Share

MELAHIRKAN LEWAT MULUT
MELAHIRKAN LEWAT MULUT
Author: Lady ArgaLa

BAB 1.

Author: Lady ArgaLa
last update Last Updated: 2024-05-15 22:53:24

"Eh, Neng Mirna. Ya Allah, makin cantik ya semenjak hamil," celetuk salah satu tetangga Mirna, Leha namanya seorang janda yang tidak punya anak.

Mirna tersenyum lembut, wajah manisnya selalu bisa menghipnotis semua mata yang melihat.

"Alhamdulillah, Mbak Leha. Semoga nanti bayinya ketularan cantik," balas Mirna ramah.

Sambil mengelus perut yang sudah membesar, Mirna berjalan pulang ke rumah setelah jalan-jalan pagi seperti yang di sarankan bidan desa.

Hawa dingin membelai wajah putih nan mulus Mirna, senyum berhias lesung pipi berkali-kali tersungging kala berpapasan dengan warga setempat. Rambutnya yang panjang, indah tergerai memanjakan mata sifatnya yang lemah lembut dan penyayang pun menjadi nilai plus di mata masyarakat. Tak salah jika Mirna di juluki sebagai kembang desa yang membawa keberuntungan.

Pernyataan itu pun semakin menguat kala beberapa waktu lalu Mirna di lamar oleh seorang lelaki kaya dari kota, pesta mewah mewarnai kampung hingga tiga hari lamanya. Membuat banyak gadis yang ingin bernasib sama seperti Mirna. Cantik, pintar, di sayangi banyak orang, dan kini menjadi istri orang kaya pula. Siapa yang tidak mau?

"Assalamualaikum," ucap Mirna sambil masuk ke dalam rumah orang tuanya, rumah permanen yang baru beberapa bulan lalu di renovasi oleh sang suami, Andika namanya. Seorang lelaki tampan dengan wajah bak rembulan dan tubuh seperti binaragawan, sangat pas menggambarkan seorang Andika.

"Waalaikumsalam, baru pulang, nak?" Bu Kemala menghampiri putri semata wayangnya yang tampak kesusahan saat hendak duduk.

"Iya, bu. Habis ke kebun yang baru itu, liat pohon nangka," celoteh Mirna setelah di bantu duduk oleh ibunya.

"Tsk, kamu itu loh, Mir. Kamu kan mau lahiran masa sempat sempatnya ngidam nangka, kalau kata orang tua jaman dulu nggak boleh loh, Mir. Takut lengket nanti perutnya," seloroh Bu Mala sambil lalu ke dapur.

Mirna hanya tersenyum menanggapi walau sebenarnya dia tidak begitu percaya dengan yang seperti itu, baginya ibu hamil dan menyusui itu boleh saja makan apa saja selama tidak berlebihan.

Bu Mala kembali sambil membawa sebuah nampan berisi teh hangat.

"Ini, minum dulu. Biar hangat perut nya, biar cucu ibu nggak kedinginan." tangan Bu Mala terulur mengelus lembut perut buncit Mirna.

"Mas Dika kemana, Bu?" tanya Mirna sambil menyesap teh.

"Lagi di kamar mandi, suamimu itu kok ya baiknya kebangetan. Masa tadi pulang dari pasar yang ibu minta tolong beliin bumbu, kamu tahu dia bawa apa?"

Mirna menggeleng bingung. "Memangnya Mas Dika bawa apa, bu?"

"Bawa kue sama bakul bakulnya, tahu kamu. Katanya kasian sama nenek nenek yang jual biar bisa pulang jadi di borong semua sama dia."

Mirna tergelak. "Terus sekarang kuenya mana, bu?"

"Ya ibu suruh bagiin sama tetangga, kue sebanyak itu mana habis kita sekeluarga aja yang makan," jelas Bu Mala sambil menggeleng pelan mengingat kekonyolan menantunya.

"Bu, ini sisa kuenya tadi kok nggak di makan?" tiba-tiba yang di bicarakan sejak tadi muncul, dengan senyum lembut dan wajah tampan yang memikat.

"Eh, iya ibu lupa. Siniin kuenya, Dika biar di makan sama sama." bu Mala melambai pada sang menantu kesayangan yang membawa sepiring kue basah aneka warna.

"Iya, Mas. Adek juga mau dong kuenya," timpal Mirna manja, semenjak hamil Mirna memang sangat manja dengan suaminya terlebih sang suami selalu siap siaga dengan semua tingkahnya membuat Mirna semakin jatuh cinta berkali kali pada Andika.

Andika mendekat lalu meletakan piring berisi kue itu ke meja.

"Ini, ratuku pilih aja yang kamu mau ya, biar anak kita seneng," ucap Dika lembut sambil mengelus sayang perut buncit sang istri. Membuat wajah Bu Mala mesam mesem melihat tingkah anak dan menantunya yang tak segan bermesraan di depannya.

"Oalah, Pak! Pak! Sini tho, Pak!" seru Bu Mala sambil mesem mesem lalu berlalu dari sana mencari suaminya.

Andika dan Marni saling pandang dengan wajah memerah.

"Mas sih, jadi malu kan sama ibuk," lirik Marni mendorong pelan tubuh suaminya.

Namun Andika justru mendekat dan merangkul Marni erat.

"Nggak papa, kan udah sah ini."

Marni tertawa senang lalu kembali melanjutkan makan sambil bersenda gurau dengan Andika.

*

*

*

Malam harinya.

"Dek, Mas di masjid sampe isya ya. Nanti kalau ada apa apa langsung telpon, jangan kemana mana ya, sayang."

"Iya, Mas. Hati hati ya."

Andika mengecup kening Marni lalu berlalu keluar menjumpai bapak mertuanya yang telah menunggu untuk sholat maghrib di masjid.

"Masuk, nduk. Tutup pintunya," titah Bu Mala kemudian.

Marni mengangguk dan menutup pintu utama rumah, baru melangkah masuk Marni mendadak merasakan perutnya mengencang.

"Kenapa, nduk? Kok mukanya tegang begitu?" tanya Bu Mala khawatir, wanita paruh baya yang hanya mempunyai satu anak itu mendekat lalu memegang perut anaknya.

Marni menarik nafas dalam sampai perutnya mengendur kembali, barulah menjawab pertanyaan ibunya.

"Nggak papa, bu. Tadi mendadak kenceng tapi sekarang udah nggak papa, kan memang wajar kata bidan, bu."

"Ya sudah kalau begitu, kamu istirahat di kamar, nduk. Ibu mau sholat maghrib dulu, kamu kalau susah sholatnya sambil duduk saja ya."

Marni mengangguk lalu masuk ke kamarnya, namun sesampai nya di dalam Marni malah berbaring dan memejamkan mata. Salah satu hal buruk yang terjadi semenjak menikah, Marni yang dulunya sangat rajin beribadah menjadi sangat malas melaksanakan nya terlebih semenjak hamil. Seperti ada sesuatu yang menahannya melakukan kewajibannya tersebut.

Tepat saat azan isya berkumandang, Marni tersentak bangun. Keringat dingin membanjiri wajah cantiknya hingga sebagian rambutnya basah oleh keringat.

"Buu ....," rintih Marni kala merasakan sakit yang luar biasa menyerang bagian perutnya.

Bu Mala yang baru saja selesai mengambil wudhu langsung berlari menghampiri kamar anaknya, firasatnya sebagai seorang ibu mengatakan jika Marni akan melahirkan malam ini.

"Ya Allah, nduk. Kenapa? Perutnya sudah mulai mules ya?" cepat Bu Mala duduk di sisi Marni sambil mengelus perut dan punggungnya.

Marni mengangguk tipis dengan wajah mengencang menahan sakit, bahkan ia sampai tidak sadar jika bibir bawahnya berdarah saking kuatnya ia menggigil demi menahan sakit.

"Ibu telpon bapak sama suamimu dulu, tahan ya, nduk."

Bu Mala buru-buru keluar dan menghubungi suaminya, menyampaikan kabar yang telah lama mereka tunggu pun yang membuat sekeluarga panik saat itu juga.

"Iya iya, bu. Habis sholat bapak sama Dika langsung pulang."

"Jangan lupa jemput bidan Saras, Pak."

"Iya, Bu. Ya sudah jaga Marni, sebentar lagi kami pulang."

Setelah panggilan telepon di matikan, Bu Mala bergerak gelisah di luar kamar Marni.

"Nduk, kamu masih kuat? Ibu mau sholat dulu biar nanti persalinan kamu di permudah ya." bu Mala melongok dari pintu kamar Marni.

Marni dengan wajah basah kuyup oleh keringat menoleh, matanya yang sayu mengisyaratkan ketakutan sebab ini pengalaman pertamanya dan rasa sakitnya sangat luar biasa.

"Di sini aja, bu. Marni nggak kuat, ini sakit sekali, bu."

Marni mulai menangis, sambil memegangi perut buncitnya yang mulai merasakan mulas yang teratur.

"Ya sudah, ibu ambilkan air hangat dulu untuk kamu kalau gitu. Nanti ibu balik lagi."

Gegas Bu Mala ke dapur dan mengurungkan sebentar niatnya untuk sholat isya, toh waktunya masih sangat panjang pikir Bu Mala.

Tak berapa lama, Pak Bagus dan Dika pulang. Bersama mereka turut serta pula bidan Saras, bidan desa yang sudah di wanti wanti untuk menangani Marni saat akan melahirkan.

Bu Mala langsung saja mempersilahkan bidan tersebut masuk karna Marni sudah mulai berteriak karna sangat kesakitan.

"Bu bidan, saya boleh dampingi istri saya?" pinta Dika memohon.

Bidan Saras mengangguk cepat dan keduanya pun masuk ke kamar dimana Marni semakin berteriak karna kesakitan.

"Aaarrhghhhh, saaakiiiitttt! Aaaakkkhhhh!! Aaakkkhhhh!"

Bu Mala memeluk Pak Bagus, suaminya dengan air mata berjatuhan sebab tak tega mendengar jeritan anaknya yang tengah berjuang melahirkan buah hatinya.

"Yang kuat, Bu. Insyaallah anak kita pasti bisa, sebentar lagi kita jadi kakek dan nenek," bisik Pak Bagus menenangkan.

Namun baru saja Bu Mala merasakan ketenangan, mendadak semuanya terusik sebab suara aneh yang muncul dari dalam kamar Marni di susul bidan Saras yang berlari pontang panting bak di kejar setan.

"Aahhhhh, TOLOOOOONGGGG!" pekik bidan Saras menjauh.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MELAHIRKAN LEWAT MULUT   BAB 45.

    Rumah peninggalan Bu Ambar sudah tak lagi aman, jin pesugihan yang di pelihara Pak Yono rupanya mulai mengincar Ranti sebab tak ada lagi yang memberinya makan setelah Pak Yono di penjara dan menjadi gila. Setelah kejadian tersebut, Pramono memutuskan membawa Ranti untuk tinggal di kediamannya saja, membawa serta bebek bebek dan unggas Pak Yono yang lain untuk di rawat di sana."Mas, jangan pergi jauh jauh ya." Ranti tampak cemas saat akan kembali memasuki rumah Pramono yang berhasil menorehkan luka untuk yang ke sekian kalinya untuknya.Pramono menoleh dan mengelus kepala sang istri. "Insyaallah nggak, kebun Mas kan di belakang rumah ini. Ada bebek juga sekarang, jadi nggak perlu pergi jauh jauh. Tapi kalau nanti adek mau jalan jalan bilang ya, di rumah terus kan pasti bosen." Ranti mengangguk riang dan mereka pun memulai hidup baru mereka di sana dengan lebih tenang.***Kembali ke pondok pesantren Daruttaqwa.Di teras rumah Ustad Yusuf yang lebih akrab di sapa abah oleh para sa

  • MELAHIRKAN LEWAT MULUT   BAB 44.

    Di sana di depan matanya sendiri Pramono melihat Ranti tengah mengarahkan sebilah belati ke lehernya. Matanya tampak kosong menjelaskan jika bukan inginnya melakukan semua itu. Bahkan suara teriakan Pramono saja seperti tak terdengar olehnya. Saat belati hampir menyentuh kulit lehernya yang mulus, Pramono bergerak cepat menepis tangan Ranti hingga pisau itu terjatuh ke bawah ranjang."Astagfirullah, dek! Nyebut, dek kamu ngapain?" seru Pramono cemas bukan main. Namun bukannya menjelaskan,Ranti justru jatuh pingsan."Ya Allah, ada ada aja cobaan. Dek! Dek Ranti, bangun." Pramono mengangkat tubuh Ranti keluar, di depan kamar tampak Leha menghampiri dengan wajah tegang."Kang! Kenapa teriak teriak? Astagfirullah, kenapa Ranti, kang?" cecarnya kaget."Nanti saja ceritanya, dek. Tolong bawain bantal." Pramono melewati Leha dan terburu buru melangkah ke ruang tanu dimana sang ibu berada bersama Bu Mala dan Azzam." Loh loh, le? Kenapa Ranti?" tanya Mak Yem heran, pun demikian dengan Bu

  • MELAHIRKAN LEWAT MULUT   BAB 43.

    Setelah berpulangnya Bu Ambar, Ranti kembali menempati rumah mereka. Selain karna Pak Yono tidak ada juga ada banyak unggas peliharaan mereka yang butuh di urus. Untungnya Pramono berhasil meyakinkan istri kecilnya itu untuk kembali, dan berjanji akan membantunya mengurus unggas unggas mereka untuk bekal masa depan mereka."Terima kasih ya, Mas sudah mau bertahan sejauh ini." Ranti bersandar di dada bidang Pramono, saat mereka tengah duduk di teras belakang yang menghadap langsung ke kandang unggas yang luas.Pramono mengelus pundak istrinya, lembut dan penuh kasih sayang. Tak rasa jijik mengingat apa yang terjadi pada Ranti, melainkan rasa ingin melindungi yang semakin besar dalam dirinya."Sama sama, kalau adek sudah merasa lebih baik nanti kita ke kantor polisi ya. Kasus bapak perlu segera di tuntaskan, dek." Ranti mendongak, menatap lekat mata suaminya. "Mas ... yakin?" "Adek masih takut?" Ranti mengangguk samar. "Terlalu mengerikan untuk tidak takut, Mas." Pramono merasak

  • MELAHIRKAN LEWAT MULUT   BAB 42.

    Saat tengah kebingungan dengan asal bau bangkai yang sangat tidak enak tersebut, dari arah jalan tampak Bu Mala dan Pak Bagus tengah menggandeng Azzam, bocah itu tampak sangat senang menenteng joran pancing sambil bercanda dengan keduanya."Loh, Pram? Ngapain?" sapa Pak Bagus saat telah sampai di depan halaman Pak Yono. Pramono turun lalu menyalami tangan Pak Bagus dan Bu Mala, di ikuti Ranti yang tampak terus menunduk menyembunyikan wajahnya."Ini, Lek mau jenguk ibu mertuaku. Tapi rumahnya kok sepi e? Paklek sama bulek tahu nggak kemana?" Pak Bagus tampak saling pandang sejenak dengan Bu Mala, sedang Azzam sudah lebih dulu kembali ke rumah mereka untuk mandi."Nggak tahu, le. Sudah beberapa hari juga Bu Ambar nggak keliatan, kami kira malah pulang kampung atau nginep di tempatmu," jelas Bu Mala apa adanya.Kembali angin bertiup, awan mendung berarak sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Dan saat itu kembali bau bangkai yang menyengat kembali menyeruak."Huek! Astagfirullah,

  • MELAHIRKAN LEWAT MULUT   BAB 41.

    Mata bening Aini mengerjab, kembali terpejam saat cahaya dari luar terlalu silau baginya."Bunda!" Sultan naik ke tempat tidur dan langsung berbaring di tubuh sang bunda, tangan kurus Aini bergerak alami memeluk tubuh sang putra."Alhamdulillah," ucap Alfi dan Umi Maryam berbarengan, keduanya kompak mendekat pada Aini yang mulai membuka mata. Tatapan matanya tak lagi kosong seperti biasanya."Mbak, alhamdulillah. Mbak baik baik saja kan, Mbak? Mbak inget Afi kan? Mbak inget Sultan kan?" cecar Alfi dengan luapan kegembiraan yang luar biasa. Aini duduk dan merangkul Sultan erat, matanya mulai basah oleh air."Iya, dek iya Mbak inget semuanya. Mbak inget, mbak seneng sekali akhirnya bisa pulang," jawab Aini. Dan inilah dia, Aini yang selama ini di kenal Alfi dan orang orang sekitar. Sosoknya yang penyayang dan lemah lembut, juga sangat keibuan hampir tak pernah meninggikan suaranya walau dalam keadaan sangat marah sekalipun. Mungkin akan sangat sulit di percaya jika Alfi bercerita j

  • MELAHIRKAN LEWAT MULUT   BAB 40.

    Dika termenung di depan pusara baru di hadapannya, pusara itu milik mayat yang di ketemukan dalam kondisi mengenaskan setelah di makan buaya tempo hari. Usut punya usut, rupanya mayat itu adalah salah satu dari anak buah Pak Wirya. Sugiarto namanya, seorang duda yang sudah tak punya orang tua dan keluarga Tak ada yang tahu bagaimana kejadian awal kecelakaan itu, karna tidak adanya saksi mata. Sedang Pak Wirya pun kini masuk dalam daftar pencarian orang hilang."Kita pulang, Mas?" tanya Gus Amar setelah berbincang sejenak dengan petugas dari kepolisian yang menangani kasus hilangnya Pak Wirya. Dika mengangguk, lalu perlahan mengikuti langkah Gus Amar kembali ke pondok pesantren."Gus, apa boleh saya bertemu dengan Aini?" tanya Dika sesaat setelah mereka tiba di kediaman. Gus Amar mengernyit, sudah beberapa waktu sejak Dika mengembalikan Aini pada Alfi, dan kini kakak beradik itu memilih tinggal tak jauh dari kawasan pondok atas permintaan Umi Maryam yang masih khawatir dengan kese

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status