Share

Bab 4. Wajah Aneh

Aku nyengir dan meletakkan sapu yang gagangnya telah basah oleh keringat di tanganku.

"Maaf Dok, tadi saya lihat pintu ruang tamu terbuka dan Dokter mempersilahkan saya masuk. Jadi saya masuk. Uhm, dan saya minta maaf kalau saya salah paham tentang sapu menyapu. Saya kira ini Dokter Marzuki perlu bantuan saya, ternyata Dokter Marzuki sedang menelepon," sahutku entah dengan wajah semerah apa. Mungkin tomat saja sekarang kalah oleh merahnya wajahku.

Dokter Marzuki tersenyum. 'Allahuakbar. Apakah pabrik gula pindah ke sini? Kenapa tuh senyum manis banget.'

Sekelebat ide tiba-tiba muncul di kepalaku.

"Dok, maaf kalau saya kepo. Apa Papanya Dokter punya pabrik gula?" tanyaku menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal.

Dokter Marzuki menatapku dan Rama bergantian. "Nggak punya kok Mbak. Papa saya juga dokter. Dokter spesialis anak. Ada apa?" tanya dokter Marzuki bingung.

Saat aku hendak membuka mulut, Rama menyela. "Mbak, jangan aneh-aneh deh. Segera berikan guraminya lalu pulang."

"Sebentar, tapi saya penasaran kenapa tiba-tiba Mbak kamu tadi bilang orang tua saya punya pabrik gula. Coba Mbak jawab dulu, kenapa Mbak mendadak bertanya seperti itu?"

'Aduh, niat bercanda kok jadi serius gini?'

"Uhm, karena dokter Marzuki manisnya kebangetan sampai saya takut terkena diabetes," jawabku dengan menunduk.

Dan tawa Rama pun meledak. "Hahaha, dokter Marzuki pasti nyesel kan tadi tanya ke mbak Layla. Memang dia suka bercanda. Jangan dimasukkan kedalam hati, ya Dok!"

Dokter Marzuki tersenyum lalu menghela nafas." Saya ada pertanyaan juga Mbak. Mbak siapa tadi namanya?" dokter Marzuki bertanya balik.

"Layla, Dokter," sahutku berdebar.

"Kenapa rumah sakit hanya menerima pasien?"

"Kenapa ya?" gumamku menggaruk pipi lalu meminta bantuan pada Rama.

"Ya karena kalau orang sehat, nggak perlu ke rumah sakit, Dokter," jawabku ragu.

"Bukan. Karena kalau yang menerima kamu apa adanya, ya aku," jawab dokter Marzuki tersenyum simpul.

Doweng! Aku dan Rama sejenak berpandangan dan tertawa.

Argh! Fix, calon suami ini. Sudah ganteng, pinter, humoris lagi.

Dokter Marzuki tersenyum lagi. 'Tuh kan situ hobi senyum sih. Membuat hatiku bergoncang. Tahu nggak sih?'

"Jadi ada apa Mbak kok sore-sore datang ke sini?" tanya dokter Marzuki ramah setelah tawaku dan Rama mereda.

Aku segera teringat dengan si Gurami yang menjadi saksi bisu atas kekonyolan sikapku.

"Ini Dok, tadi ibu saya memasak gurami asem manis dan meminta saya untuk mengantarkannya ke sini. Kata Ibu, untuk makan malam Dokter Marzuki," sahutku sambil mengulurkan tupperware kepada dokter muda itu.

Terlihat mata dokter Marzuki berbinar. "Wah, Alhamdulillah. Kalau begitu tunggu sebentar ya. Akan saya ganti dulu tupperwarenya dan saya cuci biar bisa langsung dibawa pulang."

Dokter Marzuki beranjak dari duduknya.

"Eh, jangan Dok. Dikembalikan kapan-kapan saja. Tidak apa-apa," sahutku cepat. Ya kan bisa jadi alasan untuk kesini lagi. Kalau segera dikembalikan, nggak bisa kesini lagi dong.

Rama berdehem seolah mengerti jalan pikiranku.

"Mbak, apa nggak khawatir kalau tupperware ibu tidak kembali tepat waktu? Nanti uang saku Mbak bisa dipotong loh."

Aku menghela nafas. 'Nggak apa-apa dipotong uang sakuku, asal bisa kesini lagi,' sahutku. Tentu saja di dalam hati.

"Wah, kalau begitu saya harus segera mengembalikannya ya. Tunggu di sini sebentar."

Dokter Marzuki lalu beranjak meninggalkan ruang tamu menuju ke dalam rumahnya sambil membawa tupperware milik ibu.

"Mbak, jangan malu-maluin lah. Kalau bercanda itu mbok ada batasnya. Mbak Layla ini, duh," protes Rama.

"Iya, iya. Maaf deh. Kirain biar lebih akrab gitu, Dek. Dan mbak kira juga gak berlebihan deh." Aku membela diri.

"Ya kan itu menurut Mbak. Kalau menurut Dokter Marzuki berlebihan dan membuat beliau ilfeel, gimana Mbak?"

Waduh, bener juga ucapan Rama. Jangan sampai aku terlalu lebay dan terlihat ganjen di mata dokter Marzuki. Bisa-bisa aku terlihat aneh.

Aku menghela nafas dan bersamaan dengan itu dokter Marzuki keluar dari ruang tengah dengan menyibak tirainya.

"Ini tupperware nya sudah bersih karena sudah saya cuci. Sampaikan salam terimakasih pada ibu kamu."

Dokter Marzuki duduk di hadapanku dan Rama serta mengulurkan tupperware dan meletakkannya di atas meja kayu di hadapan kami.

"Hm, iya. Nanti saya sampaikan pada ibu saya, Dok. Oh iya, untuk besok gimana cara dokter Marzuki makan? Apa perlu diantar ikan lagi?" tanyaku nyengir.

"Emang Mbak bisa masak? Mbak aja gak pernah bantuin ibu masak kan?"

tanya Rama yang langsung mendapat pelototan maut dariku.

"Bisalah. Mbak jago masak kok. Masak air sama masak mie," jawabku nyengir.

Dokter Marzuki terlihat hanya menggelengkan kepala. Mungkin baginya aku lucu dan menggemaskan. Yah, memang benar sih.

"Mbak, ayo pulang. Aku harus belajar untuk besok," terdengar suara Rama membuyarkan lamunanku.

Aku mengangguk. "Dok, saya pulang dulu ya. Sekali lagi terimakasih karena tadi sudah menolong saya saat jatuh dari pohon mangga depan rumah," pamitku seraya berdiri.

Rama mengerutkan dahi. Terlihat sekali kekepoannya sekarang mencapai level nasional.

Dokter Marzuki tersenyum. "Sama-sama. Lain kali hati-hati kalau mau manjat pohon. Banyak ulat. Selain itu jatuh dari pohon tidak seindah jatuh cinta."

Aku dan Rama berpandangan dan tertawa.

"Ya sudah kami pulang dulu, Dok," ujar Rama menyalami Dokter Marzuki.

***

Aku segera ngibrit pulang setelah keluar dari rumah dokter Marzuki.

"Mbak, maksudnya Dokter Marzuki tadi yang menolong Mbak jatuh dari pohon mangga, apaan ya?"

"Kepo aja lu jadi adik!"

"Heh, gimana nggak kepo! Mbak itu selalu aneh dengan tingkah absurd. Ayo segera cerita ke aku. Siapa tahu aku bisa memberikan saran."

Aku menghela nafas. "Baiklah. Awas saja kalau ngasih saran nggak bermutu," ancam ku lalu menceritakan aib yang mengakibatkan aku harus naik pohon mangga dan nyaris jatuh ke tanah.

Rama tertawa terbahak. "Ada-ada saja. Ibu dulu nyidam apa sih sampai mbak beda sendiri?" tanya Rama saat tanpa terasa kami sampai di depan rumah.

Aku melepas sandal. "Enggak tahu. Lagian menurut Mbak, Mbak gak aneh kok. Cuma unik dan spesial," sahutku tertawa.

"Pede amat sih Mbak."

Rama menyedekapkan kedua tangannya di depan dada.

"Iyalah. Jadi manusia itu harus pede. Biar bisa selalu eksis," sahutku sambil masuk kedalam rumah.

"Eh, tunggu. Kamu tadi lihat nggak sih wajahnya Dokter Marzuki aneh?" tanyaku sambil menghentikan langkah di tengah pintu depan.

"Aneh gimana?" tanya Rama sambil mendekat.

"Ya anehlah. Coba tadi kamu perhatikan wajah dokter Marzuki baik-baik."

"Sudah, tapi gak ada yang aneh."

"Ada. Kan wajahnya jelas banget menggambarkan sebagai wajah calon imam buat Mbak di masa depan," jawabku seraya berlari ke dalam rumah karena Rama telah bersiap untuk melemparkan rambutan yang kebetulan teronggok di teras rumah ke arahku.

Next?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status