Share

MEET AISHA IN 1998
MEET AISHA IN 1998
Author: Brata Yudha

Harus Berpisah

Hampir menjelang senja, tetapi seluruh lampu di rumah itu sengaja dipadamkan, kecuali di teras belakang. Di sana ada satu sosok sedang duduk dalam diam, sedangkan yang lain tampak tergesa keluar masuk dari pintu penghubung dua area—interior, ekterior. Semua memiliki mimik wajah yang serupa: cemas dan muram.

Wanita paruh baya yang duduk termenung itu, bernama Ibu Niu. Dia menangkupkan kedua tangan lalu memejamkan mata. Ia menangis tertahan, untuk ke sekian kalinya. Dari ambang pintu gadis berambut lurus hitam dikuncir kuda, menyadari apa yang terjadi pada sang ibu. Bergegas ia duduk, dan memeluk erat.

“Ma, jangan nangis lagi,” bisik sang gadis dengan suara parau. 

Annchi Phey, si gadis, wajahnya pun tampak bengkak dengan mata sembab. Ia berusaha untuk tetap kuat, tetapi melihat sang ibu menumpahkan lagi air mata, Phey akan kembali ikut jatuh terpuruk. 

Hari itu, semua berubah. Kehidupan mereka yang damai, baik-baik saja, tidak ada konflik berarti, tiba-tiba dalam satu jentikan jari, runtuh. Sejak kemarin, mereka sudah mendengar rumor tak mengenakkan hati, meletus kerusuhan yang melibatkan anak-anak mahasiswa. Terjadi benturan antara kedua pihak, sehingga peristiwa itu tidak bisa terelakkan lagi.

Tidak ada yang tahu pasti, apa penyebabnya. 

Hingga siang tadi satu kejadian yang tak disangka oleh keluarga Pak Wang, terjadi. Usaha keluarga yang dirintis puluhan tahun, musnah sudah. Dijarah oleh para perusuh, dan serentetan kejadian mengerikan terjadi. Tak hanya keluarga Phey, tetapi banyak yang mengalami.

Lagi-lagi, tak ada yang tahu pasti, apa sebabnya.

“Gak kuat, Mama. Gak kuat …,” isak sang ibu pilu.

Phey tidak mengucapkan sepatah kata pun. Pikirannya penuh dengan pertanyaan tak terjawab, batinnya bergejolak. Apa salah mereka selama ini? Kenapa orang-orang berbuat seperti itu? Jika memang keluarga Phey berdosa, apa pantas diperlakukan sedemikian keji? 

“Pak Yono, tolong,” suara bas itu terdengar lirih.

Phey menoleh ke arah sang ayah yang menyerahkan koper pada orang kepercayaannya, Pak Yono—sang supir. Dengan tergesa Pak Yono membawa koper tersebut, melangkah melewati jalan belakang menuju ke depan. Lalu Papa Phey, yang berusaha tampak tegar, menghampiri istri dan putrinya. Dia meraih tangan Mama Phey, ia rengkuh dalam genggamannya.

“Ayo, Ma, kita harus berusaha tegar untuk Phey. Yang penting kita baik-baik aja, dan enggak kekurangan apa pun,” kata Pak Wang bijak. 

“Semua hancur, Pa. Semuanya, enggak bersisa sama sekali.” Ibu Niu menatap sang suami, syok dan kilatan emosi tampak pada sorot matanya. “Salah kita apa?” 

“Kita belum tahu, mana yang benar atau yang salah. Ini sesuatu yang enggak bisa dihindari.” 

“Yang jarah toko kita itu manusia, Pa! Di mana nurani mereka?!” 

Genggaman jari Pak Wang tampak semakin erat. “Sabar, Ma,” ia berucap. Lalu laki-laki paruh itu menoleh pada Phey. “Ambilkan Mama air minum hangat, Phey.”

“Enggak usah. Minum juga enggak bikin Mama baikan!” balas sang istri ketus.

“Ini serius, Pa? Kondisinya semakin genting?” tanya Phey.

Pak Wang mengangguk. 

Sejak pagi, Pak Yono sudah datang ke kediaman mereka. Mengatakan tak hanya mahasiswa, tetapi banyak kelompok orang bersiap-siap untuk turun ke jalan. Lebih baik tetap tinggal di rumah, dan jangan keluar, begitu kata Pak Yono.  

Lalu kabar-kabar lain datang, dari pesawat telepon. Peringatan dari kerabat, kolega keluarga Phey yang mengatakan banyak tempat usaha dibakar dan dijarah. Yang ditakutkan pun terjadi, begitu juga tempat usaha keluarga Phey selama ini. 

Tidak ada yang tersisa. Sebagian sisa hasil usaha, bisa diselamatkan saat kemarin situasi memanas. Itu pun Pak Wang bersama Pak Yono menggadaikan keselamatan mereka, membawa apa yang bisa mereka amankan. Tak disangka, situasinya semakin tidak terkendali.

Hanya saja Pak Wang berpikir, bahwa harta satu-satunya, istri dan anak, masih dalam kondisi baik-baik saja. Itu yang ia akan pertahankan sebisa mungkin.

“Terus, kita gimana? Masa mau diem terus seperti ini?” Mata Phey menatap pada sang ayah seperti menuntut kepastian. 

“Pak Yono sudah bilang, kita sebaiknya enggak keluar rumah. Papa juga sempat kontak kerabat, ada tempat aman, dijaga warga di sana.”

“Tempat aman? Maksudnya?” tanya Phey.

“Kalau situasi enggak reda, Phey,” jawab sang ayah.

Phey dan sang ibu belum tahu semua. Selain tempat usaha, banyak rumah-rumah keturunan Tionghoa yang juga dirusak, dan dijarah. Hubungan pesawat telepon sudah tidak berfungsi sejak beberapa jam lalu. Sehingga Pak Wang tidak tahu, seburuk apa kondisi di luar sana. Mereka terjebak, dan entah sampai kapan. Ini yang pria paruh baya itu khawatirkan. 

Terdengar langkah kaki berlari dari jalan belakang, sosok Pak Yono muncul. Meski kondisi sudah setengah gelap, tetapi bisa dipastikan wajah lelaki itu memucat. Dia menunjuk ke arah luar rumah.

“Pak! Bu! Ada kumpulan orang-orang datang ke arah kompleks!” peringat Pak Yono.

Serempak anggota keluarga kecil itu berdiri, saling menatap satu sama lain. Phey di ambang rasa heran, bukankah kerusuhan hanya terjadi sekitar pusat perbelanjaan? Tempat usaha? Begitu pikirnya.

“Udah dekat, Pak Yono?” tanya Pak Wang cemas.

“Entah, Pak. Tetapi orang-orang di luar sudah mulai pergi dari kompleks,” jawab Pak Yono.

Tiba-tiba Pak Wang langsung menarik lengan putrinya. “Yono, bawa Phey dari sini sekarang!” Ia menitahkan.

“Maksud Papa apa?” Phey berusaha melepaskan diri. “Ini rumah kita! Phey enggak mau pergi dari sini! Mereka punya hak apa? Usir kita dari rumah yang udah kita tinggali puluhan tahun!” 

“Phey, kamu harus paham. Kita enggak mungkin bisa melawan!” kata Pak Wang.

“Kalau memang orang-orang itu dateng, Phey mau bilang kalau Phey dari lahir di rumah ini. Semua hanya salah paham,” sanggah Phey tegas. 

Pak Wang memegang kedua bahu putrinya, menatap dengan mata merah karena menahan tangis. Lelaki itu menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. 

“Mereka salah paham, itu betul. Tetapi, saat ini mereka menganggap kita berbeda. Apa pun yang kita lakukan, enggak akan mengubah keadaan,” ucap Pak Wang. 

Mata Phey menatap nanar. Dalam hatinya terus bergema pertanyaan yang sama, Kenapa?

“Papa enggak mau kehilangan Phey, kehilangan Mama, karena itu … Papa mohon, tolong turuti pinta Papa kali ini, Phey.” Bahu sang ayah mulai terguncang, tangisnya pecah. 

“Pak, Bu, ayo!” Suara Pak Yono seperti bel peringatan bagi ketiganya.

Setengah diseret, Phey mengikuti langkah sang ayah menuju ke garasi. Pak Yono membukakan pintu belakang, lalu bergegas membuka pintu pengemudi dan masuk. Phey menatap kedua orangtuanya masih dalam kondisi bingung.

“Ma, Pa, ayo kita masuk,” pinta Phey.

Kedua orang tua Phey memeluk sang putri sembari menangis terisak-isak. 

“Nanti kami menyusul, jaga diri kamu baik-baik, ya Phey?” ucap sang ayah.

“Enggak mau, Phey pengin tetap bareng Mama dan Papa!” Phey menolak tegas.

“Phey! Cepat masuk, Mama-Papa enggak akan apa-apa. Cepat,” titah Ibu Niu.

“Tetapi—”

Perkataan Phey dipotong, karena dia setengah paksa didorong ke bangku belakang. Namun, Phey tak tak lagi mampu menolak. Dengan pasrah gadis itu harus berbaring di bagian kaki penumpang belakang. Bergegas ayah Phey menutupi tubuh putrinya dengan terpal hitam. 

Gelap gulita juga sesak, itu yang dirasakan oleh Phey.

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Paulina Nurhadiati Petrus
kasihan phey ini harus diungsikan ke luar daerah karena kondisi gak memungkinkan untuk tetap bertahan ya, moga papa wang dan mama Niu selamat ini. ini kembali flashback ke tahun 90an suana mencekam saat itu
goodnovel comment avatar
Siti Yusuf
akhirnya hadir di sini
goodnovel comment avatar
De'nok S Nurhalizah
Hai otor salam kenal
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status