Pasca hujan deras, kemacetan di belantara beton bertingkat bernama Jakarta, benar-benar sudah mencapai tahap menjengkelkan. Pembangunan pelbagai infrastruktur, jalur bis, renovasi jembatan, pengerjaan gorong-gorong, dan genangan banjir di beberapa titik memperparah arus lalu lintas. Hari Jumat ini kemungkinan merupakan salah satu hari macet daerah, yaitu daerah DKI. Tak cuma karena tiga jenis pengerjaan di atas namun juga berhubung hari itu adalah akhir pekan yang akan dilanjutkan dengan libur panjang di hari Seninnya. Rania yakin bahwa ada ribuan orang yang memiliki rasa gundah seperti dirinya saat melihat antrian kendaraan di jalan raya yang masih belum juga menunjukkan tanda akan berkurang. Padahal waktu saat itu menunjukkan lebih dari pukul sembilan malam.
Ia sudah keluar kantor dari sejak dua puluh menit lalu dan berada di dalam mobilnya. Namun, sungguh menjengkelkan, sampai saat itu ia masih berada di pelataran parkir menuju pintu keluar kompleks ged
Alur mata Rania mengikuti saat Verdi melangkah menuju ke jalan raya untuk memulai perjalanannya berjalan kaki. Mobil di depan bergerak maju. Tiba-tiba suara klakson terdengar di belakang kendaraan. Pengemudi city car di belakang memberi tanda agar Rania memajukan pula kendaraannya. Rania tidak segera maju dan ini menimbulkan jarak antara kendaraannya dengan kendaraan di depan. Sebuah ide melintas. Rania kembali membunyikan klakson panjang. Panggilan klakson itu untuk Verdi. Ia beruntung. Di antara belasan kepala yang berpaling, salah satunya adalah Verdi sendiri yang menoleh ke arahnya dengan rasa ingin tahu. Rania memberi isyarat agar Verdi datang mendekat. Saat pria itu melangkah ke arahnya, klakson dari mobil city car kembali terdengar. Rania membuka pintu, keluar dari mobil dan berteriak pada pengemudi itu. "Kalau nggak sabar terbang saja, Oom!" bentaknya gemas. "Kalau gue gerak, toh elo juga ngg
Sudah lebih dari sepuluh menit Rania berjalan kaki bersama Verdi menyusuri trotoar yang dipadati orang dan pedagang kaki lima. Ia agak heran juga bahwa Verdi bersikap beda dengan saat mereka masih di parkiran gedung. Pria itu kini tidak banyak berbicara."Kamu keberatan jalan kaki bareng aku?"Pertanyaan itu mengagetkan Verdi. "Ah nggak.""Kamu keliatan lagi banyak pikiran.""Tahunya?""Kamu ngejawab setelah aku nanyain kamu tiga kali."Ucapan itu mengagetkan Verdi. "Masa' sih? Pertanyaan yang sama?"Ketika Rania mengangguk, Verdi jadi merasa bersalah. Pergolakan batin karena melihat pemandangan di lantai tiga sebuah hotel rupanya membuat ia tidak menyadari bahwa Rania telah sekian kali menanyainya. Ia harus secepatnya melupakan apa yang tadi ia lihat karena ia bisa saja salah lihat. Verdi juga sadar bahwa ia perlu membuat alasan yang tepat kenapa bisa sampai mengabaikan Rania.“A
Berhasil. Rania terselamatkan tanpa mereka berdua terjatuh.“Kamu nggak apa-apa?”Rania yang masih nampak pucat hanya mengangguk.“Nggak luka?”“Nggak. Aku hanya malu.”“Malu?”“Ya.”“Kenapa?”“Verdi,” Rania bicara lamat-lamat, “kamu memeluk aku di tengah keraramaian.”Verdi tersadar dan buru-buru melepas pelukannya sehingga mereka kini kembali berdiri di atas trotoar.“Maaf,” kata Verdi yang nampak sedikit malu.Beberapa orang sekitar mereka memang melihat kelakuannya tadi. Beberapa tersenyam-senyum dan ada pula yang menggeleng-geleng kepala. Seperti halnya Verdi, Rania juga nampak kikuk.“Dasar ojek,” Rania merutuk kecil. Matanya mencari-cari motor yang tadi hampir mencelakainya. Tapi motor tadi memang tidak lagi nampak.Mendengar gerutuan tadi,
Rania mengerenyitkan kening. Saat turut melihat ke arah bawah, ia terperangah. Rania seketika mengerti mengapa Verdi harus menunggu ia memunggunginya.“Kakimu nggak apa-apa?”“Nggak,” katanya.Verdi mengangguk, berbalik badan, dan melangkah semakin menjauh. Saat melintas sebuah pangkalan ojek, dua dari salah seorang pengojek menegurnya dengan logat Betawi yang kental.“Lah, lah, lah. Itu ceweknya koq ditinggalin gitu aje, Oom?“Verdi berhenti melangkah sembari menoleh ke si penanya. “Memang kenapa?”“Koq kenape? Ya, jangan dong. Koq ente tega banget sama cewek sendiri.”“Cewek? Bukan, kami hanya teman.”“Bukan? Oh… bagus lah kalo ente masih inget bini di rumah,” pengojek kedua menimpali dengan logat Betawi yang tak kalah kentalnya.Kepala Verdi mendadak pening. Kedua pengojek ini sok tahu betul sih.
“Serius,“ tandasnya sembari naik ke atas motor dan siap menghidupkan motor kembali.Rania mendekap tangan di dada. Menatap Verdi tanpa ekspresi.“Alasan untuk kamu diculik cukup kuat lho. Kamu cantik.“Rania berpikir keras di dalam hatinya. Minum apa sih pria itu sampai berubah menjadi perayu kampungan seperti itu?“Tuhhh kan kamu nggak percaya,“ cetus Verdi.Rania mengangguk-angguk walau ia merasa ada alasan yang nampaknya menggelikan.“Jadi kalau denganmu keadaannya lebih baik?” tanyanya kemudian.Verdi kembali hanya tersenyum-senyum. “Ya begitulah.”“Ada pilihan lain?”“Rasanya nggak.”Uh! Rania gemas. Tapi Verdi benar. Ia memang tidak punya pilihan kecuali mau melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki sekian kilometer.“Dijamin aku nggak ngebut,” katanya lagi.Ran
Suara klakson sepeda motor terdengar.Rania terkaget. Rencananya untuk mengganti baju dan mengurangi polesan make-up serta-merta dibatalkan. Ini karena sudah sepuluh menit sejak ia tadi masuk ke dalam rumah dan itu sudah pasti menimbulkan pertanyaan pada diri Verdi mengapa ia belum juga keluar. Verdi pasti tak mau mengambil resiko jika ia ternyata malah tertidur! Sembari menuju teras rumah, tak henti-hentinya ia menggeleng kepala atas keanehan sikapnya.Saat pintu gerbang di depan terkuak, Rania terkejut melihat pemandangan di depannya.Verdi tengah duduk di sebuah bangku penjual mie tek-tek yang nampaknya baru ia panggil. Sepiring nasi goreng di tangannya masih mengepulkan asap. Asyik sekali ia menyantap sehingga dirinya baru menyadari kehadiran Rania setelah ia berada sangat dekat.Rania teringat sesuatu. Ini sudah pukul sepuluh malam. Ya, tidak seharusnya Verdi makan selarut ini karena itu pasti mengganggu kesehatan
Saat menumis, air mata Rania terasa begitu pedih sehingga mau tidak mau ia harus membutuhkan bantuan Verdi untuk menyeka air mata yang sempat keluar.“Perih?“ tanya Verdi saat melihat air mata Rania siap bergulir di ujung matanya.Rania hanya mengangguk.“Aku nggak bawa tisyu atau saputangan,“ kata Verdi perlahan sebelum kemudian melap air mata tadi dengan buku jari telunjuknya.“Maaf,“ katanya nyaris tanpa suara.Hati Rania berdesir. Sebuah perasaan aneh melambung, naik, membuncah, dan menggoncang emosi. Getaran jutaan syarafnya serta-merta melepas hormon endorfin. Merasuk hingga ke alam bawah sadar, membangkitkan sensasi bahagia. Saat Verdi tadi menyatakan maaf, Rania hanya kembali mengangguk tanpa nada protes. Ia lantas kembali bekerja mengaduk-aduk nasi goreng yang jauh dari selesai.Verdi berpura-pura tidak tahu ketika sebuah senyum kecil mengembang di w
Rania tak pernah menduga akan mengalami peristiwa seperti malam ini. Sebuah petualangan kecil, biasa, tak berarti. Namun semua kesederhanaan tadi nyata-nyata menghasilkan endorfin dalam skala masif yang bak tsunami mampu menggetarkan hingga ke setiap sel terkecil dalam tubuhnya.Perang antara logika dan perasaan dalam diri Rania masih terus berkecamuk. Entah sampai kapan. Entah siapa pemenangnya.*“O shiiitttt!”Rania yang makan siang bersama Vonny di meja makan pantry, baru saja mulai menikmati santapannya ketika ia terhenti karena mendengar suara tadi. Ia menoleh ke sumber suara. Ia heran melihat Renty sudah ada di depan pintu ruang pantry. Terlebih heran lagi karena wanita itu menatap dirinya dengan tatapan kaget dan tidak suka.“Kenapa, Renty?”Renty tidak menjawab. Akibat teriakannya sendiri beberapa orang yang ada