BAB 7
PERMINTAAN SEORANG IBU “Aku hanya sedikit berusaha keras, agar yang terbaik bisa menjadi pilihan untuk memulai sesuatu yang baru” Aku berjalan mengantarkan nampan berisi teh dan juga sepiring gorengan yang dibawa oleh Pak Romo. Kuhidangkan dua cangkir teh dengan aroma melati serta sepiring gorengan, dan menawarkan kepada tamu tersebut untuk segera meminum minumannya sebelum dingin. “Silakan diminum, Pak,” ucapku seramah mungkin tanpa melihat ke arah Pak Romo. Saat aku beranjak dan akan pergi, Ibu menahanku. “Rum, duduklah sebentar. Temani Ibu mengobrol dengan Pak Romo,” ujar Ibu tiba-tiba. Aku terperangah, bibir ini tiba-tiba terkunci tidak bisa menolak. Sebenarnya diri ini ingin mengelak, tapi tatapan Ibu seperti menyuruhku untuk diam dan mengikuti arahannya. “Rum, bukan apa-apa. Tidak baik meninggalkan Ibu sendirian mengobrol dengan seorang pria. Temanilah Rum, sebentar saja,” pinta Ibu sekali lagi. Kali ini alasan Ibu masuk akal, aku pun menurut dan langsung duduk di antara keduanya, manik mataku menatap pria yang sedang berbicara kepada Ibu. Dari wajahnya dia bukan seperti orang jahat atau pun rentenir seperti yang dikatakan orang-orang. Tapi kenapa Ibu bersikeras menyuruhku untuk menikah dengan anak lelaki Pak Romo. “Rum, sebenarnya Pak Romo datang ke sini ingin bicara denganmu,” ujar Ibu sambil menoleh ke arahku. Aku terkejut, karena Ibu mengatakan beliau ingin bicara padahal Ibu hanya menyuruh untuk menemaninya saja. Baru saja merasa bahagia karena dari tadi pembahasan mereka sangatlah jauh dariku, sepanjang yang aku dengar mereka hanya membahas soal Papa semasa hidupnya dan juga ucapan terima kasih Ibu kepada Pak Romo karena sudah banyak membantu. Aku tak bisa menyembunyikan rasa keterkejutanku, baru kali ini kami duduk secara berhadapan dan aku melihat dengan jelas bagaimana reaksi pria tua itu. “Me..., memangnya apa yang mau dibahas denganku?” jawabku masih bingung dengan pembicaraan yang menjadikanku topik utama saat ini. “Begini Rum, perihal surat perjanjian saat itu dan juga mengenai biaya...” Perkataan ibu terhenti, Pak Romo menyela dan memotong pembicaraan tersebut. “Ratih, Biar aku saja yang menjelaskannya. Sepertinya Rumi agak terkejut,” ucap Pak Romo sesopan mungkin. “Begini, Rumi. Saya bermaksud ingin meminang Rumi. Sepertinya Rumi sudah tahu tentang maksud saya dan juga mengenai surat perjanjian itu adalah surat yang kami buat sebelum Papamu meninggal. Tidak ada sedikit pun keterpaksaan dari beliau saat itu. Jadi konsekuensinya jika perjanjian itu dibatalkan maka rumah ini yang menjadi jaminannya sebagai gantinya.” Pak Romo tampak berhati-hati dalam menyampaikan maksud dan tujuannya. Sementara aku masih di dera syok atas pernyataan yang langsung keluar dari mulut Pak Romo. Kutatap mereka secara bergantian. Mata dan hatiku memanas. “Bagaimana bisa anda mengutarakan maksud anda segamblang ini. Sementara kuburan Papaku masih basah,” ujarku tersulut emosi. “Rum, jaga ucapanmu.” Ibu berteriak dan menoleh ke arahku. Aku balas menoleh dan menatap ibu tajam. “Ibu mau membela pria ini? apa Ibu menginginkan hartanya? Kenapa bukan Ibu saja yang menikah dengannya.” Aku balas berteriak ke arah Ibu dan akan beranjak pergi meninggalkan ibu dan pria itu. Tanpa diduga ibu menarik tanganku kuat, aku jatuh terduduk di atas sofa. Lalu mencoba melepaskan genggaman ibu, tapi sebuah tamparan mendarat di pipiku. Aku memegang bekas tamparan itu sambil menatap ibu tajam. Pak Romo terlonjak kaget dan mencoba menahan Ibu. “Ratih, hentikan! Jangan terlalu keras kepadanya, kau cukup menyakinkannya dan berbicara perlahan kepadanya.” Pak Romo mencoba mencegah Ibu dari menamparku, tapi tangan Ibu bergerak lebih cepat. “Bu, dalam minggu ini saja, Ibu sudah menamparku lebih dari tiga kali. Apa karena Papaku sudah pergi sehingga Ibu bisa sehendaknya saja berlaku padaku seperti itu? cukup hanya kepadaku, Bu, tidak kepada Riyan dan Reina. Jika hal ini pun terjadi pada mereka, maka aku tidak akan tinggal diam, Ibu langsung berurusan denganku.” Mataku tajam memandang ibu, kuempaskan tangannya yang memegang erat tanganku, tanpa permisi pun pergi meninggalkan Ibu dan Pak Romo yang masih terpaku dengan kejadian ini. Aku berlari ke kamar dan mengunci pintu, tidak ingin jika Riyan atau Reina melihat diri ini menangis seperti ini. Dan kutenggelamkan wajah pada bantal dan menangis menumpahkan kesedihan saat ini. Sementara itu, aku tidak tahu lagi apa yang dibahas oleh Pak Romo dan juga Ibu selanjutnya. Entah apa yang ada dalam pikiran pria itu tentangku, yang jelas aku tidak ingin menikah dengannya. Apa katanya? Meminangku? Sungguh tidak tahu malu dirinya, bukankah dirinya lebih cocok menjadi ayah ketimbang suamiku? Membayangkannya saja membuatku merinding sendiri. *** Suara ketukan pintu membangunkanku dari tidur, tersadar ternyata tangis tadi siang membuatku tertidur lelap. Kulihat jam yang bertengger di atas meja belajar, ternyata sudah pukul empat sore. Aku beranjak turun dari tempat tidur dan membukakan pintu tanpa menanyakan siapa yang mengetuk. Ternyata Ibu sudah berdiri di depan pintu, dirinya masuk tanpa kupersilakan kemudian duduk tepat di atas tempat tidurku. “Rum, Ibu ingin bicara denganmu.” Ibu menatap wajahku dengan serius. Belum lagi pulih rasa sakit dipipi ini akibat tamparan yang Ibu layangkan. Kini dirinya ingin membahas hal itu lagi. Lama-lama aku lelah jika harus membahas hal yang sama, padahal aku sudah mengatakan di awal jika aku tidak suka dengan perjodohan ini. “Rum.” Panggil ibu sekali lagi. Aku bergegas menutup pintu tanpa menguncinya. Aku duduk tepat di hadapan Ibu dan menunduk tanpa menatapnya. “Rum, maafkan Ibu karena sudah menamparmu. Ibu merasa pusing karena memikirkan banyak hal, sehingga kamu yang menjadi pelampiasannya.” Ibu memegang tanganku dan menangis memohon maaf. Aku memalingkan wajah dan tidak ingin melihat Ibu berderai air mata. Tidak bisa dipungkiri Ibu sudah banyak berjasa dalam mengurus Papa tanpa mengeluh sedikit pun. Aku tidak ingin goyah melihat tangis di mata Ibu. “Rum, Ibu mohon. Pikirkanlah baik-baik, Nak, mengenai permintaan Pak Romo. Apa kamu tega melihat keluarga kita terlantar lantaran rumah ini diambil untuk membayar semua hutang-hutang kita? Lihat adik-adikmu Rum, mereka masih sekolah dan butuh tempat yang layak untuk hidup. Pak Romo, memberikan tenggat waktu kepada kita sampai tiga hari untuk kita memikirkannya. Ibu mohon Rum, rumah ini adalah satu-satunya peninggalan Papamu,” ujar Ibu memohon kepadaku, genggaman tangan wanita itu semakin kuat, tangisannya pun semakin kencang. Kini dirinya membungkuk di hadapanku. “Bu.” Akukaget karena Ibu membungkuk memohon. “Jangan lakukan ini, Bu. Rum mohon. Pasti ada pilihan lain, Aku akan menemui Pak Romo untuk memohon. Tapi, sungguh tidak ingin menikah dengan Pak Romo, Bu. Rum sudah memiliki tambatan hati dan hanya ingin menikah dengan pria yang Rum cintai,” jelasku kepada ibu. Tanpa kuduga Ibu langsung berdiri dan menatapku terkejut. “Jadi kamu lebih memilih ingin menyerahkan rumah ini daripada mempertahankannya,” seru Ibu yang masih menatapku tajam. “Bu.., bukan begitu maksudku, Bu. Makanya besok aku akan datang menemui Pak Romo, ingin bicara dengannya dan membahas masalah rumah ini. Siapa tahu ada pilihan lain dan beliau memberikan kita waktu untuk tinggal di rumah ini sampai aku menammatkan kuliah yang tinggal sebentar lagi. Rumi harap Ibu pun bersabar dengan hal ini.” tuturku kepada ibu. Wanita itu mendengarkan dengan seksama. Tampak dirinya tengah berpikir. “Rum, asal kamu tahu bahwa pesan terakhir Papamu adalah Kamu mau menuruti apa yang sudah menjadi perjanjian yang ada di dalam surat itu. Selebihnya tidak ada nego lagi. Ibu lelah harus mengatakan apalagi kepadamu, jika kamu memang punya pria yang kamu sukai kenapa tidak katakan sejak dulu, sewaktu Papa masih hidup. Kamu tahu Rum, mau bagaimanapun berusaha keras hasilnya tetap sama, kita tetap kalah.” Ibu bangkit dan kemudian keluar dari kamarku setelah mengatakan hal itu. Aku bersyukur setidaknya pembicaraan kali ini aku dan Ibu sama-sama tidak terpancing emosi. Aku tetap akan mempertahankan rumah ini sebisa mungkin tanpa harus mengorbankan diri dan juga kehidupan Riyan dan Reina.WISUDA POV ZAKI. Sejak keluar dari rumah hingga sampai di pelataran auditorium kampus, aku tidak melepas genggaman ini dari tangan Rumi. Dirinya sampai mengomel karena aku tidak melepas pegangan tanganku padanya. “Sebentar aja, Kak, Rumi mau ke toilet,” ucapnya padaku yang berusaha melepas pegangan tangannya. “Yaudah, aku ikut. Aku tunggu di luar.” Dia melotot menatapku, kuabaikan saja berpaling menatap ke arah lain. “Astaga, Kak Zaki. Rumi cuma ke situ, toiletnya dekat.” “Emang salah kalau aku ikut? Ya aku mau jagaian kamu,” balasku tak mau kalah, seulas senyum kuberikan untuknya sebagai peredam amarahnya, tetapi tampaknya tidak berhasil. Kuabaikan lirikan Rumi yang seolah ingin memakanku hidup-hidup. Rumi melangkahkan kakinya dan kuikuti berdampingan dengannya. Tangannya kugenggam erat agar dia tidak menjauh dariku.
PRIA LAIN“Kalian berdua sama pentingnya di hati ini. Nggak mungkin aku harus memilih” Pagi ini aku bangun lebih awal, sebab jam 8 nanti ada undangan dari Bang Kemal untuk menghadiri acara wisudanya. Masalah kemarin sudah selesai, nggak diperpanjang dan berlarut. Kami sama-sama minta maaf. Kak Zaki sudah menjelaskan padaku tentang Tiara. Perasaan itu berubah sejak lama, saat Tiara mengabaikannya, tidak ingin tahu tentang dirinya. Kalaupun Tiara merasa kehilangan Kak Zaki, harusnya Tiara mencari bukan malah menghilang tanpa kabar. Dia katakan kalau Tiara banyak berubah, bukan seperti wanita yang dikenalnya dulu. memang sejak dulu Tiara ambisius, tetapi sekarang jadi lebih terobsesi ingin kembali pada Kak Zaki, padahal Kak Zaki sudah menolaknya. “Kakak, pakai baju ini?” tanyaku saat melihat Kak Zaki mengeluarkan kemeja batik berwarna hijau botol dengan celana hitam berbahan kain. Dia menatapku sekilas
PROBLEM“Terima kasih karena sudah peduli dan khawatir” Aku menghela napas pelan berjalan lunglai melewati tiang-tiang koridor perpustakaan. Napas ini sesak, bukan karena Kak Zaki, tetapi lebih kepada diri sendiri. Mulai dari pergi menuju kampus kesialan sudah mengikutiku. Ban taksi online yang bocor di tempat sepi, membuat sopir taksi tersebut kewalahan melakukan pergantian ban sendiri dengan peralatan seadaanya. Begitu tiba di kampus dosen pembimbing sudah tidak ada lagi, beliau pergi karena menunggu terlalu lama. Entah bagaimana nanti aku menemuinya karena sudah membuatnya menunggu. Aku mengutuki diri, mungkin ini adalah salah satu pelajaran karena mengingkari dan mengabaikan ucapan Kak Zaki. Dia melarangku pergi, tetapi aku paksa untuk pergi, alhasil begini hasilnya. Allah langsung menegurku dengan berbagai rentetan kejadian di luar kuasa diri. Getaran dari dalam tas membuat langkahku terhenti, menepi se
SALAH PAHAM “Siapa, Kak,” tanyaku dari dalam sambil berjalan ke arah pintu. Langkah kaki ini terhenti begitu pintu kubuka lebar. “Kak,” lirihku pelan menatap Tiara berpelukan dengan Kak Zaki, dirinya tesenyum ke arahku sambil mengedipkan sebelah matanya. “I miss you,” bisiknya sengaja di depanku sambil melirik. Kak Zaki menoleh, dia segera melepaskan pelukan wanita itu dan berjalan pelan ke arahku perlahan. “Rum,” desisnya sembari meraih tangan ini. Namun, tanpa diduga tangan yang berusaha meraih tangan ini kutepis begitu saja, refleks karena merasa kecewa dengan apa yang sudah kulihat. Kutatap kedua netra Kak Zaki yang terlihat seperti memohon. “Rum, dengar sebentar, Sayang,” ucapnya lembut sambil memegang tanganku lagi. Mata ini sudah memupuk air yang siap
UNGKAPAN Aku masuk terlebih dahulu membiarkan Kak Zaki yang masih diteras memandang ke arah jalan, seolah tengah menunggu seseorang. Mulai dari membereskan ruang tamu juga sisa piring yang masih ada di wastafel belum aku bersihkan. Oh ya, aku lupa mengecek ponsel yang belum sempat kuperiksa tadinya. Kubuka ponsel dan melihat beberapa banyak pesan masuk dan panggilan tidak terjawab dari Bang Kemal juga Riyan. [Rum, kamu baik-baik aja, kan?] [Apa Zaki melarangmu datang?] Jariku berhenti tepat di pesan tersebut begitu membacanya, seolah Bang Kemal tahu apa yang terjadi. Pantas saja tatapan pria itu tidak sedikitpun terusik dengan apa yang Kak Zaki lakukan, dia masih terlihat santai di saat Kak Zaki melakukan aksi konyolnya tadi. [kamu nggak bisa di hubungi, nggak terjadi apa-apa, kan?] [Nanti aku sama Riyan mau datang ke rumah menjenguk kamu.] Ak
DEBAT KUSIRPOV KEMALAku menunggu Riyan di meja pantry yang ada di dapur Rumi. Sambil main ponsel melihat dokumentasi kegiatan yang baru dilakukan hari ini bersama pihak yayasan chariety peduli rumah singgah. Aku tersenyum senang melihat wajah-wajah semringah anak-anak rumah singgah yang senang mendapat bantuan dari para relawan. Selain itu juga sebagai pendiri rumah singgah, yayasan tersebut mengucurkan dana berupa bantuan untuk membangun bangunan sekolah semi permanen agar dindingnya tidak beralaskan kardus lagi. Aku banyak mengucap syukur, setidaknya apa yang kulakukan bisa memberikan mafaat bagi orang lain. Melihat foto kegiatan para pengajar terbesit rasa sedih walau hanya sedikit, karena Rumi tidak hadir. Namun, aku mencoba menepisnya. Bukannya Rumi tidak mau datang, pasti ada sebabnya kenapa dia tidak bisa hadir. Aku mengulas smirk, menyadari bahwa Rumi bukanlah wanita yang kukenal dulu. Dia sudah bersuami dan pasti dia harus menuruti perkataan suaminya. Sepanjang kegiatan