Info bahwa Rania berhasil mencapai jenjang karier sebagai manajer di sebuah perusahaan multi nasional asing ternyata sama sekali tidak menarik bagi rekannya, para emak-emak penggosip tadi.
“Jangan ngoyo ngejar karier, bilang sana.”
“Aku sih lebih suka punya momongan daripada soal karier.”
“Teman-temanmu seperti aku udah punya momongan. Kamu mau tunggu berapa lagi?”
“Bujuklah puterimu, Mbakyu. Siapa tau dia mau tuh kawin cepat.”
Saat Lidya memberikan dalih lebih lanjut, segera saja ia diterjang pernyataan dan pertanyaan lain dari tiap-tiap mereka.
“Kalo udah lewat kepala tiga, udah susah lho nyari calon suami.”
“Aku tau anakmu cantik. Tapi jangan pasang harga tinggi juga, Mbakyu.”
“Sama anakku aja. Pendi udah 26 tahun, cocok tuh.”
“Kesibukan karier nggak selalu bagus lho.”
Gejolak amarah dalam diri Aditya jelas tak mudah dihilangkan.“Sekali lagi kamu bilang bahwa aku ini bajingan, awas. Mungkin aku bajingan, tapi tanpa aku kamu tidak ada apa-apanya. Kamu akan rasakan manfaatnya. Aku tidak pernah seterhina itu.”Selanjutnya Ditya melangkah masuk ke dalam rumah sembari tetap memegangi lengan Rania. Langkah-langkah panjang pria itu membuat Rania sampai melangkah terseret-seret ke dalam rumahnya sendiri. Ditya membuka pintu rumah dan melangkah masuk diikuti Rania. Pintu kemudian tertutup sampai tak lama kemudian mereka masuk ke dalam kamar dimana cahaya lampu kamar menampilkan bayangan siluet keduanya di gorden.Bayangan kedua orang itu berhadapan dimana Ditya nampak marah dan berkata-kata sambil menunjuk-nunjuk Rania yang terlihat gentar. Suara kemarahan Ditya hanya terdengar sangat lamat dan Rania sesekali menggeleng dan mengangguk. Dalam keadaan sesenggukan, beberapa saat kemud
“Nah, gitu dong. Terus kembali ke soal LC. Buat aku untuk so..al... LC..."Ucapan Rania tertahan sejenak karena rasa nyeri yang mendadak menyergap. Sakit akibat jatuh dari forklift tempo hari kumat lagi. Verdi yang melihat itu spontan menawarkan bantuan yang sayangnya langsung ditampik oleh Rania."Lihat kamu nahan sakit, aku selalu merasa bersalah.""Nggak segitunya lah. Aku sudah ke klinik dan kata dokter paling-paling juga sembuh dalam 1-2 hari ini.""Bener?""Bener. Cuma sakit kecil di tangan, kepala dan pundak. Itu aja."Verdi menarik nafas panjang. “Apa itu penyebabnya kamu kemarin gak angkat telpon aku?”Rania terkesiap. Ia tahu ada panggilan telpon semalam dari Verdi. Ia abaikan karena…..ah, dasar Aditya sialan. Ia merutuk dalam hati.“Gak apa-apa kalo kamu gak mau cerita.”Rania tersenyum kecut.*Rapat antar empat departemen yang ber
Pintu lift menuju lantai atas terbuka. Saat Verdi melangkah masuk dan pintu lift siap menutup, sebuah suara memanggilnya.“Tunggu!”Spontan Verdi menekan tombol dan pintu kembali terbuka. Seseorang melangkah masuk. Ketika orang itu mengucap terima kasih, Verdi hanya mengangguk. Ia lalu kembali menekan tombol hingga pintu lift menutup.Saat pintu lift menutup itulah, pantulan orang di belakang Verdi jadi terlihat jelas. Ternyata itu Rania yang kemudian menyapanya dari belakang.“Hai.”Disapa demikian, Verdi membalik tubuh. Keduanya kini berhadapan. Verdi juga jadi tahu bahwa di ruangan lift ada seorang lain. Seorang pria sedikit tambun yang saat ia melihat orang itu raut wajah Verdi berubah. Ia mengenali orang itu sebagai orang dari sebuah perusahaan pelayaran yang pernah ia lihat di mall Jayakarta bersama Renty."Terima kasih buat masukanmu," ucap Rania tulus.Verdi berpikir sejenak. "Ini kasus bahan baku yang
Selama lebih dari empat bulan bekerja di tempat itu Rania semakin menyadari bahwa penting untuk meng-iya-kan saja apa yang dikatakan atasan. Ini berlaku bukan hanya bagi dirinya tapi juga bagi semua orang yang memiliki atasan di perusahaan itu, jika mereka masih ingin periuk nasi, atau tepatnya rice cooker, mereka tetap berasap. Aneh memang, tapi mencari info lebih lanjut dengan menyelidiki secara detil tentang suatu permasalahan kerap dianggap sebagai sikap mbalelo, melawan. Rania juga mendapati bahwa mereka yang memiliki posisi cukup tinggi dan dapat bertahan lama di perusahaan ternyata karena mereka umumnya memiliki sikap yang sama: membebek. Mengikuti apa saja kata atasannya tanpa perlu bertanya.Itu sebabnya ketika Edwin menampik untuk menjawab pertanyaannya, Rania belajar untuk meng-iya-kan saja. Tak perduli jika itu akan sedikit mengusik nuraninya yang protes atas ketidakberesan yang terjadi.Semenit s
Urusan di BPOM, sebuah lembaga pemerintah selaku pengawas obat dan makanan, sudah hampir selesai. Rania sedang turun dari tangga ketika sebuah suara memanggilnya."You?" Rania terheran melihat keberadaan Verdi."Lagi ngurus penerbitan nomor registrasi BPOM." Seperti dapat membaca pikiran Rania, Verdi langsung menjelaskan alasan keberadaannya."Oh.""Kamu sendiri ngapain?""HC.""Ngurus Health Certificate? Sertifikat Kesehatan untuk produk apa?""Wafer," jawab Rania singkat sebelum menyambung. "Blueberry."Mereka melangkah menyusuri koridor dengan beberapa petugas berlalu-lalang di sekitar mereka."Habis ini ke mana?""Pulang.""Ini baru jam 14.30 siang. Atau kamu mau kerja remote, jarak jauh dari rumah?"Sambil menatap lurus ke depan, Rania mengangguk. Dan Verdi yang melihat Rania enggan berkata-kata dan h
"Tokoh kunci? Lebay ah."Rania tersenyum yang kemudian diikuti Verdi. Pria itu merasa situasi hati Rania pada pagi menjelang siang itu membaik. Jauh berbeda saat mereka di BPOM kemarin. Ia lantas mempersilahkan Rania agar duduk untuk melanjutkan berbagai topik."Tapi kamu jangan ge-er dulu, Ver. Biarpun kamu itu tokoh kunci bukan berarti kamu nggak punya kelemahan."Topik itu dinilai menarik. Verdi mendengarkan dengan penuh minat ketika Rania menyerahkan laporan yang tadi ia minta."Aku ulangi. Biasanya selama ini aku merem kalau menandatangani PTS kalo sudah ada tandatangan kamu. Tapi yang satu ini yaitu yang berkaitan dengan ekspor percobaan sebanyak satu palet biskuit krim strawberry ke New Zealand, aku tolak."Verdi mencibir maklum. "Alasannya?""Aku prihatin dengan kemasannya yang ditulis di PTS itu terbuat dari kayu. Asal kamu tahu, New Zealand itu punya aturan ekspo
"Kamu hapal banget.""Maklum, kami sering ketemu di beberapa kesempatan. Bukan cuma di Bangkok atau Jakarta saja. Eh, dia itu seperti kamu, Ran.""Seperti aku? Apanya?""Cantiknya, juteknya. Heran, apakah wanita cantik itu identik dengan bawel ya?"Rania tertawa keras. "Mulai deh. Aku nggak jutek koq.""Idih, itu sih kata kamu. Yang nilai kan orang lain."Benar juga, kata Rania membatin."Sudah tau kan bahwa minggu depan kita business trip lagi ke Bangkok? Kalau kamu diketemuin Khun Nichaon, wah pasti rame.""Aku masih belum begitu hapal namanya lho. Yang aku tahu nama belakangnya itu ada porn-nya."Verdi kini melihati Rania dengan tatap aneh."Kenapa, Ver?""Kamu hanya hafal 'porn' saja. Bukan berarti kamu suka yang 'porn' kan?"Ledekan itu membuat Rania jadi gemas dan langsung mencubit punggung telapak tangan V
“Aku pulang sebentar lagi.” Rania melemaskan otot leher sebelum kembali menghadap laptopnya. „Berkas apa itu di tangan kamu?“„Peraturan Personalia yang baru. Udah baca?“„Nanti aja.“„Ini isinya tentang hak dan kewajiban karyawan perusahaan. Mustinya kamu baca dan pelajari,“ katanya serius. “Mmmm, kamu mau kopi susu?”Alis mata Rania terangkat. “Kopi susu di tanganmu itu buatku?”Rania hanya bercanda sebetulnya. Ia kaget ketika Verdi ternyata mengangguk. “Ya. Mau?”Sebelum Rania memberikan jawaban penolakannya, ia telah menaruh cangkir kopi itu di meja.“Ini serius buat aku?”Kepala Verdi bergerak kesana-sini, seolah-olah mencari seseorang, sebelum kemudian balik bertanya.“Nggak ada orang lain di tempat ini kan?”Rania tersedak. Senyum kecilnya menimbulkan dekik keci