Home / Rumah Tangga / MENANTU PILIHAN IBU / 2. KALIMAT TERAKHIR

Share

2. KALIMAT TERAKHIR

Author: Mazda Hrp
last update Last Updated: 2024-05-20 13:16:36

 Suara mengaji di Masjid membuatku terbangun, ternyata sudah menjelang magrib, sementara diriku belum mandi. Nyatanya tubuh ini sangat lelah terutama pikiranku sampai ketiduran. Aku mendengus pelan, ingin rasanya menjerit mengeluarkan semua beban yang menumpuk dikepala. Saat seperti ini Mama adalah orang yang paling mengerti, belaian serta kata-kata nasihatnya saat ini pasti sangat menenangkan hati. Tanpa sadar mata ini memerah dan berlinang merindukan pelukan dan sentuhan tangan Mama. Lama merenung, aku sadar waktu terus bergulir dan langsung beranjak dari tempat tidur segera menuju ke kamar mandi.

 Suara decitan pintu terdengar begitu jelas, seseorang perlahan masuk tanpa mengucapkan salam. Aku masih berdoa, mukenah putih yang mulai lusuh itu masih bertengger di tubuh. Banyak jahitan serta tempelan yang menghiasi mukenah itu, mungkin bisa dikatakan bahwa mukenah inilah pengobat rinduku pada Mama. Karena merupakan pemberian terakhir darinya.

 Tahun lalu ibu memberikan mukena bekasnya untuk diriku, masih bagus, tetapi terlalu mencolok dari segi warna dan hiasannya. Lagipula, hanya dipakai sesekali saja saat acara besar ataupun pengajian. Aku mengakhiri doa dengan khusyuk lalu mengalihkan pandangan ke arah belakang untuk melihat siapa yang masuk tanpa salam ke kamar.

“Kak,” sapa Riyan.

“Ternyata kamu, Yan. Kenapa masuk nggak pakai salam? kebiasaan,” ocehku kesal dengan kebiasan Riyan.

“Ih, Kakak. Sewot amat sih. Baru siap salat tuh jangan ngomel, istighfar Kak Rum,” canda Riyan sambil melempar tutup pulpen ke arahku.

Aku yang masih kesal dengan kebiasaannya tak menanggapi candaannya itu.

“Kalau punya kebiasaan buruk tuh diubah, besok-besok nggak diulangi lagi. Kalau masih tetap seperti itu, berarti orangnya tidak ada niat untuk maju. Karena kesalahan yang sama terus berlanjut,” cecarku tanpa ampun kepada Riyan, candaannya kali ini tidak bersambut. Aku langsung membungkam mulutnya.

“Ma..., maaf Kak Rum. Riyan tadi masuk karena tidak ingin menganggu Kakak yang sedang salat. Makanya langsung masuk saja tanpa mengucapkan salam,” jelas Riyan yang mulai menunjukkan rasa bersalah. Raut wajahnya menjelaskan itu. Tanpa pikir panjang aku langsung mendekati adik lelaki satu-satunya itu. Bagiku permintaan maaf itu tidak berarti, hanya Riyan harus memegang omongannya, sebab seorang lelaki omongannya adalah cambuk baginya. Sekali dirinya berkata maka tanggung jawab sepenuhnya ada padanya.

“Kakak marah bukan berarti tidak suka, hanya Kakak tidak ingin jika kamu mengabaikan sesuatu sehingga menjadi kebiasaan. Karena, jika dalam hidupmu menyepelekan sesuatu kamu tidak akan bisa mencapai apa yang kamu inginkan, Yan.” Aku berbisik pelan ke telinga Riyan. Kueratkan pelukan ini kepadanya, agar dia tahu bahwa aku tidak pernah bisa marah kepada dirinya dan Reina.

“Kak,” panggilnya pelan

 “Hmm.”

 “Mau sampai kapan pelukan seperti ini, aku risih.” Aku langsung menjitak kepalanya. Dirinya mengaduh pertanda bahwa jitakan itu terasa sakit.

 Tidak lama kemudian, tawa kami memenuhi kamar. Dirinya memang sangat usil, saat aku sedang menikmati perasaan ini, dirinya justru menjahiliku.

 “Keluar sana! Kakak mau tidur.”

 “Idihhh, masih magrib nih, Kak. Cepat amat tidurnya. Lagian Papa tadi nyuruh aku buat manggil Kakak. Disuruh, tuh ke kamar Papa.”

“Ada apa?”

“Ya, nggak tahu. Cepatan sana. Entar aku yang dimarahin.”

“Ya, sudah. Keluar sana. Kakak mau ganti pakaian.” Sambil mendorong Riyan keluar kamar.

***

Aku mengetuk pintu perlahan, terdengar suara dari dalam sebagai pertanda boleh masuk. Begitu membuka pintu, kedua netra kami saling bertatapan, wajah Papa tersenyum melihatku. Tepat di hadapan Papa aku duduk sambil memegang jari jemarinya yang tinggal tulang, sementara Ibu duduk di sebelah kanan Papa sambil memijit lengannya. Aku bertanya-tanya sendiri, apakah pertemuan ini sudah direncanakan oleh Papa, mungkin untuk berunding denganku perihal surat perjanjian itu.

Aku selalu tidak habis pikir apa yang membuat Ibu begitu mampu menerima Papa dengan kondisi tidak dapat bekerja dan hanya terbaring seperti ini. Hal ini merupakan poin penting bagiku, karena cinta Ibu ke Papa tidak mengukur dan bersyarat. Walaupun dirinya merupakan istri pengganti, tapi dia tidak pernah banyak menuntut Papa. Ini pun membuatku salut padanya, hanya saja sikapnya kekami benar-benar tegas dan harus selalu sesuai dengan keinginannya.

 “Rum, kau sehat, Nak?” Suara itu menggetarkanku, sudah lama sekali tidak mendengar suara lantangnya. Bibirnya bergetar mengucapkan satu per satu kata demi kata untuk dapat bertanya kesehatanku. Sementara diriku jarang menanyai kondisinya, karena amarah kepada Ibu dan juga dirinya yang sudah tega membuat perjanjian seperti itu tanpa sepengetahuanku dan melibatkan ke dalam masalah mereka.

 “Ba..., baik, Papa,” ucapku pelan.

 “Syukurlah,” jawabnya singkat, “Rumi.” Bibirnya begetar, seolah lidahnya tertahan untuk mengucapkan kata selanjutnya. Aku masih menunggu kata apa yang akan diucapkan Papa selanjutnya. Tidak lama Papa meraih tangganku yang tepat bersebelahan dengan tangannya.

 Tangan itu pun sudah lama tidak menggenggam jari jemariku. Perasaan ini hancur saat merasakan tangan yang dulunya mampu membelah puluhan kayu kini untuk memegang tanganku saja Papa butuh waktu. Mata ini berkaca-kaca dan tidak ingin menangis di hadapan Papa. Aku tidak ingin menunjukkan bahwa sisi lemah dan tidak berdaya. Namun, apa daya air mataku tumpah ruah mengalir deras. Tangannya masih bergetar memegang tanganku.

 “Papa,” lirihku pelan. Sementara ibu mencoba membantu Papa untuk memegang tanganku.

 “Rum, jangan menangis, Nak. Papa senang kau tumbuh mejadi gadis yang tegas dan mandiri.” Sesekali batuknya menghambat perbincangan kami. Ibu yang berada di sebelah kanannya dengan sigap membantu Papa meminum airnya. Pandangan Ibu pun tidak pernah luput dari Papa.

 “Papa, sudahlah, istirahat kembali. Jika ada yang ingin Papa sampaikan, bicarakan saja pada Ibu, biar Ibu yang memberitahukannya langsung kepada Rumi.”

Papa menggeleng tanda tidak setuju. Keras kepalanya masih tetap sama, Papa dari dulu memang seperti itu, selalu ingin mengatakan langsung apa yang dirasakannya agar maksud dan tujuannya tersampaikan. Sebenarnya dari segi sifat, Papa sangat mirip denganku yang tidak bisa menyimpan perasaan terlalu lama. Jika tidak langsung mengatakan apa yang terganjal di hati, maka aku akan sakit dan lelah sendiri karena terlalu terpikir.

 “Rum, maafkan Papa, Nak. Jika Papa tidak bisa berbuat banyak untuk membantu kuliahmu. Papa tahu, kau pasti sangat kecewa dan marah pada Papa. Tapi doa Papa selalu untukmu, Rum. Walau raga Papa tidak bisa bergerak, tapi jiwa Papa masih bisa merasakan pertumbuhan kalian. Terima kasih, Nak telah menyetujui perjanjian itu.”

 Kalimat terakhir Papa bagai pukulan palu. Bagaimana tidak, aku belum memberikan jawaban apa-apa, bahkan tidak berniat untuk menjawabnya. Sontak pegangan tanganku terlepas dari tangan Papa, raut wajahnya terkejut begitu aku melepas genggaman tangannya.

 Kualihkan pandangan menatap Ibu yang duduk di sebelah kanan Papa, dirinya sibuk memijit lengan pria tua yang tak berdaya itu. Pandangan kami bertemu, aku menatap matanya tajam. Dirinya buang muka, aku yakin, ini semua ulah wanita kejam ini.

 Ingin rasanya aku menjerit sekencang-kencangnya, tapi kondisi Papa yang tidak begitu sehat membuatku berpikir lagi. Sedari tadi batuknya semakin sering dan semakin parah. Namun, Papa masih tetap memaksakan diri untuk berbicara langsung kepadaku.

 “Maaf, Papa. Rumi ingin bicara dengan Ibu sebentar saja.” Pandangan mataku mengarah pada Ibu yang sesekali mencuri pandang. Sepertinya wanita itu tahu jika aku mencurigai dirinya.

 Aku langsung beranjak keluar dari kamar Papa, diikuti Ibu dari belakang. Sebelumnya, kami beradu pandang sejenak, sepertinya Papa pun tahu jika aku akan membuat perhitungan dengan Ibu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MENANTU PILIHAN IBU   67. WISUDA

    WISUDA POV ZAKI. Sejak keluar dari rumah hingga sampai di pelataran auditorium kampus, aku tidak melepas genggaman ini dari tangan Rumi. Dirinya sampai mengomel karena aku tidak melepas pegangan tanganku padanya. “Sebentar aja, Kak, Rumi mau ke toilet,” ucapnya padaku yang berusaha melepas pegangan tangannya. “Yaudah, aku ikut. Aku tunggu di luar.” Dia melotot menatapku, kuabaikan saja berpaling menatap ke arah lain. “Astaga, Kak Zaki. Rumi cuma ke situ, toiletnya dekat.” “Emang salah kalau aku ikut? Ya aku mau jagaian kamu,” balasku tak mau kalah, seulas senyum kuberikan untuknya sebagai peredam amarahnya, tetapi tampaknya tidak berhasil. Kuabaikan lirikan Rumi yang seolah ingin memakanku hidup-hidup. Rumi melangkahkan kakinya dan kuikuti berdampingan dengannya. Tangannya kugenggam erat agar dia tidak menjauh dariku.

  • MENANTU PILIHAN IBU   66. PRIA LAIN

    PRIA LAIN“Kalian berdua sama pentingnya di hati ini. Nggak mungkin aku harus memilih”              Pagi ini aku bangun lebih awal, sebab jam 8 nanti ada undangan dari Bang Kemal untuk menghadiri acara wisudanya. Masalah kemarin sudah selesai, nggak diperpanjang dan berlarut. Kami sama-sama minta maaf.             Kak Zaki sudah menjelaskan padaku tentang Tiara. Perasaan itu berubah sejak lama, saat Tiara mengabaikannya, tidak ingin tahu tentang dirinya. Kalaupun Tiara  merasa kehilangan Kak Zaki, harusnya Tiara mencari bukan malah menghilang tanpa kabar.                Dia katakan kalau Tiara banyak berubah, bukan seperti wanita yang dikenalnya dulu. memang sejak dulu Tiara ambisius, tetapi sekarang jadi lebih terobsesi ingin kembali pada Kak Zaki, padahal Kak Zaki sudah menolaknya.               “Kakak, pakai baju ini?” tanyaku saat melihat Kak Zaki mengeluarkan kemeja batik berwarna hijau botol dengan celana hitam berbahan kain. Dia menatapku sekilas

  • MENANTU PILIHAN IBU   65. PROBLEM

    PROBLEM“Terima kasih karena sudah peduli dan khawatir”              Aku menghela napas pelan berjalan lunglai melewati tiang-tiang koridor perpustakaan. Napas ini sesak, bukan karena Kak Zaki, tetapi lebih kepada diri sendiri. Mulai dari pergi menuju kampus kesialan sudah mengikutiku. Ban taksi online yang bocor di tempat sepi, membuat sopir taksi tersebut kewalahan melakukan pergantian ban sendiri dengan peralatan seadaanya.              Begitu tiba di kampus dosen pembimbing sudah tidak ada lagi, beliau pergi karena menunggu terlalu lama. Entah bagaimana nanti aku menemuinya karena sudah membuatnya menunggu.              Aku mengutuki diri, mungkin ini adalah salah satu pelajaran karena mengingkari dan mengabaikan ucapan Kak Zaki. Dia melarangku pergi, tetapi aku paksa untuk pergi, alhasil begini hasilnya. Allah langsung menegurku dengan berbagai rentetan kejadian di luar kuasa diri.              Getaran dari dalam tas membuat langkahku terhenti, menepi se

  • MENANTU PILIHAN IBU   64. SALAH PAHAM

    SALAH PAHAM “Siapa, Kak,” tanyaku dari dalam sambil berjalan ke arah pintu. Langkah kaki ini terhenti begitu pintu kubuka lebar. “Kak,” lirihku pelan menatap Tiara berpelukan dengan Kak Zaki, dirinya tesenyum ke arahku sambil mengedipkan sebelah matanya. “I miss you,” bisiknya sengaja di depanku sambil melirik. Kak Zaki menoleh, dia segera melepaskan pelukan wanita itu dan berjalan pelan ke arahku perlahan. “Rum,” desisnya sembari meraih tangan ini. Namun, tanpa diduga tangan yang berusaha meraih tangan ini kutepis begitu saja, refleks karena merasa kecewa dengan apa yang sudah kulihat. Kutatap kedua netra Kak Zaki yang terlihat seperti memohon. “Rum, dengar sebentar, Sayang,” ucapnya lembut sambil memegang tanganku lagi. Mata ini sudah memupuk air yang siap

  • MENANTU PILIHAN IBU   63. UNGKAPAN

    UNGKAPAN             Aku masuk terlebih dahulu membiarkan Kak Zaki yang masih diteras memandang ke arah jalan, seolah tengah menunggu seseorang. Mulai dari membereskan ruang tamu juga sisa piring yang masih ada di wastafel belum aku bersihkan.              Oh ya, aku lupa mengecek ponsel yang belum sempat kuperiksa tadinya.  Kubuka ponsel dan melihat beberapa banyak pesan masuk dan panggilan tidak terjawab dari Bang Kemal juga Riyan.              [Rum, kamu baik-baik aja, kan?]             [Apa Zaki melarangmu datang?]              Jariku berhenti tepat di pesan tersebut begitu membacanya, seolah Bang Kemal tahu apa yang terjadi. Pantas saja tatapan pria itu tidak sedikitpun terusik dengan apa yang Kak Zaki lakukan, dia masih terlihat santai di saat Kak Zaki melakukan aksi konyolnya tadi.               [kamu nggak bisa di hubungi, nggak terjadi apa-apa, kan?]             [Nanti aku sama Riyan mau datang ke rumah menjenguk kamu.]             Ak

  • MENANTU PILIHAN IBU   62

    DEBAT KUSIRPOV KEMALAku menunggu Riyan di meja pantry yang ada di dapur Rumi. Sambil main ponsel melihat dokumentasi kegiatan yang baru dilakukan hari ini bersama pihak yayasan chariety peduli rumah singgah. Aku tersenyum senang melihat wajah-wajah semringah anak-anak rumah singgah yang senang mendapat bantuan dari para relawan. Selain itu juga sebagai pendiri rumah singgah, yayasan tersebut mengucurkan dana berupa bantuan untuk membangun bangunan sekolah semi permanen agar dindingnya tidak beralaskan kardus lagi. Aku banyak mengucap syukur, setidaknya apa yang kulakukan bisa memberikan mafaat bagi orang lain. Melihat foto kegiatan para pengajar terbesit rasa sedih walau hanya sedikit, karena Rumi tidak hadir. Namun, aku mencoba menepisnya. Bukannya Rumi tidak mau datang, pasti ada sebabnya kenapa dia tidak bisa hadir. Aku mengulas smirk, menyadari bahwa Rumi bukanlah wanita yang kukenal dulu. Dia sudah bersuami dan pasti dia harus menuruti perkataan suaminya. Sepanjang kegiatan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status