MEMBALAS HINAAN SUAMI DAN MERTUA (3)
Dengan mengendarai armada mobil online, kami bertiga segera menuju sebuah mall yang di hari pertama lebaran ini buka dan lebih ramai dari biasanya.
Mas Indra sendiri pagi tadi sehabis shalat Ied langsung menuju rumah teman kantor dan atasannya tanpa mengajakku ikut serta lagi.
Mas Indra memang begitu. Dari setahun pernikahan kami berjalan, lelaki itu memang mulai menunjukkan watak aslinya yang acuh tak acuh padaku.
Pun saat Dino dan Dini lahir, tak ada sedikit pun perhatian lelaki itu untuk kedua buah hati kami.
Kadang sakit dan sesak hati ini rasanya mengingat perlakuannya, tapi mau bagaimana lagi. Mungkin sudah nasibku pula harus bertemu dan menjadi pendamping hidup Mas Indra yang tak punya rasa memiliki pada istri dan anaknya.
Sebisa mungkin aku mencoba bertahan hingga Tuhan menentukan lain jalan pernikahan kami berdua kelak.
"Ma, Mama melamun? Ayok turun, kita sudah sampai, Ma," tegur Dini menghentikan lamunanku.
Kulihat di depan kami memang telah terhampar mall besar yang selama ini sering kuidamkan pergi ke sana. Belanja barang-barang keperluan wanita dan anak-anak yang kuinginkan lalu makan-makan.
Namun, keinginan itu terhalang karena Mas Indra jarang memberiku uang. Saat inilah aku baru bisa menuntaskan hasrat pergi ke sini karena alhamdulilah aku sudah mulai memiliki uang sendiri hasil dari kreativitasku menulis di platform kepenulisan online yang sekarang sedang kujalani.
"Ayok!" ujarku sembari meminta sopir armada mobil online yang kami naiki untuk berhenti. Setelah mobil benar-benar telah berhenti, dan aku telah membayar ongkos yang diminta, kami bertiga pun segera keluar menuju mall besar di hadapan kami.
"Dino, Dini ... kalian mau makan apa? Ayam goreng? Pizza? Burger?" tawarku pada dua buah hatiku yang seketika berbinar-binar ceria saat aku mengajak mereka masuk mall dan mengajak mereka mengelilingi food court yang berjejer di sana.
"Ayam goreng? Pizza? Burger? Beneran kita boleh makan semua itu, Ma? Mama punya uang?" tanya Dino lagi seolah tak percaya.
Wajar mungkin karena selama ini aku memang tak pernah bisa mengajak mereka jalan ke mall ini karena tak ada uang.
"Boleh aja dong. Kalian boleh makan semua. Hmm, jadi sekarang Dino sama Dini mau makan apa? Mau dua-duanya atau ketiga-tiganya juga boleh. Hari ini kan hari lebaran. Hari bersuka cita karena kita sudah berhasil menunaikan ibadah puasa selama sebulan dengan baik, nah sebagai hadiahnya, kalian boleh makan sepuasnya. Oke?" jawabku sambil tersenyum haru pada mereka.
Dino dan Dini sontak menghambur ke dalam pelukanku dan mendekap erat.
"Makasih ya, Ma. Akhirnya Mama bisa bawa juga kita makan di sini. Seneng banget deh rasanya. Makasih ya, Ma," ujar dua bocah kecil itu sambil menciumi pipiku.
Aku hanya menganggukkan kepala lalu berbisik di telinga mereka.
"Dino dan Dini harus banyak-banyak bersyukur sama Allah ya, karena semua ini bisa terjadi karena pertolongan Allah yang telah memberikan mama rezeki sehingga bisa membawa kalian jalan-jalan dan makan di sini. Oke?" jawabku lembut.
"Oke, Ma. Ayok Ma, kalau gitu Dino pingin makan ayam goreng dulu ya?" ujar sulungku itu.
"Iya, Dini juga mau ayam goreng ya, Ma," timpal bungsuku pula.
"Ayok, kita makan sekarang," balasku sambil menggandeng tangan keduanya memasuki food court yang menjual ayam goreng kesukaan mereka.
Setelah memesan dua paket ayam goreng berikut minuman dingin, kami pun duduk di kursi yang syukurnya masih ada yang kosong.
Kulihat Dino dan Dini begitu lahap makan hingga pandangan mereka hanya fokus pada makanan yang terhidang di depan mata mereka saja.
Beda denganku yang sesekali masih sempat mengedarkan pandangan ke sekeliling mall hingga kemudian mataku tertumbuk pada sebuah pemandangan nun di depan sana yang sontak membuat sekujur tubuhku menegang.
Ya, nun di kejauhan sana, di tempat wahana permainan anak-anak, kulihat sepasang manusia dengan seorang putri yang usianya juga kira-kira sebaya Dini sedang bermain bersama dan tertawa bahagia.
Aku tak mengenal siapa ibu dari bocah kecil yang umurnya kira-kira sebaya bungsuku ini, tapi aku jelas mengenal laki-laki yang berdiri di sampingnya yang sedari tadi tak melepaskan tangannya dari pinggang perempuan di sampingnya, juga bocah perempuan yang mereka bawa itu.
Laki-laki itu adalah Mas Indra. Ya, tak salah lagi lelaki yang tengah bersama dua orang perempuan itu adalah suamiku, ayah dari dua buah hatiku yang pagi tadi pamit hendak silaturahmi ke rumah atasan dan teman-temannya.
Tapi sepertinya hal itu hanya dusta belaka karena saat ini Mas Indra justru terlihat sedang bersama perempuan lain dan putrinya itu. Lalu siapa sebenarnya perempuan itu adanya?
"Ma, kita sudah selesai makan. Habis ini Dini pengen main game, boleh nggak, Ma?" tanya Dini tiba-tiba membuyarkan lamunanku dan fokus ku melihat Mas Indra yang tengah bermain di wahana permainan anak-anak, entah dengan siapa gerangan adanya itu.
"Hmm, gimana ya. Bukan Mama nggak boleh. Tapi kalau nanti saja mainnya, gimana? Kita beli baju dulu yuk. Baju yang kalian pakai untuk lebaran hari ini kan baju lebaran tahun lalu, gimana kalau kita beli aja di atas? Tapi sebelum kita ke sana, kalian berdua tunggu di sini dulu ya. Mama mau ke toilet sebentar. Kebelet buang air kecil mama," ucapku pada dua bocahku itu.
Itu adalah alasanku saja. Melihat pemandangan nun jauh di depan sana, aku memang jadi terbersit keinginan untuk mengabadikan momen kebersamaan Mas Indra dengan perempuan lain itu untuk bukti bila sewaktu-waktu aku punya masalah dengan Mas Indra dan mertua.
Ya, bila sudah tiba saatnya nanti, tentu saja aku akan membicarakan hal ini pada suamiku itu, siapa perempuan yang tengah bersamanya itu sebenarnya. Dan saat itu tiba, ia harus memilih, aku atau perempuan itu!
Kalau ia memilih perempuan itu, maka aku dengan senang hati akan meninggalkan rumah mertua yang selama ini menjadi tempat tinggal kami berdua yang penuh dengan drama kepahitan berumah tangga.
Ada pun, saat ini aku memang harus tenang dulu karena bagaimana pun juga saat ini aku tengah bersama anak-anak.
Aku tak ingin merusak kebahagiaan mereka yang tengah menikmati suasana libur lebaran yang baru bisa mereka nikmati kali ini sehingga sekuat tenaga aku harus bisa menyabarkan hati untuk tidak berbuat gegabah dengan melabrak Mas Indra dan selingkuhannya itu.
Apalagi saat ini aku juga belum memiliki finansial yang cukup bila harus meninggalkan rumah mertua.
Jadi menjelang aku memiliki semua itu dan memiliki tempat berteduh yang baru, aku tampaknya harus banyak-banyak bersabar dulu hingga waktu yang tepat itu tiba.
Waktu di mana semua ini akan kuungkap di hadapan Mas Indra dan meminta lelaki itu dengan tegas memilih, aku atau perempuan lain itu!
POV DONNYSetelah diperintahkan hakim untuk melakukan mediasi, kami berdua pun akhirnya menghadap hakim mediasi di ruangan kerjanya.Kulihat Nisa menatap garang saat aku berjalan lebih dulu menuju ruangan tersebut. Aku memang berharap hakim mediasi dapat menyatukan kami berdua kembali. "Jadi, Pak Hakim, saya ingin rujuk lagi dengan istri saya ini. Saya memang sudah melakukan kesalahan fatal dengan mengkhianati perkawinan kami, tapi saya sangat menyesali hal itu, Pak Hakim.""Saya juga kasihan sama Nisa, istri saya ini. Kalau dia jadi janda, pasti namanya akan buruk di mata masyarakat. Dia akan jadi bahan gunjingan tetangga. Orang-orang akan takut kalau Nisa merebut suami mereka. Lagi pula, zaman begini banyak laki-laki suka seenaknya saja. Mereka berpikir janda itu perempuan yang mudah digoda dan diajak berbuat yang tidak-tidak.""Makanya saya ingin mengajak Nisa rujuk. Apalagi, Nisa ini hanya ibu rumah tangga biasa. Tidak punya banyak pilihan. Hanya laki-laki yang benar-benar baik s
POV DONNY"Saudari Nisa, Saudari yakin hendak melanjutkan gugatan perceraian pada suami Saudari, yakni Saudara Donny ini? Sudah dipertimbangkan masak-masak? Kami masih memberikan kesempatan bila mana Saudari hendak membatalkannya," ucap salah seorang hakim pada Nisa yang kemudian mengangguk yakin sebagai jawaban."Yakin, Yang Mulia. Sudah saya pertimbangkan masak-masak, saya akan tetap melanjutkan gugatan saya ini," jawab Nisa dengan nada tegas."Baik." Hakim mengangguk-anggukkan kepalanya lalu meneruskan pertanyaan kembali."Apa alasan dan dasar hingga Saudari memutuskan untuk menggugat cerai suami Saudari?" lanjut hakim pula."Karena suami saya sudah menikah lagi tanpa izin dari saya maupun izin atasan tempat ia bekerja sehingga saat ini status kepegawaian suami saya pun terancam dipecat dan berakhir. Bukan itu saja, saat ini suami saya juga sudah memiliki seorang putri dari pernikahan keduanya itu, Yang Mulia dan sebagai seorang istri, rasanya saya tidak bisa menerima dan mentoleri
POV DONNYSetelah dengan terpaksa meninggalkan rumah ibu NIna, aku pun melajukan roda dua menyusuri jalanan kota yang mulai sepi di jam tengah malam seperti ini.Hampir semua rumah penduduk sudah tutup. Hanya warung kopi dan warung pinggir jalan saja yang tampaknya masih buka.Aku pun membelokkan kendaraan ke sebuah warung kopi yang terlihat ramai.Kubiarkan saja tas pakaian berada di jok motor sementara aku duduk di bangku santai yang berjajar di sepanjang pinggir trotoar."Kopi, Mas. Satu," ucapku pada pelayan.Pelayan mengangguk. Aku pun menunggu, tetapi hingga beberapa saat lamanya, pesanan kopiku tak juga kunjung datang.Aku pun memanggil pelayan itu kembali dan dengan tak sabar, meminta pesananku segera dibuatkan.Pelayan tampak grogi. Namun, sesaat kemudian ia membawakan juga pesanan kopi yang kuminta. "Maaf ya, Mas. Kami kurang anggota, jadi pesanan lama nunggu," ujarnya sambil menundukkan kepala, meminta maaf."Kekurangan anggota? Maksudnya kurang pekerja?" tanyaku dengan na
POV DONNY"Nina, apa ini? Keterlaluan kamu! Kamu selingkuh ya! Atau ... jangan-jangan kamu ju*al diri! Kamu gila! Baru saja selesai nifas, sudah berbuat seperti ini! Bukan sama suami, tapi sama orang lain! Dasar perempuan jal*ng!" bentakku kalap saat melihat keadaan Nina yang demikian.Kurenggut kimono yang dikenakan perempuan itu hingga sobek di beberapa bagian.Nina berusaha mempertahankan dan menutup bagian atas tubuhnya yang terbuka dengan telapak tangan, tapi percuma sebab tangan itu pun kurenggut paksa."Percuma kamu tutupi! Aku sudah melihat semuanya, Nina! Kamu selingkuh, kan! Iya, kan!" bentakku lagi dengan kalap.Nina hanya mampu menatapku nanar."Apa kata kamu! Hentikan, Mas! Apa-apaan kamu!" dengkusnya keras."Kamu yang apa-apaan! Kenapa badan kamu merah-merah begini! Kamu habis ngapain! Jelaskan!" bentakku untuk ke sekian kalinya dengan nada penuh curiga dan emosi.Nina hendak membuka mulutnya, tapi urung saat Naura tiba-tiba tersentak bangun dari tidurnya lalu memekik ke
POV DONNY"Bu, memangnya Nina mau ke mana sih? Hari sudah sore, apa nanti nggak kemalaman di jalan?" tanyaku pada ibu mertua saat Nina sudah keluar dari rumah, menggunakan ojek online yang dipesan oleh istriku itu untuk pergi. Entah ke mana."Nina ke mana nggak perlu kamu tanyakan lagi, Don. Biar aja dia pergi. Doakan saja istrimu itu selamat! Yang penting nanti pulang bawa uang. Kamu nggak bisa ngasih istri dan anakmu makan lagi, jadi nggak usah banyak tanya deh!" jawab ibu mertua dengan ketus sambil berlalu ke belakang."Kok ibu ngomong gitu? Sebelum SK pemecatan Donny keluar, Donny kan masih bisa dapat gaji, Bu. Lagi pula gajian kemarin semua uangnya sudah Donny kasih ke Nina, kok dibilang Donny udah nggak bisa ngasih makan Nina dan Naura lagi sih, Bu!" protesku sedikit keras pada beliau sambil membuntuti langkah ibu mertua ke belakang. Namun, beliau mengibaskan tangannya."Iya, bulan ini mungkin masih bisa makan. Tapi itu juga pas-pasan, karena sembako sekarang naik semua. Minyak
POV DONNY"Bu, maaf apa lowongan pekerjaan ini masih ada, Bu?" tanyaku pada ibu pemilik warung yang baru saja mengantarkan teh dingin yang kupesan.Ibu tersebut menganggukkan kepalanya."Masih. Siapa yang butuh pekerjaan? Tapi gajinya kecil ya, cuma lima ratus ribu sebulan. Kerjanya cuci piring sama ngantarin makanan ke meja tamu," sahut sang ibu dengan wajah datar."Lima ratus ribu, Bu? Kecil sekali ya," ucapku tanpa sadar. Membuat sang ibu pemilik warung makan mencebikkan bibirnya tak suka. Hari gini mencari pekerjaan memang susah. Sejak pandemi Corona melanda, hampir semua sektor usaha terdampak. Apalagi rumah makan yang notabene jam operasinya dibatasi sebab pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat."Gajinya kecil? Namanya juga kerja di rumah makan, Mas. Kalau mau gaji besar, situ ngelamar aja jadi menteri apa presiden sekalian. Ya, sudah. Nanti es tehnya nggak usah dibayar! Hitung-hitung saya sedekah sama sampean. Pengangguran aja sok minta digaji besar. Belum tentu juga saya