"Apa-apaan kamu, Dikta?!" hardikku begitu melihat Arsya yang sedikit terhuyung akibat tinju Dikta yang sangat keras.
Aku memegangi lengan Arsya dan merasa panik begitu melihat setitik darah menetes dari bibirnya. Arsya mengelap ujung bibirnya sambil berbisik padaku bahwa ia baik-baik saja. Namun, aku bisa melihat raut wajahnya yang tak terima atas pukulan Dikta. Hanya saja Arsya mungkin mencoba menahan amarahnya karena Dikta adalah adikku."Ada apa, Dikta?! Dan kenapa kamu datang ke sini tanpa mengabari kakak?" cecarku."Kakak menyuruhku untuk mengabari sebelum datang kemari karena takut ketahuan bahwa Kakak menjalin hubungan dengan pria berengsek ini, 'kan?!" Dikta menunjuk wajah Arsya."Chill, Dikta. Let's have a seat and talk." Arsya berkata dengan tenang."Shut up," ucap Dikta sinis kemudian beralih lagi padaku. "Pantas saja sikap Kakak mencurigakan, seperti sedang menyembunyikan sesuatu."Aku menatapLingkungan kerja PT. Vibrant Indo Manufacture sebenarnya sangat menyenangkan bagi Dikta. Namun, karena permasalahan pribadinya dengan Arsya, Dikta tetap memutuskan untuk mengundurkan diri. Ada rasa sedih menyelinap di hati Dikta, karena perusahaan itu salah satu impiannya sejak dulu. Nyatanya, harga diri atau mungkin egonya lebih berpengaruh dalam mengambil keputusan.Dikta masih bekerja di sana selama menunggu masa training yang akan selesai dalam beberapa hari. Menjelang jam makan siang, ia mendapat telepon dari Delisha yang kembali mengajaknya bertemu. Sebenarnya Dikta sudah enggan bertemu, tetapi juga dia merasa tidak enak untuk menolak. Maka saat jam makan siang, mereka bertemu di taman yang letaknya tak jauh dari kantor mereka masing-masing."Jadi, bagaimana tentang Abelia dan Arsya? Sudah kamu selidiki?" tanya Delisha langsung setelah mereka saling menyapa.Terdiam sejenak, Dikta lalu mengangguk. "Apa yang Kak Delisha bilang itu benar."
Rasa kesal masih meliputi hati Delisha karena penolakan Dikta kemarin untuk bekerja sama memisahkan Arsya dan Abelia. Namun, Delisha tak merasa sedih karena informasi dari pemuda itu tentang hubungan Arsya dan Abelia sudah dimilikinya. Awalnya Delisha ingin langsung mengadu pada Yunita, tetapi urung. Delisha merasa harus menemukan hal lain lagi agar pengaduannya pada Yunita lebih sempurna. Siang itu Delisha kembali mengunjungi PT. Vibrant Indo Manufacture. Dikta yang melihatnya segera memalingkan wajah seolah ingin menghindarinya. Delisha tak peduli dan terus berjalan ke arah ruangan Arsya sambil membawa kotak bekal. Saat Delisha berdiri di dekat meja sekretaris direktur, Arsya tiba-tiba saja keluar dari ruangan. Delisha segera merapikan rambutnya dengan jemari dan tersenyum manis pada pujaan hatinya itu. Hatinya semakin berbunga ketika Arsya mengajaknya masuk ke dalam ruang direktur. Dengan langkah riang, Delisha mengikuti Arsya ke dalam. "Aku ta
Sudah sejak tadi Abelia berselancar di internet, mencari inspirasi kado untuk seorang pria. Minggu depan Arsya akan berulang tahun dan Abelia berniat untuk memberinya kado. Namun, ia belum menemukan kado yang sesuai menurutnya. Jam tangan terdengar cocok, tetapi ia tahu merek jam tangan yang biasa dipakai oleh Arsya harganya sangat mahal. Ia pun mencoret jam tangan dari daftar referensi.Abelia tersentak ketika mendegar suara bel. Ternyata Luki yang datang membawakan pesanan Arsya berupa mesin espresso otomatis dan alat grill. Abelia hanya bisa menggaruk kepalanya karena Arsya suka sekali membelikan barang-barang elektronik seperti itu, padahal ia tak benar-benar membutuhkannya."Terima kasih, Pak," ucap Abelia pada Luki yang kemudian meninggalkan apartemennya.Sepeninggalan Luki, Abelia menelepon Arsya untuk protes. Arsya berkelit bahwa itu untuknya juga agar mudah kalau ingin minum kopi atau kalau mereka ingin barbeque. Selanjutnya Arsya meng
Langit mulai gelap ketika aku hampir menyelesaikan masakanku. Garlic-butter Steak dan Potato Gnocchi kupilih sebagai menu makan malam. Sebagai ganti makan malam di luar, aku telah mengusulkan pada Arsya agar kami makan malam di apartemen saja. Entahlah, tetapi setelah ini, kami mungkin tak akan bertemu lagi. Maka aku ingin menghabiskan malam berdua saja dengannya tanpa orang lain. Menu makan malam telah terhidang di atas meja makan. Bergegas aku mandi dan bersalin pakaian karena sebentar lagi Arsya datang. Aku mengenakan gaun berkerah sabrina dengan panjang selutut dan juga merias wajah sedikit. Tanpa sadar seulas senyum hadir di wajahku. Sungguh tak kusangka aku mau merepotkan diri demi ulang tahunnya. Atau mungkin aku melakukannya karena kami akan berpisah? "Abelia?" Sebuah suara membuatku tersentak. Kualihkan wajahku dari cermin ke arah pintu. Arsya sudah berada di sana sambil mengulum senyum memandangiku. Segera aku melangkah mendekati Arsya d
Sesuai janji, Abelia menghubungi Yunita sehari setelah ulang tahun Arsya berlalu. Abelia sudah mengemasi semua barangnya ke dalam koper besar. Tak banyak barang yang dibawanya. Hanya pakaian dan berbagai perlengkapan, sedangkan semua perabotan di apartemen itu Arsya yang membeli. Maka tak ada yang perlu Abelia bawa.Abelia juga berniat mengembalikan beberapa barang mewah pemberian Arsya kepada Yunita nanti, kecuali ponsel dan laptop karena di dalamnya sangat banyak data penting. Namun, Abelia telah menghitung harganya dan memasukkan ke dalam rincian uang pengeluaran Arsya yang juga ingin dikembalikannya. Sedikit pun ia tak ingin berutang.Sebelum Yunita datang, Abelia menyempatkan untuk menelepon ibunya. Sejak beberapa hari lalu, ia sudah mengabarkan akan pulang ke Lampung. Namun, hari ini Abelia ingin memastikan kepulangannya lagi. Abelia terdiam sejenak ketika ibunya mengatakan bahwa Dikta juga sudah berada di Lampung. Adik laki-lakinya itu sedikit pun ta
Masih berada di apartemen Abelia, Arsya menelepon Luki untuk mengonfirmasi dugaannya. Awalnya Luki tak berani mengatakan apa pun, tetapi akhirnya sopir keluarga Hadinata itu menceritakan semuanya. Luki meminta maaf pada Arsya dan mengatakan bahwa ia membongkar semuanya karena takut akan ancaman Yunita yang akan memecat keluarganya dari pekerjaan mereka di kediaman Hadinata.Arsya tak marah pada Luki, ia justru kecewa pada Yunita. Meskipun sudah menduganya, Arsya tak percaya mamanya akan berbuat setega itu. Mungkin semua ini ada campur tangan Delisha, tetapi tetap saja yang mengambil keputusan adalah Yunita. Sementara Arsya sudah pernah menegaskan bahwa ia sangat menginginkan Abelia.Tak ingin membuang waktu, Arsya segera meninggalkan apartemen studio yang biasa ditempati oleh Abelia itu dan melajukan mobil menuju rumah keluarganya. Setibanya di sana, terlihat Yunita menyambut putranya dengan senyum semringah. Sudah cukup lama Arsya tak pulang ke rumah kelua
Suasana yang dirindukan kini terhampar di kanan kiri saat Abelia sudah berada di dalam taksi menuju lokasi rumahnya yang tak terlalu jauh dari pusat kota. Abelia memejamkan mata sesaat, menghirup aroma kampung halaman sembari memikirkan pertemuan dengan ibunya, Dikta, dan Ruben nanti. Senyum Abelia mengembang begitu melihat sang ibunda telah menunggu di depan pintu. Seruni (ibu Abelia) segera menghambur dan memeluk anak perempuan satu-satunya itu. Puas menciumi Abelia, Seruni mengajak anaknya itu masuk. Dikta menyalami Abelia dan membantu membawakan koper ke dalam. Kekakuan antara Abelia dan Dikta dapat sedikit dihindari karena keceriaan Seruni. Melihat ekspresi Seruni yang begitu ceria, Abelia merasa lega. Namun, dalam hati ia bertanya-tanya apakah Dikta sudah menceritakan tentang hubungannya dengan Arsya dan tentang perselingkuhan ayah mereka pada sang ibu. "Ruben sama istri dan anaknya tadi sudah ke sini, tapi mereka main sebentar ke pantai. Di
Suasana di meja makan masih diliputi kehangatan. Keceriaan Keenan dan Kirana membuat kekakuan di antara kami semakin melebur. Canda dan tawa mulai terdengar karena tinggah lucu mereka. Belum lagi ocehan Kai, keponakan bungsuku yang masih bayi, begitu menggemaskan. Aku tak akan meminta lebih dari semua keindahan ini. "Mulai sekarang, kalian semua saling akur, ya. Hanya itu yang ibu minta jika kalian ingin melihat ibu bahagia," ujar ibu setelah kami semua selesai makan. Aku mengangguk tersenyum seraya menggenggam tangan ibu. Usai membereskan meja makan, aku mengajak ibu dan Regina melihat sisa stok kain tenun ikat yang kubawa, sedangkan Ruben dan Dikta mengobrol di teras. Kukeluarkan beberapa motif kain tenun ikat itu dari koper dan menunjukkannya pada ibu dan kakak iparku. Mereka mengagumi kehalusan bahan produk jualanku. Bahan kain tenun ikat yang kupilih memang berkualitas bagus sehingga bisa dijual dengan harga mahal dan pembelinya p