공유

BAB 2 : LAKI-LAKI BERJAS MAHAL

"Dila bisa sendili, Ayah."

Anak kecil itu menarik sendiri koper kecilnya dan menolak dibantu. Langkahnya terkesan ringan, berbanding terbalik dengan sang ayah yang tampak mengintimidasi.

Laki-laki dengan setelan jas mahal itu baru saja melakukan penerbangan bersama seorang anak perempuan.

Bisa dibilang keduanya adalah perpaduan timpang. Anak kecil bernama Dira itu sosok ceria, sedangkan ayahnya dipenuhi raut keras dan arogan.

“Han, kami sudah tiba.” Laki-laki itu berbicara lewat telepon.

Fokusnya terbagi karena Dira tertinggal lumayan jauh di belakang. Dijauhkannya ponsel beberapa detik, lalu menoleh. “Dira, perhatikan jalanmu.”

“Baik, Ayah.” Dira segera mempercepat langkah dan berjalan mendahului sang ayah.

Angga memasukkan ponsel ke saku celananya yang mengilap, baru selesai melakukan panggilan. Laki-laki itu telah menghubungi direktur PT. Maheswari tentang kepindahnnya ke Kalimantan.

Sebuah rumah elite siap dihuni. Atas permintaan Angga, letaknya akan berdekatan dengan sekolah yayasan yang dikelola keluarga dan perusahaan miliknya.

PT. Maheswari merupakan perusahaan yang bergerak di bidang agribisnis dan industri sebagai pemasok Bahan Bakar Nabati jenis biodesel. Angga adalah pendiri sekaligus CEO di perusahannya itu.

“Bagaimana perjalanannya tadi, Dira?” tanya seorang laki-laki berambut keriting dengan kacamata yang menggantung di hidungnya yang mancung.

“Dila suka naik pesawat!”

Binar kebahagiaan tidak dapat terbendung dari mata anak kecil itu. Suasana di dalam mobil sedikit mencair dari sikap dingin yang ditunjukkan Angga.

“Kamarmu cantik, Dira. Tadi Mas Han sudah liat. Dindingnya warna ungu dan ada banyak boneka. Nanti kita main bersama, boleh?” Han menampaki Dira dari kaca spion. Tapi yang dilihatnya malah sang bapak yang menatap sinis.

“Asiiiik …!” Dira semakin senang. "Dila mau!"

“Fokus dengan kerjaanmu saja, Han.” Angga berujar. Sekilas menatap ke luar jendela yang mulai dituruni gerimis.

Han mengatupkan bibir. Dia hanya ingin memberikan kesan yang baik pada anak atasannya itu. Siapa tahu ‘kan gajinya ikut membaik.

"Baik, Pak." Han menundukkan kepala beberapa saat sebelum mengingat sesuatu.

“O, iya, Pak. Saya sudah carikan informasi yang Bapak minta.” Han menyerahkan map biru yang sejak awal berada di kursi sebelahnya.

Angga menerima dan membuka map. Mata dengan tatapan menelisik dibingkai tulang pipi tegas itu segera membaca dengan saksama.

“Maya Amalia. 33 tahun. Guru Biologi.” Angga terus memperhatikan. Dahinya mengernyit dalam. “Saya sudah baca resume ini sebelumnya. Tapi ada apa dengan tempat tinggalnya yang lama?”

Han meneguk ludah susah payah. Mulai mengingat-ingat hasil investigasi mendalamnya pada sosok yang dicari sang atasan. “Oh, itu karena rumah dan toko mereka kebakaran, Pak. Makanya Ibu Maya dan keluarganya pindah.”

Angga menghela napas, lalu menyandarkan diri ke kursi. Laki-laki itu menutup map birunya. Bertanya-tanya, apa saja ‘kah yang telah terjadi pada kehidupan wanita itu?

Dira yang sibuk membaca buku anak tentang cantiknya sosok ibu, mengalihkan perhatian pada map biru sang ayah. Tanpa menunggu persetujuan, Dira mengambilnya dan meneliti tiap kata yang ada di sana.

Dira memelototkan mata. Mulutnya menganga. “Ayah! Ini mama Dila ‘kan?”

Han memasang telinganya lebih intens.

Angga mengusap lembut kepala Dira. Mengangguk.

Dira tidak percaya.

“Ini mama, Yah?” tanyanya takjub. "Mama Dila cantik, Yah!"

Angga mengangguk lagi. Han melongo. Ada apa sebenarnya?

“Yeey!” Senyum Dira tidak terbendung. “Kapan Dila bisa beltemu mama, Yah?”

Angga menilik ke luar jendela sambil melipat tangan. Sekarang gerimis sudah berganti hujan lebat. Wajah kakunya dipaksakan tersenyum.

“Secepatnya, Dira.”

***

Maya merasa bulu kuduknya berdiri. Tidak dapat mengelak dari tatapan tajam yang dilayangkan. Napasnya seperti tercekat di kerongkongan; pendek-pendek dan tidak lagi beraturan.

Hanya ada dua orang yang memanggilnya ‘Lia’ di sepanjang hidupnya. Pertama, orang tuanya. Kedua, seseorang yang tidak ingin dia sebut, tapi harus dibeberkan demi kejelasan alur cerita.

Mantannya!

“Astaga.” Maya bergumam, nyaris tidak terdengar. Dia sedang mempertimbangkan apakah berubah jadi batu adalah opsi terbaik yang dipunya sekarang.

Situasi ini agak membingungkan bagi kepala sekolah. Laki-laki kurus itu mulai mengingat-ngingat. Menurutnya, kepala yayasan yang baru itu salah orang. “Mohon maaf sebelumnya, Pak. Sepertinya Bapak salah orang. Nama guru itu bukan Lia, tapi Maya Ama –“

Seketika kepala sekolah itu bungkam mengingat nama terakhir pegawainya. Kebetulan macam apa ini?!

Maya terpaku dan merasa kakinya seperti dipaku. Dia tidak dapat mengenali laki-laki dengan maskulinitas tak terbantahkan itu. Auranya menguar dan mendominasi sekitar.

Kepala sekolah berdeham. Mengharapkan atensi dari pegawai-pegawainya yang kelihatan linglung. “Sebelumnya perkenalkan, beliau adalah Angga Bagaskara, kepala yayasan kita yang baru.”

Maya mengepalkan tangan. Tidak salah lagi. Laki-laki itu adalah mantannya. Setelan jas mahal itu seakan mengajaknya berkanalan pada kualitas premium dengan harga melangit.

Potongannya yang ramping telah mencetak bahu yang lebar, dada yang kokoh, dan pinggul sempit itu dalam fantasi liar seorang laki-laki sempurna. Dilihat dari sisi mana pun, dia bukan seseorang yang bisa dikenali Maya.

“Selamat datang, Pak.” Bisma maju selangkah, mengulurkan tangan dengan wajah penuh senyum.

Awalnya laki-laki dengan setelan jas mahal itu tidak ingin mempedulikannya. Namun, dia harus menjaga kehormatannya dengan menghargai orang lain bukan?

“Terima kasih.” Dengan tangan kanan yang bebas, dibalasnya jabatan tangan itu.

“Maya!” Kepala sekolah menyadarkan pegawainya yang melamun itu. Tatapannya mengintrupsi; bersikap ramahlah dengan kepala yayasan kita!

Maya merasa jantungnya telah jatuh ke perut. Demi menjaga diri agar tidak berlari sekencang mungkin sesuai instruksi alam bawah sadarnya, Maya mengembuskan napas perlahan.

Seuntai senyum yang dipaksa terpampang jelas di wajah wanita itu sebagai bentuk profesionalitas. Dia ingin bersikap senatural dan setenang mungkin. Dia tidak ingin Angga mengetahui bahwa laki-laki itu sukses menggetarkan jiwanya.

“Ha-halo, Pak. Selamat datang.” Tapi yang keluar malah kegetiran. Wanita itu membungkukkan badan layaknya di negara Jepang atau Korea. Pada kenyataannya Maya sedang menanggung malu dengan sikapnya itu.

“May, jangan lama-lama. Jatuhnya kamu malah menyembah Pak Angga,” tegur Bisma di tengah keheranannya.

Bibir Maya bergetar. Dia masih belum bangkit dari posisi itu.

“May, udah. Kita gak lagi di masa penjajahan Jepang.” Bisma membantu Maya untuk tegap kembali. Betapa kagetnya laki-laki itu melihat Maya yang pucat. Sepertinya darah berhenti mengalir di raga wanita itu.

“Kamu kenapa, sih?” Bisma berbisik, merasakan hawa tak nyaman di antara Maya dan kepala yayasan yang baru itu. Wanita itu tidak merespons.

“Mama,” panggil Dira yang menambah daftar panjang ketegangan Maya.

Kepala sekolah hanya diam sambil mengamati sejak tadi. Tapi wajah terkejutnya tidak bisa disembunyikan saat ini. Mama? Apa hubungan Maya Amalia dengan anak kepala yayasan mereka?

Angga menoleh, melirik kepala sekolah yang sibuk mencari kemungkinan-kemungkinan di kepalanya. “Kalau Anda berkenan, saya ingin Ibu Maya Amalia yang membawa saya berkeliling sekolah.”

Kepala sekolah celingukan. Refleks mengangguk beberapa kali. “Silakan, Pak. Tidak masalah.”

Tapi itu masalah bagi Maya.

"Saya keberatan!"

댓글 (1)
goodnovel comment avatar
Najma Jahiro
bagus sekali
댓글 모두 보기

관련 챕터

최신 챕터

DMCA.com Protection Status