"Ye, gak kena!" Aku menjulurkan lidah pada adik lelakiku itu.
Rambutan yang dilemparkan adikku menggelinding dan melewati kaki.Dan saat aku membalikkan badan, di depanku sudah berdiri bapak sambil berkacak pinggang."Anak perempuan kok ketawa nya seperti Mak lampir. Siapa tadi yang wajahnya aneh dan ternyata calon imam untukku?"Astaghfirullah, bapak! Sejak kapan berdiri di sini?Aku hanya bisa nyengir penuh perasaan. Rama tertawa terbahak. "Mbak Layla ini Pak, ngelawak. Berani bener ngajak dokter Marzuki bercanda."Rama melaporkan hasilnya memata-matai kelakuanku. Ugh, dasar tukang ngadu."Kamu naksir sama dokter Marzuki?" tanya bapak mendekat.Aduh, mampus. Aku jawab apa nih. Dijawab iya, kok rasanya keterlaluan banget. Tapi dijawab enggak, rasanya kok mubadzir. Eh."Eng ... Ehh ...." Kurasa aku mendadak menjadi gagap."Nggak usah ah, eh, uh. Jawab jujur, La!"Aku berusaha menormalkan detak jantung, menyeimbangkan antara hidung yang ingin kembang kempis dan bibir yang ingin nyengir. Ada dua kemungkinan jika aku ketahuan naksir dokter Marzuki. Pertama diomelin dengan kekuatan tingkat nasional dan kecepatan cahaya. Yang kedua, disahkan, alias tutup buku buka terop. Uhuy!"Enggak, Pak. Cuma ngefans saja. Soalnya dia ganteng, pinter, dan humoris," jawabku sekenanya."Nah, gitu pinter. Bocah masih bau ompol saja kok main cinta-cintaan," sahut bapak sambil ngeloyor pergi masuk kembali ke ruang makan dan segera kuikuti karena aroma sambal terasi dan gurami goreng yang melambai-lambai. Sementara Rama, seperti biasa langsung masuk ke dalam kamarnya."Pak, Layla boleh kan nanti ikut ke balai desa?" tanyaku sambil mencolek sambal di cobek lalu mendecapkannya di lidah. Hm, Mamamia pedestos!"Boleh saja. Nggak apa-apa. Biar nggak ngelamun saja dalam kamar," sahut ibu sambil meletakkan semangkuk besar sayur kelor."Mbak, aduh! Tolong aku! Sepertinya klilipan di mata. Tiupin Mbak!" Rama datang dari arah kamarnya sambil mengucek mata kanannya dan mendekat padaku."Sini Dek. Kok bisa klilipan sih?!"Aku memegang kelopak atas dan bawah mata kanannya perlahan, lalu meniupnya perlahan."Eh, itu! Keliatan bulu matanya masuk ke dalam kelopak mata bawah. Coba kedip-kedip biar bulu matanya minggir, jadi Mbak gampang ngambilnya!"Rama melakukan apa yang kusuruh. Dan eureka! Aku berhasil mendapatkan bulu yang tadi menganggu mata Rama."Nih, bulu matanya. Ada yang kangen nih kalau bulu mata jatuh," sahutku sambil memberikan bulu mata ke telunjuk tangan Rama."Makasih, Mbak," kata Rama. Aku tersenyum bangga. Namun tak lama kemudian, "Aduh Mbak! Mataku kok pedes-pedes perih ya. Seperti baru saja kena sambel."Aku baru teringat sesuatu. Astaga. Tadi setelah incip sambel terasi ibu, aku belum cuci tangan!"Eh, itu, uhm, mungkin hanya perasaan kamu saja, Ram," sahutku ngeles."Nggak mungkin. Ish, coba lihat tangannya!"Rama meraih tanganku dan menciumnya. "Ya Tuhan, mbak! Ini bau terasi lho! Mbak pasti baru saja makan sambal dan belum sempat cuci tangan. Ya kan?" tanya Rama mendelik."Iya sih. Tapi dikit kok. Sumpah dikit banget sambelnya!" Aku membela diri."Ish, jorok!" Rama berseru dan bersiap mencubitku.Aku tertawa dan berlari menghindar. "Sori, maaf, ampun! Nggak sengaja, Ram!"Aku dan Rama terus berlari di sekitar ruang makan sampai kudengar ibu bergumam, "kayak nya memang ibu salah ngidam waktu hamil. Layla beda banget sama kakak nya yang sedang kuliah di kota.""Betul, lihat tuh, kejar-kejaran sama melet-melet. Astaghfirullah, Bu."***Suasana balai desa begitu ramai. Sampai banyak pedagang dadakan yang berjubel di luar balai desa. Persis seperti orang hajatan. Ada penjual balon, penjual gorengan, minuman, dan penjual cilok.Aku berangkat dengan bapak dan ibu. Sementara Rama yang masih marah karena tragedi sambel, memutuskan untuk berangkat bersama teman-teman sekolahnya.Sesampainya di sana, aku duduk di baris kedua dari belakang. Rupanya antusiasme warga desa terhadap kedatangan dokter Marzuki sangat tinggi.Aku melirik seorang perempuan berkuncir kuda yang kutilang alias kurus tinggi langsing di barisan terdepan. Si Juleha. Tapi pacarnya, si Rangga, tidak terlihat.Ah, jadi ingat lagi kang gosting. Pedekatenya sama aku, jadiannya sama Leha. Semprul memang. Ini gara-gara Rangga kirim w******p pakai jari, tapi aku balas pakai hati.Tapi sekarang, I don't care anymore. Sudah ada dokter penawar sakit galau. Eaaakkk!"Tes ... Tes ... Sayur kates! 1,2,3. Dicoba." Elah, bapak. Bikin malu. Selaku sekretaris desa, seharusnya lebih keren gitu kalau ngetes microphone. Nggak usah bawa-bawa sayur kates segala.Acara pun dimulai. Para tamu kehormatan pun telah menyampaikan sambutannya. Dan kini giliran sosok tegap berjas putih itu berdiri di depan warga desa dan memperkenalkan diri."Nama saya Marzuki Ibrahim. Saya lahir 30 tahun yang lalu. Dan kuliah di universitas Abdi Famili. Sekarang saya di sini karena diterima sebagai pegawai negeri sipil dan mulai besok saya dinas di puskesmas depan balai desa. Jika ada keluhan, silakan memeriksakan diri ke puskesmas. Saya tunggu di sana. Jadi apa ada pertanyaan untuk saya?" tanya dokter Marzuki sambil tersenyum.Juleha mengangkat tangan. "Saya, Dok." Semua mata memandang ke arah siswi yang sekelas denganku tersebut."Ya silahkan Mbak. Sebutkan nama dulu ya?" sahut dokter Marzuki ramah.Juleha berdehem-dehem. " Nama saya Natasya wilona kalau lagi cantik. Terus kalau lagi cantik banget, panggilannya Juleha."Terdengar sebagian gemuruh warga yang tertawa.Juleha melihat sekelilingnya dengan tersipu, lalu melanjutkan kalimatnya. "Dok, boleh saya tahu status Dokter sekarang?" tanya Juleha malu-malu.Mendadak hatiku jadi geram. 'Apa-apaan sih Juleha itu. Dia kan sudah punya pacar si Rangga. Kenapa pula dia genit pada Dokter Marzuki?' gumamku dalam hati.Dokter Marzuki tertawa. Sebagian warga desa terdengar gumamannya. Sebagian lagi terdengar menyoraki.Mendadak aku seolah mendengar lagu band Gigi. "Panas-panas hati ini. Pusing-pusing pala ini!""Baik. Terimakasih atas pertanyaannya. Sebelum saya jawab pertanyaan mbak Juleha atau mbak Natasya, boleh saya tahu sekarang Mbaknya umur dan kelas berapa?" tanya dokter Marzuki ramah.Hidung Juleha terlihat kembang kempis. "Saya usia 18 tahun. Masih kelas 3 SMA, Dok," jawab Juleha penuh percaya diri."Baiklah. Mbak Juleha, saya mencoba menjawab pertanyaannya ya. Status saya untuk saat ini adalah single parent dengan satu orang putri yang begitu cantik. Itu yang sedang duduk dan asyik makan es krim," sahut dokter Marzuki seraya tersenyum dan menatap ke arah anaknya yang sedang digendong oleh istri kepala desa.Juleha dan beberapa gadis lain yang hadir di balai desa ini terlihat bersemangat. Seperti melihat kang Sayur yang sedang membagi-bagikan dagangannya gratis."Baiklah, ada lagi yang ingin ditanyakan?" tanya dokter Marzuki ramah.Beberapa warga angkat tangan, dan tak kusangka tanganku ikut terangkat, padahal aku tak merasa ingin bertanya."Saya, Dok!" Suara Rama! Aku terkejut dan spontan menoleh ke belakang. Ah, si Rama. Asem betul. Dia mengacungkan tanganku tanpa persetujuanku ditambah berseru menawarkan diri.Rama menyeringai dan aku segera menurunkan tanganku. Tapi terlambat. Dokter Marzuki telanjur melihatku yang mengangkat tangan."Baiklah, Mbak yang pakai jilbab warna ungu muda, ada yang ingin ditanyakan pada saya?" tanyanya ramah.'Aduh, Gimana nih?!'Aku menelan ludah dan berdiri. Sementara bapak yang ada di depan selaku moderator mendelik melihatku, seolah anaknya ini bisa kentut sewaktu-waktu."Anu ... Dok, itu ...,"Next?Aku menelan ludah dan berdiri. Sementara bapak yang ada di depan selaku moderator mendelik melihatku, seolah anaknya ini bisa kentut sewaktu-waktu."Anu ... Dok, itu ...,""Sebutkan nama dulu, Mbak," tukas dokter Marzuki tersenyum."Uhm, baik."Aku mendelik pada Rama yang cengengesan di belakangku. 'Awas saja sampai rumah kamu nanti!'"Nama saya Layla. Tapi bukan Layla dan Majnun," tukasku tersenyum malu. 'Tapi Layla dan Marzuki,' lanjutku dalam hati."Ya Mbak Layla. Silakan pertanyaannya?" "Dokter, sebenarnya saya mau nanya. Saya itu kadang suka pusing kalau enggak sarapan. Itu kenapa ya Dok?" tanyaku akhirnya.Dokter muda itu tersenyum. "Baik, Mbaknya suka pusing? Kalau pusingnya suka nggak sama Mbak? Kalau pusingnya nggak suka sama Mbak, mending Mbak tinggalin deh. Karena tandanya cinta Mbak bertepuk sebelah tangan."Geerrrr!Terdengar gemuruh dan beberapa tawa di penjuru balai desa ini. Dokter Marzuki tersenyum lagi. Kan, hobi kok tersenyum sih. Kan jadi bikin gede rasa!"Bercan
Acara perkenalan dokter Marzuki telah usai, dan seluruh perangkat desa beserta seluruh keluarganya diundang dalam rangka makan bersama dengan dokter Marzuki tersebut. "Mbak, kamu ikut makan bersama dengan dokter Marzuki gak?" sebuah tepukan membuatku menoleh. Rama."Ikutlah. Kan aku lapar. Kamu sendiri ikut nggak?" tanyaku pada Rama. "Ikut juga dong. Rejeki nggak boleh ditolak. Pamali." Rama cengengesan. "Ya sudah. Ayo ke ruang tengah balai desa," ajakku. "Ayok. Tapi bukankah Mbak tadi sudah makan sebelum berangkat ke balai desa?" tanya Rama. "Ye biarin. Kan lapar lagi, Ram. Masak sih nggak boleh makan lagi?!" tanyaku sewot. "Mbak lapar apa mau pedekate sama dokter Marzuki?" tanya Rama penuh selidik. Aku melempar tatapan maut padanya. "Emang apa urusannya sama anak kecil kayak kamu?!" tanyaku sewot. "Jangan panggil aku anak kecil, Mbak La. Namaku Rama!" Seru Rama sambil ngeloyor mendahuluiku ke ruang tengah balai desa. "Dasar aneh, Rama. Kalau enggak belajar, ya pasti nonton
Juleha dengan wajah yang pias meletakkan piringnya di bawah kursi. Lalu dia segera berdiri dan menuju ke arah meja dan bergegas mengambil segelas teh. "Wah, Alhamdulillah ya. Bukan aku yang ambil lengkuasnya tadi. Pasti rasanya manis-manis gitu," sahutku penuh kemenangan saat Juleha melewati tempat dudukku.Juleha mendengus sebal dan sambil menghentakkan kakinya kembali ke tempat duduknya semula. ***"La, mau kemana? Main kabur saja? Kalau mau makan, ya harus mau beresin dong!" Tegur suara ibu saat aku ketahuan tengah mengendap-endap untuk pulang. "Ah, ibu. Kan ada ibu-ibu yang lain. Lagian itu Juleha dan Ayu kok boleh pulang?! Layla sudah ngantuk, Bu!" Protesku pada ibu saat melihat Juleha dan Ayu yang berboncengan motor sedang menjulurkan lidah padaku. "Mereka tadi sudah bantuin masak ibu-ibu. Sekarang kamu yang bantuin ibu-ibu beresin bekas makan prasmanan kita. Ayo."Aku mendengus sebal saat dengan terpaksa aku mengikuti langkah ibu untuk mencuci piring dan mangkok yang kotor.
"Astaga, Kang. Maaf lupa. Saya gagal fokus. Duh, rasanya pingin nyemplung ke dandang ciloknya kang Mamat saja!""Wah, jangan lah Mbak. Masak cantik-cantik masuk ke dandang cilok. Entar jadi siomay raksasa, Mbak." sahut kang Mamat tertawa. Dokter Marzuki pun tak urung juga ikut tersenyum simpul. 'Astaga Layla. Bikin malu saja. Kenapa sih harus gagal fokus.'"La, sudah belum beli ciloknya? Ayo pulang." Untung Bapak segera menyelamatkanku dari situasi yang canggung banget. "Ya sudah, Dokter. Saya pulang dulu. Adik cantik, mbak pulang dulu ya," pamitku lalu setelah dokter Marzuki dan anaknya mengangguk, aku segera berbalik dan melangkahkan kaki menjauhi gerobak kang Mamat.Tapi langkahku tertahan saat karena terasa ada yang menarik tali tas selempangku."Dokter, tolong lepaskan tali tas saya," pintaku tanpa menoleh ke arah belakang. Duh, kok bisa sih dokter Marzuki sampai memegangi tasku. Apa dia masih ingin membicarakan sesuatu padaku atau memang tidak ingin berpisah dariku? Kepalaku
"Kenapa ngajak aku kesini?" tanyaku saat Rangga berhasil 'menyeretku' ke tengah lapangan.Rangga menatapku lama. "Kamu enggak pernah diajarkan pelajaran kurang-kurangan di kelas ya?" tanya Rangga.Rangga yang mempunyai tinggi 180 senti itu membuatku harus mendongak menatapnya karena tinggiku yang 158 senti."Hei kamu aneh. Salah makan? Atau kesurupan? Tiba-tiba tanya pelajaran matematika di lapangan basket? Ada apa sih?" tanyaku bingung. Rangga tersenyum. Dia manis. Ada lesung pipinya. Tapi entahlah, rasanya di hatiku sekarang sudah tertulis nama lain.Dulu aku memang sering memimpikannya menjadi kekasih. Tapi sekarang jelas berbeda. Rangga mau saltopun di hadapanku. I don't care anymore."Tinggal jawab saja apa susahnya sih?" tanya Rangga memandangiku.Aku mendengus sebal. Nggak penting banget. "Aku diajari seluruh pelajaran matematika. Termasuk kurang-kurangan. Ada apa sih?""Kamu jangan bohong La. Kamu bilang kamu diajari kurang-kurangan, tapi bagiku kamu tidak ada kurangnya tuh!
Ibu hanya bisa bengong melihatku yang sudah siap untuk memeriksakan diri ke puskesmas. "Cepet banget kamu La, siap-siapnya?!" tegur ibu.Aku hanya bisa nyengir. Mana bisa aku jujur dan terus terang kalau aku mengalami penyakit malarindu tropikangen? Karena kurasa obatnya cuma satu, yaitu Bodrex sun. Eh!"Iya Bu. Layla memang persiapannya kilat nggak pakai petir kan. Karena Layla ingin segera minum obat," sahutku sekenanya. Ibu menatap dengan penuh selidik. "Kamu kok aneh, biasanya paling enggak mau bau obat dan alergi dengar kata suntik. Kenapa sekarang semangat?""Layla cuma mau cepat sembuh Bu. Beneran deh. Ayo berangkat." Aku berlalu meninggalkan ibu yang masih kebingungan di kamarku. "La, tunggu Ibu. Mau pakai jilbab dulu!"***"Dokter, Layla ini tadi pingsan di kelas pas pelajaran matematika. Saya khawatir dia kena virus atau kuman semacam itu. Tolong periksa ya Dok?!" pinta ibu saat kami berdua masuk ke dalam ruang periksa. Dokter Marzuki yang sedang menulis di mejanya meng
Dokter Marzuki tersenyum pada Laila dan di sampingnya, Yasmin menatap Laila antara takut dan malu. "Dokter Marzuki?" "Iya. Mbak La."'Wah, kesempatan dan kesemutan nih,' bisik hati Laila riang. 'Tunggu, ini mimpi nggak sih kalau dokter Marzuki ke rumah?' Laila lalu mencubit lengannya dan tak lama kemudian dia mengelus lengannya karena merasa nyeri. 'Wah, nggak ada hujan, nggak ada panas, mendadak ada calon suami dan calon anak sambung bertamu nih,' batin Laila. Dia lalu mengarahkan pandangannya ke arah Yasmin. "Hai Yasmin cantik! Apa kabar nih? Masuk yuk ke rumah kakak?" tawar Laila mempersilakan anak dokter Marzuki untuk masuk ke dalam rumahnya. "Hm, iya mbak La, terimakasih ya sebelum nya dan maaf mengganggu. Tapi kami di sini saja. Cuma ingin bertanya dimana alun-alun di daerah sini. Soalnya ..,""Ada siapa, La?" terdengar suara dari belakang punggung Laila. Laila dan Marzuki menoleh ke arah suara itu. "Oh Pak dokter! Kenapa cuma berdiri saja di luar?" tanya Pak Jaka, ayah
"Apa tidak merepotkan dokter Marzuki kalau Laila ikut ke alun-alun?" tanya Pak Jaka menatap dengan tidak enak ke arah dokter Marzuki. Dokter Marzuki menggelengkan kepalanya. "Insyallah tidak. Justru nanti mbak Laila bisa menjadi guide saat saya dan Yasmin kuliner.""Kalau begitu saya ganti baju dulu ya, Dok."Laila melesat ke dalam kamar tanpa menunggu jawaban dari dokter Marzuki.Di depan kaca, Laila termangu. Dirinya memang termasuk bongsor dengan tulang bahu lebar. Bentuk dada dan pantat lebih subur dari anak seusianya. Jadi dia selalu menganggap bahwa badannya gemuk. "Ck, apa nggak ada baju yang jika dipakai bisa membuat lebih langsing seperti Lina blackping?" gumam Laila kesal. Akhirnya diraihnya baju lengan panjang dan celana kain hitam. Tak lupa jilbab warna navi menutup kepalanya. "Haduh, nggak punya bedak sama lipstik lagi. Udah baju gelap, wajah pucet, ck. Ini mau ke alun-alun apa mau takziyah. Duh Laila!" Laila menepuk jidatnya sendiri."Kamu jadi ikut dokter Marzuki, M