Share

BERTEMU MANTAN KEKASIH

Bab 7

(Mas tolong antarkan kami kontrol besok ya)

Ada pesan masuk di handphone milik Mas Yusuf. Kulihat nama pengirimnya adalah Raihan. 

(Jam berapa?) balasku. 

(Pukul 18.00 Wib Mas. Bisa nggak?) Raihan kembali mengirimkan balasan. 

Pukul 20.00 Wib tadi Mas Yusuf sudah terlelap dalam tidurnya, mungkin karena dia sangat kelelahan. Biasanya dia tidur setelah mataku terpejam. Tepatnya diriku sering tidur lebih awal darinya. Karena bimbang, ku biarkan pesan ini tanpa balasan, takut nanti salah jawab. Siapa tahu Mas Yusuf belum mau ke rumah Ibu. Atau ada jam masuk kerja awal mungkin? Entahlah, biarkan saja, nanti malah Aku yang salah. 

Ku tatap wajah lelah Mas Yusuf . Aku belai rambut hitamnya dengan lembut, bersyukur rasanya memiliki seseorang sepertinya.

“Terimakasih Mas, sudah melindungiku dari keluargamu.” ucapku sembari mengusap air mata yang tiba-tiba saja mengalir di pipi.

“Aku kira, Tuhan salah kasih jodoh. Karena kamu dulu tidak pernah ingin belajar memahami keadaan. Tapi sekarang aku mengerti, kenapa Tuhan kirimkan kamu dalam hidupku. Kamu adalah orang yang berarti.” tuturku dengan derai air mata. Entah kenapa jika membahas tentang perlindungan seorang istri di hadapan keluarga suami, adalah hal sensitif yang pasti membuat perasaanku luluh lantak. Sejahat ini kah dunia pernikahan? 

Betapa terkejutnya Aku melihat kedua pasang mata Mas Yusuf tiba-tiba saja terbuka. Dia terbangun lalu mengecup keningku, menghapus air mataku, dan menyelimuti tubuhku karena dingin. “Maaf ya, De’... Mas terlambat melindungimu. Mungkin sudah banyak hal yang melukai hatimu. Mas sudah banyak dengar tentang perlakuan keluargaku ke kamu. Masalah Mandul dan lain sebagainya yang menyakitkan untuk di dengar.” ia menguraikan kalimat yang menambah deras laju air mata ini. Tembok pertahananku runtuh seketika, mendengar apa yang baru saja terucap dari mulut pasanganku. 

Pelukan Mas Yusuf semakin membuatku terharu dan terasa hangat. Ini sebenarnya yang ku harapkan. Memiliki pasangan yang bisa memahami pasangannya. Setidaknya ada satu bahu tempatku bersandar dan berlindung dari mereka yang bersikap tidak baik kepadaku.

Kami berbincang cukup lama, membahas sesuatu yang memang menyesakkan dada. Mas Yusuf sudah banyak tahu, itu artinya rasa kepeduliannya terhadapku kini semakin tinggi. Dibandingkan sikapnya dulu di awal-awal yang seolah berat sebelah. Karena banyaknya bujuk rayu dari keluarganya, terutama ibu kandungnya yang terus memberikan racun kepadanya. 

“Terimakasih, ya, Mas,” ucapku tulus.

“Iya sama-sama Sayang. Ayo tidur... sudah larut malam.” 

“Iya, Mas.”

🌿🌿🌿🌿🌿🌿🌿

Setelah sarapan pagi, Aku ikut Mas Yusuf pergi ke tempat ibunya untuk mengantarkan mobil. Mas Yusuf takut jikalau nantinya pulang kerja harus lembur dan tidak bisa mengantar adiknya periksa. 

Sampailah kami di teras depan halaman rumah Ibu. Betapa terkejutnya kami melihat pemandangan yang kurang pantas rasanya. Raihan tampak sedang menyapu dan mengepel lantai. Meskipun anak perempuannya sedang sakit, setidaknya Ibu tidak membiarkan anak lelakinya melakukan itu semua. Bagaimana nanti jika orang tua Raihan melihat? Apakah tidak terfikir di benak Ibu? Atau memang hal semacam ini sudah biasa dia lakukan di rumah mertuanya? Entahlah. 

“Ini kuncinya, Han. Aku tinggal dulu ya, mau antar istriku ke tempat saudaranya. Sekalian jalan ke kantor.” Mas Yusuf tampak tergesa-gesa  berpamitan dan segera memberikan kunci mobilnya kepada adik ipar. 

“Ibu dimana, Han?” tanyaku berbisik.

“Masih tidur mbak, Mia juga.” jawabnya.

“Hah? Serius? Jadi jam segini kamu mau berangkat kerja belum sarapan?” tanyaku makin penasaran. 

“Hehehe paling nanti aku sarapan di kantor Mbak.” serunya mengejutkan.  

“Sebentar ya,” pintaku, lalu kucari kotak bekal di tas warna biru yang tadinya mau dibawa oleh mas Yusuf. 

“Ini, kamu makan. Ada nasi, lauk dan buah. Bawa saja ke kantor buat sarapan. Dari pada beli.” Kusodorkan bekal itu untuk Raihan. Meski dia awalnya menolak, tapi kami paham dia pasti kelelahan dan perutnya sudah  lapar mengerjakan semua pekerjaan rumah ini. 

"Ayo keburu siang." ajak Mas Yusuf. 

“Ya sudah, kami jalan dulu, ya. Salam buat Mia dan Ibu. Kalau mereka tanya bilang saja tadi kami kesini pas mereka masih tidur. Oke, Han? Hati-hati nanti, jangan ngebut.” cerocosku panjang lebar. 

“Makasih ya, Mas, Mbak.” balas Raihan. 

Sepanjang jalan aku hanya diam seribu bahasa, tanpa berselera bicara dengan Mas Yusuf. Aku masih syock dengan perbedaan kelakuan Ibu mertuaku ketika ada menantu perempuan dan laki-laki. Kenapa serba terbalik. Kenapa menantu lelaki malah ditekan untuk melakukan banyak pekerjaan rumah yang biasanya beliau pikir seharusnya dilakukan oleh seorang anak perempuan? Lalu bagaimana dengan Mia yang merupakan anak perempuan? Kenapa dia dibiarkan menjadi ratu di rumah tersebut? Sementara diriku? Mbak Rini? Hanya dijadikan babu oleh ibu mertua. Seistimewa itu kah anak kandung beliau di mata Bu Ilma? Jahat! Umpatku. 

Ya, memang kondisinya anak perempuannya sekarang sedang berada ditahap pemulihan, tapi apakah benar jika semua tugasnya digantikan oleh suaminya? Mana masih pada molor juga yang lain, sementara dia sudah bersih-bersih rumah. Benar-benar enggak habis pikir. Jika Raihan adik kandungku, aku pasti sudah bawa dia pulang beserta istrinya ke rumah. Rasanya tak tega. Batinku protes. 

“Kasian Raihan, ya, De’.” Mas Yusuf memulai obrolan. 

“Hmmm...” balasku masih bad mood. 

“Aku tahu, kamu pasti sedang memikirkan dia. Sorry ya, atas kelakuan Ibu dan Adikku.”

“Harusnya tadi kamu ngomong sama Raihan sendiri. Kenapa jadi ke Nisa, Mas?” sungutku. 

“Mas enggak bisa berkata-kata tadi di depan dia. Mas pikir Mia harusnya bisa bangun sebentar untuk meladeni suaminya. Setidaknya membuat sarapan, kan bukan pekerjaan yang berat. Ada roti dan makanan lain yang gampang untuk dibikin. Bisa juga beli. Ini Raihan udah kerjain pekerjaan rumah, nyapu, ngepel, nyuci, njemur, malah ditinggal tidur.” keluh Mas Yusuf. 

“Entahlah, Mas. Kemana perginya perasaan Ibu dan Adikmu?" celotehku. 

“Entahlah De’.”

Perasaan mereka perginya ke selokan kali ya, jadi ngikut sama air kencing buangan manusia, lalu lenyap di telan bumi. Makanya enggak pada punya perasaan. Gerutuku sepanjang jalan. Semoga saja Mas Yusuf tidak punya indera ke enam. Jadi enggak bisa baca batin istrinya yang sedang mengutuk. Hahahaha.

___________

“Hallo Mas Rama, Mbak Rini. ini ada bingkisan dari Mama buat khaity.” sapaku kepada kedua Ipar. 

“Oh, terimakasih De’. Silakan masuk Ma, Pa, Yusuf. Nisa..”

"Makasih, Mas." sahutku. 

Kami berempat dipersilahkan masuk ke rumah oleh Mas Rama. Sepulang kerja mas Yusuf dan orang tuaku kuajak untuk menjenguk baby Khaitylin. Maklum, dari kemarin kami belum sempat membelikan sesuatu. Jadi sekalian saja ku ajak orang tuaku untuk menemani kami berdua. Lagian Mama dan Papa juga senang kalau diajak jenguk bayi. Itung-itung bisa latihan gendong cucu. Hehehehe. 

“Mama sama Papa, sehat?” tanya mbak Rini saat kami semua sudah duduk di sofa ruang tamu. 

“Alkhamdulillah sehat. Rini gimana? Udah sembuh lukanya?” Mama balik bertanya. 

“Tadi siang sudah kontrol ke Dokter, Ma, alkhamdulillah lukanya sudah kering. Bagus katanya.” 

“Syukurlah, itu artinya kamu makan makanan yang bergizi. Biasanya kan banyak tuh yang selepas lahiran disuruh makan nasi putih saja. Lauknya sayur bening saja. Ikan, ayam dan segala macem lauk yang amis-amis enggak boleh, katanya bikin Asi dan bau Bayinya Amis. Terus enggak boleh minum air putih banyak-banyak. Pas malem si emak udah enggak boleh minum air. Ya, kan, Rin? Mama bener nggak? Hehehhee.” ucap Mama bawel. 

“Waduuuhh, Mama emang mengerti banget masalah itu. Hehehehhe.” Mbak Rini menimpali. 

“Ngerti dong. Kan Mama juga pengalaman digituin sama orang tua Mama. Tapi Mama sama Papa kerjasama, supaya gimana caranya kebutuhan nutrisi tetap terpenuhi, demi Annisa dulu waktu bayi. Minum juga enggak bisa dibatasi karena takutnya Mama dehidrasi kan, soalnya bayi Mama kenceng bener minumnya. jadi kan takutnya Asinya nggak ada isi.” 

“Waahhh bener juga, harus kompak ya, Ma.” 

“Iya Dong. Pertama kali setelah bayi Mama lahir, yang Mama tanyakan ke Dokter cuma gini. Dok, makanan apa yang saya tidak boleh makan selama menyusui? Terus Dokter jawab, selama saya yang jadi Dokter Ibu, saya tidak pernah melarang makanan apapun untuk ibu makan, selagi porsinya jangan berlebihan. Sesuatu yang berlebihan, kan, tidak baik.” 

“Hehehehee Iya, Ma. Dokter Rini juga bilangnya begitu. Selain yang saya alergi, makanan apapun boleh saya konsumsi. Asal jangan hasil maling katanya. Hahahahaha,” 

“Hahahahaha, kocak ya Dokter kamu.” 

Kami semua ikut tertawa dengan candaan mereka berdua. 

Setelah obrolan serius tapi kocak itu, kami bergantian menggendong khaity. Khaitylin Mukanya cantik mirip mamanya. Hidungnya mancung mirip Mas Rama. 

“Oh iya, tadi Mas Rama lihat Raihan  pakai mobil Yusuf, loh. Ya, kan, Mas?” tanya mbak Rini pada Mas Rama memastikan. 

“Mungkin mau berangkat kerja, Mbak.” Jawab Yusuf. 

“Enggak ah, kayaknya sih ada orang di sebelah dia. Mungkin si Mia kali. Mau kontrol jangan-jangan.” Mbak Rini mulai menebak. 

“Masa’ sih, tadi pagi katanya mau berangkat kerja kok, Mbak. Waktu saya sama Mas Yusuf anterin mobil. Jadwal kontrolnya si Mia kan malem.” jelasku. 

“Oohhh, mungkin Mas Rama salah lihat kali.” 

“Iya mungkin. Soalnya kan rame juga di jalan.” sahut Mas Rama. 

Kami mengobrol dengan tema berbeda, makan cemilan bersama dan bercanda gurau. Heboh memang kalau keluargaku bertemu dengan istri dari kakak iparku ini. Mbak Rini memang lumayan bawel, jadi bisa mencairkan suasana dengan siapapun dia berhadapan. Asyik begitu orangnya, lebih ekstrovert lebih tepatnya. 

Setelah hampir dua jam di rumah Mas Rama dan Mbak Rini. Kami berempat akhirnya berpamitan pulang. 

“Jangan lupa doakan Nisa ya, Rin. Supaya Mama Papa cepet gendong cucu.” seru Mama. Lagi-lagi hatiku patah mendengar ucapan semacam ini. Karena hal seperti ini benar-benar menggambarkan bahwa begitu inginnya Mama memiliki seorang cucu. 

“Hehehehe iya, Ma. InsyaAllah secepatnya bakalan dikasih. Aamiin” 

“Aamiiin....” Semua orang turut mengaminkan.

🌿🌿🌿🌿🌿

Sepulang dari rumah Mbak Rini dan Mas Rama, kami berempat makan malam di salah satu kafe yang biasa kami singgahi waktu sebelum nikah dulu. Suasananya alami banget. Tempatnya luas. Bisa duduk di kursi atau duduk lesehan. Ada penyanyi dan band pengiring juga, lengkap. Cocok untuk makan-makan sekeluarga. 

Setelah memesan beberapa menu makanan, kami menunggu makanan datang sambil menikmati setiap lagu yang disuguhkan para artis lokal yang sedang bertugas. 

Lagu berjudul “Asal Kau Bahagia” milik band Armada yang saat ini sedang kami dengarkan. Seorang wanita berparas cantik, dengan rambut terurai sebahu yang kini sedang serius menyanyikan lagu tersebut. Kami para pengunjung juga boleh menyumbang lagu, jika berkenan. Sepertinya wanita itu juga pengunjung di sini. Kok wajahnya enggak asing ya, batinku. Tapi kuacuhkan. 

“Makanannya sudah datang, Nis, jangan bengong melulu. Ayo makan.” suara Mama mengacaukan lamunan. 

“Asik lagunya, Ma.” bisikku. 

Baru menyantap satu suap nasi dan lauk, tiba-tiba terdengar kalimat persembahan dari penyanyi wanita tadi untuk nama yang sangat ku kenal. 

“Lagu ini saya persembahkan untuk Mas Yusuf Ardiansyah sebagai mantan terindah saya. Semoga dia sekarang sudah jauh lebih bahagia bersama pasangannya.” 

Gemuruh tepuk tangan dari para pengunjung menyadarkanku bahwa wanita itu ternyata mantan dari Mas Yusuf. Pantas saja dari tadi dia tampak menikmati lagunya dan sama sekali tidak mengajakku ngobrol, ternyata yang sedang menyanyi adalah mantan kekasihnya yang tak sengaja bertemu di tempat ini. Sungguh penyesalanku menggebu-nggebu makan di sini. Dan kini, Nafsu makanku hilang diterpa angin. Lenyap begitu saja. 

“Kok enggak di makan, Nis?” tanya Papa. 

“Nisa lagi mual, Pa.”

“Kenapa? Telat makan?”

Aku mengangguk. 

IYA, TELAT MAKAN ORANG, PA! Jawabku dalam hati karena geram. 

Ku pelototi mata Mas Yusuf tapi entah kenapa dia pura-pura tak menyadarinya malah sok asyik ngobrol dengan Mama. Awas saja kamu mas, ku pantatin nanti pas tidur!! Ancamku.

________________

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status