David menarik Riana masuk ke ruang kerjanya. Suara pintu terkunci dari dalam terdengar begitu jelas. Jantung Riana bergemuruh. Tak tahu apa yang akan dilakukan oleh David padanya saat ini.
Otak Riana berputar. Memikirkan kesalahan apa yang dilakukan selama bersama David hari ini. Apa dia marah karena aku minta tambahan gaji?
Telinga Riana mendengar langkah kaki David yang semakin dekat. Samar-samar saat mengintip sekilas, Riana melihat tangan David menggenggam erat sebuah kemoceng.
Gimana nih? Dia mau pukul aku pake itu? pikiran Riana sudah kemana-mana.
Semakin langkah David mendekat, semakin mundur pula tubuh Riana bergerak. Mundur. Mundur. Hingga mentok di dinding. Jemari Riana mencengkeram erat dinding. Kedua matanya tertutup rapat. Bersamaan dengan otot leher dan wajahnya yang menegang karena ketakutan.
TUK!
Sesuatu menyentuh kepalanya.
TUK! TUK! TUK!
Makin lama makin kencang tapi masih wajar. Tak sakit seperti disambit rotan. Perlahan mata Riana terbuka. Tampak David di hadapannya sambil mengetuk-ngetukkan kemoceng di kepalanya. Riana mengedip- ngedipkan matanya berulang kali sambil menatap David.
"Ini!" David menyodorkan kemoceng itu ke Riana.
"Buat?"
"Bersihin debu di kamar Rafa. Rafa gampang alergi debu," David melepaskan kemoceng itu. Riana yang paling tak sempat menangkap kemoceng itu dengan cepat hingga harus berlutut di lantai untuk mengambilnya.
David hanya menatap Riana sekilas. Laki-laki itu berbalik dan duduk di kursi kerjanya. Sementara Riana, masih termangu bingung sambil memegangi kemoceng.
"Duduk!" perintah David. Dengan susah payah, Riana segera berdiri. Walaupun kedua kakinya masih gemetar karena imajinasi dan ketakutannya yang terlalu membeludak di pikiran.
Sambil memandangi Riana yang kikuk di hadapannya, David mulai melontarkan kalimat. “Kita harus memperjelas pekerjaanmu di sini."
Riana hanya mengangguk lalu bertanya. “Seperti apa?"
"Ada beberapa aturan yang harus kamu patuhi. Pertama, harus siap sedia bersama Rafa. Rafa adalah prioritasmu. Jika ada sedikit masalah dengan Rafa, kamu mati. Mengerti?"
"Iya,” jawab Riana.
"Kedua, dilarang memiliki pasangan."
"Oh…." Riana kembali mengangguk-anggukan kepala. Lagipula, dengan banyak utang seperti ini, dia tak mungkin berpacaran.
"Jangan coba-coba berpikir mendekati dokter di rumah sakit itu,” imbuh David dengan wajah serius.
"Iya," jawab Riana lebih santai.
David menatap aneh Riana. "Kamu bukannya suka sama dokter itu?" tanya David heran sekaligus penasaran.
"Apa aku harus jawab sekarang?"
"Aku harus tahu itu kan."
Riana tak paham dengan pikiran laki-laki yang ada di hadapannya itu. Apa sih mau orang ini? Batin Riana. Walaupun aku masih suka Jo, mana mungkin aku berpikir berpacaran dengannya. Masalah hutang ini saja sudah membuatku pusing! omel Riana dalam hati.
"Riana!" panggil David mengejutkannya.
"Oh, nggak. Aku nggak suka dia. Dia bukan tipeku," Riana terdiam sejenak. “Hmm, apa aku juga bisa mengajukan syarat?"
"Syarat? Apa?"
"Apa aku boleh pakai hape?" tanya Riana.
"Buat?"
"Komunikasi?" ujar Riana agak ragu.
"Nanti Joni yang akan urus."
"Terus apa aku bisa pakai rumahku lagi? Hmm, maksudku, apa boleh aku membelinya darimu? Itu rumah kesayangan ibuku. Kalau ibuku tahu rumahnya disita, aku takut penyakitnya akan umat. Lagipula, ibuku juga perlu rumah itu kalau kondisinya sudah stabil,” terang Riana. Dia tak mau kehilangan rumah yang penuh kenangan itu.
"Hmm," David menopang dagunya. “Rumah itu sudah tua sih. Pakai saja. Tapi ada ongkos sewanya."
"Haaah? Beneran?" bola mata Riana membulat lebar. Dia takjub mendengar jawaban David.
"Tapi kamu tetap tinggal di sini," tegas David.
"Iya. Itu gampang. Aku akan menjaga Rafa dengan baik. Kamu bisa mempercayaiku," sahut Riana penuh semangat.
"Bagus," David mengambil sebuah tas tenteng yang cukup besar. Disodorkannya tas itu pada Riana.
"Apa ini?"
"Untukmu," ujar David.
Riana mengambil tas itu. Saat melongok, isinya obat salep pegal-pegal dan alat pijat punggung.
"Punggungmu pasti sakit kan? Tiap hari gendong Rafa." ujar David.
"Oh, iya. Terima kasih," tutur Riana. “Hmm, aku kembali dulu ya? Rafa mungkin sudah bangun."
Riana ingin segera keluar. Tak terlalu nyaman baginya berdua saja dengan David. Apalagi dia belum bisa menebak orang seperti apa David itu.
"Kamu nggak penasaran soal orang tua Rafa?" tanya David tiba-tiba.
"Hmm? Aku?"
"Iya. Bukannya wajar kalau kamu ingin tahu soal orang tua Rafa?"
"Nggak kok," jawab Riana secepat kilat. Sedari awal Riana memang sudah memutuskan untuk tidak menanyakan terkait orang tua Rafa. Lagipula ini hanya pekerjaan tak terduga. Dia tak tertarik mencampurkan perasaan personalnya dengan pekerjaan aneh ini.
Lagipula, Rafa bukan anak yang harus dicurigai. Anak itu polos. Kalaupun memang ada yang menjahatinya, tentu akan ada Joni atau Jono yang akan melindunginya. David pun juga pasti akan turun tangan. Pekerjaan ini tak lebih dari pekerjaan mengasuh anak seperti pada umumnya.
"Benar tak mau tahu?" tanya David sekali lagi.
"Benar! Aku serius! Kamu bisa percaya padaku. Aku orang yang bisa diandalkan sebagai pekerja profesional."
"Baiklah, baiklah. Keluar sana," David sudah tampak jengah mendengar ucapan Riana.
"Iya," Riana berbalik dengan wajah riang. Saat sudah berada di luar ruang ruang kerja David, dia menghembuskan napas lega.
"Fiyuuuh!" Riana mengelus-elus dadanya. Menenangkan jantungnya yang masih berdegup kencang.
"Kukira aku bakal mati. Untunglah cuma ngajak aja," Riana melanjutkan langkahnya kembali ke kamar Rafa.
*****************
Sena menatap bingung Jo yang sudah ada di lobi kantornya. Laki-laki itu masih seperti biasa. Tampak tenang tapi sedikit arogan. Tipe laki-laki yang sebenarnya selalu Sena curigai. Akan tetapi, sahabatnya, Riana, sangat cinta mati dengan laki-laki itu. Membuatnya mau tak mau tetap merestui hubungan mereka walaupun dalam hati merasa Riana pantas mendapatkan laki-laki yang jauh lebih baik.
"Sena," Jo melambaikan tangan memanggilnya.
Jo hanya akan melambaikan tangan pada Sena jika dia punya masalah dengan Riana. Jika hubungan mereka baik-baik saja, laki-laki itu bahkan tak mau menyapanya.
Sena mendekati Jo dengan wajah datar. Kedua tangannya bersedekap di dada. Menatap Jo malas.
"Apa di sini ada kafetaria? Kita ngobrol di sana sebentar," ajak Jo.
"Okey," Sena menyetujui ajakan Jo. Dia melangkah mendahului Jo menuju kafetaria kantornya. Sambil menunggu pesan capuccino dan jus apel, mereka duduk di kursi dekat jendela kaca.
"Kamu sengaja balik ke sini ya? Biar bisa ganggu Riana lagi?" tuduh Sena sebelum Jo sempat memulai pembicaraan. “Bukannya kamu di Jakarta? Lanjutin usaha rumah sakit orang tuamu?"
"Sena, aku tak mau membahas itu. Aku hanya ingin fokus membahas Riana. Apa Riana sudah menikah?"
"Kamu ngomong apa sih? Memangnya kenapa kalau Riana udah nikah? Kamu nggak suka lihat Riana udah muvon dari kamu?"
"Berarti bener? Dia udah nikah?" Jo mengejar jawaban yang dia inginkan.
Sena terdiam. Mencoba berpikir. Kalau dia mengatakan Riana belum menikah, Sena khawatir Jo ada intensi mengajak Riana balikan. Padahal, setahu Sena, Jo sudah dijodohkan dan menikah dengan anak kolega orang tuanya di Jakarta. Akan jadi buruk jika Riana, sahabatnya yang polos itu, menerima lagi perasaan Jo dan nanti dilabeli sebagai pelakor. Sudah cukup sekali dirinya melihat Riana menangis berbulan-bulan seperti orang gila saat pertunangan Riana dengan Jo gagal.
"Iya. Dia udah nikah," jawab Sena tegas.
"Tapi kamu tadi bilang kalau dia belum menikah?"
" Aku salah denger tadi. Sinyal di gedung ini jelek. Kalau nggak telepon kabel, susah tembusnya. Sering putus-putus,” terang Sena.
"Sama siapa nikahnya? Suaminya kerja di mana? Riana udah punya anak?" Jo semakin penasaran tentang kehidupan Riana.
"Apa sih Jo? Ngebet banget pengen tau soal Riana? Emangnya kenapa? Kamu mau nikahin Riana?"
"Iya. Aku mau balikan lagi sama dia," jawab Jo tegas.
"GILA!" kata itu langsung mencelos di bibir Sena. Bagaimana mungkin laki-laki begitu yakin berkata seperti itu. Bahkan, nggak mengedipkan matanya sedikit pun. Gila! Jonathan sudah gila!
"Kurang ajar kamu!" Sena langsung mengambil gelas cappucino-nya yang baru saja datang dan mengguyurkannya ke muka Jo.Jo memejamkan mata sesaat. Wajahnya masam mendapat perlakuan seperti itu dari Sena. Namun, dia tak bisa membalas Sena. Dia masih butuh informasi dari Sena seputar Riana."Sudah puas kan? Sekarang jawab pertanyaanku Sena. Siapa suami Riana?""Fuck off!" Sena berdiri dan meninggalkan Jo.Arrrgh!" Jo memukul meja penuh rasa frustasi.Sena langsung berlari ke tempat parkiran. Dia menyetir mobilnya menuju rumah Riana. Perasaannya cukup tak enak juga mendengar berulang kali pertanyaan Jo yang menyinggung pernikahan Riana."Si Riana kenapa lagi sih?! Bisa-bisanya ketemu sama Jo! Mana Jo-nya gila kayak gitu! Hah!" omel Sena sambil terus melajukan mobilnya.Sena mengambil jalan pintas. Jam sore seperti ini biasanya jalanan Bandung sedang macet-macetnya orang pulang kerja. Walau begitu, tetap saja butuh waktu setengah jam lebih bagi Sena agar bisa sampai di rumah Riana di daerah
Riana bisa merasakan hatinya berdesir tak karuan saat pandangannya bertemu dengan mata David. Sepasang bola mata gelap itu sesaat membuat Riana terhanyut. Segera Riana mengedipkan matanya."Hmm, makasih," Riana ikut mengusap bawah bibirnya dengan telapak tangan agar tak kelihatan grogi. Buru-buru dia kabur dari pandangan David menuju antrian.Gila! batin Riana. Rasanya kedua pipinya memanas untuk beberapa saat. Tenang Riana. Kamu cuma kaget aja."Teh, maju, Teh," pembeli lain yang ada di belakang Riana membuyarkan usaha Riana menenangkan diri."Oh, iya. Maaf," Riana buru-buru bergerak maju. Detak jantungnya yang tak beraturan membuatnya susah berkonsentrasi.Untungnya, Riana tak melakukan kesalahan fatal seperti menumpahkan mangkok ramen atau menabrak pembeli lain. Riana bersyukur dirinya masih aman sampai kembali ke tempat duduk dengan ramen pesanannya.Saat akan mengambilkan mangkok ramen untuk Rafa, tangannya bersentuhan David yang ternyata berniatan sama dengannya. Sentuhan berbed
Riana melemparkan pandangan ke David. Memohon bantuan pada laki-laki itu. Namun, David malah melihat ke arah lain. Seolah tak mau ikut campur dengan hal itu."Ya, Ma? Ya?" Rafa menarik-narik tangan Riana.Riana tertawa canggung lalu berkata. “Eh, mau lihat air terjun nggak? Di sini ada air terjun bagus lho? Kita bisa foto-foto bareng. Rafa belum pernah foto bareng Mama kan?""Mau! Mau! Ayo!"Fiuuh! Riana lega bisa mengelabui Rafa. Tanpa banyak bicara, Riana langsung mengajak Rafa naik lift menuju lantai Sky Level tempat air terjun buatan itu berada.PVJ Mall memang memiliki desain yang unik. Tak hanya bisa berbelanja dan wisata kuliner. Pengunjung juga bisa jalan-jalan menikmati keindahan alam buatan yang sudah tampak dari desain interior dan eksterior mall yang dipenuhi bebungaan. Belum lagi ada lantai Sky Level yang menyediakan fasilitas tambahan untuk foto dengan spot air terjun buatan dan taman bunga yang indah."HUWAAAAA!" Rafa langsung berlari bergaya di depan air terjun buatan
Tawa Riana bersama Rafa terhenti seketika saat memasuki kamar ibunya. Di dalam sana, tak hanya ada ibunya saja. Tampak dua sosok yang tidak ingin ditemuinya untuk saat ini. Jo dan Sena. Kedua orang itu tampak sedang mengobrol dengan ibunya."Riana!" teriak Sena dan Jo berbarengan. Jantung Riana berdegup kencang lagi. Kedua orang itu langsung menghampiri Riana."Hmm, kita ngobrol di luar aja? Gimana?" usul Riana secepat kilat. Tak ingin membuat keributan di dalam kamar."Oke," ujar Sena sambil melirik Rafa."Bu, aku titip Rafa ya," pesan Riana sebelum keluar kamar. Ibu Riana mengangguk dan memanggil Rafa agar mendekat. Sangat beruntung bagi Riana karena Rafa tipe anak yang penurut. Bocah itu langsung naik ke ranjang dan bermain dengan ibu Riana."Kita bisa ke kafetaria rumah sakit," usul Jo sesaat setelah Riana menutup pintu ruang rawat ibunya dari luar. Riana hanya mengangguk mengiyakan.Jo berjalan di sisi Riana menuju kafetaria. Sena yang memang tak suka Jo, dengan sengaja menabrak
Riana memejamkan mata kuat-kuat. Dapat dirasakannya telapak tangan David memegang erat belakang lehernya. Belum lagi bibirnya yang tinggal berjarak beberapa inchi dari bibir David.Tanpa sadar, Riana mencengkeram erat tangan David. Membuat tawa David terlontar keluar. Perlahan Riana membuka matanya. Tampak David masih tertawa. Wajah Riana memerah seperti tomat."Gila kamu!" ceplos Riana sambil melepaskan diri dari David.Jantungnya tak berhenti berdetak kencang. Ingin rasanya dia mencabut jantungnya sekarang juga dan melemparnya. Bisa-bisanya jantungnya berdetak karena prank tak jelas dari David.Segera Riana berdiri. Tangan David kembali memegang tangan Riana. Membuat gadis itu tak bisa pergi."Ngobrol dulu," ujar David."Jangan dekat-dekat lagi tapi!" pesan Riana. David mengangguk."Mantanmu masih suka kamu?" tanya David seperti orang menginterogasi."Darimana kamu tahu dia mantanku?""Menurutmu?" David mengerling Riana dengan ekor matanya yang tajam. Riana sadar siapa pria di hadap
Jantung Riana tak bisa berhenti berdegup. Dirinya tak menyangka David akan menyelinap masuk ke kamarnya tengah malam seperti ini!Awalnya Riana sudah mulai mengantuk. Apalagi waktu sudah menunjukkan pukul setengah 12 malam. Walaupun memaksa untuk memikirkan soal penculikan Mama Rafa, dia pun tak punya petunjuk apa-apa."Mendingan aku tidur aja. Besok pagi kan masih bisa tanya David," gumam Riana sambil meletakkan hapenya di meja. Dimatikannya lampu kamar agar tidurnya jauh lebih nyenyak.Sudah beberapa kali Riana menguap. Beberapa kali juga dia berguling ke kiri dan ke kanan. Anehnya, matanya belum bisa diajak terpejam. Padahal, otaknya sudah menginginkan untuk diajak tidur.Ceklek. Ceklek.Riana terkejut. Seseorang membuka pintu kamarnya yang sudah dikunci. Perlahan Riana mengintip sekilas dari balik selimutnya. Tampak bayangan laki-laki berjalan mendekatinya dan terduduk di sisinya.Sesaat jemari laki-laki itu menyingkap sedikit selimut yang menutupi wajah Riana. Sekuat mungkin Rian
"Tapi aku nggak punya saudara! Aku anak tunggal di rumah!" jelas Riana menggebu.David hanya mengangkat pundaknya."Yang jelas kalian mirip,” ujar David."Lalu di mana Mama Rafa sekarang? Masih hidup kan?" Riana masih ingat perkataan Rafa yang menceritakan bahwa Mama dan Papanya baru pergi lama dan tak pulang-pulang."Aku masih mencari mereka,” ucap David."Mencari? Mereka diculik?""Aku masih mencari dan tugasmu menggantikan sementara peran Mama Rafa dengan baik. Jangan sampai menimbulkan kecurigaan,” terang David.Itulah pesan David yang terngiang-ngiang di pikiran Riana. Bahkan, saat rapat orang tua murid yang membahas tentang kenakalan geng Noval ke Rafa pun, Riana jadi tak fokus."Pokoknya saya minta ibu-ibu sekalian jaga anak masing-masing. Jangan sampai saya dengar mereka ngejek anak saya lagi," pungkas Riana menyudahi perdebatan dalam rapat agar cepat selesai.Untungnya tak ada ibu-ibu yang membuat ulah. Beban Riana jadi sedikit lebih berkurang. Usai rapat, Riana langsung menga
"Ini buat kamu," Jo memberikan kotak bekal berisi udang saus tiram dan brokoli rebus kesukaan Riana. Ini sudah ketiga kalinya Jo memberikannya saat Riana menjenguk ibunya.Dulu Riana sangat suka menerima kotak bekal semacam itu dari Jo. Setiap kali Jo memberikannya, hati Riana berbunga-bunga. Apalagi jika Jo menyuapinya di saat dia masih mengerjakan laporan kampus."Dimakan atuh Ri," tutur ibu Riana menyemangati.Jo tersenyum malu. Hatinya cukup puas karena ibu Riana juga sepertinya mendukung dirinya. Sebaliknya, Riana yang kesal dengan kelakuan Jo."Ibu aja yang makan. Sama Rafa," Riana melirik Jo tajam," Ikut aku keluar!""Okey," Jo menundukkan kepala sebagai salam undur diri. Dia melangkah cepat mengikuti Riana."Riana, mau ke mana?" tanya Jo sambil berusaha menyamakan langkah dengan Riana. Gadis itu hanya diam saja. Tetap melangkah hingga mereka berdua sampai di taman rumah sakit yang cukup sepi.Kepala Riana celingukan. Melihat apakah ada orang lain di sekitar mereka. Saat yakin