Selama lebih dari empat bulan bekerja di tempat itu Rania semakin menyadari bahwa penting untuk meng-iya-kan saja apa yang dikatakan atasan. Ini berlaku bukan hanya bagi dirinya tapi juga bagi semua orang yang memiliki atasan di perusahaan itu, jika mereka masih ingin periuk nasi, atau tepatnya rice cooker, mereka tetap berasap. Aneh memang, tapi mencari info lebih lanjut dengan menyelidiki secara detil tentang suatu permasalahan kerap dianggap sebagai sikap mbalelo, melawan. Rania juga mendapati bahwa mereka yang memiliki posisi cukup tinggi dan dapat bertahan lama di perusahaan ternyata karena mereka umumnya memiliki sikap yang sama: membebek. Mengikuti apa saja kata atasannya tanpa perlu bertanya.
Itu sebabnya ketika Edwin menampik untuk menjawab pertanyaannya, Rania belajar untuk meng-iya-kan saja. Tak perduli jika itu akan sedikit mengusik nuraninya yang protes atas ketidakberesan yang terjadi.
Semenit s
Urusan di BPOM, sebuah lembaga pemerintah selaku pengawas obat dan makanan, sudah hampir selesai. Rania sedang turun dari tangga ketika sebuah suara memanggilnya."You?" Rania terheran melihat keberadaan Verdi."Lagi ngurus penerbitan nomor registrasi BPOM." Seperti dapat membaca pikiran Rania, Verdi langsung menjelaskan alasan keberadaannya."Oh.""Kamu sendiri ngapain?""HC.""Ngurus Health Certificate? Sertifikat Kesehatan untuk produk apa?""Wafer," jawab Rania singkat sebelum menyambung. "Blueberry."Mereka melangkah menyusuri koridor dengan beberapa petugas berlalu-lalang di sekitar mereka."Habis ini ke mana?""Pulang.""Ini baru jam 14.30 siang. Atau kamu mau kerja remote, jarak jauh dari rumah?"Sambil menatap lurus ke depan, Rania mengangguk. Dan Verdi yang melihat Rania enggan berkata-kata dan h
"Tokoh kunci? Lebay ah."Rania tersenyum yang kemudian diikuti Verdi. Pria itu merasa situasi hati Rania pada pagi menjelang siang itu membaik. Jauh berbeda saat mereka di BPOM kemarin. Ia lantas mempersilahkan Rania agar duduk untuk melanjutkan berbagai topik."Tapi kamu jangan ge-er dulu, Ver. Biarpun kamu itu tokoh kunci bukan berarti kamu nggak punya kelemahan."Topik itu dinilai menarik. Verdi mendengarkan dengan penuh minat ketika Rania menyerahkan laporan yang tadi ia minta."Aku ulangi. Biasanya selama ini aku merem kalau menandatangani PTS kalo sudah ada tandatangan kamu. Tapi yang satu ini yaitu yang berkaitan dengan ekspor percobaan sebanyak satu palet biskuit krim strawberry ke New Zealand, aku tolak."Verdi mencibir maklum. "Alasannya?""Aku prihatin dengan kemasannya yang ditulis di PTS itu terbuat dari kayu. Asal kamu tahu, New Zealand itu punya aturan ekspo
"Kamu hapal banget.""Maklum, kami sering ketemu di beberapa kesempatan. Bukan cuma di Bangkok atau Jakarta saja. Eh, dia itu seperti kamu, Ran.""Seperti aku? Apanya?""Cantiknya, juteknya. Heran, apakah wanita cantik itu identik dengan bawel ya?"Rania tertawa keras. "Mulai deh. Aku nggak jutek koq.""Idih, itu sih kata kamu. Yang nilai kan orang lain."Benar juga, kata Rania membatin."Sudah tau kan bahwa minggu depan kita business trip lagi ke Bangkok? Kalau kamu diketemuin Khun Nichaon, wah pasti rame.""Aku masih belum begitu hapal namanya lho. Yang aku tahu nama belakangnya itu ada porn-nya."Verdi kini melihati Rania dengan tatap aneh."Kenapa, Ver?""Kamu hanya hafal 'porn' saja. Bukan berarti kamu suka yang 'porn' kan?"Ledekan itu membuat Rania jadi gemas dan langsung mencubit punggung telapak tangan V
“Aku pulang sebentar lagi.” Rania melemaskan otot leher sebelum kembali menghadap laptopnya. „Berkas apa itu di tangan kamu?“„Peraturan Personalia yang baru. Udah baca?“„Nanti aja.“„Ini isinya tentang hak dan kewajiban karyawan perusahaan. Mustinya kamu baca dan pelajari,“ katanya serius. “Mmmm, kamu mau kopi susu?”Alis mata Rania terangkat. “Kopi susu di tanganmu itu buatku?”Rania hanya bercanda sebetulnya. Ia kaget ketika Verdi ternyata mengangguk. “Ya. Mau?”Sebelum Rania memberikan jawaban penolakannya, ia telah menaruh cangkir kopi itu di meja.“Ini serius buat aku?”Kepala Verdi bergerak kesana-sini, seolah-olah mencari seseorang, sebelum kemudian balik bertanya.“Nggak ada orang lain di tempat ini kan?”Rania tersedak. Senyum kecilnya menimbulkan dekik keci
Pasca hujan deras, kemacetan di belantara beton bertingkat bernama Jakarta, benar-benar sudah mencapai tahap menjengkelkan. Pembangunan pelbagai infrastruktur, jalur bis, renovasi jembatan, pengerjaan gorong-gorong, dan genangan banjir di beberapa titik memperparah arus lalu lintas. Hari Jumat ini kemungkinan merupakan salah satu hari macet daerah, yaitu daerah DKI. Tak cuma karena tiga jenis pengerjaan di atas namun juga berhubung hari itu adalah akhir pekan yang akan dilanjutkan dengan libur panjang di hari Seninnya. Rania yakin bahwa ada ribuan orang yang memiliki rasa gundah seperti dirinya saat melihat antrian kendaraan di jalan raya yang masih belum juga menunjukkan tanda akan berkurang. Padahal waktu saat itu menunjukkan lebih dari pukul sembilan malam.Ia sudah keluar kantor dari sejak dua puluh menit lalu dan berada di dalam mobilnya. Namun, sungguh menjengkelkan, sampai saat itu ia masih berada di pelataran parkir menuju pintu keluar kompleks ged
Alur mata Rania mengikuti saat Verdi melangkah menuju ke jalan raya untuk memulai perjalanannya berjalan kaki. Mobil di depan bergerak maju. Tiba-tiba suara klakson terdengar di belakang kendaraan. Pengemudi city car di belakang memberi tanda agar Rania memajukan pula kendaraannya. Rania tidak segera maju dan ini menimbulkan jarak antara kendaraannya dengan kendaraan di depan. Sebuah ide melintas. Rania kembali membunyikan klakson panjang. Panggilan klakson itu untuk Verdi. Ia beruntung. Di antara belasan kepala yang berpaling, salah satunya adalah Verdi sendiri yang menoleh ke arahnya dengan rasa ingin tahu. Rania memberi isyarat agar Verdi datang mendekat. Saat pria itu melangkah ke arahnya, klakson dari mobil city car kembali terdengar. Rania membuka pintu, keluar dari mobil dan berteriak pada pengemudi itu. "Kalau nggak sabar terbang saja, Oom!" bentaknya gemas. "Kalau gue gerak, toh elo juga ngg
Sudah lebih dari sepuluh menit Rania berjalan kaki bersama Verdi menyusuri trotoar yang dipadati orang dan pedagang kaki lima. Ia agak heran juga bahwa Verdi bersikap beda dengan saat mereka masih di parkiran gedung. Pria itu kini tidak banyak berbicara."Kamu keberatan jalan kaki bareng aku?"Pertanyaan itu mengagetkan Verdi. "Ah nggak.""Kamu keliatan lagi banyak pikiran.""Tahunya?""Kamu ngejawab setelah aku nanyain kamu tiga kali."Ucapan itu mengagetkan Verdi. "Masa' sih? Pertanyaan yang sama?"Ketika Rania mengangguk, Verdi jadi merasa bersalah. Pergolakan batin karena melihat pemandangan di lantai tiga sebuah hotel rupanya membuat ia tidak menyadari bahwa Rania telah sekian kali menanyainya. Ia harus secepatnya melupakan apa yang tadi ia lihat karena ia bisa saja salah lihat. Verdi juga sadar bahwa ia perlu membuat alasan yang tepat kenapa bisa sampai mengabaikan Rania.“A
Berhasil. Rania terselamatkan tanpa mereka berdua terjatuh.“Kamu nggak apa-apa?”Rania yang masih nampak pucat hanya mengangguk.“Nggak luka?”“Nggak. Aku hanya malu.”“Malu?”“Ya.”“Kenapa?”“Verdi,” Rania bicara lamat-lamat, “kamu memeluk aku di tengah keraramaian.”Verdi tersadar dan buru-buru melepas pelukannya sehingga mereka kini kembali berdiri di atas trotoar.“Maaf,” kata Verdi yang nampak sedikit malu.Beberapa orang sekitar mereka memang melihat kelakuannya tadi. Beberapa tersenyam-senyum dan ada pula yang menggeleng-geleng kepala. Seperti halnya Verdi, Rania juga nampak kikuk.“Dasar ojek,” Rania merutuk kecil. Matanya mencari-cari motor yang tadi hampir mencelakainya. Tapi motor tadi memang tidak lagi nampak.Mendengar gerutuan tadi,