MENGEJAR CINTA DOKTER DUDA

MENGEJAR CINTA DOKTER DUDA

Oleh:  ananda zhia  Tamat
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
10
1 Peringkat
97Bab
6.2KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Dokter Marzuki, 30 tahun. Dokter yang awalnya humoris namun pada akhirnya harus menelan pil pahit saat Tia, mantan istrinya selingkuh saat dia sedang dinas di rumah sakit. Bahkan istrinya minggat dengan mantan pacarnya meninggalkan anaknya yang masih berusia dua tahun. Sejak saat itu dokter Marzuki menjadi tertutup dan sulit mempercayai perempuan. Hingga dia pindah ke sebuah desa untuk mengabdi berdasarkan keputusan SK pegawai negeri dan bertemu dengan Layla, gadis slengekan, tomboi, dan naksir berat pada dokter Marzuki. Yasmin, anak dokter Marzuki yang baru berumur lima tahun juga bahagia sekali bertemu dengan Layla. Apakah Layla bisa melunakkan hati dokter Marzuki karena kedekatan nya dengan anak dokter itu? Apa saja yang dihadapan dua pasangan beda usia itu?

Lihat lebih banyak
MENGEJAR CINTA DOKTER DUDA Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
user avatar
pesona senja
uhuy, comblangin aku juga dong, Thor :D semangatttt.........
2023-06-27 14:20:14
0
97 Bab
Bab 1. Pertemuan Pertama
Sejuknya angin sore yang sepoi-sepoi tidak membuatku merasakan hal yang sama. Karena baru saja menghadapi kenyataan pahit bahwa cem-cemanku lebih memilih teman sekelasku. "Apes banget sih. Deketin aku, tapi ternyata suka sama temenku! Huh!" rutukku sebal dengan menendang kaleng soda kosong sejauh-jauhnya. Klontang..!"Ngooookkk!""Ngooookkk!""Astaghfirullahal'adziim!" Aku terkejut saat menyadari kaleng yang kutendang mengenai sekawanan preman desa. Dan angsa-angsa itu tampak marah, bersuara riuh rendah memandangiku yang seolah tertangkap basah baru saja maling ayam. "Ngoookk!"Hewan berleher panjang berbulu putih itu mulai melotot ke arahku dan mengejarku tanpa ampun."Ya Allah! Tolong!" Aku berlari pontang panting saat sekawanan angsa mengejarku dengan ganas. "Gimana sih doa mengusir Angsa?" Aku mencoba berpikir sambil berlari terengah-engah.Tak kuhiraukan jilbab yang miring-miring di kepala. Semakin cepat aku berlari, rasanya hewan berbulu putih itu pun semakin cepat mengejar.
Baca selengkapnya
Bab 2. Kamu Juara Apa?
"Kamu itu enak saja bilang nggak sengaja. Pasti sengaja mau ngerjain orang tua, ya kan?" Bapak masih memegang erat gagang sapu sambil memandangku dengan rasa gemas. Entah itu rasa gemas ingin mencubit, menjewer, atau menowelkan sapu ke betisku. Yang jelas, sekarang terpenting bagiku adalah lari menjauhi bapak. Akhirnya, "Hap!" Bapak bisa menangkap lenganku."Ampun Pak, typo itu tadi!" Seruku pasrah saat bapak berhasil menangkap telingaku dan menariknya berulangkali seperti sebuah gagang pintu.Huh, panas!"Apa itu tipo, bapak ngertinya tipi," sahut bapak ketus"Typo itu salah ketik, Pak. Layla nggak sengaja." Aku membela diri."Beneran salah ketik? Bukan sengaja ingin membuat Bapak malu pada pak Dokter?" tanya bapak sewot."Beneran Pak. Tadi bukan bermaksud untuk mempermalukan bapak, tapi memang permintaanku pada Om Minho, eh Pak Dokter!" Seruku sambil mencoba melepaskan telinga yang rasanya sudah seperti terkena jepit jemuran."Apa Nak? Anak masih ingusan sudah berani bermain cinta
Baca selengkapnya
Bab 3. Salah Paham Telepon
"Mbak, tungguin aku!" teriak Rama pontang panting mengejarku sambil membawa tupperware berisi gurami rasa cinta."Hadeh, kamu tuh laki-laki, masak larinya cepetan aku sih," tukasku lalu memelankan langkah."Lah embak keburu lari dan aku masih digandoli sama tupperware ini!" tukas Rama kesal sambil mengguncang-guncangkan tupperware yang langsung membuat hatiku juga seolah terkena gempa."Dek, jangan diguncang-guncang! Penentu masa depanku ituh!" Tunjukku pada kotak warna pink yang dibawa Rama."Hah? Penentu masa depan? Maksudnya apa Mbak?""Hilih, anak yang kutu buku mana mungkin tahu, ayo jalan lagi!" "Kalau nggak mau diguncang-guncangin, bawa aja sendiri!" tukas Rama manyun sambil mengulurkan bawaannya padaku."Kamu saja yang bawa. Kan kamu laki-laki," sahutku santai."Eh, mbak Maemunah! Nggak ada hubungannya antara gender dengan membawa kotak. Gih bawa, atau aku guncang-guncangin kotak ini!" Ancam Rama."Dih, iya iya." Aku menerima tupperware itu dan mendekapnya setulus hati.Saat
Baca selengkapnya
Bab 4. Wajah Aneh
Aku nyengir dan meletakkan sapu yang gagangnya telah basah oleh keringat di tanganku."Maaf Dok, tadi saya lihat pintu ruang tamu terbuka dan Dokter mempersilahkan saya masuk. Jadi saya masuk. Uhm, dan saya minta maaf kalau saya salah paham tentang sapu menyapu. Saya kira ini Dokter Marzuki perlu bantuan saya, ternyata Dokter Marzuki sedang menelepon," sahutku entah dengan wajah semerah apa. Mungkin tomat saja sekarang kalah oleh merahnya wajahku.Dokter Marzuki tersenyum. 'Allahuakbar. Apakah pabrik gula pindah ke sini? Kenapa tuh senyum manis banget.'Sekelebat ide tiba-tiba muncul di kepalaku."Dok, maaf kalau saya kepo. Apa Papanya Dokter punya pabrik gula?" tanyaku menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal.Dokter Marzuki menatapku dan Rama bergantian. "Nggak punya kok Mbak. Papa saya juga dokter. Dokter spesialis anak. Ada apa?" tanya dokter Marzuki bingung.Saat aku hendak membuka mulut, Rama menyela. "Mbak, jangan aneh-aneh deh. Segera berikan guraminya lalu pulang.""Sebe
Baca selengkapnya
Bab 5. Siapa yang Ingin Bertanya?
"Ye, gak kena!" Aku menjulurkan lidah pada adik lelakiku itu. Rambutan yang dilemparkan adikku menggelinding dan melewati kaki.Dan saat aku membalikkan badan, di depanku sudah berdiri bapak sambil berkacak pinggang."Anak perempuan kok ketawa nya seperti Mak lampir. Siapa tadi yang wajahnya aneh dan ternyata calon imam untukku?"Astaghfirullah, bapak! Sejak kapan berdiri di sini?Aku hanya bisa nyengir penuh perasaan. Rama tertawa terbahak. "Mbak Layla ini Pak, ngelawak. Berani bener ngajak dokter Marzuki bercanda."Rama melaporkan hasilnya memata-matai kelakuanku. Ugh, dasar tukang ngadu."Kamu naksir sama dokter Marzuki?" tanya bapak mendekat.Aduh, mampus. Aku jawab apa nih. Dijawab iya, kok rasanya keterlaluan banget. Tapi dijawab enggak, rasanya kok mubadzir. Eh."Eng ... Ehh ...." Kurasa aku mendadak menjadi gagap."Nggak usah ah, eh, uh. Jawab jujur, La!"Aku berusaha menormalkan detak jantung, menyeimbangkan antara hidung yang ingin kembang kempis dan bibir yang ingin nyengi
Baca selengkapnya
bab 6. Pertanyaan untuk Dokter Marzuki
Aku menelan ludah dan berdiri. Sementara bapak yang ada di depan selaku moderator mendelik melihatku, seolah anaknya ini bisa kentut sewaktu-waktu."Anu ... Dok, itu ...,""Sebutkan nama dulu, Mbak," tukas dokter Marzuki tersenyum."Uhm, baik."Aku mendelik pada Rama yang cengengesan di belakangku. 'Awas saja sampai rumah kamu nanti!'"Nama saya Layla. Tapi bukan Layla dan Majnun," tukasku tersenyum malu. 'Tapi Layla dan Marzuki,' lanjutku dalam hati."Ya Mbak Layla. Silakan pertanyaannya?" "Dokter, sebenarnya saya mau nanya. Saya itu kadang suka pusing kalau enggak sarapan. Itu kenapa ya Dok?" tanyaku akhirnya.Dokter muda itu tersenyum. "Baik, Mbaknya suka pusing? Kalau pusingnya suka nggak sama Mbak? Kalau pusingnya nggak suka sama Mbak, mending Mbak tinggalin deh. Karena tandanya cinta Mbak bertepuk sebelah tangan."Geerrrr!Terdengar gemuruh dan beberapa tawa di penjuru balai desa ini. Dokter Marzuki tersenyum lagi. Kan, hobi kok tersenyum sih. Kan jadi bikin gede rasa!"Bercan
Baca selengkapnya
bab 7. Daging atau Lengkuas
Acara perkenalan dokter Marzuki telah usai, dan seluruh perangkat desa beserta seluruh keluarganya diundang dalam rangka makan bersama dengan dokter Marzuki tersebut. "Mbak, kamu ikut makan bersama dengan dokter Marzuki gak?" sebuah tepukan membuatku menoleh. Rama."Ikutlah. Kan aku lapar. Kamu sendiri ikut nggak?" tanyaku pada Rama. "Ikut juga dong. Rejeki nggak boleh ditolak. Pamali." Rama cengengesan. "Ya sudah. Ayo ke ruang tengah balai desa," ajakku. "Ayok. Tapi bukankah Mbak tadi sudah makan sebelum berangkat ke balai desa?" tanya Rama. "Ye biarin. Kan lapar lagi, Ram. Masak sih nggak boleh makan lagi?!" tanyaku sewot. "Mbak lapar apa mau pedekate sama dokter Marzuki?" tanya Rama penuh selidik. Aku melempar tatapan maut padanya. "Emang apa urusannya sama anak kecil kayak kamu?!" tanyaku sewot. "Jangan panggil aku anak kecil, Mbak La. Namaku Rama!" Seru Rama sambil ngeloyor mendahuluiku ke ruang tengah balai desa. "Dasar aneh, Rama. Kalau enggak belajar, ya pasti nonton
Baca selengkapnya
bab 8. Gara-gara Cilok
Juleha dengan wajah yang pias meletakkan piringnya di bawah kursi. Lalu dia segera berdiri dan menuju ke arah meja dan bergegas mengambil segelas teh. "Wah, Alhamdulillah ya. Bukan aku yang ambil lengkuasnya tadi. Pasti rasanya manis-manis gitu," sahutku penuh kemenangan saat Juleha melewati tempat dudukku.Juleha mendengus sebal dan sambil menghentakkan kakinya kembali ke tempat duduknya semula. ***"La, mau kemana? Main kabur saja? Kalau mau makan, ya harus mau beresin dong!" Tegur suara ibu saat aku ketahuan tengah mengendap-endap untuk pulang. "Ah, ibu. Kan ada ibu-ibu yang lain. Lagian itu Juleha dan Ayu kok boleh pulang?! Layla sudah ngantuk, Bu!" Protesku pada ibu saat melihat Juleha dan Ayu yang berboncengan motor sedang menjulurkan lidah padaku. "Mereka tadi sudah bantuin masak ibu-ibu. Sekarang kamu yang bantuin ibu-ibu beresin bekas makan prasmanan kita. Ayo."Aku mendengus sebal saat dengan terpaksa aku mengikuti langkah ibu untuk mencuci piring dan mangkok yang kotor.
Baca selengkapnya
bab 9. Permintaan Juleha
"Astaga, Kang. Maaf lupa. Saya gagal fokus. Duh, rasanya pingin nyemplung ke dandang ciloknya kang Mamat saja!""Wah, jangan lah Mbak. Masak cantik-cantik masuk ke dandang cilok. Entar jadi siomay raksasa, Mbak." sahut kang Mamat tertawa. Dokter Marzuki pun tak urung juga ikut tersenyum simpul. 'Astaga Layla. Bikin malu saja. Kenapa sih harus gagal fokus.'"La, sudah belum beli ciloknya? Ayo pulang." Untung Bapak segera menyelamatkanku dari situasi yang canggung banget. "Ya sudah, Dokter. Saya pulang dulu. Adik cantik, mbak pulang dulu ya," pamitku lalu setelah dokter Marzuki dan anaknya mengangguk, aku segera berbalik dan melangkahkan kaki menjauhi gerobak kang Mamat.Tapi langkahku tertahan saat karena terasa ada yang menarik tali tas selempangku."Dokter, tolong lepaskan tali tas saya," pintaku tanpa menoleh ke arah belakang. Duh, kok bisa sih dokter Marzuki sampai memegangi tasku. Apa dia masih ingin membicarakan sesuatu padaku atau memang tidak ingin berpisah dariku? Kepalaku
Baca selengkapnya
bab 10. Pura-pura Pingsan
"Kenapa ngajak aku kesini?" tanyaku saat Rangga berhasil 'menyeretku' ke tengah lapangan.Rangga menatapku lama. "Kamu enggak pernah diajarkan pelajaran kurang-kurangan di kelas ya?" tanya Rangga.Rangga yang mempunyai tinggi 180 senti itu membuatku harus mendongak menatapnya karena tinggiku yang 158 senti."Hei kamu aneh. Salah makan? Atau kesurupan? Tiba-tiba tanya pelajaran matematika di lapangan basket? Ada apa sih?" tanyaku bingung. Rangga tersenyum. Dia manis. Ada lesung pipinya. Tapi entahlah, rasanya di hatiku sekarang sudah tertulis nama lain.Dulu aku memang sering memimpikannya menjadi kekasih. Tapi sekarang jelas berbeda. Rangga mau saltopun di hadapanku. I don't care anymore."Tinggal jawab saja apa susahnya sih?" tanya Rangga memandangiku.Aku mendengus sebal. Nggak penting banget. "Aku diajari seluruh pelajaran matematika. Termasuk kurang-kurangan. Ada apa sih?""Kamu jangan bohong La. Kamu bilang kamu diajari kurang-kurangan, tapi bagiku kamu tidak ada kurangnya tuh!
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status