Share

Episode 4

"Rupanya menyedihkan sekali tempat tinggalmu." Aku berbalik pada si setan ini dan memberi tatapan membunuh. Yeah, hidupku dan dirinya memang jauh seperti ujung langit dan kerak neraka. Anggap saja Edmund yang berada di neraka. 

"Berhenti bicara, Tuan!" 

Edmund terkekeh. Sial! Bisa-bisanya aku terdiam karena melihat ketampanannya, dia sedang tidak pakain formal sekarang. Hanya kaos polo berwarna putih topi berwarna putih dan celana training abu-abu.  Bahkan penampilannya biasa saja dia tetap terlihat berkelas bukan sepertiku yang mau di-make over bagaimana pun tetap seperti gembel. 

Edmund memaksa diriku untuk tinggal di penthouse miliknya. Dengan alasan agar aku tetap menjadi budaknya 24 jam, bahkan 25 jam. Bayangkan bagaimana neraka seperti apa yang aku jalani. 

Dia memasukan satu tangannya dalam saku. Jika boleh jujur sejak tadi aku terpesona dengan ketampanan Edmund. Not gonna lie dia adalah salah satu laki-laki paling tampan yang pernah kutemui. Dia seperti kembaran Ashton Kutcher. Kenapa dunia tidak pernah adil? Aku paling suka saat melihat seluruh rambutnya berantakan begitu menggoda imanku yang hanya sebesar biji jagung. 

Kulihat tangannya yang putih dengan banyak bulu dan urat-urat jari yang menonjol. Oh otakmu, Em, bahkan aku membayangkan benda lain yang berurat dan panjang. Emerald mesum! 

"Sudah puas menatapiku, Nona?" Aku langsung menganga, sial. Aku tidak sadar apa yang kulakukan. Kenapa kau selalu bertingkah bodoh, Em? 

Aku langsung masuk ke dalam. Sebenarnya Edmund baik hati untuk membantuku berkemas. Tidak terlalu banyak barang hanya pakaianku dan beberapa alat masak walau aku tidak membutuhkan itu semua asal pakaianku aman. Aku bisa menghemat biaya makan dan sewa apartemen dengan ini aku bisa membayar utang dam terbebas iblis ini. Tapi, aku mendapatkan gaji darinya, dan kembali pada dirinya, benar, sepertinya aku memang ditakdirkan untuk menjadi budaknya saja. 

"Apa yang ingin kau kemas?" 

"Baju-bajuku, Tuan." 

"Buang saja baju-baju busuk itu. Nanti aku menyuruh orang untuk membelikan untukmu." 

"Dan aku semakin banyak utang?" Aku menyindirnya, Edmund hanya mengedihkan bahunya cuek. Sok keren, walau dia memang begitu keren. 

"Aku memang berencana untuk menjadikanmu budakku selamanya, kau gadis bodoh, ceroboh, dan suka berontak." Aku langsung menunjukkan jari tengahku. 

Aku menyeret koper berwarna merah dan memasukan semua pakaianku ke dalam. Jika boleh jujur aku jarang mengurus semua pakaian ini jadi terlihat tidak terurus dan seperti pakaian tak layak pakai. Yeah, I was a mess. 

Satu koper selesai, rupanya aku harus memasukan juga sepatu dan tas dalam koper yang berbeda. Edmund hanya berdiri dan memperhatikan apartemen sempit sewaanku. 

"Jadilah orang kaya, biar kau tak kesusahan dan tidak berbuat kriminal. Orang-orang miskin lebih berpeluang besar untuk melakukan kejatahan, mencopet, merampok, mabuk-mabuk di jalanan tak jelas, membawa senjata api tanpa tujuan." 

"Bahkan orang kaya lebih kriminal, lihatlah para mafia." 

"Mereka main cantik, tidak akan ketahuan dan rapi. Orang miskin itu sangat sembrono." Aku tetap memasukan seluruh kebutuhan dalam koper dan sepertinya butuh 3 koper untuk ini. 

"Nikahin aku dan aku tidak akan miskin." 

"Bekerja untukku dulu 100 tahun dan aku akan menikahimu." Aku memandang Edmund yang duduk di sofa usang tempat aku biasa bermalas-malasan nonton Netflix sambil makan popcorn dengan membuang sampah sembarangan. Harus kuakui aku adalah gadis yang jorok, tapi sekarang tidak lagi. Rumah Edmund tidak mengizinkan untuk melakukan kriminal itu. 

"Dan aku sudah jadi fosil." Edmund terkekeh lagi sambil memainkan rambutnya ke belakang. Aku ingin sekali merasakan rambutnya yang tebal apakah rambut itu halus dan wangi? 

"Ketampananku memang tidak perlu diragukan." Aku memutar bola mataku. Kupikir dia orang yang kaku, serius dan tak tahu bercanda. Tapi dia adalah paket komplit orang paling menyebalkan yang pernah kutemui dalam hidupku. 

"Sudah siap, Tuan." 

Edmund langsung berjalan keluar. Tidak adakah niat untuk membantuku? Padahal dia tahu aku sudah menyiapkan tiga koper, aku speechless, dia sering berbuat sesuka hatinya. Memang orang kaya selalu bersikap arrogant. 

"Tuan, Anda tidak mau membantu saya? Bawalah satu koper milikku." 

"Aku bukan budakmu!" putusnya dan berlalu pergi. Aku menghentakkan kaki karena kesal tapi tetap menyeret koper hitam dan merah itu keluar, dia tidak membantu sama sekali. Sadarlah, Em. Dia itu beda level dia memang tak pantas kau suruh! Aku mengurat dadaku, padahal dia yang menyuruhku untuk berpindah. 

Dengan wajah jelek aku tetap menyeret koper itu menyusul Edmund yang sudah hilang, berkali-kali menahan kesal tapi aku bisa apa. Ingat, ini semua barangmu, Em. 

Sampai di mobil Edmund sudah duduk dengan tenang dan bermain ponselnya

"Tuan, buka pintu belakang aku mau meletakan koper." Edmund hanya diam dan melihatku. Dia membukanya dan aku memasukan ke dalam bagasi. Aku harus kembali dan mengambil satu koper yang tersisa. Sebenarnya masa sewa apartemen ini masih ada, jadi aku tak perlu memutuskan terlebih dahulu. Ini adalah koper paling besar, semoga aku tidak diusir agar tidak pusing memikirkan bagaimana pindah-pindah nanti. Barang-barang yang lain masih tertinggal di apartemen. Tapi boss arrogant itu bersikap seenaknya. 

"Kau memang lelet sekali seperti cacing." Edmund langsung merebut koper itu, awalnya kesal tapi melihat tangan besar itu menggengam koper dan melihat urat-urat jari yang menonjol aku tersenyum tanpa sadar. 

Emerald gila! 

💰💰💰💰💰💰💰💰💰💰💰💰💰💰

"Apa saja kelebihanmu selain ceroboh?" tanya Edmund tanpa dosa sambil bermain ponselnya. Dia menunggu aku masak, dia ingin makan malam di rumah dan menyuruh aku masak. Keahlianku adalah membuat sandwich selain itu aku belum pernah mencoba buat menu yang lain. 

Malam ini aku mencoba membuat pizza, aku sudah melihat resep di internet dan sepertinya tidak terlalu sulit. Aku ingin membuat topping yang banyak di atas pizza biar kenyang. 

"Sepertinya aku akan mati kelaparan menunggu ini." 

"Tuan, aku bahkan belum selesai mengiris bawang bombay." 

"Masak yang lain juga." 

"Apa itu?" 

"Aku bisa memasak apa?" 

"Sandwich, Tuan." 

"Sudah jangan bicara." Aku langsung menancapkan pisau itu ke telenan dan mengiris dengan kuat. Mengindikasikan aku marah dan kesal. Jika aku seorang psikopat berdarah dingin memotong lidah Edmund hal pertama yang kulakukan, dia sangat menyebalkan dan dia berbicara tanpa peduli perasaan orang lain. 

Setengah jam pizza itu jadi, bentuknya cantik walau aku tidak bisa memastikan rasanya. Aku takut tidak sama dengan lidah Edmund yang suka mencicipi makanan mahal aneh yang harganya bikin menangis. 

"Tuan, sepertinya mac n cheese kedengarannya tidak buruk, apa perlu ditambah?" 

"Ya." Edmund menjawab dengan nada bosan. Mungkin dia muak menunggu lama hanya untuk makan malam. Padahal dia punya maid, yang bisa memasak cepat dalam lima menit. Memang dasarnya dia dendam padaku dan senang sekali menyiksaku. Dia ingin aku cepat mati muda. 

Hampir satu jam aku menyiapkan semuanya dan sepertinya Edmund sudah kehilangan selera makan. 

"Buatkan aku kopi saja." Aku tersenyum paksa dan kembali ke belakang sambil membuatkan kopi untuk Tuan Muda terhormat. 

Aku baru teringat jika Edmund belum pernah merasakan kopi yang aku buat kemarin, bayangkan aku buat kopi dua kali dan semuanya tidak ada disentuhnya. Sepertinya apa yang aku lakukan tidak berharga di matanya. Aku menarik napas panjang, sabar, Em. Jika kamu orang kaya kamu juga akan bertingkah seperti itu. 

"Ini, Tuan." Edmund melihat kopi dan menatapku juga. Ada yang salah dengan penampilanku? Aku hanya memakai hoodie berwarna pink dan leggings panjang hitam. 

Edmund menyesap kopi itu. Aku menunggu jika ada koment jelek yang keluar dari mulutnya. Dia malah mentapku dari ujung gelas. 

"Apa yang kau lakukan?" 

"Bagaiamana kopi buatanku?" 

"Biasa saja." Aku mencibir kesal. Menunggu pujian dari Edmund? Sama seperti kamu kamu menunggu orang mati bangkit dari kubur. 

"Mari makan, Tuan." 

"Kau makan saja. Kau sepertinya suka makan seperti biri-biri." 

"Aku seperti domba kecil lucu yang mengemaskan." Tak perlu menunggu lama. Aku langsung melahap pizza itu. 

Edmund sekarang memakai kaca mata dan memeriksa pekerjaan di tab miliknya. Penampilannya yang sederhana seperti ini membuat dia semakin tampan berkali-kali lipat. Apa aku harus secantik Miranda Kerr agar dlihat laki-laki ini? Oh astaga, Em, racun apa yang sedang meracuni otakmu? 

"Tuan, aku sebenarnya sanggup menghabiskan ini semua, tapi sebagai seorang pelayan yang baik hati dan tidak sombong aku akan meninggalkan untukmu. Kau bisa makan nanti dengan memanaskan di microwave." Edmund melihatku sekilas dan kembali fokus pada pekerjannya. Atau dia sedang main game? 

Kenyang sekali, aku membereskan semuanya, mencuci piring dan sepertinya aku bisa pamit tidur. Besok adalah penyiksaan yang lain telah menanti. 

Kamu harus kuat, Em. 

💰💰💰💰💰💰💰💰💰💰💰💰💰💰

"Kau tidur seperti sapi saja." tegur Edmund. Padahal aku sedang bermimpi berada dalam kerajaan Arandelle ada pangeran Christof yang membantuku bebas dari cengkraman Edmund yang suka sekali menyiksaku. 

Aku semakin merapatkan selimut dan menutup seluruh tubuhku. 

"Tuan, aku mengantuk sekali. Tunggu aku selesai menyelesaikan misi bersama Christopher dan aku kembali setelah diantar Olaf." 

"Akkkkhhhh!" Aku berteriak saat selimut ditarik dan Edmund menarik tubuhku hingga jatuh ke bawah lantai. Sialan! Dasar orang kaya sombong! 

"Oh sial! Bokongku!" Aku mengelus-elus bokongku yang mendarat di lantai dengan tak mulus. 

"Temankan aku makan!" perintah Edmund. 

"Jam berapa sekarang, Tuan?" 

"Waktu untuk tidak banyak bertanya. Cepat!" 

Aku membuang selimut itu ke atas tempat tidur, menghidupkan lampu dan melihat jam. Pukul 02.46. 

Edmund sepertinya ingin membuatku mati muda, jika dipaksa untuk bangun seperti ini setiap hari. Aku menarik napas panjang. Demi utang sialan itu, jika tidak aku akan tidur dengan tenang bersama selimut busukku. 

Aku menghidupkan lampu dan menghangatkan makanan tadi. Hari-hariku akan diisi dengan hal sial seperti ini. 

Sepertinya Edmund mengantuk tapi perutnya kelaparan, siapa suruh tadi aku menyuruh makan tapi tidak mau.

"Aku sudah kenyang, Tuan. Jadi Tuan makan sendiri saja." 

"Siapa yang menyuruhmu untuk makan bersama?" tanya Edmund mengenalkan. Aku langsung menghentak kaki dengan kesal dan kembali ke kamar. 

"Siapa yang menyuruhmu pergi?" Aku berbalik, rasa untuk menelan orang begitu kuat. Edmund sialan! 

"Kau tidak mengajakku makan!" 

"Duduk sini." Aku menghempaskan bokongku dengan kesal dan melihat Edmund makan dengan lahap. Siapa suruh tadi diajak makan dia tak mau?

Aku hanya minum air putih berkali-kali untuk menghalau rasa ngantuk. Edmund cepat sekali makannya dan makanan itu selesai. Dia minum anggur dan air putih, aku membereskan semuanya dan melihat Edmund sudah tidak ada di sana. 

"Dasar tak punya perasaan!" 

Aku mematikan lampu dan kembali ke kamarku. Dan aku melihat Edmund dengan santai berbaring di sana, di atas ranjangku. Sopan sekali Tuan ini? 

"Maaf, Tuan. Anda punya kamar sendiri, jadi silahkan tidur di kamar Anda." Aku berdiri di ujung ranjang dan menunggu Edmund turun dari ranjang. 

"Ini adalah kamarku. Kau tak punya apa-apa." jawab Edmund. Sial! Dia benar juga. 

"Baiklah, aku tidur di lantai saja." Aku menarik selimut dan bantal dan tidur di lantai. 

Aku membentangkan selimut di lantai dan berbaring di lantai. Sial! Badanku sakit semua. Aku menutupi tubuhku dengan selimut itu. 

"Kenapa kau menendangku?" Aku bertanya dengan galak saat Edmund manusia sialan itu dengan tak sopan menendang tubuhku. Menangnya dia pikir aku bola? 

"Tidur sana." 

Aku menutupi wajahku lagi dengan selimut. 

"Kyaaaaaa! Edmund sialan!" Aku berteriak saat dia mengangkat tubuhku dan langsung mencampakkan ke atas tempat tidur. Dia memang sengaja biar aku cepat mati! 

"Tidur, berisik sekali kau." Edmund bergabung ke atas tempat tidur dan memelukku. Aku bahkan tak bisa bernapas sekarang. 

"Tuan, aku tak bisa bernapas." 

"Udah tidur." 

"Tuan, kau memelukku begitu erat. Aku bernapas, Tuan." Edmund melonggarkan pelukannya. 

"Tuan, aku tidur di lantai saja." 

"Berisik sekali kau!" 

"Tuan, saya risih tidur bersama, Tuan." 

"Bicara sekali lagi dan aku akan menciumu!" ancam Edmund. 

"Tuan—," 

Mulutku langsung disumpal. Aku hanya bisa melototkan mataku. Dia hanya berusaha untuk menutup mulutku tapi aku ingin dia menciumku. Akhirnya aku menjilati bibirnya dan Edmund memasukkan lidahnya dalam lidahku. Anggur yang tadi ia minum masih terasa. 

Aku menutup mataku saat dia menciumku dalam. Merasa dejavu, aku seperti pernah merasakan ini sebelumnya. 

Aku suka ciuman Edmund. Bisakah aku merasakan ciuman ini untuk waktu yang lama? Bisakah dia terus menciumku? 

💰💰💰💰💰💰💰💰💰💰💰💰💰💰

Maafkan kalau part ini aneh. Hanya interaksi antara Edmund dan Emerald yang bisa membuat kalian terhibur. 

Kuharap kalian suka dengan Edmund dan Emerald. 

Terima kasih telah membaca. 

See you💋💋💋💋💋. 

Jangan bosan 🥺🥺🥺🥺. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status