj
“Libur semester nanti kamu pulang ke Jawa?” tanya Maya pada Angga. Saat itu mereka berada di kelas sepuluh dan berangkat sekolah. Aktivitas yang akhir-akhir selalu mereka lakukan bersama. Mereka baru sampai di gerbang sekolah dan melihat siswa laki-laki sangat antusias bermain bola di lapangan. Apakah mereka tidak takut berkeringat dan membuat kelas berbau tidak nyaman? Aih, menurut Maya, mereka tidak keren sama sekali. Mereka berbeda dengan laki-laki di sampingnya yang selalu wangi. Maya jadi penasaran, parfum apa kira-kira yang digunakan Angga? Namun, pikiran gadis itu segera teralihkan ketika Angga menjawab pertanyaannya. “Mungkin enggak. Masih belum tau.” Maya melihat Angga dengan alis Maya bertaut heran. “Emang kenapa gak pulang?” Laki-laki itu sedikit melirik ke arahnya, lalu mengendikkan bahu. “Entahlah. Kayaknya karna takut disuruh-suruh selama liburan. Lagian libur semester paling cuma seminggu.” Maya tertawa. “Iya, sih. Aku setuju. Kalo liburan biasanya bakalan disuru