Kedatangan Dikta untuk menetap di Jakarta membuatku merasa serba salah. Di satu sisi, aku merasa senang karena kehadiran Dikta mengobati sedikit rasa rinduku pada kampung halaman. Namun di sisi yang lain, aku merasa khawatir ia akan mengetahui tentang hubunganku dengan Arsya dan perjanjian di antara kami.Andai keadaannya berbeda, aku pasti sudah menyewa kontrakan sederhana di pinggir kota dan tinggal bersama Dikta. Namun semuanya telah terjadi. Jika mengurut ke belakang tentang penyebab semua ini, pikiranku akan semakin penuh. Aku menghela napas, hanya bisa berharap bahwa Dikta tidak akan mengetahuinya.Menatap layar ponsel, aku teringat bahwa aku belum menanyakan di perusahaan mana Dikta bekerja. Perlahan kupilih nomor kontak Dikta untuk meneleponnya. Namun jemariku terhenti saat melihat panggilan masuk dari sederet nomor asing. Ragu sesaat, tetapi kemudian kuangkat panggilan itu."Halo. Apa benar ini nomor ponsel Abelia?" Suara lembut keibua
Dua minggu sudah Dikta bekerja di PT. Vibrant Indo Manufacture. Ia masih menunggu ajakan makan siang bersama Delisha seperti yang dijanjikan oleh gadis itu. Pucuk di cinta, ulam pun tiba. Dikta mendapat telepon dari Delisha saat sedang memikirkannya. Siang itu mereka berjanji untuk makan bersama di sebuah kafe. Dikta merapikan sedikit kemejanya saat akan memasuki kafe. Delisha sudah duduk menunggu sambil menikmati secangkir latte. Ia tersenyum kala melihat Dikta yang tentu saja dibalas oleh pemuda itu dengan senyuman dan wajah semringah. Apalagi saat dilihatnya penampilan Delisha yang rapi dan berseri. "Jadi, kamu bisa masuk di PT. Vibrant Indo Manufacture atas rekomendasi siapa?" Delisha memulai pembicaraan setelah pramusaji mengantarkan makanan mereka. "Tidak atas rekomendasi siapa-siapa, Kak. Kemarin mereka memang sedang membuka lowongan pekerjaan dan aku mencoba mengikuti seleksi," jawab Dikta sambil mengunyah makanannya. "Really? Saya kira atas rekomendasi kakak kamu." Delisha
Pagi itu, Arsya segera membuka rapat ketika semua peserta telah berkumpul. Dikta memperhatikan sikap si direktur muda yang bicara seperlunya, tidak banyak tersenyum ataupun beramah-tamah. Sama sekali tak tampak seperti bos genit meskipun memiliki sekretaris yang muda dan cantik. Namun, siapa yang tahu perilakunya di luar kantor? Maka Dikta tak ingin cepat menyimpulkan dan masih mencoba menilik gerak-gerik sang bos. Sebuah pertanyaan melintas di benak Dikta. Kalau memang Arsya dan Abelia memiliki hubungan, bagaimana keduanya bisa saling mengenal? Tentu tidak mudah bisa mengenal apalagi mendekati seorang direktur perusahaan besar seperti Arsya.Lamunan Dikta buyar ketika mendengar Arsya meminta laporan dari setiap manajemen. "Penjualan alat berat mengalami kenaikan 15% dibandingkan tahun lalu. Permintaan terhadap produksi alat berat juga terus naik. Sebanyak 60% penjualan kita adalah untuk sektor pertambangan, sisanya untuk sektor lain termasuk konstruksi. Produksi alat berat PT. Vibra
"Apa-apaan kamu, Dikta?!" hardikku begitu melihat Arsya yang sedikit terhuyung akibat tinju Dikta yang sangat keras.Aku memegangi lengan Arsya dan merasa panik begitu melihat setitik darah menetes dari bibirnya. Arsya mengelap ujung bibirnya sambil berbisik padaku bahwa ia baik-baik saja. Namun, aku bisa melihat raut wajahnya yang tak terima atas pukulan Dikta. Hanya saja Arsya mungkin mencoba menahan amarahnya karena Dikta adalah adikku."Ada apa, Dikta?! Dan kenapa kamu datang ke sini tanpa mengabari kakak?" cecarku."Kakak menyuruhku untuk mengabari sebelum datang kemari karena takut ketahuan bahwa Kakak menjalin hubungan dengan pria berengsek ini, 'kan?!" Dikta menunjuk wajah Arsya."Chill, Dikta. Let's have a seat and talk." Arsya berkata dengan tenang."Shut up," ucap Dikta sinis kemudian beralih lagi padaku. "Pantas saja sikap Kakak mencurigakan, seperti sedang menyembunyikan sesuatu."Aku menatap
Lingkungan kerja PT. Vibrant Indo Manufacture sebenarnya sangat menyenangkan bagi Dikta. Namun, karena permasalahan pribadinya dengan Arsya, Dikta tetap memutuskan untuk mengundurkan diri. Ada rasa sedih menyelinap di hati Dikta, karena perusahaan itu salah satu impiannya sejak dulu. Nyatanya, harga diri atau mungkin egonya lebih berpengaruh dalam mengambil keputusan.Dikta masih bekerja di sana selama menunggu masa training yang akan selesai dalam beberapa hari. Menjelang jam makan siang, ia mendapat telepon dari Delisha yang kembali mengajaknya bertemu. Sebenarnya Dikta sudah enggan bertemu, tetapi juga dia merasa tidak enak untuk menolak. Maka saat jam makan siang, mereka bertemu di taman yang letaknya tak jauh dari kantor mereka masing-masing."Jadi, bagaimana tentang Abelia dan Arsya? Sudah kamu selidiki?" tanya Delisha langsung setelah mereka saling menyapa.Terdiam sejenak, Dikta lalu mengangguk. "Apa yang Kak Delisha bilang itu benar."
Rasa kesal masih meliputi hati Delisha karena penolakan Dikta kemarin untuk bekerja sama memisahkan Arsya dan Abelia. Namun, Delisha tak merasa sedih karena informasi dari pemuda itu tentang hubungan Arsya dan Abelia sudah dimilikinya. Awalnya Delisha ingin langsung mengadu pada Yunita, tetapi urung. Delisha merasa harus menemukan hal lain lagi agar pengaduannya pada Yunita lebih sempurna. Siang itu Delisha kembali mengunjungi PT. Vibrant Indo Manufacture. Dikta yang melihatnya segera memalingkan wajah seolah ingin menghindarinya. Delisha tak peduli dan terus berjalan ke arah ruangan Arsya sambil membawa kotak bekal. Saat Delisha berdiri di dekat meja sekretaris direktur, Arsya tiba-tiba saja keluar dari ruangan. Delisha segera merapikan rambutnya dengan jemari dan tersenyum manis pada pujaan hatinya itu. Hatinya semakin berbunga ketika Arsya mengajaknya masuk ke dalam ruang direktur. Dengan langkah riang, Delisha mengikuti Arsya ke dalam. "Aku ta
Sudah sejak tadi Abelia berselancar di internet, mencari inspirasi kado untuk seorang pria. Minggu depan Arsya akan berulang tahun dan Abelia berniat untuk memberinya kado. Namun, ia belum menemukan kado yang sesuai menurutnya. Jam tangan terdengar cocok, tetapi ia tahu merek jam tangan yang biasa dipakai oleh Arsya harganya sangat mahal. Ia pun mencoret jam tangan dari daftar referensi.Abelia tersentak ketika mendegar suara bel. Ternyata Luki yang datang membawakan pesanan Arsya berupa mesin espresso otomatis dan alat grill. Abelia hanya bisa menggaruk kepalanya karena Arsya suka sekali membelikan barang-barang elektronik seperti itu, padahal ia tak benar-benar membutuhkannya."Terima kasih, Pak," ucap Abelia pada Luki yang kemudian meninggalkan apartemennya.Sepeninggalan Luki, Abelia menelepon Arsya untuk protes. Arsya berkelit bahwa itu untuknya juga agar mudah kalau ingin minum kopi atau kalau mereka ingin barbeque. Selanjutnya Arsya meng
Langit mulai gelap ketika aku hampir menyelesaikan masakanku. Garlic-butter Steak dan Potato Gnocchi kupilih sebagai menu makan malam. Sebagai ganti makan malam di luar, aku telah mengusulkan pada Arsya agar kami makan malam di apartemen saja. Entahlah, tetapi setelah ini, kami mungkin tak akan bertemu lagi. Maka aku ingin menghabiskan malam berdua saja dengannya tanpa orang lain. Menu makan malam telah terhidang di atas meja makan. Bergegas aku mandi dan bersalin pakaian karena sebentar lagi Arsya datang. Aku mengenakan gaun berkerah sabrina dengan panjang selutut dan juga merias wajah sedikit. Tanpa sadar seulas senyum hadir di wajahku. Sungguh tak kusangka aku mau merepotkan diri demi ulang tahunnya. Atau mungkin aku melakukannya karena kami akan berpisah? "Abelia?" Sebuah suara membuatku tersentak. Kualihkan wajahku dari cermin ke arah pintu. Arsya sudah berada di sana sambil mengulum senyum memandangiku. Segera aku melangkah mendekati Arsya d