Beranda / Romansa / MEET AISHA IN 1998 / Ibukota Bak Kota Peperangan

Share

Ibukota Bak Kota Peperangan

Penulis: Brata Yudha
last update Terakhir Diperbarui: 2023-07-10 16:11:15

Mobil dinyalakan, lalu tidak lama kemudian meluncur dari kediaman keluarga kecil tersebut. Phey hanya bisa merasakan getaran mobil, mendengar suara-suara ramai dari luar kendaraan. Gadis itu menangis dalam sunyi. 

Batinnya menjerit, Tuhan, kenapa jadi begini?

*

Telunjuk Pak Yono menekan tombol ‘off’ tape mobil. Berita di radio justru membuat suasana jauh lebih mencekam. Sehingga dia membiarkan atmosfer di dalam mobil, benar-benar senyap. Namun, di luar mobil berbanding terbalik dengan apa yang terjadi. 

Jakarta yang biasanya masih cukup padat oleh kendaraan bermotor, apalagi pada jam-jam pulang kantor, sekarang nyaris sepi. Ada satu dua mobil berpapasan, itu pun memicu kecepatan tinggi. Orang-orang turun ke jalanan, berjalan beramai-ramai. Ada dalam kelompok kecil, kelompok besar, di mana Pak Yono berusaha untuk hindari.

Di beberapa titik, bangunan-bangunan terbakar dan tidak ada yang memadamkan api. Mobil, motor tidak luput dari sasaran pembakaran. Pak Yono bisa mendengar gemeretak suara api, ketika melewati kawasan-kawasan tersebut.

Mobil pun berputar-putar mencari jalan alternatif, karena banyak jalan yang diblokade. Beberapa kompleks bahkan dijaga oleh penghuni atau warga sekitar. Drum-drum, dipakai sebagai barikade. Tidak sedikit yang Pak Yono lihat membawa senjata tajam.

Ibukota bak kota peperangan.

Mobil melewati kawasan pertokoan milik orangtua Phey, yang sekarang sudah tidak berbentuk rupa lagi. Api masih terlihat menjilat-jilat di bagian atas bangunan. Pak Yono mengembuskan napas berat, dia sangat terpukul.

Matanya melirik pada jas milik Pak Wang yang tersampir pada bangku samping, juga tas kertas yang isinya merupakan hadiah. Seharusnya hari itu, Phey dan keluarga menghadiri pemberkatan bayi sepupu yang baru saja lahir. Namun, semua menjadi sangat kacau semenjak kemarin. 

Pak Yono membelokkan mobil, dan hampir memasuki batas ibukota. Yang tadinya sudah merasa lebih lega, tiba-tiba di depan sudah ada blokade. Bukan petugas, melainkan massa yang sepertinya tahu akan banyak orang berusaha melarikan diri.

Tidak mungkin Pak Yono tiba-tiba mundur, karena hanya itu jalan satu-satunya yang harus ia lewati. Dengan cepat Pak Yono menarik jas milik Pak Wang, sembari memajukan mobil perlahan, dia kenakan jas tersebut.

Mobil berhenti, karena sudah dikepung dari segala arah oleh orang-orang. Kaca, kap mobil, bahkan pintu pun dipukul-pukul oleh tangan mereka dengan kasar. 

Phey yang mendengar itu, merasakan tubuhnya lemas seketika. Dia hanya bisa meringkuk, sembari memejamkan mata. Berharap pada Tuhan agar diselamatkan dari mara bahaya.

“Stop! Stop! Mau nabrak kite lu?!” teriak salah satu dari mereka.

“Keluar, Bang! Keluar! Heh, tunjukin muka lo, jangan ngumpet Lo di dalem!”

Pak Yono menelan ludah, matanya melirik sekilas pada Phey yang tersembunyi di balik terpal hitam. Dari luar tentu takkan terlihat begitu jelas. Namun, akan sangat berbahaya jika mereka berusaha menggeledah mobil. Bergegas Pak Yono memberanikan diri keluar dari mobil.

Wajah Pak Yono tetap tertunduk, tidak berani menatap sosok-sosok yang mengepung mobil. Salah satu dari mereka mendorong bahu Pak Yono dengan seenaknya.

“Orang kaya lu, ya?! Mau ke mana lu?! Kabur?!” Suara itu terdengar setengah mengejek dan mengancam.

“Enggak, Bang. Saya enggak ada niatan mau kabur. Saya cuma mau pulang ke rumah,” balas Pak Yono berusaha tenang.

“Mobil siapa tuh? Mobil elu? Sendirian lu?” Selidik yang lain. “Jawab jujur lu!”

“Iya, ini mobil saya. Dan saya cuma sendiri, enggak ada siapa-siapa lagi di dalam Bang.”

Dengan kasar, mereka menarik tubuh Pak Yono dan menyuruhnya untuk menghadap ke arah mobil. Dompet Pak Yono diambil, mereka periksa. Entah apa maksud dan tujuannya. Namun, Pak Yono tidak mungkin melawan, dia terpaksa harus mengikuti dulu prosedur agar bisa melewati jalan dengan aman.

Perasaan Pak Yono mulai panik, jangan sampai mereka memeriksa STNK yang tergantung bersama kunci mobil. Sudah jelas-jelas, nama ayah Phey terpampang di sana. Pak Yono berpikir keras, agar orang-orang ini segera melepaskan dirinya.

Lalu tiba-tiba saja, sosok-sosok itu menempelkan wajah mereka ke jendela mobil. Menyelidik dari luar.

“Bawa apa lu? Di belakang kosong? Apa ada yang Lo sembunyiin?” 

Pertanyaan itu membuat hati Pak Yono semakin ketakutan. Tak hanya Pak Yono, Phey yang juga sedang bersembunyi merasakan kekalutan yang amat sangat. 

“Udah, geledah mobilnya. Periksa semua, ada apaan aja!”

Pak Yono syok.

Tubuh Phey gemetar, mendengar teriakan dan seruan dari luar mobil. Dadanya terasa sesak, karena Phey mulai kesulitan napas. Dia mengalami serangan panik. Tidak tahu apa yang akan dilakukan orang-orang itu jika persembunyiannya sampai terungkap. 

Pak Yono terus berdzikir, dan memikirkan cara apa agar orang-orang itu tidak memeriksa isi mobil. Tiba-tiba, dia tercetus ide yang diharapkan bisa berhasil untuk meloloskan diri.

“Astagfirullahaladzim,” suara Pak Yono terdengar melolong. 

“Alah, bawa-bawa nama Tuhan aja lo, lagi kayak gini!” Ada nada cemoohan terdengar.

“Saya enggak akan ke mana-mana, kalau istri saya enggak dalam kondisi mau melahirkan,” cetus Pak Yono. Ide itu keluar begitu saja entah dari mana. Mungkin itu adalah bentuk pertolongan Tuhan.

Dia langsung merangkak masuk ke dalam mobil, dan mengambil tas kertas yang berada di bangku penumpang. Orang-orang hanya memperhatikan tingkah laku Pak Yono.

“Ini hadiah saya buat anak saya. Kalau Bapak-Bapak mau ambil mobilnya, silakan. Tetapi saya mohon, saya hanya ingin ketemu anak dan istri.” Pak Yono mulai terisak. 

Sebetulnya Pak Yono dalam kondisi bertaruh. Dia hanya berharap bahwa Allah memberinya jalan keluar yang mulus, agar bisa terlepas dari mara bahaya yang ada di depan mata. Dia sudah benar-benar pasrah.

Orang-orang itu saling melirik satu sama lain. Menunggu salah satu untuk mencetuskan keputusan yang akan diambil, untuk nasib Pak Yono. Tiba-tiba dari belakang muncul satu lelaki, yang langsung merebut dompet milik Pak Yono dari satu rekannya. Dia ambil dua lembar uang ratusan ribu yang ada di dalam dompet. Lalu ia berikan pada Pak Yono.

“Jalan aja, Pak. Tetapi, uangnya saya ambil. Di sini masih banyak yang belum makan sama minum,” kata laki-laki itu dengan suara dingin.

Pak Yono mengangguk-angguk. “Terima kasih, Bang.”

Bergegas Pak Yono masuk ke dalam mobil, dan melaju begitu orang-orang menyingkir memberi jalan. Pak Yono berusaha keras untuk menahan tangis, sedangkan air mata sudah membanjiri pipinya. Tak henti-hentinya dia mengucap syukur kepada Tuhan atas keselamatan jiwa raganya. Mobil pun kembali meluncur di kegelapan malam, melewati jalan yang panjang menuju rumahnya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (3)
goodnovel comment avatar
Siti Yusuf
suasana nya pasti mencekam
goodnovel comment avatar
Qianas Shopp
Semoga Phey aman ya..
goodnovel comment avatar
De'nok S Nurhalizah
kasian pak yono
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • MEET AISHA IN 1998   Akhirnya Bertemu Lagi

    “Kenapa ya, kamu ini malah pergi ke tempat-tempat yang bahaya?” keluh Bu Siti Marfu’ah.Perempuan itu tampak sudah pasrah melihat Rega sudah bersiap-siap untuk pergi ke ibukota, karena siangnya ia akan bertolak ke Aceh bersama rombongan relawan. Selang dua hari setelah menghubungi rekan-rekan almamater kampus, Rega dan Pak Mangara ikut dalam rombongan relawan.“Bahaya apanya, Bu? Di sana kan justru banyak orang butuh bantuan.”“Kita gak tahu kalau gempa susulan nanti datang, gimana?”“Doain Rega yang baik-baik, Bu. Dateng ke sana baik-baik aja, pulang pun selamat. Setuju?”“Terserah kamu aja lah.”Pergi ke Aceh bersama relawan, tentu saja ditolak mentah-mentah oleh Bu Siti Marfu’ah pada awalnya. Namun, saat Rega mengatakan dia harus ke sana, karena mendampingi atasan, akhirnya mau tidak mau Bu Siti Marfu’ah melepaskan izin. Tetap saja Bu Siti Marfu’ah selalu memberikan mimik wajah khawatir berlebih, sebelum Rega benar-benar berangkat.“Berapa lama kamu di sana?” tanya sang ibu. “Engg

  • MEET AISHA IN 1998   Kabar Genting

    Aisyah.Nama itu terus terngiang-ngiang di batin Rega, saat semalam Bu Siti Marfu’ah menyebut lagi. Tidak ada pembicaraan panjang setelah itu, karena Rega langsung pergi ke masjid. Menghindar, iya. Akan tetapi, dia juga tak mau dituduh terus memupuk harapan tak pasti pada sosok bernama Aisyah selama bertahun-tahun.Rega tidak memungkiri, bahwa dia tidak melupakan Aisyah.Sosok Anchie Phey yang sudah mengikrarkan hatinya untuk menjadi muslimah. “Rega!” Pintu kamar setengah digedor dari luar. “Kamu tidur lagi abis Subuh, heh?”“Enggak, Bu.” Rega membuka pintu kamar, dan melihat sosok sang ibu sudah berdiri di depan sana. Salah satu tangannya menenteng rantang dari bahan stainless. “Ini Syafa bawain sarapan. Cepet, kita makan dulu.” Bu Siti Marfu’ah langsung meletakkan rantang ke atas meja. “Kamu ajakin Syafa masuk, biar kita makan sama-sama.”“Ibu aja lah. Rega mau keluar ini.”“Lho? Mau ke mana?”“Olah raga!”Karena tidak mau dipusingkan oleh masalah percintaan, Rega bergegas keluar

  • MEET AISHA IN 1998   Sosok pengganti Aisha

    Sebuah tepukan keras mendarat di bahu Rega, sehingga pemuda yang sedang mendengarkan musik dari pemutar MP3 itu tersentak kaget. Rega menoleh dan melihat sosok pemuda lain berambut plontos duduk di sampingnya.“Tapa terus,” komentar pemuda itu sembari terkekeh pelan.“Dengerin lagu,” balas Rega enteng.“Eh, dengerin tuh nasihat orangtua. Bukan lagu.”“Orangtua yang mana? Yang lo denger aja nasihat orangtua botolan.”“Anjir, setan!”Pemuda itu tergelak keras. Namanya Robby, satu almamater dengan Rega. Mereka sama-sama mengambil lanjutan advokasi, dan magang di kantor advokat yang sama. Robby dan Rega memiliki sifat yang bertolak belakang. Rega lebih cenderung diam, sedangkan Robby ke mana-mana antara membuat suasana heboh atau kacau. Akan tetapi, mereka selalu kompak. Bahkan orang-orang di kantor advokat, selalu menganggap keduanya “partner in crime”. Yang sebetulnya, Rega amit-amit dalam hati.“Makan dulu, lah. Biar otak lancar,” celetuk Robby.Dia memesan sepiring ketoprak di mana t

  • MEET AISHA IN 1998   Rasa sakit karena cinta

    Matahari sudah menggeliat bangun dari peraduan, dan sinarnya mulai memasuki celah jendela. Phey duduk dengan tenang di teras, menunggu Pak Yono memanaskan mobil, dan setelah itu mereka segera kembali ke ibukota.Kali ini Phey siap pergi tanpa rasa gundah, dia sudah benar-benar tenang.Bahkan merasakan bahagia.“Non Phey, itu kok gak diminum teh manisnya? Nanti keburu dingin,” tunjuk Bu Puji pada secangkir teh yang ia suguhkan di meja, dan belum disentuh sama sekali. Wajah perempuan itu tersembul dari balik pintu.“Mau kok, Bu. Ini tunggu nasinya turun, saya kekenyangan. Abis nasi goreng buatan Ibu enak banget, sampai nambah.”“Aduh, cuma nasi goreng, apa enaknya? Non Phey ini suka berlebihan aja, ah.”“Bu, sekarang nama saya jadi Aisyah. Jangan panggil Phey lagi.” Phey terkekeh pelan.Aisyah.Itu nama yang Phey pilih setelah mengikrarkan syahadat. Meski butuh waktu untuk membuat orangtuanya menerima pilihannya kelak, tetapi Phey sudah bertekad untuk mengubah identitas. “Oh iya, Non A

  • MEET AISHA IN 1998   Menjemput hidayah

    Phey masih berdiri mematung di depan rumah Bu Siti Marfu’ah, bingung karena rencana yang telah dibayangkan mendadak buyar. Kata tetangga Bu Siti Marfu’ah sedang pergi bersama ibu-ibu pengajian ke Banten, sejak pagi tadi. Lalu Rega ke kampus, dan entah pulang kapan. Bahkan menurut penuturan tetangga, Rega sering pulang larut malam.“Gimana, nih?” gumam Phey pelan sembari mengembuskan napas berat.Meski kecewa, akhirnya Phey putuskan kembali ke kediaman Pak Yono. Jika memang ia tidak bisa bertemu dengan Rega, maka memang itu yang harus ia terima dengan lapang dada. Namun, baru saja hendak melangkah, Phey melihat sebuah motor mendekat, dan suara derumannya ia kenali betul.Motor Rega!Laju motor melambat, dan berhenti di hadapan Phey. Wajah Rega tidak bisa berbohong, dia begitu terkejut melihat gadis pujaannya ada di sana. Bergegas Rega turun dari motor, membuka helm dan menghampiri Phey. Dia tidak berkata satu patah kata pun. Dalam hatinya, Rega ragu. Teringat akan permintaan Bu Siti M

  • MEET AISHA IN 1998   Berdiskusi dengan Ustaz

    Perbedaan keyakinan itu seperti dua sisi mata pedang. Jika tidak berhati-hati, maka salah satu akan tersakiti. Maka tidak sedikit yang memberi petuah bijak, baiknya tetap mencari sosok yang satu iman. Bahkan satu keyakinan pun, belum tentu memiliki visi dan misi yang beriringan. Apalagi jika berbeda?“Kita sendiri tahu, beda umur yang jauh bisa jadi gunjingan orang. Menikahi duda atau janda, bisa dicibir juga. Mau enggak mau, kita enggak bisa menutupi penilaian orang-orang, Rega,” ujar Pak Ustaz.“Ya, kan tinggal gak perlu digubris, Pak. Yang menjalani rumah tangga, justru yang mau menikah, kan?”“Terus kamu enggak hidup di dalam masyarakat memangnya?” Pak Ustaz terkekeh. “Harus siap mental, Rega. Karena kita ini hidup di budaya yang ragam, masyarakat plural juga.”Kembali Pak Ustaz menjelaskan pada Rega secara hati-hati. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa yang berbeda bisa menjadi satu. Tetap saja, ada yang dikorbankan. Karena masing-masing keyakinan percaya, bahwa agama yang seb

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status