Share

Bab 5. Siapa yang Ingin Bertanya?

"Ye, gak kena!" Aku menjulurkan lidah pada adik lelakiku itu.

Rambutan yang dilemparkan adikku menggelinding dan melewati kaki.

Dan saat aku membalikkan badan, di depanku sudah berdiri bapak sambil berkacak pinggang.

"Anak perempuan kok ketawa nya seperti Mak lampir. Siapa tadi yang wajahnya aneh dan ternyata calon imam untukku?"

Astaghfirullah, bapak! Sejak kapan berdiri di sini?

Aku hanya bisa nyengir penuh perasaan. Rama tertawa terbahak. "Mbak Layla ini Pak, ngelawak. Berani bener ngajak dokter Marzuki bercanda."

Rama melaporkan hasilnya memata-matai kelakuanku. Ugh, dasar tukang ngadu.

"Kamu naksir sama dokter Marzuki?" tanya bapak mendekat.

Aduh, mampus. Aku jawab apa nih. Dijawab iya, kok rasanya keterlaluan banget. Tapi dijawab enggak, rasanya kok mubadzir. Eh.

"Eng ... Ehh ...." Kurasa aku mendadak menjadi gagap.

"Nggak usah ah, eh, uh. Jawab jujur, La!"

Aku berusaha menormalkan detak jantung, menyeimbangkan antara hidung yang ingin kembang kempis dan bibir yang ingin nyengir. Ada dua kemungkinan jika aku ketahuan naksir dokter Marzuki. Pertama diomelin dengan kekuatan tingkat nasional dan kecepatan cahaya. Yang kedua, disahkan, alias tutup buku buka terop. Uhuy!

"Enggak, Pak. Cuma ngefans saja. Soalnya dia ganteng, pinter, dan humoris," jawabku sekenanya.

"Nah, gitu pinter. Bocah masih bau ompol saja kok main cinta-cintaan," sahut bapak sambil ngeloyor pergi masuk kembali ke ruang makan dan segera kuikuti karena aroma sambal terasi dan gurami goreng yang melambai-lambai. Sementara Rama, seperti biasa langsung masuk ke dalam kamarnya.

"Pak, Layla boleh kan nanti ikut ke balai desa?" tanyaku sambil mencolek sambal di cobek lalu mendecapkannya di lidah. Hm, Mamamia pedestos!

"Boleh saja. Nggak apa-apa. Biar nggak ngelamun saja dalam kamar," sahut ibu sambil meletakkan semangkuk besar sayur kelor.

"Mbak, aduh! Tolong aku! Sepertinya klilipan di mata. Tiupin Mbak!" Rama datang dari arah kamarnya sambil mengucek mata kanannya dan mendekat padaku.

"Sini Dek. Kok bisa klilipan sih?!"

Aku memegang kelopak atas dan bawah mata kanannya perlahan, lalu meniupnya perlahan.

"Eh, itu! Keliatan bulu matanya masuk ke dalam kelopak mata bawah. Coba kedip-kedip biar bulu matanya minggir, jadi Mbak gampang ngambilnya!"

Rama melakukan apa yang kusuruh. Dan eureka! Aku berhasil mendapatkan bulu yang tadi menganggu mata Rama.

"Nih, bulu matanya. Ada yang kangen nih kalau bulu mata jatuh," sahutku sambil memberikan bulu mata ke telunjuk tangan Rama.

"Makasih, Mbak," kata Rama. Aku tersenyum bangga. Namun tak lama kemudian, "Aduh Mbak! Mataku kok pedes-pedes perih ya. Seperti baru saja kena sambel."

Aku baru teringat sesuatu. Astaga. Tadi setelah incip sambel terasi ibu, aku belum cuci tangan!

"Eh, itu, uhm, mungkin hanya perasaan kamu saja, Ram," sahutku ngeles.

"Nggak mungkin. Ish, coba lihat tangannya!"

Rama meraih tanganku dan menciumnya. "Ya Tuhan, mbak! Ini bau terasi lho! Mbak pasti baru saja makan sambal dan belum sempat cuci tangan. Ya kan?" tanya Rama mendelik.

"Iya sih. Tapi dikit kok. Sumpah dikit banget sambelnya!" Aku membela diri.

"Ish, jorok!" Rama berseru dan bersiap mencubitku.

Aku tertawa dan berlari menghindar. "Sori, maaf, ampun! Nggak sengaja, Ram!"

Aku dan Rama terus berlari di sekitar ruang makan sampai kudengar ibu bergumam, "kayak nya memang ibu salah ngidam waktu hamil. Layla beda banget sama kakak nya yang sedang kuliah di kota."

"Betul, lihat tuh, kejar-kejaran sama melet-melet. Astaghfirullah, Bu."

***

Suasana balai desa begitu ramai. Sampai banyak pedagang dadakan yang berjubel di luar balai desa. Persis seperti orang hajatan. Ada penjual balon, penjual gorengan, minuman, dan penjual cilok.

Aku berangkat dengan bapak dan ibu. Sementara Rama yang masih marah karena tragedi sambel, memutuskan untuk berangkat bersama teman-teman sekolahnya.

Sesampainya di sana, aku duduk di baris kedua dari belakang. Rupanya antusiasme warga desa terhadap kedatangan dokter Marzuki sangat tinggi.

Aku melirik seorang perempuan berkuncir kuda yang kutilang alias kurus tinggi langsing di barisan terdepan. Si Juleha. Tapi pacarnya, si Rangga, tidak terlihat.

Ah, jadi ingat lagi kang gosting. Pedekatenya sama aku, jadiannya sama Leha. Semprul memang. Ini gara-gara Rangga kirim w******p pakai jari, tapi aku balas pakai hati.

Tapi sekarang, I don't care anymore. Sudah ada dokter penawar sakit galau. Eaaakkk!

"Tes ... Tes ... Sayur kates! 1,2,3. Dicoba." Elah, bapak. Bikin malu. Selaku sekretaris desa, seharusnya lebih keren gitu kalau ngetes microphone. Nggak usah bawa-bawa sayur kates segala.

Acara pun dimulai. Para tamu kehormatan pun telah menyampaikan sambutannya. Dan kini giliran sosok tegap berjas putih itu berdiri di depan warga desa dan memperkenalkan diri.

"Nama saya Marzuki Ibrahim. Saya lahir 30 tahun yang lalu. Dan kuliah di universitas Abdi Famili. Sekarang saya di sini karena diterima sebagai pegawai negeri sipil dan mulai besok saya dinas di puskesmas depan balai desa. Jika ada keluhan, silakan memeriksakan diri ke puskesmas. Saya tunggu di sana. Jadi apa ada pertanyaan untuk saya?" tanya dokter Marzuki sambil tersenyum.

Juleha mengangkat tangan. "Saya, Dok." Semua mata memandang ke arah siswi yang sekelas denganku tersebut.

"Ya silahkan Mbak. Sebutkan nama dulu ya?" sahut dokter Marzuki ramah.

Juleha berdehem-dehem. " Nama saya Natasya wilona kalau lagi cantik. Terus kalau lagi cantik banget, panggilannya Juleha."

Terdengar sebagian gemuruh warga yang tertawa.

Juleha melihat sekelilingnya dengan tersipu, lalu melanjutkan kalimatnya. "Dok, boleh saya tahu status Dokter sekarang?" tanya Juleha malu-malu.

Mendadak hatiku jadi geram. 'Apa-apaan sih Juleha itu. Dia kan sudah punya pacar si Rangga. Kenapa pula dia genit pada Dokter Marzuki?' gumamku dalam hati.

Dokter Marzuki tertawa. Sebagian warga desa terdengar gumamannya. Sebagian lagi terdengar menyoraki.

Mendadak aku seolah mendengar lagu band Gigi. "Panas-panas hati ini. Pusing-pusing pala ini!"

"Baik. Terimakasih atas pertanyaannya. Sebelum saya jawab pertanyaan mbak Juleha atau mbak Natasya, boleh saya tahu sekarang Mbaknya umur dan kelas berapa?" tanya dokter Marzuki ramah.

Hidung Juleha terlihat kembang kempis. "Saya usia 18 tahun. Masih kelas 3 SMA, Dok," jawab Juleha penuh percaya diri.

"Baiklah. Mbak Juleha, saya mencoba menjawab pertanyaannya ya. Status saya untuk saat ini adalah single parent dengan satu orang putri yang begitu cantik. Itu yang sedang duduk dan asyik makan es krim," sahut dokter Marzuki seraya tersenyum dan menatap ke arah anaknya yang sedang digendong oleh istri kepala desa.

Juleha dan beberapa gadis lain yang hadir di balai desa ini terlihat bersemangat. Seperti melihat kang Sayur yang sedang membagi-bagikan dagangannya gratis.

"Baiklah, ada lagi yang ingin ditanyakan?" tanya dokter Marzuki ramah.

Beberapa warga angkat tangan, dan tak kusangka tanganku ikut terangkat, padahal aku tak merasa ingin bertanya.

"Saya, Dok!" Suara Rama! Aku terkejut dan spontan menoleh ke belakang. Ah, si Rama. Asem betul. Dia mengacungkan tanganku tanpa persetujuanku ditambah berseru menawarkan diri.

Rama menyeringai dan aku segera menurunkan tanganku. Tapi terlambat. Dokter Marzuki telanjur melihatku yang mengangkat tangan.

"Baiklah, Mbak yang pakai jilbab warna ungu muda, ada yang ingin ditanyakan pada saya?" tanyanya ramah.

'Aduh, Gimana nih?!'

Aku menelan ludah dan berdiri. Sementara bapak yang ada di depan selaku moderator mendelik melihatku, seolah anaknya ini bisa kentut sewaktu-waktu.

"Anu ... Dok, itu ...,"

Next?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status