Mata Dini sudah mengaca. Dilan hanya bisa merengkuhnya, membenamkan wajahnya dalam dekapannya. "Kita akan cari rumah kontrakan yang mungkin bisa untuk mengembangkan usahamu sekaligus bisa untuk kita tempati," janji Dilan, "kamu jangan lagi menangis." diciumnya kening wanita yang kini terisak di pelukannya."Nanti kalau diminta orangnya lagi gimana? Susah lagi kan?" protes Dini.Dilan terkikik. "Iya juga ya," cetusnya."Nah, kurang pinter juga kamu ya, Mas.""Iya, iya, Dek. Yang pinter kan cuma kamu. Terlebih kamu pinter mencuri."Dini mendorong dada Dilan. "Maksud Mas apa?""Aduh!" Dilan yang tidak menyangka sampai berpegangan di bibir tempat tidurnya. "Kamu ini ya,.. nggak lagi sedidh, nggak lagi senang, sukanya bikin aku mau celaka terus."Dini cemberut. "Habisnya, kamu ngomong begitu." Matanya sudah kembali mengaca. "Emang aku mencuri apa kamu.""Kamu kan mencuri hatiku, Dek.""Hih! Rasain ini." Dini sudah menghujani Dilan yang turun dari tempat tidurnya dengan tabokan bantal. "A
Dini yang membuka kunci rumah, segera mempersilahkan Profesor Satya dan Amira, istrinya masuk."Silahkan masuk, Pak, Bu."Memasuki rumah, sepasang suami istri itu sudah berdecak kagum. Wanita yang masih cantik di usianya yang sudah setengah baya tu bahkan berkeliling matanya menatap seluruh ruangan itu."Terus terang kami pangling dengan rumah kami sendiri. Bukan karena catnya yang kalian ganti ini, tetapi karena penataan dan pernak pernik ruangan yang kalian terapkan, sangat cantik," puji Amira.Dilan tersenyum memandang Dini, "Semua ini dia yang ngatur, Bu. Saya mana mengerti yang begituan. Cuma izin Bapak saja waktu ganti cat. Itu pun saya juga baru tau setelah selesai ngecatnya." Dialna merasa tak enak hati. "Untung Bapak setuju, kalau tidak bisa berabe."Tawa pun menggema. "Rumah tambah bagus kok nggak suka, ya nggak mungkin, Dilan," tutur Satya."Kamu memang pintar, Din," puji Amira lagi. "Sama bunga aja kamu telaten. Apalagi dengan nata beginian. Mencerminkan banget siapa dirimu
"Assalamualaikum, Din. Mana Bu Astri?" sapa pria itu, yang ternyata Pak RT."Ke Pak Kyai, Pak," jawab Dini sambil menggeser jilbabnya yang tadi dia pakai asalan. "Mau narik iuran kampung?"Pak RT terkekeh kecil. "Iya, Din. Seperti biasanya. Ini tadi saya baru tau kalau Bu Astri sudah kembali dari rumahmu, Din. Makanya saya datang sekalian."Dini mengangguk, lalu tanpa banyak basa-basi mengeluarkan uang dari dompetnya yang tadi ditaruh di sofa setelah berbelanja, dan menyerahkannya kepada Pak RT.Hampir mau keluar, Pak RT menoleh ke arah Dini. "Oya, Nak Dini. Selamat, ya. Kamu sudah berhasil melewati Barata dengan menjadi saksi itu. Kasihan Nak Aziel. Sekarang dia bisa hidup tenang setelah misteri kematiannya terungkap."Dini terdiam sesaat, ada semburat kesedihan di wajahnya. Ia menghela napas pelan. "Iya, Pak. Kita doakan saja keputusan hakim adil. Vonisnya belum keluar."Pak RT mengangguk mantap. "Tapi Bapak sudah lihat jalannya sidang yang ditayangkan live dari TV Pesantren. Insya
"Bapak siapa?" tanya Dini, menelisik pria berkulit sawo matang yang terlihat keras itu."Saya hanya mau lihat, apa rumah ini sudah bagus." "Kalau sudah bagus, kenapa ya Pak?" "Tolong bukakan pintuny. Saya mau masuk," ucap lelaki itu dengan sikap sombongnya. Seolah-olah dialah pemilik rumah itu. "Ada perlu apa ya, Pak?" Dini masih curiga dengan pria yang tidak begitu dikenalnya. Ditatapnya penuh selidik. Terkadang dia merasa tak asing dengan wajah itu, namun dia juga ghak terlalu yakin. "Saya hanya ingin tau, apa rumah bakal mantu saya sudah bener- bener bagus. Saya sudah mengeluarkan uang banyak untuk itu. Saya harus pastikan agar nanti kalau ada kerabat yang datang tidak malu-maluin.""Berarti Anda,..?" Dilan menerka."Kamu dapat menebak saya. Saya Pak Mail juragan buah dari kampung sebelah. Saya bapaknya Fatimah.""Oala, Pak,..kirain siapa tadi." Dilan langsung menyalami pria itu.Dilan lalu berbisik ke Dini. Dini yang orang sini malah yang tidak tau. Dilan memang tau hubungan c
Dilan sudah siap-siap, siapa tau Dini akan menipunya kembali. Namun yang ada Dini malah membuka kimononya. "Mau aku tipu lagi?""Aku sudah pakai jurus jika kamu melakukan itu lagi.""Mana jurusnya?""Ini,.." Dilan menarik pinggang Dini, dan meraih tengkuknya dengan bibir yang sudah menyentuh bibir Dini.Paginya. Pagi sekali Dilan sudah mengajak Dini naik motor Fahmi yang duluh sering dipakainya."Mau ke mana sih, Mas, pagi sekali? Dingin lagi udaranya.""Mau ke pasar Subuh. Biar rambutku kering di jalan. Malu nanti dilihat Fahmi ketauan aku mandi basa. Kemarin sih ya, kita ghak bawa hairdyer.""Kenapa malunya sama Mas Fahmi, bukan sama Ibu?" cibir Dini."Dia kan temanku Dek. Belum nikah lagi. Ya, malulah."Dilan sudah menstarter motornya. Sekali, dua kali, masih tak bisa. Sampai akhirnya Fahmi keluar. Dan benar saja, untuk yang pertama kali dilihat Fahmi adalah rambutnya Dilan."Ghak dingin, subuh-subuh udah keramas. Aku aja sampai Dhuhur baru mandi.""Ih, kamu ya,..!" timpuk Dilan ma
Dini mendekat, senyumnya tetap ramah meskipun bisa melihat raut kesal di wajah perempuan paruh baya di depannya. Wanita itu, mengenakan blus batik dengan tas selempang kecil yang sudah sedikit lusuh, tampak mengangkat setangkai bunga dengan ekspresi tak percaya."Masak iya, bunga begini semahal itu?" keluhnya, matanya menyipit menatap kelopak bunga seakan-akan menyalahkannya atas harga yang dipasang.Dini, yang sudah terbiasa menghadapi berbagai macam pelanggan, tetap tenang. Ia melirik sekilas ke arah bunga di tangan wanita itu, kemudian tersenyum."Ada yang bisa saya bantu, Bu?" ulangnya, suaranya lembut, nyaris berbisik seperti belaian angin sore yang masuk melalui celah pintu toko bunga miliknya.Wanita itu menatapnya lebih dekat, seakan baru menyadari sesuatu. "Ini Mbak Dini, ya?" tanyanya dengan raut penasaran.Dini mengangguk kecil. "Iya, Bu. Ada yang bisa saya bantu?"Wanita itu mendengus kecil, masih tak rela dengan harga yang tercantum di pot tanaman itu. "Ini, Mbak. Masak i