“What’s up, Khun Verdi?” Nichaon yang tidak mengerti perbincangan lagi-lagi menanyai Verdi.
“Khun Vonny is not well. She prefers to stay at hotel and Khun Rania will accompany her.”
“How about you?“ Nichaon memperlambat kecepatan ketika mereka mendekati ramp, pintu keluar-masuk tol. “Khun Verdi, kamu masih punya sisa waktu dua hari di Bangkok karena masih ada tugas yang perlu kita bahas besok dan lusa.”
“I know.”
Nichaon mengibas rambut, melirik dan tersenyum penuh arti ke arah Verdi. Rambut ikalnya tertiup desau angin dari jendela mobil yang kurang tertutup rapat. Baik Vonny maupun Rania seperti mendapat impresi bahwa Nichaon sengaja memamerkan kecantikan alami yang ia miliki di depan Verdi.
“Will you accompany me?”
‘Nah, seperti sudah kuduga, tawaran itu datang juga,” Vonny m
Tapi… ah. Ketajaman logika Rania boleh saja memiliki pendapat demikian. Namun kebenaran selalu mencari jalannya sendiri. Terlebih jika kebenaran itu bermetamorfosis tanpa sanggup direka oleh waktu dan tak bisa dibatasi oleh ruang. Ia bisa tampil begitu saja tanpa bisa terprediksi, di dalam hati, di suatu momen yang tak terduga. Kehadirannya mungkin bisa saja tampil sekelebat melebihi kecepatan suara. Tapi itu bisa lebih dari cukup untuk meruntuhkan benteng ego siapapun. Buktinya, semakin Rania memungkiri, semakin kuat perasaan aneh nan misterius itu mencengkeram. Kebenaran semacam itu sungguh mencabik logika, merajam akal budi.Entah sejak kapan, sosok Verdi mulai menempati ruang kosong hatinya. Dari sekedar perasaan hormat, bertransformasi menjadi respek, dan ternyata malah terus mewujud bentuk kekaguman. Ia ingin berhenti sampai di batas itu saja. Itu sudah cukup. Namun perjalanan waktu membuktikan bahwa ia sepertinya gagal mempertahankannya dimana lamb
Jari-jari Vonny lincah menekan tombol telpon.Terdengar dering dua kali sebelum kemudian gagang telpon di ujung sana diangkat seseorang."Ran, aku dengar suara pintu dibanting.""Lantas?""Itu bukan kamu kan?"Untuk sesaat Rania tak tahu apakah perlu menjawab jujur atau bagaimana. Vonny rupanya mendengar jelas suara pintu yang ia banting tepat di muka Verdi!"Kenapa kamu berpikir begitu? Aku... aku nggak apa-apa."Vonny terdengar lega."Kirain kamu kena apa-apa. Dijahili orang, dirampok, atau diperkosa."“Dasar lebay.”“Idiiiih, dengan postur semlohay seperti kamu, siapa laki-laki yang nggak punya kepikiran kea rah sana. Wueee.”"Aduh kamu itu. Udah ku bantu masih bisa ngeledek. Udah ah. Aku nggak apa-apa koq. Anyway, terima kasih untuk perhatiannya.""Ya udah, aku lanjutin istirahat lagi ya."Klek.
Derai tawa pecah seketika. Dari mulanya senyuman, tawa kecil, sampai berubah menjadi tawa terpingkal-pingkal. Suasana berubah lega, tak lagi menakutkan atau mengkhawatirkan. Kalau pun ada bencana, itu hanyalah sebuah luka biasa berupa lecet berukuran sangat kecil yang tak meninggalkan luka menganga di kedalaman hati. Tawa lepas keduanya meruntuhkan tembok kekakuan yang selama ini terbangun.“Aku heran. Bukannya kamu dengan Khun Nichaon rencananya mau dinner bareng sehabis mengantar aku dan Vonny?”Diingatkan seperti itu membuat Verdi berpikir sejenak sebelum kemudian tersenyum lebar.“Ooo, aku mengerti.” Ia bangun dan lantas berdiri tegak yang kemudian diikuti Rania.“Tapi ajakan Nichaon bukanlah ajakan makan malam. Kami batalkan. Dia malah meminta untuk aku menemaninya kembali ke kantor.”“Kembali ke kantor? Buat apa?”“Astaga, kamu nggak lupa kan bahwa ada pengiri
"Bagaimana keadaannya?”“Kondisinya membaik tapi ia belum ingin makan banyak. Aku malah sekarang balik memikirkan dirimu.”“Hidungku?”“Ya.”“Nggak apa-apa. Obat antiseptik yang tadi aku beli sudah cukup. Kamu sendiri bagaimana?””Rania mengerutkan kening. “Aku nggak paham maksud pertanyaanmu.”“Obat yang kamu pakai untuk mengurut aku, akan jadi dipakai kan?”Rania tertawa keras. Verdi menyusul dalam rentang waktu sedetik kemudian. Suasana sepi malam hari di lobby yang mereka lintasi membuat tawa mereka terdengar begitu keras.“Maaf kalau aku membanting pintu keras sampai hidungmu terluka.”Verdi merapatkan jaket yang memang ia kenakan sejak tadi. “Boleh percaya boleh nggak, aku nggak keberatan hidungku harus terluka lagi kalau harus melihatimu dulu dengan keadaan seperti tadi.”
"Wai a yu samai, nah?"Rania menaikkan alis mata. Ia sama sekali tak menangkap artinya. Yang ia tahu, akhiran kata 'nah' itu semacam 'sih' atau 'lho' atau 'euy' dalam bahasa Sunda. Tak memiliki arti dan hanya sekedar kebiasaan. Sepertinya bahasa Inggris yang diucapkan orang Indonesia masih lebih jelas dibandingkan jika diucapkan orang Thailand! Di luar dugaan, Verdi ternyata mengerti apa yang diucapkan orang itu."Do you mean why we smile?"Verdi dan Rania nyaris terlonjak ketika orang itu mengucap "yes" dengan keras dan mengagetkan."We are smiling because we are happy in Bangkok," jawab Verdi.Jawaban tadi membahagiakan pria itu. "Yu hepi? Gut nah. Guuut..."“Yes, it is good,” Verdi menimpali.Pengalaman bergaul yang unik, pikir Rania. Apalagi yang menunggunya setelah ini?Tak butuh lama sebelum kapal kemudian bersandar di dermaga tujuan
“Ya, ya, ya. Jadi untuk saat ini tolong lupakan mesin penerjemah sialan yang sukses membuat aku malu besar itu, OK? Sekarang, kuminta tolong kamu kenakan jaket ini.”Rania tidak protes saat Verdi kembali memasang jaket itu. Saat di paskan di bahu dan Verdi menutup ekstra hati-hati di retsletingnya, ada getar aneh menyengat dari dalam dirinya.Jelas sekali Verdi tidak memanfaatkan keadaan itu untuk secara pura-pura tidak sengaja menyentuh bagian-bagian tubuh tertentunya. Namun kendati sentuhan demikian tidak terjadi, Rania merasa aneh sendiri. Deru nafas Verdi karena sangat dekat dengan dirinya beserta sentuhan-sentuhan kecil yang hanya sekedar menyentuh bahu, punggung atau lengannya terasa meninggalkan sengatan misterius yang terasa kuat menggetarkan kedalaman sanubari.Setelah selesai memasang dan mematut jaket, Verdi lantas melihati Rania dari berbagai sisi dan khususnya dari arah depan. Jaket dengan bahan semi kulit dan
Rania mendekat. "Aku bukan cenayang tapi aku melihat kegundahan di matamu mengenai perusahaan. Kamu seperti berhenti berharap. Janganlah seperti itu.""Maksudmu?""Aku mungkin tidak terlalu religius. Tapi kurasa ada saat-saat dalam hidup dimana kita betul-betul berpasrah pada keadaan. Kita tidak bisa berbuat apa pun tanpa campur tangan Yang Di Atas sana."Sesaat Verdi tidak bereaksi. Namun tak lama kemudian ia mengangguk setuju."Thanks for your advice," katanya sambil menatapi cermat seorang gadis remaja Thailand yang tengah menaruh dupa di tempat persembahyangan pada sebuah sudut jalan. Kekhusukannya tidak terganggu kendati banyak orang berlalu-lalang di belakangnya. Verdi menghela nafas dalam-dalam dan dengan cepat Rania menangkap sesuatu di mata Verdi.“Kamu seperti cemas?”Verdi tak bereaksi beberapa lama sebelum akhirnya memberikan jawabnya. “Memang.”“Kenapa?&rd
“Kenapa malah berhenti?” tanya Verdi. “Alat fotonya rusak?”“Tidak, bukan itu. Aku penasaran dan izinkan aku bertanya sesuatu. Mmm, kalian tidak sedang bermusuhan kan?”“No!” – 2x. Rania dan Verdi memang menjawab serempak.“Sama sekali tidak,” kata Verdi."Kenapa bisa berpikir begitu?" tanya Rania. “Bisa-bisanya berpikir kami berdua sedang bermusuhan.”Si juru foto menghentikan pemotretannya sejenak. Ia kemudian mendekati mereka berdua. “Kalau begitu, izinkan aku untuk mengatur posisi kalian. Memalukan. Kalian suami isteri tapi bersikap seperti baru saling kenal. Kalian benar-benar pasangan suami isteri paling pemalu yang saya pernah lihat. C’mon, this is Bangkok!”Rania mendegut ludah. Ekspresinya gugup dan panik sementara Verdi sendiri nampak antara bingung dan ingin tahu namun masih sempat ters