Pria itu mengangguk-angguk kepala sebelum kemudian bertanya lagi.
“Dengan panjang jalan di parkiran sejauh tiga puluh meter serta badan jalan lima meter, dan dua kelokan tajam, artinya saat awal melaju tidak ada kendaraan yang bisa melebihi 40 kilometer per jam.”
Rania tersentak. Ia bukan ahli matematika yang bisa melakukan kalkulasi di luar kepala segitu cepatnya. Tapi info lawan bicaranya kemungkinan besar memang benar. Dan kelemahan Rania adalah bahwa ia mudah sekali terpojok ketika sadar dirinya melakukan kesalahan.
“Anda tahu berapa kecepatan kendaraan saya yang baru saja keluar dari tempatnya parkir?”
Rania terdiam. Bodoh sekali dirinya! Tentu saja pria itu benar. Tidak ada kendaraan yang keluar dari tempat parkir yang langsung terbang dengan kecepatan tinggi! Rania masih belum tahu mau berbicara apa-apa ketika pria tadi mengambil dompet dari saku celananya dan menyerahkan tiga lembar seratusan ribu rupiah.
“Untuk apa?” dalam kebingungannya Rania menerima uang tadi.
Si pria tidak langsung menjawab. Ia masuk ke dalam kabin kendaraan, menyalakan mesin mobil dan siap berangkat.
“Tunggu!” Rania memburu ke jendela kaca mobilnya.
Pria itu menekan tombol power window. Saat kaca jendela terbuka Rania terpukau.
My goodness! Dari jarak sedemikian dekat dan tak lagi terhalang silau sinar mentari, Rania baru menyadari kalau dirinya tengah menghadapi ciptaan Tuhan bernama pria yang … yang … totally good looking. Apalagi dengan kacamata rayban yang kini terpasang sempurna menutup matanya. Berpakaian hem lengan panjang biru tosca, deretan gigi putihnya terlihat jelas sangat rapi. Well, orang itu sebetulnya sudah agak tua. Mungkin malah dua kali lipat umurnya yang baru seminggu lalu genap 24 tahun. Tapi kendati sudah berumur, alam nampak gagal menyembunyikan sisa-sisa ketampanannya. Gurat menandakan penambahan usia justeru entah mengapa malah membuatnya jadi begitu..... menarik.
‘O shit, Rania. What’s the hell going on with you?‘ tanyanya retoris di dalam hati.
“Ada apa?” tanya pria itu. Tetap dingin seperti biasa, sekaligus membuyarkan lamunan sesaatnya. “Uangnya kurang? Kalo iya, ngomong aja. Butuh berapa?”
“Uang apa ini?”
“Biaya penggantian kaca mobil anda. Kurang?”
Bagi Rania, nada suara orang itu terdengar mengejek. Uh, ini jelas menjengkelkan dirinya.
“O shit! Dengar, bung!”
“Panggil aku pak. Usia kita beda jauh.”
“Iya, iya, pak!” jawabnya tandas pada makhluk yang dirasanya menjengkelkan itu. “Saya mengomeli Anda, bukan untuk meminta ganti rugi. Saya cuma minta agar Anda lain kali berhati-hati. Biaya perbaikan mobil masih mampu saya tanggung sendiri. Jadi, harap ambil lagi uang ini.”
Rania tidak tahu bagaimana sorot mata pria itu dibalik kacamata gelapnya.
“Anda tidak mau menerima uang saya?”
“Tidak.” Rania menjawab tandas. Rania tidak mengerti ketika uang yang ia sodorkan ternyata tidak segera diterima pria menjengkelkan itu.
“Saya sudah ditunggu client saya.” Pria itu mulai mengambil ancang-ancang untuk pergi.
“Yang sibuk bukan hanya Anda. Saya juga punya kesibukan yang lain. Saya jadi terlambat masuk kantor gara-gara pertemuan menjengkelkan ini.”
“Itu salah saya?”
“Ya bisa jadi bung, eh pak….”
“Enak aja. Udah deh, Anda ambil sajalah uang itu. Pusing amat sih?”
“Saya tidak tertarik dengan bisnis tiga ratus ribuan.”
“Saya juga tidak tertarik ngobrol terlalu banyak dengan bocil sok tau!”
Rania tersentak. ‘Gileee, gue dibilang bocah cilik?’
“Anda mulai menjengkelkan saya, nona.”
“Nona? Hmm, sebutan yang bagus. Tapi kalau anda mengatakan bahwa saya mulai menjengkelkan anda, tahu tidak, bagi saya anda telah menjengkelkan saya dari tadi. Apalagi dengan dipanggil bocil segala.”
Si pria menghembus nafas kesal. “Ambillah.”
“Tidak.”
“Ambil!”
“Tidak!!”
Karena orang itu tidak juga mengambil, Rania tidak memiliki jalan lain. Kendati agak kasar, ia lantas melempar uang tadi ke dashboard mobilnya. Apa boleh buat, pikirnya. Itu memang kasar tapi menghadapi pria super tengil seperti ini, ia tidak menyesali perbuatannya.
Pria tadi melihati lembaran-lembaran uang yang kini terhampar di depannya sebelum menjawab ketus.
“Songong lu.”
Mobil sedan hitam yang dikendarai pria tadi lantas beranjak pergi. Asap tipis dari knalpot sempat terhirup saat Rania membalas ucapan tadi dengan setengah berteriak.
“Terserah!”
*
Belasan kilometer dari lokasi kejadian, di sebuah perusahaan headhunter yang mencari dan merekrut tenaga kerja sesuai pesanan klien mereka, seorang pria empat puluhan tahun nampak termangu. Di bawah koordinasinya, selama sebulan terakhir ini ia telah berburu kandidat manajer junior untuk sebuah perusahaan skala besar yang nantinya akan membidangi ekspor. Ia heran. Dari hampir sepuluh berkas yang berisi para kandidat ada satu berkas yang menurutnya paling kecil kemungkinan untuk tembus alias diterima bekerja di perusahaan klien.
Dan hari ini ia mendapat kabar bahwa yang diterima bekerja oleh perusahaan klien mereka justeru adalah orang yang menurutnya paling tidak mungkin diterima bekerja di sana. Ia mencermati kembali setiap berkas, lampiran CV, ijazah, sertifikat. Semua. Ia tetap tak menemukan jawaban kenapa kandidat itulah yang akhirnya diterima bekerja.
“Sayang, aku sekarang ngerti. Kamu sebetulnya tadi itu sedang dijebak oleh Renty. Dia dengan rekannya adalah orang yang nyusupin barang haram itu ke dalam tas kopermu.” Rania tak bisa berkata apa-apa. Mulutnya ternganga lebar dengan mata membelalak sembari menggeleng-geleng kepala. Mama Lidya tak kurang terkagetnya. “Saat dia sendirian, dia ngelakuin aksinya. Seperti yang kamu cerita saat dini hari itulah dia mem-finalisasi rencananya. Mungkin saat itulah dia dikirimi paket narkoba dari temannya yaitu ganja dan segala macam obat haram itu. Mungkin juga Renty adalah penggunanya. Tidak tertutup kemungkinan ke arah itu. Saat pagi harinya ketika kamu nggak di kamar, dia sisipkan itu di bagian tas koper. Mungkin dengan membuat robekan kecil di koper kamu yang memang hanya berbahan kain. Sayangnya, rencana itu gagal. Ada Tuhan yang jagain kamu. Kamu dibuat mengalami peristiwa buruk yang bikin tas koper kamu robek dan barang haram yang disisip di dalamnya terjatuh. Paket itu lantas kamu bua
“We gonna make it?”“Absolutely, Mister.” Rania mencondongkan wajahnya ke samping wajah Verdi. “Dan udah terbukti kamu masih tetap joss.”Verdi terbahak lagi. Apalagi kini Rania menatap dengan gerak alis dan tatapan laiknya seorang wanita yang nakal hendak mengajak bercinta. Benar-benar sudah tak ada lagi duka di wajah itu seperti ketika ia baru saja tiba.*Kebahagiaan kedua Rania alami ketika ia dan Verdi tiba di kendaraan mereka. Rupanya ada Mama di sana yang menunggui. Dan yang membuat Rania terkaget adalah bahwa Mama di sana dengan seorang bayi lucu dalam pelukannya.Cerita kemudian mengalir satu demi satu baik dari Mama maupun dari Verdi. Tentu saja porsi terbesar cerita ada pada Mama yang secara runut menceritakan keajaiban yang ia alami. Mungilnya sang bocah membuat Rania jatuh cinta seketika. Permintaan Mama untuk ia merawat bersama-sama diterima de
Hanya ada bahagia tak terperi. Saat Surabaya sudah makin tenggelam dalam malam bahagia seolah bertumpukan satu per satu menimpa hidup Rania. Dimulai dari ketika ia disambut oleh senyum Verdi di pintu keluar bandara.Ah, beda dengan hampir tiga tahun lalu di pelataran parkir perkantoran di Jakarta ketika cinta menggebu membuat Verdi berani memeluk dirinya berlama-lama di tengah keramaian, situasi itu tak terjadi lagi saat ini. Namun tentu saja itu bukan masalah besar bagi Rania. Cinta Verdi atas dirinya tak perlu diragukan lagi karena toh tak semua orang wajib mewujudkan dan melampiaskan rasa itu dengan cara ekspresif.Verdi memeluk. Sebentar. Namun sangat hangat. Dan betapa Rania merindukan pelukan pria terhebat yang ia bisa miliki itu. Pengalaman mengerikan yang dirancang seorang perempuan jahat bernama Renty gagal terwujud. Dan ia yakin itu terjadi karena doanya yang tulus yang menyertai perjalanan.“Kenapa nangi
Penjelasan itu terasa cukup bagi Rania. Ia mengambil tasnya kembali dan memutuskan tidak perlu bertanya lagi. Jam dinding di salah satu sisi ruangan menunjukkan waktu bahwa ia harus sesegera mungkin menuju ruang tunggu pesawat. Para petugas X-Ray tadi menunjukan sikap hormat ketika Rania bergegas pergi.Sepuluh menit kemudian ketika pesawat yang ditumpangi sudah take off, Rania masih terus memikirkan pengalaman aneh yang terjadi. Ketika ia melihat seorang anak kecil pada bangku di depannya membuka bungkus kemasan biskuit berwarna biru tua, seketika ia teringat sesuatu. Ia teringat pada bungkus berukuran sama dan warna yang sama yang ia buang di tempat sampah bandara. Bungkusan yang menurut pengemudi taksi daring yang ia naiki terjatuh dari koper akibat ada bagian koper yang robek karena terbentur bagasi mobil. Bulu kuduk Rania meremang.Tidak perlu menjadi seorang jenius dengan sederet gelar untuk mengetahui apa yang terjadi. Ia nyaris
Urusan check in sudah selesai. Dengan alasan bahwa koper yang dibawa Rania adalah koper kecil yang akan dibawa masuk dalam bagasi kabin pesawat, Rania melangkah ke arah ruang tunggu pesawat. Namun saat melewati security-check, ia kaget karena detektor X-Ray berbunyi. Ia melihat sekitar. Tak ada penumpang pesawat lain. Artinya detektor berbunyi saat melakukan scanning atas koper miliknya.‘Maaf, ibu boleh minggir sebentar?”Ajakan seorang ibu petugas bandara tadi membuat Rania sedikit gugup. Para penumpang lain mulai berdatangan ketika Rania menurut.“Maaf, boleh kopornya dibuka?”Rania merutuk dalam hati atas gangguan kecil yang dialami. Namun ia menenangkan diri sendiri karena menurutnya ini bukan pengalaman pertama ia diminta seperti itu. Itu sebabnya dengan tersenyum ia mengikuti permintaan petugas itu dan membuka koper setelah mengisikan nomor kode koper.Dibantu seorang pe
“O gitu? Kamu puasa Senin – Kamis?”“Begitulah?”“Buat apa? Buat supaya sukses bisnis?”“Bukan.”“Buat dapet jodoh?”“Gak lah.”“Terus? Tujuannya apa?”“Buat ngurusin badan.”Wajah innocent alias tak berdosa yang ditunjukan oleh James sukses membuat Terry tertawa. Walau tawa kecil bagi James ini langkah bagus. Hati Terry yang gembira merupakan pintu masuk untuk diskusi yang sebentar lagi dilakukan akan berjalan kondusif dan hangat. Ia masuk ke dalam gerai, mengambil kopi, biskuit, kue, serta menyelesaikan pembayaran dan menemui Terry kembali di tempatnya semula.“Nih, silahkan nikmati,” katanya sembari mulai meletakkan roti dalam bungkusan plastik beserta kopi dalam kemasan botol plastik mungil ke depan Terry.Saat belum lagi menaruh semua, mendadak dari kanton