Mata David tak henti-hentinya menatap Jo. Sementara itu, Jo masih dengan santainya memeriksa luka lebam di lengan Rafa yang sudah terbangun.
Jo akhirnya berhasil memaksa Riana masuk ke ruangannya. Tentu dengan alasan memeriksa Rafa. Alasan yang Jo duga tak mungkin bisa ditolak Riana dan pasti akan diikuti oleh laki-laki berwajah dingin yang Jo duga adalah suami Riana.
"Anakmu berantem?" tanya Jo usai memeriksa Rafa.
"Iya. Ada anak yang ganggu dia," jawab Riana.
"Sering-sering dikompres aja. Dua tiga hari bakal hilang," Jo melirik David. Sebuah senyuman dilemparkannya pada David sebelum menyapa.
"Suaminya Riana ya?" tanya Jo.
"Iya,” jawab David tanpa ragu.
"Bukan!" jawab Riana dan Rafa serentak. Mentah-mentah menolak jawaban David. Membuat David melotot kesal.
"Ini Om-ku. Namanya Om David. Ini Mamaku. Mama udah lama pergi. Tapi kemarin dateng lagi. Pulang ke rumah," Rafa memeluk lengan Riana erat. Senyumannya begitu riang.
Dahi Jo mengkerut. Apa maksud bocah kecil ini?
"Ayo pulang. Om ada kerjaan habis ini," David langsung mengangkat Rafa dalam pelukannya. Laki-laki keluar dari ruangan Jo tanpa mengucapkan apapun.
"Tu-tunggu!" Riana langsung berdiri.
Jo memegang tangan Riana. "Riana, aku ingin mau bicara denganmu," pinta Jo.
"Maaf, Jo. Aku harus pulang," Riana berusaha menarik tangannya. Namun, genggaman Jo begitu kencang.
"Aku minta nomormu?"
"Nggak ada, Jo. Aku nggak ada hape!"
"Ini. Telpon aku," Jo menyodorkan kartu namanya. Riana hanya melihat.
"Terima atau …."
"Iya," Riana langsung menyambar kartu nama Jo sebelum Jo menyelesaikan ucapannya. Dengan kasar Riana menarik tangannya dari genggaman Jo. Dia berlari keluar mengejar David dan Rafa.
"Hah…." Riana menghela napas lega. Akhirnya dia bisa mengejar sampai mobil tepat waktu.
David hanya terdiam. Akan tetapi, dia menyetir dengan ugal-ugalan. Entah sudah berapa kali dia menerobos lampu merah di jalan.
"Ma, Rafa takut," Rafa memeluk erat Riana.
Sebenernya aku juga takut, Rafa. Tapi nggak mungkin aku ngomong gini ke kamu.
Walau gemetar, Riana tetap memeluk lembut Rafa. Tangannya menepuk-nepuk kepala Rafa. "Jangan takut. Mama ada di sini,” bisik Riana setenang yang dia bisa.
JEDUK!
Kepala Riana terbentur sisi mobil saat David memarkirkan mobil di halaman rumahnya. Riana mengerang sambil tetap memeluk Rafa. Tak ingin bocah kesayangannya itu mengalami hal sama dengannya.
"Keluar!" hardik David geram.
Riana tak paham kenapa laki-laki itu berubah mood begitu cepat. Padahal, dirinya tak melakukan kesalahan apapun. Bahkan, sedari tadi dia berusaha melindungi Rafa.
"Iya," Riana langsung membuka pintu mobil dan menggendong Rafa keluar. Walaupun ingin marah, mulut Riana tetap terkunci. Percuma saja bagi dia untuk komplain. Toh, pemenangnya sudah jelas. Pasti David.
Daripada menanggapi amarah David, jauh lebih baik jika dia membawa Rafa langsung masuk ke dalam rumah. Mengurus Rafa jauh lebih aman dan menyenangkan daripada harus berlama-lama bersama David. Dengan cepat, Riana pun melesat ke dalam kamar Rafa, meninggalkan David yang masih menggerutu tak jelas di dalam mobil.
David memukul setir mobilnya. Meluapkan kekesalannya. Setelah beberapa menit, dia menelpon seseorang.
"Ya, Bos? Ada apa?"
"Cari identitas dokter di rumah sakit tempat ibu Riana dirawat. Namanya Jo. Aku tunggu nanti hasilnya."
***********************
Jo termenung. Otaknya berpikir keras mencerna celetukan Rafa tadi.
"Apa maksudnya? Lama nggak ketemu? Terus balik lagi? Misal laki-laki tadi bukan suaminya? Terus siapa suami Riana? Hmm, ada yang nggak beres kayaknya," Jo menscroll kontak di hapenya. Ada nama Sena tampak di layarnya. Dia segera menelepon.
Tut… Tut... Tut….
"Iya. Selamat sore. Ada yang bisa saya bantu?"
"Ini Sena ya? Teman Riana?"
"Oh? Iya. Ini siapa ya?"
"Ini Jo. Jonathan Bagaskara. Mantan Riana."
"Oooh. Iya. Ada apa ya? Bukannya kamu udah nikah sama perempuan lain? Kenapa cari-cari Riana? Jangan bikin susah Riana ya?" omel Sena membuat telinga Jo sakit.
"Riana udah nikah?"
"Hah? Apa?"
"Riana udah nikah?" Jo mengeraskan suaranya.
"Nikah? Kamu ngayal ya? Riana mana mungkin mikir cinta-cintaan. Dia butuh banyak uang buat ngurusin ibunya,” terang Sena.
Belum nikah? Berarti anak itu bukan anak Riana? Terus kenapa Riana mengakui anak itu anaknya dia?
"Hallo? Jo? Kok diem sih? Kalo nggak ada yang penting, aku matiin ya?"
"Eh, tunggu… tunggu… aku mau minta nomornya Riana."
"Buat apa? Inget istri Jo! Jangan deket-deketin Riana deh. Nanti kena semprot lagi dia sama mamamu. Cukup sekali Jo kamu bikin Riana sakit hati,” omel Sena penuh kekesalan.
Bukan buat itu Sen. Ah, pokoknya aku butuh nomor Riana sekarang juga."
"Nggak bisa!” tolak Sena tegas.
"Kantormu masih kantor redaksi majalah Supernova bukan?"
"Kok tahu?" Sena kaget mendengar ucapan Jo.
"Aku ke sana sekarang," Jo mematikan teleponnya.
"Ada yang nggak beres dari Riana," gumam Jo sambil melepas jas kerjanya lalu menggantungnya di kursi. Dipakainya jaket kulit warna cokelat yang ada di dalam lemari. Tak lupa dia mengambil kunci mobilnya yang ada di atas meja. Dengan langkah terburu, dia segera menuju parkiran mobil.
*************
Riana termenung. Dirinya sudah selesai menyuapi Rafa dan kini bocah manis itu sudah terlelap. Biasanya jam segini dia bekerja. Ya, sudah lama dia tak masuk kerja. Sudah tentu dia dipecat.
Walaupun begitu, Riana masih bisa menulis cerita untuk web novel-nya atau mengerjakan tulisan pesanan dari klien-kliennya. Setidaknya ada hal berguna yang bisa dilakukannya agar bisa mendapatkan pundi-pundi tambahan.
Kini? Dia hanya termenung. Menunggui anak kecil tiduran. "Rasanya udah kayak ibu rumah tangga aja. Padahal, nikah aja belum," gumam Riana.
Krucuk!
Riana sadar. Dirinya sama sekali belum menyentuh makanan. Dia hanya sibuk mengurusi Rafa. Sampai lupa bahwa tubuhnya juga membutuhkan asupan.
"Hmm, mending aku buat mi rebus telor. Mumpung Rafa udah bobok juga. Bisa agak lamaan makannya," Riana langsung meluncur menuju dapur.
Saat akan memasuki dapur, samar-samar Riana mendengar suara Mbok Shinta bersama Joni sedang mengobrol. Sepintas Riana mendengar namanya disebut.
"Tapi mirip ya? Neng Riana sama Nyonya?" tutur Mbok Shinta.
"Hmm, iya sih, Mbok. Si Bos juga sempet kaget waktu lihat. Makanya langsung dibawa ke sini," Joni menanggapi ucapan Mbok Shinta.
"Syukurlah. Paling nggak ya Si Rafa nggak lagi nangis. Mbok itu ya sedih lihat Si Rafa nangis terus kalau pas kumat kangennya."
"Ya, wajar sih Mbok. Kan ditinggal sama orang tua. Aku aja kadang masih kangen sama ibu bapak di desa."
"Kamu kan ada kakakmu, Si Jono. Masih ada temen kangen-kangenan. Nah, Si Rafa masih kecil. Nggak ada temennya lagi."
"Sekarang udah ada, Mbok. Ada Neng Riana yang nemenin Rafa. Seneng dah itu anak tiap hari gelendotan macam koala."
"Hush! Jaga omonganmu!" Mbok Shinta memukul bahu Joni. Membuat pria berbadan besar itu mengaduh.
Riana berjalan mundur. Tak jadi masuk ke dapur. Dia milih berbalik. Kembali ke kamar Rafa.
BRUK!
Belum sempat melangkah, Riana sudah menabrak seseorang. Saat mendongak, tampak David sudah berdiri tegap di hadapannya.
"Ah... Maaf…." pinta Riana sambil memegangi hidungnya yang kesakitan.
Bukannya menjawab ucapan Riana, David justru menarik Riana. Membuat Riana bingung.
"Tu-tunggu! Kita mau kemana? Kenapa kamu tarik-tarik aku?" Riana tak mengerti dengan tingkah David.
"Diam!" bentak David. Riana bisa merasakan kemarahan dalam ucapan David. Mati! Apalagi salahku?! jerit batin Riana.
"Pagi, Rafa!" Riana menyapa dengan hangat. Jalan pagi berdua dengan David membuat mood Riana naik drastis.Rafa yang baru keluar kamar tertegun menatap mamanya yang tampak bersemangat. Sudah hampir sebulanan mamanya tampak lesu seperti orang tak ingin hidup. Kata Mbok Shinta, itu karena adiknya tak jadi lahir. Calon adiknya di perut mamanya menghilang dan gara-gara itu mamanya jadi sedih.Mendengar kabar itu, Rafa juga sedih. Tapi, mamanya sudah sangat sedih. Jadi, dia memutuskan untuk tidak tampak bersedih dan melakukan kegiatan sehari-hari dengan lebih mandiri. Intinya, Rafa bertekad lebih mandiri dan tidak bergantung pada mamanya agar tidak menambah duka dan beban pikiran mamanya."Udah mandi? Mau Mama mandiin?" tanya Riana dengan senyum cerah."Mama lagi seneng ya?" tanya balik Rafa. Hatinya ingin memastikan mamanya memang baik-baik saja.Riana tersipu malu sambil memegangi pipinya," Hehehe, senenglah. Kan lihat Rafa pagi ini."Rafa semakin melongo dengan tingkah aneh mamanya itu.
Dulu, saat bangun dari tidur, aku selalu takut melihat ke sisiku karena ada dirimu di sana. Aku sangat takut. Tiap kali berdua denganmu, jantungku seperti berhenti berdetak. Pikiranku selalu berdoa agar suatu saat bisa terlepas darimu.Nyatanya, setelah waktu berlalu. Aku malah berharap selalu bisa berada di sisimu. Hatiku selalu merasa lebih tenang, jika kamu bersamaku.Seperti saat ini. Waktu pagi datang. Kedua kelopak mataku terbuka. Aku langsung menoleh ke samping, mencarimu. Senyumku otomatis berkembang saat indera penglihatanku menangkap bayang dirimu ada di sisiku.Sudah banyak hal yang kami lalui bersama. Suka duka menjalani kehidupan sehari-hari yang terasa seperti naik roller coaster. Aneh. Sejujurnya aku takut naik roller coaster dan tentunya kehidupan seperti roller coaster saat bersama denganmu juga membuat jantungku tak bisa berdetak tenang barang sesaat. Namun, semuanya tak terasa menakutkan saat bersamamu.Memang ada kalanya kesedihan yang teramat menyakitkan membuatku
Ekor mata Riana melirik-lirik gugup ke arah David. Dia tak berani langsung menoleh. Apalagi sekarang adegan panas di layar sedang berjalan.Masih terus melirik-lirik, Riana pura-pura mengambil popcorn yang ada di antara dirinya dan David. Tentu dengan pikiran agar terlihat natural. Namun, jari-jarinya tak bisa menemukan tempat popcorn yang diinginkannya."Kok? Harusnya kan di sini?" gumam Riana. Niatnya pun berubah. Jari-jarinya bergerak menelusuri sekitaran tubuh David. Bodohnya, dia melakukannya sambil tetap melirik. Tidak langsung menoleh."Eh? Kok? Menonjol?" Riana terkaget lalu akhirnya menoleh. Tampak David sudah berdeham-deham saja menatap ke arahnya.Kedua mata Riana membelalak lebar. Gara-gara asal meraba saat mencari popcorn, jarinya malah memegang junior David. Bukan popcorn yang dia cari!"Maaf, David!" buru-buru Riana menarik kembali tangannya. Mukanya sangat panas. Bahkan, suhu dingin AC di bioskop tak bisa meredam hawa panas yang menjalari wajahnya. Yang bisa Riana laku
Sepulang dari menjenguk Risa, David mengajak Riana makan. Dia membelokkan mobilnya ke arah Cihampelas Mall."Kok ke mall?" Riana menatap David bingung."Ke Mujigae. Kamu suka korea-koreaan kan?""Hmm, iya sih. Tapi, kamu doyan?""Kalau sama kamu mah, apa saja bisa jadi enak. Yang penting kamu makannya banyak. Oke?" David membuka pintu mobil lalu keluar. Setelah itu, dia berlari ke tempat Riana berada untuk membukakan pintu mobil buat Riana."Makasih," Riana memegangi erat jemari David sambil melangkah keluar mobil.David terus menggandeng tangan Riana sampai tiba di tempat makan. Dia memesan hampir semua aneka makanan di buku menu yang disediakan oleh pramusaji."David! Siapa yang mau makan itu semua?" Riana melongok pada tab menu pemesanan yang diklik oleh David. Matanya membelalak melihat banyaknya makanan yang David pilih."Kamu. Tugasmu sekarang makan banyak," David menekan tombol order untuk mengakhiri pesanan.Riana terpaksa mengikuti ucapan David. Toh, orderan sudah terlanjur d
Entah ini sudah hari ke berapa aku berada di rumah sakit. Aku tak tahu. Atau mungkin tepatnya tak ingin tahu.Luka di tubuhku sudah mendingan. Seharusnya aku sudah bisa pulang ke apartemenku. Tapi, aku tak mau pulang. Tempat itu hanya akan mengingatkan pada kenangan-kenangan manis yang ternyata hanyalah tipuan. Memikirkannya saja membuat air mataku meleleh.Padahal, aku sudah sangat percaya. Kukira memang sudah benar-benar mau menerimaku. Nyatanya, dia hanya menipu dan merampas semua kenangan indah yang dia berikan padaku secara sepihak. Bahkan, janin dalam kandunganku ikut dia rampas. Betapa dia sangat tidak memiliki hati. Anak di kandunganku kan anaknya juga. Tapi kenapa dia tega melakukan itu? Membuat janin yang belum genap tiga bulan itu sirna dari dunia. Sungguh sangat jahat dirimu, Jo. Harusnya aku menyadari ini semua dari awal. Tapi, semua sudah terlambat. Dari awal, batin dan pikiranku sudah tertutupi oleh cinta butaku padamu, Jo. Jika saja… jika saja aku masih bisa berpikir j
Sudah seminggu lebih waktu berlalu sejak kejadian itu. Kejadian yang sangat memilukan. Bagiku dan Riana.Hari-hari kami di rumah jadi sepi. Riana lebih suka mengurung diri di kamar. Jarang makan. Wajahnya jadi lebih pucat dan tirus.Aku tahu. Ini pasti sangat berat untuknya. Ibunya sudah menginap di rumahku. Bahkan, Sena. Kubiarkan mereka menemani Riana. Karena kupikir, lingkungan yang lebih ramai, bisa membuat dirinya lebih ceria.Memang saat bersama orang lain, dia sudah bisa menanggapi dengan baik. Walau hanya beberapa patah kata dan senyum simpul. Menurut laporan psikolog yang tiap harinya kutugaskan untuk membantu terapi Riana, kondisi Riana memang masih membutuhkan proses. Dikarenakan Riana tipe perasa. Butuh waktu lebih lama menuntaskan rasa duka."Kira-kira ada alternatif lain tidak untuk membantunya?" tanyaku pada sang psikolog. Sejujurnya aku juga tak sanggup jika tiap malam mendengar Riana menangis sendirian. Hatiku selalu ikut teriris mendengarnya. Aku pun sudah tak bisa b