Terpisah jauh dari hiruk pikuk kota Sky Blue City. Sebuah desa yang masih asri. Dikelilingi perbukitan dan lahan-lahan yang ditumbuhi sayur mayur, milik warga setempat. Seorang gadis ayu beberapa waktu terakhir, bermalam di salah satu rumah di sana. Menghabiskan hari-harinya tanpa tekanan pekerjaan yang begitu memberatkan. Ponselnya berdering sesaat ia menyelesaikan makan mie instan untuk mengganjal perut. Seseorang mengirimkan pesan singkat, ia buru-buru membacanya.[Pak Ketua memintamu untuk kembali. Supir akan datang menjemput!]Sekiranya itulah yang tertulis dalam pesan singkat tersebut. Gadis cantik bermata indah itu, sengaja tidak membalas.Dia langsung saja beranjak dari ruang makan yang hanya dilapisi karpet, serta terdapat sebuah meja berukuran sedang dan berkaki pendek di sana. "Ibu!" Gadis itu berteriak sambil mencari-cari sosok wanita yang sudah dianggapnya sebagai ibu."Iya, Sayang. Ibu ada di dapur." Wanita yang dimaksud pun menyahut. Menyudahi aktivitas cuci piring ya
Jalanan beraspal Sky Blue City. Meskipun hari sudah gelap, tidak serta merta membuat jalanan menjadi sepi. Sebaliknya, malah ramai. Kafe dan tempat makan yang berada di pinggiran jalan, banyak dikunjungi. Baik mereka yang baru pulang bekerja, maupun yang duduk santai sekedar mengobrol dengan kawan. Sementara itu, Arsenio duduk nyaman di kursi penumpang, sesekali memijat kepalanya yang mulai terasa sakit lagi. Selalu saja begini, jika terlalu banyak pikiran.Satu hal yang sangat mengganjal pikirannya, yaitu pernikahannya dengan Elisha. Acaranya akan dilangsungkan dalam sepuluh hari dari sekarang. Meskipun ini masuk dalam rencana untuk dapat menghancurkan Kampak Kembar, tetap saja harus dipikirkan matang-matang. Satu kali saja salah mengambil langkah, maka hancur semua.Bastian yang fokus mengemudi, tertangkap beberapa kali menengok ke belakang melalui kaca spion kecil yang menempel di kaca mobil, tepat di atas kepala."Apa Tuan Muda ingin istirahat sejenak? Mungkin pergi ke suatu temp
Satu jam berlalu. Arsenio, dengan ditemani Bastian, serta Dokter Kris sudah berada di ruangan Anindira dirawat.Biarpun hanya mengalami luka ringan akibat menabrakkan diri ke mobil, Anindira mendapatkan perawatan di ruang VVIP. Arsenio yang menginginkannya. "Bagaimana kondisinya sekarang, Dokter?" Arsenio bertanya kepada pria setengah baya itu. Raut wajahnya begitu serius, menandakan ia cukup mencemaskan gadis ayu, yang terbaring tak berdaya di ranjang itu. "Tidak ada yang perlu dicemaskan, Tuan Muda. Anindira hanya mengalami luka ringan saja," papar Dokter, yang memeriksa kondisi Anindira tadi. "Lalu, kapan dia akan bangun?" Arsenio melipat kedua tangan di dada dan sedikit mengelus dagunya. "Tidak akan lama lagi, dia akan bangun, Tuan Muda," jawab Dokter itu yakin.Benar saja, hanya berselang beberapa detik, Anindira menunjukkan tanda-tanda akan siuman. Jari telunjuk kanannya mulai bergerak, lalu disusul jari-jari yang lainnya.Dokter buru-buru memeriksa Anindira. Arsenio mengha
"Jangan pergi! Temani aku di sini. Aku sangat ketakutan!" Kalimat itu terus terngiang-ngiang di benak Arsenio, meskipun ia sudah berada jauh dari Anindira. Pelukan hangat serta suara lembut Anindira, seolah masih melekat pada raganya. Begitu sulit untuk dilupakan begitu saja. Apakah pengaruh wanita sebegitu kuatnya, sampai hanya dengan satu kalimat saja sudah membuat seorang pria mabuk kepayang?Ketika menjalani hubungan dengan Elisha dulu, Arsenio tidak pernah merasakan hal demikian. Kemungkinan karena Elisha tidak benar-benar mencintainya?Arsenio menghela napasnya berat, berat berulang kali, "apa kau mengetahui informasi tentang orang tua Anindira?"Arsenio berkat pelan. Sikut tangan kanan menempel pada jendela, sedangkan telapaknya menopang kepala. Ia merasa sangat lemas karena nyeri di bagian kepala sungguh menyiksa. Bastian melirik dari balik kaca spion kecil, "orang tua, Anindira?" Kening Bastian mengerut. "Apakah ia masih memiliki orang tua? Saat melamar pekerjaan di All S
Sementara itu, masih dalam lingkungan All Star Hospital, tetapi berbeda situasi. Anindira pun pergi ke rooftop, untuk menenangkan diri. Ia merasa bosan karena terus-terusan berada di kamar. Terlebih tidak ada kawan yang bisa diajak bicara.Sebenarnya ia tidak mau masuk dalam pusaran konflik ini, tetapi keadaan telah memaksanya untuk masuk dalam jurang. "Ibu ..." Anindira memanggil lirih sosok wanita yang begitu melekat dalam benak. Entah, bagaimana kabar wanita itu sekarang? Sudah siuman atau belum? Anindira pun tidak tahu. Merasa gelap dan putus asa. "Maafkan, Anindira, Bu. Seandainya Anindira tidak meninggalkan rumah dan membiarkan Ibu sendiri, mungkin kejadian ini tidak akan Ibu alami ..." Ia berucap pelan. "Kalau saja aku tahu, bahwa pria itu berencana melukai Ibu, aku tidak akan pernah sudi bertemu dia lagi!"Penyesalan memang datangnya selalu belakang. Tidak mungkin di awal. Kini, Anindira begitu membenci Around. Bahkan jijik menyebutnya ayah.Ada satu alasan besar, yang men
"Tuan, haruskah kita mengundur rencana pernikahan ini?" tanya Bastian sangat hati-hati. Alexander Guan bergeming sambil memandang hamparan gedung-gedung bertingkat, yang ada di sekitar All Star Hospital, dari lantai paling atas.Seperti inilah kota metropolitan. Tidak ada hamparan hijau dari pepohonan maupun perkebunan, rata-rata gedung bertingkat dan pertokoan di sekitarnya. "Sejak tadi, Elisha terus menghubungi nomor Tuan Muda. Saya diamkan saja panggilannya karena tidak mungkin, saya memberitahukan kondisi Tuan Muda yang sekarang kepada mereka," terusnya melanjutkan laporan."Iya. Situasinya semakin memanas dan diluar kendali. Ada banyak musuh yang mengintai di mana-mana. Tentang identitas Arsenio yang sesungguhnya, aku yakin sudah banyak orang yang mengetahuinya. Dalam situasi ini, kita tidak boleh lengah karena sedikit saja lalai, maka musuh akan mudah menyerang." Alexander Guan menjawab, sekaligus berpesan dengan nada serius dan mimik wajah datar.Alexander Guan masih tetap pa
Arsenio sudah membuka matanya sekitar dua jam yang lalu. Namun, masih terbaring lemas di ranjang. Tidak bisa banyak bergerak karena belum pulih sepenuhnya. Selang infus masih terpasang di lengan kanan. Sementara alat pernapasan sudah tidak terpasang. Perban masih melilit kepala Arsenio. Diganti setiap dua jam sekali. Gavin yang memerintahkannya. Gavin merasa bertanggung jawab besar untuk kesehatan Arsenio. "Apa saja yang sudah aku lewatkan?" tanya Arsenio duduk bersandar pada dinding ranjang. Ia sangat tidak nyaman jika berlama-lama tidur telentang."Tidak ada banyak hal yang terlewatkan, selain Elisha yang terus-menerus menelpon nomor Tuan Muda, kemarin malam. Pagi ini, Elisha sama sekali tidak menelpon," jawab Bastian menyebut nama nenek sihir itu.Posisinya sekitar satu meter dari ranjang Arsenio. Ia berdiri di sisi kiri. Mimik wajahnya datar seperti biasa. Tidak ada senyuman meski seujung kuku. Arsenio menyelengos, sangat malas mendengar nama wanita yang sangat dibencinya. Hubu
PLAAAAAKKKKK ...PLAAAAAKKKKK ..."Dasar, bodoh! Bagiamana bisa kalian gagal, ah? Membunuh satu pria tua saja kalian tidak becus!" bentak Luke Mallory keras, sampai membuncah kan salivanya. Namun, ia tidak peduli. Emosi sedang tinggi-tingginya sekarang. "Beri kami satu kesempatan lagi, Bos. Kami akan ...."DOOOR ...DOOOORRRR ..Sebelum pria itu dapat menyelesaikan kalimatnya, Luke Mallory sudah lebih dulu melepaskan tembakan.Hanya berselang beberapa detik, dua anak buahnya langsung menghembuskan napas terakhir, tanpa bisa menyelesaikan penjelasan. Luke Mallory menembak tepat di bagian kepala dan dada. "Itu adalah hadiah bagi mereka yang gagal menjalankan tugas!" Luke Mallory menyelengos. Membuang pandangannya, merasa malas melihat anak buahnya yang tidak berguna."Hanya dia yang bisa melakukannya." Luke segera merogoh saku celana, kemudian mengeluarkan benda pipih itu. Menekan satu nama, pion berharga yang saat ini sedang berada jauh di sana.Sambungan telponnya pun terhubung.