Gadis itu memandang kepalan tangannya. Ada dua lembaran merah yang tadi Harso selipkan ke tangannya.
Kamilia melangkah masuk kamar. Memeriksa isi lemari yang berisi baju-baju bagus. Entah milik siapa.
Kamilia heran, mengapa pembantu seperti dirinya diperlakukan seperti ini.
Kamilia melangkah ke luar kamar, perutnya lapar sejak pagi belum diisi. Banyak makanan yang bisa dia makan. Diambilnya sepotong roti serta segelas air. Kamilia duduk di meja makan. Pikirannya menerka-nerka apa yang akan terjadi selanjutnya.
Kenyang sudah perutnya kini. Kamilia membuka tas bajunya, ada kain sembahyang di sana. Kamilia membersihkan diri kemudian berserah kepada sang pemilik untuk nasibnya kali ini. Dia cemas kalau pekerjaan yang akan dijalaninya ternyata bukan sebagai pembantu.
Malam hari, Tuan Heru datang. Minyak wangi seperti tumpah di badannya, harum sekali. Kamilia menyambutnya dengan diam.
"Mengapa kau tidak memakai baju yang kusediakan?" tanya Tuan Heru.
Kamilia tidak menjawab, mulutnya terkunci padahal ingin sekali dia berkata, kalau baju itu tidak cocok dengan dirinya. Kamilia malu memakainya. Di kampung dia selalu memakai kerudung walaupun asal sampir.
Tuan Heru marah sebab Kamilia tidak menjawab. Lelaki itu menyeret gadis itu ke kamar. Memilihkan baju dan melemparnya ke muka Kamilia.
Gadis itu tertunduk, dalam hati rasa marahnya bangkit. Namun, tetap memilih bungkam.
Tuan Heru mendandani Kamilia ke salon kecantikan. Hasilnya, Kamilia seperti tidak mengenali wajahnya sendiri. Tuan Heru tersenyum puas, uang tips dia berikan kepada petugas salon.
"Bagus, kamu luar biasa cantik, tidak sia-sia aku membelimu seharga lima puluh juta," kata Tuan Heru.
"A apa?" tanya Kamilia kaget.
"Harso sudah menjualmu kepadaku."
"Oh Tuhan, takdirkah ini?" Dalam keterkejutannya dia masih teringat Tuhan dalam hatinya. Gadis itu limbung mau pingsan. Tuan Heru cepat-cepat mengajaknya pulang.
Di rumah, Tuan Heru memberinya minuman hangat dan sebuah pil. Entahlah pil apa, Kamilia tidak tahu. Dia hanya perlu menurut, bayangan menjadi seorang pembantu semakin kabur.
****
Kamilia menjerit saat Heru menghujamkan rasa sakit di tubuhnya, berulang kali. Dia hanya mampu menangis tanpa suara. Rasa sakit itu mengisi setiap rongga dalam tubuhnya, mengalir lewat darahnya, memenuhi celah hatinya.
Sebelumnya, lelaki itu menjamah setiap inchi tubuhnya tanpa terlewati. Memamerkan auratnya yang penuh bulu dan menjijikkan. Pria itu sudah tumpul otaknya melihat kemolekannya. Memghentikan pikiran hanya pada wanita .
Kantung mata Kamilia tidak lagi berair. Dia pasrah ketika takdir menjejalkan penderitaan dalam hidupnya. Dia malu saat lembah dan gunung miliknya tak sanggup lagi dia jaga. Nuraninya berteriak minta pertolongan.
"Kamilia kamu hebat, ternyata kamu benar-benar masih asli." Pria bejat itu memuji Kamilia.
"Ya, Tuan." Kamilia hanya mampu mengiyakan. Sebenarnya dia ingin meludahi muka yang kini berada di atas mukanya. Memeluk dirinya dengan erat, seperti tak ingin terpisah. Ingin rasanya Kamilia merobek mulut bau itu. Tuan Heru sempat minum saat tadi membawanya ke salon.
Tak cukup sekali Tuan Heru menjelajahi tubuhnya. Dingin malam yang menggeliat menambah beringas sang tuan mengagahi hambanya. Berpacu berlomba untuk lebih dulu sampai ke puncak.
Kamilia ingin mengeluhkan rasa sakit yang menjalari tubuhnya. Seumpama singa Tuan Heru mencabik-cabik tubuhnya, tanpa kelembutan sedikit pun.
"Aku bukan pelacur!" Ingin dia teriakkan kata itu di telinga Tuan Heru. Namun bibirnya kelu, hanya mampu meringis dengan mata terpejam.
Hasrat lelaki itu seperti tidak pernah padam. Dia tidak peduli dengan setitik noda pada sprei putih tanpa corak. Napasnya mendengkus seperti banteng. Badan Kamilia yang kecil tak berdaya mengimbanginya.
Saat terdengar kumandang adzan subuh, barulah siksaan di badan Kamilia berhenti. Tuan Heru mendengkur sekeras beruang, sesaat setelah menghamburkan lembaran merah ke tubuh Kamilia yang telanjang.
"Ini sisa uangmu, upah untuk malam yang luar biasa."
"Apa dia bilang? Sisa uangmu?" batin Kamilia. Ternyata dia tidak melunasinya tadi kepada Harso.
Hatinya perih seperti terkoyak. Sembilu yang sering menyayatnya saat bertelanjang kaki ke kebun tidaklah seberapa, ini lebih sakit lagi.
Kamilia bangkit, dia teringat Tuhannya saat mendengar suara adzan. Hatinya kecewa, "Mengapa Tuhan meninggalkanku? Mengapa Tuhan tidak datang tepat waktu? Mengapa Tuhan tidak menolongku?" batinnya.
Gadis itu menutup tubuh telanjangnya dengan selimut. Berjalan menuju tempat baju lusuhnya tersimpan, mengambil kain sembahyang. Menyimpannya jauh ke dasar tas. Gadis itu benci Tuhan yang tidak menolongnya, sehingga harus menanggung rasa sakit saat ini.
*****
Duduk diam di bawah kran shower, Kamilia membiarkan tubuhnya diguyur air. Berbaur dengan air yang berlomba turun dari matanya, sehingga tidak bisa dibedakan lagi yang mana air mata.
Dia menggosok tubuhnya kuat-kuat, agar seluruh bekas gigitan sang singa itu luntur tak berbekas. Dia tak ingin dosa-dosa itu masih tercium aromanya. Lelaki itu terlalu wangi, sampai keharumannya menempel pula di tubuh Kamilia.
Kamilia teringat kembali dengan muka bapaknya yang duduk di kursi reyot, teringat kembali muka pucat ibunya. Celotehan adiknya dengan air liur yang berceceran. Begitu pula dengan seringai wajah Harso yang kegirangan.
"Bangsat! Kau sudah menjualku!" geramnya.
Perlahan-lahan api dendam menjalari hatinya. Kamilia bukanlah wanita lemah. Dia bertekad akan membalas semua perbuatan Harso.
Rasa malu tiba-tiba menyeruak saat dirinya teringat Saiful. Dia tidak mungkin lagi mampu memandang wajah teduh itu. Dirinya teramat kotor kini. Kamilia menelan ludah, kerongkongannya terasa kering, menyiksanya dengan dahaga.
Air matanya kembali berlomba dengan air kran. Gadis itu membenturkan kepalanya ke dinding, meraung seperti orang gila. Menggosok badannya semakin keras, sehingga menyisakan bilur-bilur merah.
"Aku tidak akan memaafkan kalian!" jeritnya.
Suara ketukan keras di pintu kamar mandi menyadarkannya. Kamilia memandang nanar ke arahnya. Ketukan itu terdengar semakin keras disertai teriakan tak sabar.
"Mila, Kamilia!"
Itu suara Tuan Heru. Lelaki itu kini akan selalu mengganggu hidupnya. Saat menangis pun dia datang mengusik. Kamilia bangkit, menyeka air matanya. Setelah menyambar handuk dan membelitkannya ke tubuh, dia membuka pintu.
"Apa yang kau lakukan, kau mengganggu tidurku!" bentaknya.
Kamilia diam, menatap mata lelah itu sekilas. Melangkah dengan rambut basah melewatinya, menuju lemari tempat baju-bajunya kini.
Aroma sabun menguar dari tubuh Kamilia. Membangkitkan kembali syahwatnya yang sudah mereda. Tuan tampan itu memburu tubuh Kamilia. Mengangkat lalu melemparnya ke atas kasur.
Rambut gadis itu membasahi bantal. Belum reda perih yang tadi, kini ditambahkannya pula. Kamilia ingin mengeluhkan, tak mau lagi beradu peluh. Namun, dirinya bisa apa? Hati gadis itu semakin terluka, luka yang akhirnya akan membusuk.
Kadung ternoda, Kamilia mencoba berdamai dengan hatinya. Dia menurut saat Tuan Heru menuntut extra, sesuatu yang tak pernah diketahuinya. Dia hanya menyelamatkan raganya, agar bisa mengatur siasat.
"Dendamku harus terbalaskan!"
"Selamat, Bu Kamilia, aduh jagoannya ganteng sekali!" Teman Kamilia setengah berteriak melihat keelokan buah hatinya."Ya, Allah, ini sih ketampanan yang hakiki!" Amira histeris, dasar cerewet.Harus diakui anaknya memang terlahir sangat rupawan, alhamdulillah. Bukan karena pujian ibunya, tapi setiap orang yang datang menengok semua rata-rata terpesona melihatnya. Mungkin karena ibu bapaknya juga memiliki wajah yang cantik dan tampan, namanya juga seorang model.Namun, di balik puja puji tersebut terdapat cerita yang mengiris hati. Kejadian yang hampir merenggut nyawa Kamilia, karunia Allah yang tak terhingga, wanita itu masih bisa bernafas hari ini.Si tampan ini adalah anak Kamilia yang pertama, usia menjelang empat puluh. Kehamilannya memang agak bermasalah, ketika USG, terlihat ari-ari bayi dibawah menghalangi jalan lahir. Namun, Kamilia bersikukuh untuk lahiran normal.Saat lahiran pun tiba, siang Kamilia sudah pergi ke rumah sakit ditemani suaminya, Saiful. Ternyata pembukaan tid
Suasana hening menunggu aksi Saiful selanjutnya. Menerka-nerka apa sebenarnya yang akan terjadi.Lelaki itu berlutut di depan Kamilia. Tangannya mengeluarkan kotak segi empat kecil berwarna merah. Kamilia terpaku melihat tingkah laki-laki itu. Semua yang hadir juga tidak ada yang bersuara. Suasana hening dan syahdu. Seiring musik mengalunkan nada cinta. "Maukah kau menikah denganku?" Bergetar suara Saiful saat menyatakan keinginannya.Suara tepuk tangan gemuruh disertai suitan. Mereka berharap agar Kamilia juga menerima lamaran Saiful. Berkaca-kaca mata Kamilia, tanpa diduga laki-laki yang dicintainya melamarnya kini."Terima … terima!"Hadirin ramai berteriak. Mereka menyemangati Kamilia agar segera menerima cincin itu. Kamilia memandang ayah dan ibunya. Mereka mengangguk tanda setuju.Perlahan-lahan Kamilia menyodorkan tangannya. Saiful menyambutnya, lalu lelaki itu berdiri. Dia mengambil cincin dari kotaknya dan menyematkannya di jari manis Kamilia.Gemuruh tepuk tangan kembali mem
Sore yang cerah membawa Kamilia serta Amira dan Rinai sampai ke sebuah pelataran rumah sederhana. Kamilia dan Amira pergi menemui orang tua Amira. Untuk pertama kalinya Amira pulang setelah pergi selama bertahun-tahun.Tadinya Amira tidak mau tapi Amira memaksanya untuk meminta restu dari orang tuanya. Mereka pergi bertiga dengan Rinai ke rumah Amira."Ini rumahmu?" tanya Kamilia.Gadis itu hanya mengangguk. Dia menatap lekat rumah yang sudah lama ditinggalkannya. Ribuan kenangan berlompatan dalam benaknya. "Aku tidak mau!" seru Amira."Anak durhaka, ikuti dia! Dia akan memberimu pekerjaan." bentak bapak Amira –Zulfikar."Aku masih ingin sekolah, Pak," ratap Amira."Pergilah! Ikuti dia." Suara Zulfikar semakin lemah. Hatinya juga hancur harus merelakan anaknya menjadi pelacur."Mak!" Amira mencoba memohon pertolongan kepada ibunya.Ibunya hanya menggeleng sambil menangis. Matanya sudah bengkak karena menahan tangis sejak tadi. Kini, air matanya tumpah tidak dapat dibendung lagi. Pupu
Kamilia mengusap air matanya. Bersaing dengan hujan yang semakin deras. Lamunan Kamilia semakin dalam. Tok tok tok.Suara ketukan di pintu kembali membuyarkan lamunannya. Rupanya Saiful sudah berada di ambang pintu."Pulang," ajak Saiful."Masih hujan," ujar Kamilia. "Kayak jalan kaki saja, ayo!"Dengan malas Kamilia beranjak dan mengikuti pria itu. Wanita itu tidak ingin membantahnya. Hujan masih mengguyur Jakarta saat mereka menyusuri jalan yang basah. Tampak sepasang laki-laki dan perempuan berjalan dalam hujan. Tangan wanita itu merangkul erat pinggang laki-laki itu. Kamilia membayangkan itu adalah Garganif. Sukar diterima akal, jika dirinya kini telah berpisah. Entah mengapa sakit sekali hati Kamilia membayangkan Garganif dengan wanita lain."Kenapa?" tanya Saiful demi dilihatnya Kamilia hanya duduk mematung. Lelaki itu mengikuti arah pandang Kamilia. Dia melihat sepasang manusia berjalan sambil berangkulan. "Teringat siapa?""Tidak ada, kenapa?" "Enggak, lain dari biasanya.
Kamilia merasa curiga melihat Amira dan Bintang berbisik-bisik sambil melirik ke arahnya. "Ngapain mereka?" pikir Kamilia. Dia melirik ke arah Saiful. Sama juga, lelaki itu tampak tersenyum misterius.Rinai yang sudah selesai berbelanja mengajak Kamilia untuk segera pulang. Namun, Saiful memberi kode bahwa dirinya masih ada tempat yang dituju."Oom masih ada urusan lain. Jangan dulu pulang, ya!" bujuk Saiful."Mungkin dia ada urusan mendadak," pikir Kamilia.Berlima mereka menaiki mobil mewah keluaran terbaru. Bintang dan Amira duduk bersebelahan di belakang. Rinai dipangku oleh Kamilia. Terlihat sebagai keluarga yang sangat bahagia. Kamila tersenyum bahagia, begitu pula Saiful. Lelaki itu selalu menyunggingkan senyum."Apa ih, senyam-senyum?" tanya Kamilia."Tidak apa-apa. Sebaiknya kamu tutup mata deh," jawab Saiful."Kenapa? Kalian pada kenapa, sih? Kok mencurigakan?" Kamilia bertanya."Tidak ada apa-apa?" Saiful tersenyum penuh misteri."Apa, sih?" Kamilia menggerutu. "Sok mister
Hari ini Kamilia berniat untuk pergi ditemani oleh Saiful dan Rinai. Bintang dan Amira juga merengek ingin ikut. Dasar, ada-ada saja mereka ini. "Ayolah, Kak, cuma ikut saja nggak minta digendong, kok," kata Amira dengan wajah merajuk. Mau tak mau membuat Saiful dan Kamilia tersenyum dan mengangguk ke arah mereka berdua. Kubiarkan mereka asik menikmati permainan di mall itu, saat Kamilia sendiri memilih masuk pada sebuah salon kecantikan terkenal di tempat itu. Sekarang saatnya dia memanjakan diri, sedikit melupakan hal-hal yang membuat otak dan pikiran lelah dan stress.Saiful dan yang lainnya juga seperti tak keberatan meluangkan waktu hanya untuk menunggui Kamilia yang membutuhkan waktu hingga dua jam lebih itu.Setelahnya, mereka berjalan beriringan. Menyusuri satu demi satu toko yang menjual aneka barang dagangannya, lalu berhenti di sebuah toko baju yang menyediakan perlengkapan kebutuhan anak-anak. Selain desain yang menarik, harganya juga masih ramah dikantong dengan model ya