Home / Romansa / MENANTU IMPIAN IBU / Bab 03. Selamat Datang!

Share

Bab 03. Selamat Datang!

Author: HaniHadi_LTF
last update Last Updated: 2024-10-02 03:58:39

"Dilan, sudah ashar.  Bangun, Le. Biar nanti ghak kemalaman di jalan," ucap Astri sambil mengetuk pintu kamar berkali-kali. 

"Iya, Bu," sahut Dilan. Diurainya pelukan Dini. "Bangun, Din." 

 "Sudah pagi ya?"

Dilan terkekeh. Disentilnya hidung Dini. "Sudah sore yang bener."

Dini mengulas senyum. "Kirain malam."

"Ayo mandi, sholat, kita siap-siap berangkat."

"Ke mana?"

"Ke rumahku, kamu kan istriku."

Dini terkekeh. Lalu mengikat rambutnya dan pergi ke kamar mandi yang letaknya di belakang sendiri, dekat dapur. Leher jenjang putihnya terlihat sempurna. Lagi-lagi Dilan menelan ludah.

Tak lama Dini sudah keluar. Bau semerbak sabun mandi menyeruak melewati Dilan yang masih terpana dengan kecantikan Dini yang segar setelah mandi.

"Aku sudah bawakan kamu baju ganti, kamu pakai ya?" kata Dilan yang tadi saat Dini ke kamar mandi telah menyiapkan baju ganti lengkap untuk Dini.

Dilan mengguyur tubuhnya.  juga membasahi rambutnya dengan memakai shampo. Air di desa ini sangat sejuk, mengalir dari atas  bukit yang disalurkan ke rumah-rumah penduduk,  juga untuk mengairi persawahan warga. Sudah begitu lama dia tak merasakan air yang duluh menjadi candunya berlama-lama di aliran air, mandi beramai-ramai dengan santri pondok lainnya.

Dilan menganggukkan kepalanya saat di dapur ada Fahmi dan Astri. Mereka memandangi Dilan. Dilan bahkan merasa mereka memperhatikan rambut Dilan yang basah.

"Apa kamu juga memiliki pemikiran yang sama dengan Ibu, Le?" tanya Astri begitu Dilan berlalu dari mereka.

Fahmi mengangguk sedikit malu.

"Kamu juga seumuran Dilan, 26 tahun, kamu juga memahami orang menikah."

"Tapi Dilan sudah berjanji tidak akan menyentuh Dini sampai Dini benar-benar sadar siapa dirinya, Bu."

"Iya, Le. Tapi walaupun dia menyentuhnya, itu sudah haknya, Le. Ibu percaya Dilan. Dia akan menanggung resikonya dan tidak akan meninggalkan adikmu dalam kesengsaraan."

"Fahmi juga percaya Dilan, Bu." Fahmi memang tak pernah meragukan Dilan. Teman sekelasnya itu teramat mencintai Dini sejak Dini masih ingusan. Walau duluh sering mengodanya, namun dia tau, dia amat mencintai Dini. Hanya sifatnya saja yang suka bercanda, bahkan keterlaluan, yang sering membuat Dini amat membencinya.

"Bu..., Fahmi,... kami pamit," ucap Dilan mendekat. Dengan pakaian senada yang Dini kenakan, dia nampak mempesona dengan wajah tampannya.

Astri menghampri keduanya dan memeluk Dini erat. Airmata terurai di pipinya yang keriput.

"Jaga adikku, Dilan," Fahmi memeluk Dilan, "ingat, aku tak segan-segan membunuhmu jika kamu menyakitinya."

"Apaan sih? Bisa-bisanya kamu ngomong begitu kepadaku?"

Fahmi terkekeh. 

"Ibu, Mas Fahmi,..., jangan lupa jenguk Dini, ya," ucap Dini  lalu kembali menghambur ke pelukan ibunya.

 Mereka kemudian mengantar Dilan hinggah mobil merah  yang dikendarai Dilan, hilang dari pandangan.

"Kamu kenapa menangis?" tanya Dilan dengan menepikan mobilnya. Dilihatnya Dini dengan sesekali berurai airmata. 

"Enggak," ucap Dini sambil mengelap matanya juga hidungnya yang keluar ingus dengan kerudungnya. 

Dilan mengambil tisu. "Begini kalau nangis, jangan asal kerudung buat lap," katanya sambil mengelap airmata dan ingus Dini. Dipandanginya gadis itu lekad dengan senyum gelinya.

"Kamu akan baik-baik saja bersamaku. Aku janji." Dipeluknya Dini hangat. Gadis itu sesenggukan di dadanya.

"Sudah, ayo jalan lagi, biar ghak kemalaman di jalan. Belum nanti kita beli baju duluh."

Dini mengangguk dan tersenyum. Dilan gemas memandangnya. 

Dilan menepikan mobilnya setelah sekian lama mereka berkendara dan sampai di sebuah toko busana yang menjual pakaian wanita lengkap dengan aksesoris dan kebutuhannya.

Dini tak berhenti melepas lengan Dilan dengan sesekali memandangnya mesra.

"Selamat sore, Mas. Selamat sore, Mbak! Ada yang bisa saya bantu?" tanya penjaga.

"Kami membutuhkan pakaian lengkap untuk istri saya, Mbak."

"Mari saya bantu." Gadis muda itu menunjukkan berbagai macam koleksinya. Dilan memilihkan pakaian untuk Dini, dari rok terusan untuk keluar rumah, sampai untuk pakaian santai di rumah dengan tekstur dingin agar Dini yang terbiasa hidup di udara sejuk itu tidak kepanasan di rumah Dilan. Sejenak Dilan memandang baju tipis dihiasi renda. disunggingnya senyum, terlebih saat Dini memandangnya. Kapan-kapan, kamu pasti akan mengenakan pakaian itu di depanku, batihinnya. Aku akan membelikan kamu selusin lingery dengan berbagai warna.

Tak seberapa lama, mobil Dilan sudah sampai di halaman rumahnya. Sebuah rumah tinggkat dua dengan halaman luas penuh tanaman bunga terhampar. Dini memandangi rumah di depannya dengan takjub. 

"Den, malam sekali pulangnya?" sapa  Ima, pembantu rumah mereka yang sudah seperti ibu bagi Dilan.

"Kenalin, Bu,.. ini Dini," ucap Dilan dengan memanggil pembantunya itu dengan 'Bu'. Dialah yang mengasuh Dilan sejak kecil, saat sering ditinggal mamanya.

Dini mengulurkan tangannya, dan disambut dengan elusan lembut di kepalanya yang tertutup jilbab salem.

"Sudah disiapkan kamar kami, Bu?"

"Sudah, Den,... tapi Nyonya marah-marah," kata  Ima sambil melirik ke belakang, "katanya kalau Den Ajeng ke sini bagaimana?"

"Toh di sebelahnya masih ada kamar tamu, Bu," kata Dilan.

Sekilas Dilan tersenyum dengan memandang Dini yang mengedarkan pandangannya sambil memegang  benda apapun di kamar yang kini mereka tempati dengan takjub.

 Dilan berhenti saat dilihatnya seorang perempuan di ambang pintu kamarnya yang terbuka.

"Kamu benar-benar membawa dia kemari Dilan? Kamu mau menghancurkan reputasi keluarga kita dengan membawa wanita gila kemari?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MENANTU IMPIAN IBU   Menantu Impian Ibu bab 114

    Mata Dini sudah mengaca. Dilan hanya bisa merengkuhnya, membenamkan wajahnya dalam dekapannya. "Kita akan cari rumah kontrakan yang mungkin bisa untuk mengembangkan usahamu sekaligus bisa untuk kita tempati," janji Dilan, "kamu jangan lagi menangis." diciumnya kening wanita yang kini terisak di pelukannya."Nanti kalau diminta orangnya lagi gimana? Susah lagi kan?" protes Dini.Dilan terkikik. "Iya juga ya," cetusnya."Nah, kurang pinter juga kamu ya, Mas.""Iya, iya, Dek. Yang pinter kan cuma kamu. Terlebih kamu pinter mencuri."Dini mendorong dada Dilan. "Maksud Mas apa?""Aduh!" Dilan yang tidak menyangka sampai berpegangan di bibir tempat tidurnya. "Kamu ini ya,.. nggak lagi sedidh, nggak lagi senang, sukanya bikin aku mau celaka terus."Dini cemberut. "Habisnya, kamu ngomong begitu." Matanya sudah kembali mengaca. "Emang aku mencuri apa kamu.""Kamu kan mencuri hatiku, Dek.""Hih! Rasain ini." Dini sudah menghujani Dilan yang turun dari tempat tidurnya dengan tabokan bantal. "A

  • MENANTU IMPIAN IBU   Menantu Impian Ibu Bab 113

    Dini yang membuka kunci rumah, segera mempersilahkan Profesor Satya dan Amira, istrinya masuk."Silahkan masuk, Pak, Bu."Memasuki rumah, sepasang suami istri itu sudah berdecak kagum. Wanita yang masih cantik di usianya yang sudah setengah baya tu bahkan berkeliling matanya menatap seluruh ruangan itu."Terus terang kami pangling dengan rumah kami sendiri. Bukan karena catnya yang kalian ganti ini, tetapi karena penataan dan pernak pernik ruangan yang kalian terapkan, sangat cantik," puji Amira.Dilan tersenyum memandang Dini, "Semua ini dia yang ngatur, Bu. Saya mana mengerti yang begituan. Cuma izin Bapak saja waktu ganti cat. Itu pun saya juga baru tau setelah selesai ngecatnya." Dialna merasa tak enak hati. "Untung Bapak setuju, kalau tidak bisa berabe."Tawa pun menggema. "Rumah tambah bagus kok nggak suka, ya nggak mungkin, Dilan," tutur Satya."Kamu memang pintar, Din," puji Amira lagi. "Sama bunga aja kamu telaten. Apalagi dengan nata beginian. Mencerminkan banget siapa dirimu

  • MENANTU IMPIAN IBU   Menantu Impian Ibu 112

    "Assalamualaikum, Din. Mana Bu Astri?" sapa pria itu, yang ternyata Pak RT."Ke Pak Kyai, Pak," jawab Dini sambil menggeser jilbabnya yang tadi dia pakai asalan. "Mau narik iuran kampung?"Pak RT terkekeh kecil. "Iya, Din. Seperti biasanya. Ini tadi saya baru tau kalau Bu Astri sudah kembali dari rumahmu, Din. Makanya saya datang sekalian."Dini mengangguk, lalu tanpa banyak basa-basi mengeluarkan uang dari dompetnya yang tadi ditaruh di sofa setelah berbelanja, dan menyerahkannya kepada Pak RT.Hampir mau keluar, Pak RT menoleh ke arah Dini. "Oya, Nak Dini. Selamat, ya. Kamu sudah berhasil melewati Barata dengan menjadi saksi itu. Kasihan Nak Aziel. Sekarang dia bisa hidup tenang setelah misteri kematiannya terungkap."Dini terdiam sesaat, ada semburat kesedihan di wajahnya. Ia menghela napas pelan. "Iya, Pak. Kita doakan saja keputusan hakim adil. Vonisnya belum keluar."Pak RT mengangguk mantap. "Tapi Bapak sudah lihat jalannya sidang yang ditayangkan live dari TV Pesantren. Insya

  • MENANTU IMPIAN IBU   Menantu Impian Ibu 111

    "Bapak siapa?" tanya Dini, menelisik pria berkulit sawo matang yang terlihat keras itu."Saya hanya mau lihat, apa rumah ini sudah bagus." "Kalau sudah bagus, kenapa ya Pak?" "Tolong bukakan pintuny. Saya mau masuk," ucap lelaki itu dengan sikap sombongnya. Seolah-olah dialah pemilik rumah itu. "Ada perlu apa ya, Pak?" Dini masih curiga dengan pria yang tidak begitu dikenalnya. Ditatapnya penuh selidik. Terkadang dia merasa tak asing dengan wajah itu, namun dia juga ghak terlalu yakin. "Saya hanya ingin tau, apa rumah bakal mantu saya sudah bener- bener bagus. Saya sudah mengeluarkan uang banyak untuk itu. Saya harus pastikan agar nanti kalau ada kerabat yang datang tidak malu-maluin.""Berarti Anda,..?" Dilan menerka."Kamu dapat menebak saya. Saya Pak Mail juragan buah dari kampung sebelah. Saya bapaknya Fatimah.""Oala, Pak,..kirain siapa tadi." Dilan langsung menyalami pria itu.Dilan lalu berbisik ke Dini. Dini yang orang sini malah yang tidak tau. Dilan memang tau hubungan c

  • MENANTU IMPIAN IBU   Menantu Impian Ibu 110

    Dilan sudah siap-siap, siapa tau Dini akan menipunya kembali. Namun yang ada Dini malah membuka kimononya. "Mau aku tipu lagi?""Aku sudah pakai jurus jika kamu melakukan itu lagi.""Mana jurusnya?""Ini,.." Dilan menarik pinggang Dini, dan meraih tengkuknya dengan bibir yang sudah menyentuh bibir Dini.Paginya. Pagi sekali Dilan sudah mengajak Dini naik motor Fahmi yang duluh sering dipakainya."Mau ke mana sih, Mas, pagi sekali? Dingin lagi udaranya.""Mau ke pasar Subuh. Biar rambutku kering di jalan. Malu nanti dilihat Fahmi ketauan aku mandi basa. Kemarin sih ya, kita ghak bawa hairdyer.""Kenapa malunya sama Mas Fahmi, bukan sama Ibu?" cibir Dini."Dia kan temanku Dek. Belum nikah lagi. Ya, malulah."Dilan sudah menstarter motornya. Sekali, dua kali, masih tak bisa. Sampai akhirnya Fahmi keluar. Dan benar saja, untuk yang pertama kali dilihat Fahmi adalah rambutnya Dilan."Ghak dingin, subuh-subuh udah keramas. Aku aja sampai Dhuhur baru mandi.""Ih, kamu ya,..!" timpuk Dilan ma

  • MENANTU IMPIAN IBU   Menantu Impian Ibu 109

    Dini mendekat, senyumnya tetap ramah meskipun bisa melihat raut kesal di wajah perempuan paruh baya di depannya. Wanita itu, mengenakan blus batik dengan tas selempang kecil yang sudah sedikit lusuh, tampak mengangkat setangkai bunga dengan ekspresi tak percaya."Masak iya, bunga begini semahal itu?" keluhnya, matanya menyipit menatap kelopak bunga seakan-akan menyalahkannya atas harga yang dipasang.Dini, yang sudah terbiasa menghadapi berbagai macam pelanggan, tetap tenang. Ia melirik sekilas ke arah bunga di tangan wanita itu, kemudian tersenyum."Ada yang bisa saya bantu, Bu?" ulangnya, suaranya lembut, nyaris berbisik seperti belaian angin sore yang masuk melalui celah pintu toko bunga miliknya.Wanita itu menatapnya lebih dekat, seakan baru menyadari sesuatu. "Ini Mbak Dini, ya?" tanyanya dengan raut penasaran.Dini mengangguk kecil. "Iya, Bu. Ada yang bisa saya bantu?"Wanita itu mendengus kecil, masih tak rela dengan harga yang tercantum di pot tanaman itu. "Ini, Mbak. Masak i

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status