MEMBALAS HINAAN SUAMI DAN MERTUA (2)
"Jeng Rahmi enak ya. Mantunya PNS semua. Baik-baik lagi sama mertua. Kapan ya aku punya mantu kayak Inggrid sama Maya, jadi iri deh sama Jeng Rahmi."
Satu suara terdengar saat aku sedang menuju ruang tamu dengan baki air minum di tangan, hendak menyuguhkannya pada tamu mama mertua yang tak lepas berkunjung sedari tadi.
Mendengar celetukan itu, sesaat langkahku terhenti. Ingin rasanya mendengar apa saja isi perbincangan mertua dan tamunya itu, juga ingin mendengar jawaban apa yang akan beliau berikan pada tamunya, tetapi mendengar jawaban mama mertua, dadaku makin pedih saja rasanya.
"Iya, kalau Inggrid sama Maya sih sudah pasti bisa dibanggakan. Tapi yang satu itu ... Si Aira ... Aduh! Kesel saya dibuatnya. Jadi perempuan kok gak ada inisiatifnya sama sekali. Tahu suami susah, bukannya dibantu tapi dibiarin aja. Bisanya ngandalin suami doang. Kalau nggak ada suami nggak bisa makan. Memang benar, nyari makan itu tugas suami. Tapi kalau dia istri yang cerdas apa salahnya bantu suami. Toh, nggak dosa perempuan ikut kerja cari nafkah. Berpahala malah. Beda sama Inggrid dan Maya. Kasian si Indra, harus kerja keras banting tulang sendirian. Istrinya cuma bisa ongkang-ongkang kaki aja di rumah. Ck!" sahut mama mertua sembari terdengar berdecak kesal.
Aku menggigit bibir menahan bening agar tak jatuh ke pipi. Pedih rasanya mendengar kata-kata itu. Tetapi bagaimanapun aku harus kuat dan tegar. Tak boleh menangis karena aku tahu apa yang diucapkan mama mertua itu tidaklah benar sepenuhnya.
Mungkin selama ini aku memang wanita tak berdaya yang hanya bisa minta nafkah dari suami semata, tapi lihat saja nanti kalau perjuanganku untuk bangkit dari ketidakberdayaan yang mama katakan ini telah berhasil, aku pasti akan membangun hidup sendiri supaya mama mertua tahu kalau aku tak seperti yang ia persangkakan.
"Heh, Aira! Ngapain kamu bengong di situ? Nguping pembicaraan mama sama Jeng Lusi? Nggak perlu nguping deh, sini mama bisikin biar kamu ngerti yang kita omongin. Kamu itu ya, coba jadi mantu itu yang kreatif dikit, jangan bisanya ngandelin suami aja! Tuh, tiru si Inggrid sama Maya, mereka juga istri dan perempuan, tapi mereka bisa lebih sukses dari suaminya. Bisa membantu suami membiayai kebutuhan rumah tangga! Bisa beliin mertua hadiah-hadiah mahal, nggak kayak kamu yang jangankan mau ngasih suami dan mertua, nggak minta aja nggak bisa! Tiap hari kamu sama anak-anak kamu bisanya minta makan aja, ngabisin beras tahu! Sini, mana minumannya! Lama-lama lihat kamu di situ, bikin eneg dan energi mama habis!" tukas ibu mertua tiba-tiba memutuskan lamunanku.
Aku menelan ludah mendengar perkataan menyakitkan ibu mertua itu. Ingin rasanya melawan, tapi lagi dan lagi, kutahan diriku. Saat ini aku memang harus banyak-banyak bersabar dan diam. Belum saatnya aku cerita kalau aku sudah mulai merintis jalan menuju kesuksesan.
Dengan kaki gemetar dan dada berdenyut kencang, akhirnya kulangkahkan kaki mendekati meja tamu dan meletakkan minuman dalam baki di tangan ke atasnya.
Kutahan sebisa mungkin rasa terhina dan sesak yang kurasa. Ya, biar saja sekarang ibu mertua puas dan bersenang-senang merendahkan diriku, kelak jika aku sudah sukses, pasti beliau akan merasa malu dan menyesal sendiri akan segala sikapnya yang memalukan.
Tanpa protes dan mengucap apa-apa, setelah meletakkan gelas minuman dan makanan ke atas meja, segera kubalikkan tubuh kembali menuju dapur. Tak kupedulikan tatapan penuh melecehkan dari mama mertua dan Jeng Lusi yang memandangku dengan seringai mengejek di bibir. Aku bertekad kuat, keadaan ini tak akan berlangsung lama. Mulai sekarang aku akan bekerja semakin giat, mencari ide dan menulis cerita supaya novel yang kutulis, laris di pasaran dan aku bisa mendapatkan penghasilan yang berlimpah seperti para penulis platform terkenal lainnya.
*****
"Ma, mama kenapa? Kok mama kelihatan sedih? Mama dimarahin nenek lagi ya?" tanya Dino dan Dini dengan wajah sedih saat aku kembali ke dapur. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi tapi belum ada satu suap pun makanan yang masuk ke dalam perut karena mama mertua melarang kami bertiga makan tadi.
Aku menggelengkan kepala lalu tersenyum lembut. Berusaha menutupi gundah dan sakit hati pada mama mertua yang saat ini kurasakan. Aku tak mau anak-anak tahu kalau perkataan mama mertua, seringkali melukai perasaanku.
"Nggak papa, Sayang. Nggak ada apa-apa kok. Oh ya, kalian sudah makan?" tanyaku.
"Belum, Ma. Kan Nenek gak boleh kita ngabisin makanan. Jadi Dino dan Dini gak berani ambil makanan, Ma," jawab Dino lagi diamini Dini.
Mendengar jawaban mereka, aku menghela nafas. Perih.
"Kalian sudah lapar? Kalau kalian lapar, kita keluar aja yuk, cari makanan di luar," ujarku sambil berjongkok dan memeluk kedua buah hatiku dengan perasaan terenyuh.
"Memangnya mama punya uang? Makan di luar kan mahal, Ma? Apalagi ini hari lebaran. Kita mau makan di mana?" tanya Dino balik sambil menatapku penuh rasa tak enak. Sulungku itu memang selalu mengerti kesulitanku dan itu membuatku bersyukur memiliki anak-anak yang begitu mengerti kondisi orang tuanya.
"Kita makan di mall, sekali-kali. Lebaran gini, mall kan tetap buka, malah makin rame. Yuk, kalau mau makan di luar. Mama ganti baju dulu ya. Tenang aja, mama ada kok uang. Yang penting anak-anak mama bahagia," jawabku lagi sambil mengurai senyum lembut pada dua buah hatiku.
Mendengar jawabanku, Dino dan Dini tersenyum girang. Ya, mereka pasti sudah lapar dan tak bisa membendung rasa bahagia karena tiba-tiba aku mengajak mereka makan di mall, sesuatu yang amat jarang kulakukan selama ini karena keterbatasan uang, sebab Mas Indra lebih senang memberikan uang gajinya pada ibunya ketimbang padaku sehingga bersenang-senang dan menikmati waktu luang tak pernah bisa dirasakan oleh dua anakku.
Setelah mengganti pakaian dan mengambil uang yang kusimpan dalam tempat persembunyian, bergegas kuajak Dino dan Dini keluar rumah diam-diam. Sebab kalau harus berpamitan pada mama mertua, aku yakin sekali tak akan ia izinkan.
POV DONNYSetelah diperintahkan hakim untuk melakukan mediasi, kami berdua pun akhirnya menghadap hakim mediasi di ruangan kerjanya.Kulihat Nisa menatap garang saat aku berjalan lebih dulu menuju ruangan tersebut. Aku memang berharap hakim mediasi dapat menyatukan kami berdua kembali. "Jadi, Pak Hakim, saya ingin rujuk lagi dengan istri saya ini. Saya memang sudah melakukan kesalahan fatal dengan mengkhianati perkawinan kami, tapi saya sangat menyesali hal itu, Pak Hakim.""Saya juga kasihan sama Nisa, istri saya ini. Kalau dia jadi janda, pasti namanya akan buruk di mata masyarakat. Dia akan jadi bahan gunjingan tetangga. Orang-orang akan takut kalau Nisa merebut suami mereka. Lagi pula, zaman begini banyak laki-laki suka seenaknya saja. Mereka berpikir janda itu perempuan yang mudah digoda dan diajak berbuat yang tidak-tidak.""Makanya saya ingin mengajak Nisa rujuk. Apalagi, Nisa ini hanya ibu rumah tangga biasa. Tidak punya banyak pilihan. Hanya laki-laki yang benar-benar baik s
POV DONNY"Saudari Nisa, Saudari yakin hendak melanjutkan gugatan perceraian pada suami Saudari, yakni Saudara Donny ini? Sudah dipertimbangkan masak-masak? Kami masih memberikan kesempatan bila mana Saudari hendak membatalkannya," ucap salah seorang hakim pada Nisa yang kemudian mengangguk yakin sebagai jawaban."Yakin, Yang Mulia. Sudah saya pertimbangkan masak-masak, saya akan tetap melanjutkan gugatan saya ini," jawab Nisa dengan nada tegas."Baik." Hakim mengangguk-anggukkan kepalanya lalu meneruskan pertanyaan kembali."Apa alasan dan dasar hingga Saudari memutuskan untuk menggugat cerai suami Saudari?" lanjut hakim pula."Karena suami saya sudah menikah lagi tanpa izin dari saya maupun izin atasan tempat ia bekerja sehingga saat ini status kepegawaian suami saya pun terancam dipecat dan berakhir. Bukan itu saja, saat ini suami saya juga sudah memiliki seorang putri dari pernikahan keduanya itu, Yang Mulia dan sebagai seorang istri, rasanya saya tidak bisa menerima dan mentoleri
POV DONNYSetelah dengan terpaksa meninggalkan rumah ibu NIna, aku pun melajukan roda dua menyusuri jalanan kota yang mulai sepi di jam tengah malam seperti ini.Hampir semua rumah penduduk sudah tutup. Hanya warung kopi dan warung pinggir jalan saja yang tampaknya masih buka.Aku pun membelokkan kendaraan ke sebuah warung kopi yang terlihat ramai.Kubiarkan saja tas pakaian berada di jok motor sementara aku duduk di bangku santai yang berjajar di sepanjang pinggir trotoar."Kopi, Mas. Satu," ucapku pada pelayan.Pelayan mengangguk. Aku pun menunggu, tetapi hingga beberapa saat lamanya, pesanan kopiku tak juga kunjung datang.Aku pun memanggil pelayan itu kembali dan dengan tak sabar, meminta pesananku segera dibuatkan.Pelayan tampak grogi. Namun, sesaat kemudian ia membawakan juga pesanan kopi yang kuminta. "Maaf ya, Mas. Kami kurang anggota, jadi pesanan lama nunggu," ujarnya sambil menundukkan kepala, meminta maaf."Kekurangan anggota? Maksudnya kurang pekerja?" tanyaku dengan na
POV DONNY"Nina, apa ini? Keterlaluan kamu! Kamu selingkuh ya! Atau ... jangan-jangan kamu ju*al diri! Kamu gila! Baru saja selesai nifas, sudah berbuat seperti ini! Bukan sama suami, tapi sama orang lain! Dasar perempuan jal*ng!" bentakku kalap saat melihat keadaan Nina yang demikian.Kurenggut kimono yang dikenakan perempuan itu hingga sobek di beberapa bagian.Nina berusaha mempertahankan dan menutup bagian atas tubuhnya yang terbuka dengan telapak tangan, tapi percuma sebab tangan itu pun kurenggut paksa."Percuma kamu tutupi! Aku sudah melihat semuanya, Nina! Kamu selingkuh, kan! Iya, kan!" bentakku lagi dengan kalap.Nina hanya mampu menatapku nanar."Apa kata kamu! Hentikan, Mas! Apa-apaan kamu!" dengkusnya keras."Kamu yang apa-apaan! Kenapa badan kamu merah-merah begini! Kamu habis ngapain! Jelaskan!" bentakku untuk ke sekian kalinya dengan nada penuh curiga dan emosi.Nina hendak membuka mulutnya, tapi urung saat Naura tiba-tiba tersentak bangun dari tidurnya lalu memekik ke
POV DONNY"Bu, memangnya Nina mau ke mana sih? Hari sudah sore, apa nanti nggak kemalaman di jalan?" tanyaku pada ibu mertua saat Nina sudah keluar dari rumah, menggunakan ojek online yang dipesan oleh istriku itu untuk pergi. Entah ke mana."Nina ke mana nggak perlu kamu tanyakan lagi, Don. Biar aja dia pergi. Doakan saja istrimu itu selamat! Yang penting nanti pulang bawa uang. Kamu nggak bisa ngasih istri dan anakmu makan lagi, jadi nggak usah banyak tanya deh!" jawab ibu mertua dengan ketus sambil berlalu ke belakang."Kok ibu ngomong gitu? Sebelum SK pemecatan Donny keluar, Donny kan masih bisa dapat gaji, Bu. Lagi pula gajian kemarin semua uangnya sudah Donny kasih ke Nina, kok dibilang Donny udah nggak bisa ngasih makan Nina dan Naura lagi sih, Bu!" protesku sedikit keras pada beliau sambil membuntuti langkah ibu mertua ke belakang. Namun, beliau mengibaskan tangannya."Iya, bulan ini mungkin masih bisa makan. Tapi itu juga pas-pasan, karena sembako sekarang naik semua. Minyak
POV DONNY"Bu, maaf apa lowongan pekerjaan ini masih ada, Bu?" tanyaku pada ibu pemilik warung yang baru saja mengantarkan teh dingin yang kupesan.Ibu tersebut menganggukkan kepalanya."Masih. Siapa yang butuh pekerjaan? Tapi gajinya kecil ya, cuma lima ratus ribu sebulan. Kerjanya cuci piring sama ngantarin makanan ke meja tamu," sahut sang ibu dengan wajah datar."Lima ratus ribu, Bu? Kecil sekali ya," ucapku tanpa sadar. Membuat sang ibu pemilik warung makan mencebikkan bibirnya tak suka. Hari gini mencari pekerjaan memang susah. Sejak pandemi Corona melanda, hampir semua sektor usaha terdampak. Apalagi rumah makan yang notabene jam operasinya dibatasi sebab pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat."Gajinya kecil? Namanya juga kerja di rumah makan, Mas. Kalau mau gaji besar, situ ngelamar aja jadi menteri apa presiden sekalian. Ya, sudah. Nanti es tehnya nggak usah dibayar! Hitung-hitung saya sedekah sama sampean. Pengangguran aja sok minta digaji besar. Belum tentu juga saya