Aku berdiri tidak jauh dari kamar Papa sambil menunggu Ibu datang. Perasaan ini tidak bisa tergambarkan lagi, emosi, amarah, semua jadi satu. Ingin segera aku melampiaskan semuanya kepada Ibu yang bisa-bisanya tanpa berdiskusi langsung membuat keputusan tanpa persetujuanku.
“Apa yang mau kamu katakan, Rum?” Ibu langsung bertanya begitu dia sampai di hadapanku. Dari pertanyaannya saja tidak sedikit pun punya rasa bersalah telah mengambil keputusan sendiri tanpa melibatkan diriku.
“Ibu masih bertanya? Ibu sebenarnya tahu atau pura-pura tidak tahu!” cecarku dengan nada tinggi. Aku kesal dan ingin berteriak saja di hadapan wanita ini.
Sudah cukup lama menyimpan segala bentuk kekesalan yang ingin kuhempaskan kepada Ibu. Tapi aku masih berpikir, semua ini demi Papa. Walau bagaimanapun, ibu telah bersusah payah mengurus Papaku.
“Apa sebenarnya maksudmu, Rum? Ibu tidak paham. Kau langsung saja mau bicara apa?” tukasnya sambil melipat tangan. Raut wajahnya sama sekali tidak menunjukkan penyesalan, angkuh sekali.
“Ibu bilang apa pada Papa? sehingga Papa berpikir jika aku sudah menyetujui surat perjanjian itu? katakan, Bu,” desakku memelas dan memelankan intonasi suara padanya supaya hatinya luluh dan mau berpikir kembali.
“Ibu tidak bicara apa pun, Rum. Bukankah kau sendiri yang bersedia untuk menikah dengannya.”
“Bersedia apanya? Kapan aku katakan bersedia, Bu. Apa Ibu tidak memikirkan kuliahku yang sebentar lagi selesai? Bahkan untuk bernapas saja aku masih merasakan sesak,” sergahku lantang. Kini emosi menguasai diriku, tidak peduli jika Papa akan mendengar obrolan kami.
“Huff, Ibu lelah. Kau selalu membahas hal yang sama berulang kali, padahal pertanyaan Ibu hanya satu padamu, bersedia atau tidak. Kau tinggal memilih, justru kemarin kau katakan akan berpikir lagi. Sampai kapan kau akan buat kami menunggu keputusanmu itu? sementara besok pagi orang suruhan Pak Romo akan datang menggeledah rumah ini, terus bagaimana dengan Papa dan kedua adikmu? Apa kau tak merasa kasihan kepada mereka?”
Penuturan Ibu sangat menusuk hati, aku tercengang tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Penuturannya langsung membungkam bibirku hingga sulit berkata. Kaki ini saja sudah tidak mampu menopang tubuhku lagi, seketika lutut pun lunglai terduduk lemas. Aku tidak pernah berpikir hidup ini akan berakhir seperti ini. Semua usaha yang sudah kulakukan terasa sia-sia. Hidup ini berakhir dengan pernikahan yang tidak kuinginkan.
***
Ibu masih berdiri di hadapanku. Menunggu jawaban apa yang akan keluar dari mulutku. Tangis ini pecah tak terbendung lagi.
“Sudahlah, Rum. Tidak ada yang perlu kau tangisi lagi. Semuanya sudah terjadi, kau hanya tinggal menjalankannya saja. Toh, setelah kau menikah nanti tidak perlu bekerja sambil membiayai kuliahmu. Pak Romo sudah berjanji jika mau menikah dengan anaknya dia akan membiayai kuliahmu sampai wisuda.”
Belum hilang luka hatiku, ibu sudah mengeluarkan kata-kata seperti itu. Hal itu sama saja melukai hati dan harga diriku. Seolah-olah apa yang sudah aku perjuangkan hingga saat ini bukanlah apa-apa. Semuanya terlalu mudah bagi Ibu untuk mengatakan hal itu. Lagi-lagi wanita itu tidak pintar bagaimana caranya bersimpati.
“Mudah sekali Ibu ngomong begitu.” Aku menatapnya sambil tersenyum sinis. “Ibu pikir aku tidak bisa membiayai kuliahku? Apa selama ini aku meminta pada Ibu? pada Papa? Apa aku menggantungkan kehidupanku pada kalian? Bertanya saja pun kalian tidak pernah. Tanpa bantuan orang yang Ibu sebut itu, aku pun bisa menammatkan kuliah, Bu. Jadi, Ibu jangan asal bicara.”
Aku menatap wanita itu tajam, matanya merah menahan amarah. Tangannya terkepal seolah kepalan itu akan dihujamkan tepat di wajahku. Bibirnya tertutup rapat tidak menampakkan deretan gigi yang dia tekan karena menahan emosi yang sebentar lagi akan meledak.
Sebuah tamparan keras mendarat tepat di pipi kiriku. Tangan ini refleks memegang pipi kiri yang terasa nyeri. Aku bangkit dari duduk kemudian berdiri berhadapan dengan Ibu. Aku balas menatapnya, ini pertama kalinya Ibu menamparku. Bagaimana nakalnya dahulu, sedikit pun ibu belum pernah menampar atau pun memukul.
“Ibu!” gumamku pelan sambil menahan sakit.
“Kau pikir kau dapat beasiswa itu dari siapa? Kau pikir tanpa adanya bantuan dari orang lain kau dengan mudah bisa berkuliah dan bekerja seperti itu? Cuih! Jangan harap, Rum. Dunia tak sebaik itu padamu,” teriak Ibu keras, matanya memerah menatapku.
Ibu mengeluarkan semua unek-unek yang ada di hatinya. Segalanya tertumpahkan tanpa memikirkan kemana tumpahan itu akan terjatuh.
Aku mengenyitkan dahi dan mencerna kata-kata yang baru saja keluar dari mulut Ibu. Bagai ditusuk ribuan jarum, hatiku tidak percaya dan tidak ingin percaya dengan apa yang baru saja diucapkannya. Air mata ini menggenang, merasa begitu kecil saat ini, jadi apa yang kubanggakan selama ini atas diriku.
“Perkataan Ibu kali ini sangat tepat sasaran, langsung menusuk jantungku. Begitu menyakitkan. Terima kasih atas kepura-puraan yang sedang kalian mainkan untuk diriku. Apa Papa tahu tentang hal ini?” selidikku perlahan
“Tahu, tapi dia tidak ingin menghilangkan kepercayaan dirimu. Sekolah dan tempat bekerjamu saat ini adalah salah satu kepunyaan dari saudagar kaya itu. Kau pasti tidak menyangkakan?” ujarnya sambil tersenyum sinis ke arahku.
“Benar, aku tidak menyangka sama sekali. Malah, sangat terkejut. Kalian memang ahlinya membuang kepercayaan diri orang lain,” sindirku.
Aku melangkah pergi meninggalkan Ibu sendirian, tidak ingin lagi berada di dekatnya. Semakin lama berada di sana semakin memuncak rasa kesal dan amarahku. Rasa sesal mendalam dari lubuk hati adalah saat mengetahui bahwa Papa tahu semua tentang hal itu dan menyetujuinya. Jadi apa gunanya tadi Papa meminta maaf. Toh, yang kulakukan bukan karena hasil kerja kerasku, melainkan atas bantuan orang lain. Selama ini mereka pasti tertawa dan puas karena sudah mempermalukan diriku. Kepercayaan diri yang sudah lama kubangun, runtuh begitu saja saat tahu semuanya adalah rekayasa. Ibu pasti tertawa melihatku yang tampak bodoh dan naif ini.
Bunyi benda jatuh menghentikan langkahku yang semakin jauh dari kamar Papa. Langkah kaki terhenti ketika sebuah teriakan disertai tangisan mengisi kesunyian rumah ini. Aku berbalik, suara Riyan dan Reina menggema memanggil nama Papa disertai tangis pilu. Apa yang terjadi sebenarnya.
Aku berlari kembali menuju kamar Papa.Tampak Papa sudah tergeletak di lantai dengan mata tertutup. Ibu meraung menangis di sebelah kanan Papa sambil memeluk tubuhnya, sementara Reina menangis tersedu memeluk tubuh yang tidak berdaya itu dan Riyan sesekali mengguncang tubuh Papa.
Aku berjalan mendekat seperti orang bingung, sesak dada ini melihat tubuh Papa tergeletak di lantai. Kakiku lemas seketika dan hambur memeluk Papa. Aku menyesal, mungkin Papa mendengar perdebatan aku dan Ibu saat di luar tadi.
“Papa, Papa, bangun, Pah,” ujar Reina sambil mengguncang tubuh Papa. Riyan tampak memegang pergelangan tangan Papa, dirinya seperti sedang merasakan denyut nadi Papa, tidak lama dia bangkit dari duduknya dan berlari keluar, entah apa yang ada dalam pikiran anak itu sehingga berlari begitu saja. Sementara Ibu air matanya mengalir deras, tidak sepatah kata pun kelar dari mulutnya. Wanita itu memeluk tubuh Papa dengan erat sambil mengelus kepalanya.
WISUDA POV ZAKI. Sejak keluar dari rumah hingga sampai di pelataran auditorium kampus, aku tidak melepas genggaman ini dari tangan Rumi. Dirinya sampai mengomel karena aku tidak melepas pegangan tanganku padanya. “Sebentar aja, Kak, Rumi mau ke toilet,” ucapnya padaku yang berusaha melepas pegangan tangannya. “Yaudah, aku ikut. Aku tunggu di luar.” Dia melotot menatapku, kuabaikan saja berpaling menatap ke arah lain. “Astaga, Kak Zaki. Rumi cuma ke situ, toiletnya dekat.” “Emang salah kalau aku ikut? Ya aku mau jagaian kamu,” balasku tak mau kalah, seulas senyum kuberikan untuknya sebagai peredam amarahnya, tetapi tampaknya tidak berhasil. Kuabaikan lirikan Rumi yang seolah ingin memakanku hidup-hidup. Rumi melangkahkan kakinya dan kuikuti berdampingan dengannya. Tangannya kugenggam erat agar dia tidak menjauh dariku.
PRIA LAIN“Kalian berdua sama pentingnya di hati ini. Nggak mungkin aku harus memilih” Pagi ini aku bangun lebih awal, sebab jam 8 nanti ada undangan dari Bang Kemal untuk menghadiri acara wisudanya. Masalah kemarin sudah selesai, nggak diperpanjang dan berlarut. Kami sama-sama minta maaf. Kak Zaki sudah menjelaskan padaku tentang Tiara. Perasaan itu berubah sejak lama, saat Tiara mengabaikannya, tidak ingin tahu tentang dirinya. Kalaupun Tiara merasa kehilangan Kak Zaki, harusnya Tiara mencari bukan malah menghilang tanpa kabar. Dia katakan kalau Tiara banyak berubah, bukan seperti wanita yang dikenalnya dulu. memang sejak dulu Tiara ambisius, tetapi sekarang jadi lebih terobsesi ingin kembali pada Kak Zaki, padahal Kak Zaki sudah menolaknya. “Kakak, pakai baju ini?” tanyaku saat melihat Kak Zaki mengeluarkan kemeja batik berwarna hijau botol dengan celana hitam berbahan kain. Dia menatapku sekilas
PROBLEM“Terima kasih karena sudah peduli dan khawatir” Aku menghela napas pelan berjalan lunglai melewati tiang-tiang koridor perpustakaan. Napas ini sesak, bukan karena Kak Zaki, tetapi lebih kepada diri sendiri. Mulai dari pergi menuju kampus kesialan sudah mengikutiku. Ban taksi online yang bocor di tempat sepi, membuat sopir taksi tersebut kewalahan melakukan pergantian ban sendiri dengan peralatan seadaanya. Begitu tiba di kampus dosen pembimbing sudah tidak ada lagi, beliau pergi karena menunggu terlalu lama. Entah bagaimana nanti aku menemuinya karena sudah membuatnya menunggu. Aku mengutuki diri, mungkin ini adalah salah satu pelajaran karena mengingkari dan mengabaikan ucapan Kak Zaki. Dia melarangku pergi, tetapi aku paksa untuk pergi, alhasil begini hasilnya. Allah langsung menegurku dengan berbagai rentetan kejadian di luar kuasa diri. Getaran dari dalam tas membuat langkahku terhenti, menepi se
SALAH PAHAM “Siapa, Kak,” tanyaku dari dalam sambil berjalan ke arah pintu. Langkah kaki ini terhenti begitu pintu kubuka lebar. “Kak,” lirihku pelan menatap Tiara berpelukan dengan Kak Zaki, dirinya tesenyum ke arahku sambil mengedipkan sebelah matanya. “I miss you,” bisiknya sengaja di depanku sambil melirik. Kak Zaki menoleh, dia segera melepaskan pelukan wanita itu dan berjalan pelan ke arahku perlahan. “Rum,” desisnya sembari meraih tangan ini. Namun, tanpa diduga tangan yang berusaha meraih tangan ini kutepis begitu saja, refleks karena merasa kecewa dengan apa yang sudah kulihat. Kutatap kedua netra Kak Zaki yang terlihat seperti memohon. “Rum, dengar sebentar, Sayang,” ucapnya lembut sambil memegang tanganku lagi. Mata ini sudah memupuk air yang siap
UNGKAPAN Aku masuk terlebih dahulu membiarkan Kak Zaki yang masih diteras memandang ke arah jalan, seolah tengah menunggu seseorang. Mulai dari membereskan ruang tamu juga sisa piring yang masih ada di wastafel belum aku bersihkan. Oh ya, aku lupa mengecek ponsel yang belum sempat kuperiksa tadinya. Kubuka ponsel dan melihat beberapa banyak pesan masuk dan panggilan tidak terjawab dari Bang Kemal juga Riyan. [Rum, kamu baik-baik aja, kan?] [Apa Zaki melarangmu datang?] Jariku berhenti tepat di pesan tersebut begitu membacanya, seolah Bang Kemal tahu apa yang terjadi. Pantas saja tatapan pria itu tidak sedikitpun terusik dengan apa yang Kak Zaki lakukan, dia masih terlihat santai di saat Kak Zaki melakukan aksi konyolnya tadi. [kamu nggak bisa di hubungi, nggak terjadi apa-apa, kan?] [Nanti aku sama Riyan mau datang ke rumah menjenguk kamu.] Ak
DEBAT KUSIRPOV KEMALAku menunggu Riyan di meja pantry yang ada di dapur Rumi. Sambil main ponsel melihat dokumentasi kegiatan yang baru dilakukan hari ini bersama pihak yayasan chariety peduli rumah singgah. Aku tersenyum senang melihat wajah-wajah semringah anak-anak rumah singgah yang senang mendapat bantuan dari para relawan. Selain itu juga sebagai pendiri rumah singgah, yayasan tersebut mengucurkan dana berupa bantuan untuk membangun bangunan sekolah semi permanen agar dindingnya tidak beralaskan kardus lagi. Aku banyak mengucap syukur, setidaknya apa yang kulakukan bisa memberikan mafaat bagi orang lain. Melihat foto kegiatan para pengajar terbesit rasa sedih walau hanya sedikit, karena Rumi tidak hadir. Namun, aku mencoba menepisnya. Bukannya Rumi tidak mau datang, pasti ada sebabnya kenapa dia tidak bisa hadir. Aku mengulas smirk, menyadari bahwa Rumi bukanlah wanita yang kukenal dulu. Dia sudah bersuami dan pasti dia harus menuruti perkataan suaminya. Sepanjang kegiatan
TARIK MENARIK Selagi aku sibuk di dapur membuka barang belanjaan yang dibawa Riyan, kubiarkan mereka bertiga di ruang tamu. Sambil membuka layar televisi agar suasana tidak terlalu hening. Dari dapur bisa kuperhatikan apa yang sedang ketiganya lakukan. Kak Zaki masih tetap dengan posisinya fokus menatap layar televisi, Bang Kemal lebih memilih membaca buku yang ada di atas nakas sebelah sofa. Yah, memang di sebelah sofa itu selalu kusiapkan beberapa buku yang sering kubaca, sengaja di letakkan di sana agar tidak berulang mengambil ke kamar. Sementara Riyan sama dengan Kak Zaki, fokus menonton acara kesukaan keduanya, apalagi kalau bukan berita tentang sepak bola. Sesekali kudengar keduanya mengobrol. Membincangkan berita yang disampaikan presenter televisi tentang acara bola tersebut. Sedikit merasa lega, karena akhirnya Kak Zaki tidak diam saja, bisa mengobrol dengan Riyan membincangkan hal yang dia sukai. Supaya suasana mencair tidak mencekam seper
SURAM“Sebentar ya, Bang, Rumi buatkan minum dulu,” ucapku tersenyum lalu meninggalkan keduanya di ruang tamu. Sepeninggalanku keduanya tidak banyak bicara, sesekali curi-curi pandangan ke arah mereka, tetapi keduanya masih diam membisu, tidak seperti biasanya. Aku hanya berharap semoga apa yang kutakutkan tidak terjadi, masalah pertengkaran aku dan Kak Zaki semoga saja tidak menjadi masalah bagi hubungan perteman mereka. Semoga Kak Zaki bisa bersikap biasa saja kepada Bang Kemal. “Ini Bang, silakan di minum,” ucapku mempersilakan Bang Kemal. Kubuatkan dua teh hangat untuk dirinya dan juga Riyan, sekaligus ada camilan roti kaleng yang sudah kutaruh dipiring agar mempermudah keduanya untuk mengambilnya. “Terima kasih, Rum,” balasnya sambil tersenyum. Aku ambil duduk di single sofa yang letaknya tidak jauh dari Kak Zaki dan Bang Kemal. Namun, belum juga duduk lenganku tertahan. “Kamu mau ke mana, Sayang?” tanya Kak Zaki tiba-tiba. Aku terhent
COMTEMPLATION“Dirinya terlalu samar untuk diriku yang butuh kejelasan.”Masih dengan posisi yang sama, meringkuk memeluk lutut sambil merenungi kesalahanku hari ini. Tangis belum juga reda dan dada masih terasa sesak. Kuliirik jam yang berdentang menunjukkan pukul 9 tepat, tanpa sadar berada di posisi ini sudah dua jam lebih. Ponselku berdenting, sebuah pesan masuk dari Bang Kemal.[Rum, sudah di mana?]Begitulah bunyi pesan itu yang tampil di layar bar tanpa membuka aplikasi pesan itu langsung terbaca. Karena terlalu hanyut dengan perasaan ini membuatku lupa mengabari Bang Kemal. [Maaf ya, Bang. Rumi nggak bisa hadir. Kasihan Kak Zaki nggak ada yang temani.]Seperti itulah alasanku, setelah itu kumatikan ponsel tidak ingin diganggu oleh siapapun. Aku masih ingin meresapi perasaan ini, memikirkan bagaimana caranya untuk meminta maaf kepada Kak Zaki. Keras dan angkuhnya itu belum bisa terpatahkan. Kak Zaki terlalu samar untuk kutelus