Dalam pening yang bertambah, ditantang begitu Rania tidak mau mengalah. Keduanya lantas bertaruh. Dua tangan Rania dan Renty saling membelit dengan masing-masing memegang gelas masing-masing yang masih terisi penuh dengan minuman.
“Yang kalah ngikutin yang menang.”
“Hiks. Siapa takut,” jawab Rania. “Hitungan tiga ya. Satu…. Dua…. Tiga…”
Rania dan Renty lantas meminum isi gelas masing-masing. Dua-dua gelas terminum tanda dengan sekali teguk, bedanya Rania terlambat beberapa detik sehingga dinyatakan sebagai pihak yang kalah. Renty mengacung kedua tangan dengan penuh kemenangan sedangkan Rania menggeletakkan wajah di meja di depannya.
“Sialan, sialan, sialaaan, hiks……”
Harus diakui oleh Renty bahwa sebagai pemula, Rania ternyata cukup kuat bertahan dengan kesadarannya. Namun bagi Renty yang sudah terlebih dulu penikmat minuman keras, Rania tentu saja buka
“Obviously. Aku pasti akan dampingi kamu dan takkan membiarkan kamu. Takkan aku biarkan hal buruk terjadi dalam hidupmu. That’s a promise. Aku akan memastikan kamu tidur dengan enak dan nyaman malam ini. Saat besok paginya kamu akan bangun dengan perasaan sangat nyaman, puas dan bahagia. Kamu mengerti kan maksudku?”Dengan sisa kesadaran yang ada, antara nyata atau bukan, Rania masih bisa merasakan tangan orang itu bergerak di balik rok span yang dikenakan. Sialnya, dalam pengaruh alcohol, ia tidak yakin apakah itu memang benar dilakukan orang itu atau hanya halusinasinya semata. Kalau itu tidaklah benar dilakukan, ia pantas bersyukur. Tapi jika sebaliknya, ketika ia menyatakan keberatan dan melakukan penolakan, tangannya sudah terlalu lemah untuk melakukannya. Jadi ketika Carl nyerocos, ia percaya saja semua bullshit yang terlontar dari Carl. Dan apa yang dilakukan orang itu terhadapnya Rania tidak tahu. Ia terlalu
Sementara Rania dan Nichaon berada di meja terpisah untuk makan siang dan membahas berbagai isyu, Vonny dan tiga anak buah Nichaon yang sepenuhnya wanita duduk di meja lain. Dalam suatu perbincangan Vonny secara iseng menanyakan lokasi restoran yang menjual makanan eksentrik."Aku pernah mendengar di Bangkok ada restoran yang menjual menu ekstrim. Apakah info itu benar?' kata Vonny kepada Pong, Lek, dan Pratama.Di luar dugaan, restoran semacam itu ternyata bersebelahan dengan restoran dimana mereka berada. Hal ini dipertegas Khun Pratama."Menunya macam-macam. Ada jangkrik, belalang, ular, biawak.""Kalau mau, bisa juga makanannya diantar di sini," Khun Lek menambahkan.“Wah, boleh, boleh,” Vonny menyambut baik tawaran itu. "Khun Pong, which one you prefer?""Aku suka sate belalang," jawab Khun Pong lugas. "Rasanya renyah dan pedas. Mau coba mencicipi?"Tawaran dari Khun
Langit di atas Samphantawong District sore itu nampak mendung ketika kendaraan special utility vehicle yang dikemudikan keluar dari basement gedung untuk kemudian melintas di salah satu jalan utama kota. Nichaon yang mendampingi Verdi, Rania dan Vonny selama kunjungan kerja di Thailand terampil sekali mengemudi. Wanita lajang dengan kecantikan Thai yang khas itu lantas menawarkan diri.“You still have time in Bangkok before you catch up the last flight to Jakarta,” katanya dalam bahasa Inggris dengan logat Thai yang khas, “mau menghabiskan waktu dimana?”“Itu terserah Rania atau Vonny. Aku masih akan stay dua hari lebih lama di sini,” kata Verdi.Rania tidak keberatan tentunya dengan acara jalan-jalan yang ditawarkan. Tapi Vonny nampak tidak sehat sejak menyantap sepuluh tusuk sate belalang tadi siang.“Bagaimana, Vonny? Perutmu su
“What’s up, Khun Verdi?” Nichaon yang tidak mengerti perbincangan lagi-lagi menanyai Verdi.“Khun Vonny is not well. She prefers to stay at hotel and Khun Rania will accompany her.”“How about you?“ Nichaon memperlambat kecepatan ketika mereka mendekati ramp, pintu keluar-masuk tol. “Khun Verdi, kamu masih punya sisa waktu dua hari di Bangkok karena masih ada tugas yang perlu kita bahas besok dan lusa.”“I know.”Nichaon mengibas rambut, melirik dan tersenyum penuh arti ke arah Verdi. Rambut ikalnya tertiup desau angin dari jendela mobil yang kurang tertutup rapat. Baik Vonny maupun Rania seperti mendapat impresi bahwa Nichaon sengaja memamerkan kecantikan alami yang ia miliki di depan Verdi.“Will you accompany me?”‘Nah, seperti sudah kuduga, tawaran itu datang juga,” Vonny m
Tapi… ah. Ketajaman logika Rania boleh saja memiliki pendapat demikian. Namun kebenaran selalu mencari jalannya sendiri. Terlebih jika kebenaran itu bermetamorfosis tanpa sanggup direka oleh waktu dan tak bisa dibatasi oleh ruang. Ia bisa tampil begitu saja tanpa bisa terprediksi, di dalam hati, di suatu momen yang tak terduga. Kehadirannya mungkin bisa saja tampil sekelebat melebihi kecepatan suara. Tapi itu bisa lebih dari cukup untuk meruntuhkan benteng ego siapapun. Buktinya, semakin Rania memungkiri, semakin kuat perasaan aneh nan misterius itu mencengkeram. Kebenaran semacam itu sungguh mencabik logika, merajam akal budi.Entah sejak kapan, sosok Verdi mulai menempati ruang kosong hatinya. Dari sekedar perasaan hormat, bertransformasi menjadi respek, dan ternyata malah terus mewujud bentuk kekaguman. Ia ingin berhenti sampai di batas itu saja. Itu sudah cukup. Namun perjalanan waktu membuktikan bahwa ia sepertinya gagal mempertahankannya dimana lamb
Jari-jari Vonny lincah menekan tombol telpon.Terdengar dering dua kali sebelum kemudian gagang telpon di ujung sana diangkat seseorang."Ran, aku dengar suara pintu dibanting.""Lantas?""Itu bukan kamu kan?"Untuk sesaat Rania tak tahu apakah perlu menjawab jujur atau bagaimana. Vonny rupanya mendengar jelas suara pintu yang ia banting tepat di muka Verdi!"Kenapa kamu berpikir begitu? Aku... aku nggak apa-apa."Vonny terdengar lega."Kirain kamu kena apa-apa. Dijahili orang, dirampok, atau diperkosa."“Dasar lebay.”“Idiiiih, dengan postur semlohay seperti kamu, siapa laki-laki yang nggak punya kepikiran kea rah sana. Wueee.”"Aduh kamu itu. Udah ku bantu masih bisa ngeledek. Udah ah. Aku nggak apa-apa koq. Anyway, terima kasih untuk perhatiannya.""Ya udah, aku lanjutin istirahat lagi ya."Klek.
Derai tawa pecah seketika. Dari mulanya senyuman, tawa kecil, sampai berubah menjadi tawa terpingkal-pingkal. Suasana berubah lega, tak lagi menakutkan atau mengkhawatirkan. Kalau pun ada bencana, itu hanyalah sebuah luka biasa berupa lecet berukuran sangat kecil yang tak meninggalkan luka menganga di kedalaman hati. Tawa lepas keduanya meruntuhkan tembok kekakuan yang selama ini terbangun.“Aku heran. Bukannya kamu dengan Khun Nichaon rencananya mau dinner bareng sehabis mengantar aku dan Vonny?”Diingatkan seperti itu membuat Verdi berpikir sejenak sebelum kemudian tersenyum lebar.“Ooo, aku mengerti.” Ia bangun dan lantas berdiri tegak yang kemudian diikuti Rania.“Tapi ajakan Nichaon bukanlah ajakan makan malam. Kami batalkan. Dia malah meminta untuk aku menemaninya kembali ke kantor.”“Kembali ke kantor? Buat apa?”“Astaga, kamu nggak lupa kan bahwa ada pengiri
"Bagaimana keadaannya?”“Kondisinya membaik tapi ia belum ingin makan banyak. Aku malah sekarang balik memikirkan dirimu.”“Hidungku?”“Ya.”“Nggak apa-apa. Obat antiseptik yang tadi aku beli sudah cukup. Kamu sendiri bagaimana?””Rania mengerutkan kening. “Aku nggak paham maksud pertanyaanmu.”“Obat yang kamu pakai untuk mengurut aku, akan jadi dipakai kan?”Rania tertawa keras. Verdi menyusul dalam rentang waktu sedetik kemudian. Suasana sepi malam hari di lobby yang mereka lintasi membuat tawa mereka terdengar begitu keras.“Maaf kalau aku membanting pintu keras sampai hidungmu terluka.”Verdi merapatkan jaket yang memang ia kenakan sejak tadi. “Boleh percaya boleh nggak, aku nggak keberatan hidungku harus terluka lagi kalau harus melihatimu dulu dengan keadaan seperti tadi.”