Share

Bab 3. Salah Paham Telepon

"Mbak, tungguin aku!" teriak Rama pontang panting mengejarku sambil membawa tupperware berisi gurami rasa cinta.

"Hadeh, kamu tuh laki-laki, masak larinya cepetan aku sih," tukasku lalu memelankan langkah.

"Lah embak keburu lari dan aku masih digandoli sama tupperware ini!" tukas Rama kesal sambil mengguncang-guncangkan tupperware yang langsung membuat hatiku juga seolah terkena gempa.

"Dek, jangan diguncang-guncang! Penentu masa depanku ituh!" Tunjukku pada kotak warna pink yang dibawa Rama.

"Hah? Penentu masa depan? Maksudnya apa Mbak?"

"Hilih, anak yang kutu buku mana mungkin tahu, ayo jalan lagi!"

"Kalau nggak mau diguncang-guncangin, bawa aja sendiri!" tukas Rama manyun sambil mengulurkan bawaannya padaku.

"Kamu saja yang bawa. Kan kamu laki-laki," sahutku santai.

"Eh, mbak Maemunah! Nggak ada hubungannya antara gender dengan membawa kotak. Gih bawa, atau aku guncang-guncangin kotak ini!" Ancam Rama.

"Dih, iya iya." Aku menerima tupperware itu dan mendekapnya setulus hati.

Saat ini mungkin hanya bisa mendekap makanan untuk kangmas, semoga di masa depan bisa mendekap kangmas Marzuki beneran setelah sah tentunya. Uhuk!

Aku melanjutkan langkah dengan penuh semangat empat lima menuju rumah masa depan. Eh.

"Mbak."

"Hm."

"Dih, pelit banget jawab nya," sahut Rama sewot.

"Ye, biarin. Lagi fokus menentukan kalimat untuk bertemu dengan calon suami." Aku tersenyum lebar.

"Dengar-dengar dokter Marzuki sudah punya anak ya?" tanya Rama.

Aku tertegun lalu menatap adik lelakiku.

"Emang kenapa kalau sudah punya anak? Apa aku nggak boleh jatuh cinta sama Om-om?" tanyaku mendelik.

"Wah, tenang Mbak. Jangan bar-bar gitu jawabnya," sahut Rama tertawa.

"Jadi kenapa kamu pake nanya dokter apa dokter Marzuki sudah punya anak atau belom?"

Rama terlihat menghela nafas panjang.

"Yah, gimana ya? Mbak kan suka manjat-manjat pohon, nggak bisa masak, dan kayaknya memang nggak ada jiwa keibuannya sama sekali gitu. Apa mbak sudah mantap memilih calon suami."

Aku melirik ke arah Rama. "Iya sih kamu benar. Tapi nggak apa-apa deh. Yang penting sekarang kita anter gurami dulu ke Pak dokter, sesuai dengan perintah ibu.

Kalau untuk masa depan, bawa happy aja, Ram. Ya siapa tahu pak dokter bisa buat penyemangat belajar. Semangat!' seruku mengepalkan tangan.

"Wah, tumben mbak. Biasanya kalau disuruh belajar aja lebih memilih ikut ke kebun jeruk sama bapak. Sekarang kok tumben semangat ngomongin belajar?" sindir Rama.

"Yee kamu tuh aneh. Aku malas, diledek. Aku rajin, kamu nggak terima. Suka heran sama adik sendiri, untung sayang," tukasku sambil ngeloyor pergi meninggalkan Rama.

"Mbak La! Tunggu! Oke, oke! Aku dukung mbak buat belajar sungguh-sungguh!"

Dan kami pun bercanda sampai tiba di rumah dokter Marzuki.

"Nah, sudah sampai," gumamku sambil berjalan mendekat ke teras rumah bercat biru muda itu.

Kami berjalan perlahan ke KUA. Eh maksudnya pintu rumah dokter Marzuki. Rumah itu tampak sepi. Tidak ada siapapun di luarnya.

"Lah Mbak, pintu depannya sudah terbuka tuh," bisik Rama mencolek pinggangku.

Aku pun terkesiap. "Kayaknya memang Dokter Marzuki punya firasat akan kedatangan calon istri, Dek." Jawabku berbinar-binar.

"Hah? Gak mungkin lah dokter Marzuki mau sama mbak yang jilbabnya miring-miring dan makannya berantakan," tukas Rama.

"Ih kamu! Gak bisa lihat Mbak seneng,"

"Hahaha, bukan gitu mbak. Tapi aku juga nggak ingin Mbak terlalu berharap terus endingnya kecoa, eh kecewa."

"Dahlah, aku yakin ini jodoh yang dikirim untuk mbak setelah mbak digosting Rangga."

"Hah? mbak digosting mas Rangga? Makanya denger apa kata bapak, Mbak. Jangan terlalu dekat sama laki-laki bukan muhrim. Yang rugi entar mbak sendiri," tukas Rama.

"Elah, adik gue kok mendadak jadi pak ustadz," batinku.

"Heh, sudah sampai nih. Ayo kamu yang ngasih salam!" Titahku pada Rama.

Aku dan Rama celingukan memandang ruang tamu yang kosong tapi pintunya terbuka itu.

"Lah, kok aku. Harusnya Mbak dong. Katanya jodohnya Mbak kan?" tukas Rama nyengir.

Aku menghela nafas. "Oke, Bismillah."

"Assalamu'alaikum," panggilku dengan suara semerdu mungkin.

"Dih, lebay."

"Yee, biarin." Aku menjulurkan lidah.

"Waalaikumsalam, bawa masuk saja paket untuk saya."

Suara dokter Marzuki yang khas menyapa telingaku tapi anehnya sosoknya tidak terlihat di ruang tamu sama sekali.

Aku berpandangan dengan Rama.

"Kok bisa tahu ya Ram, kalau aku bawa sesuatu untuknya?"

"Entahlah, tapi dari suaranya sepertinya ada yang aneh,"

"Aneh, apaan sih? Itu berarti salah satu bukti bahwa kami berjodoh. Tanpa melihat dan aku beritahupun, dokter Marzuki tahu aku akan memberikan sesuatu untuknya," tukasku penuh percaya diri.

"Ayo masuk saja kalau gitu," sambungku lagi.

"Mbak, nanti saja. Nunggu dokter Marzuki keluar menemui kita," saran Rama.

"Loh, tadi kan sudah dipersilakan masuk," tukasku sambil melangkahkan kaki ke ruang tamu dokter Marzuki.

"Saya masuk ya Dok."

"Ya, bawa masuk saja paketnya. Maaf berantakan ya, Ma,"

"Hah, emejing Ram! Dokter Marzuki sudah memulai memanggil mama dan papa. Fix jodoh!" tukasku dan kurasa hidungku kembang kempis penuh asmara.

Sementara Rama terlihat mengernyitkan dahinya.

"Saya duduk ya, Dok."

"Iya. Paket dari siapa Ma? Tolong dibacakan nama pengirimnya."

"Hah, nama pengirim? Maksudnya apa?" batinku.

Tapi tak urung juga aku menjawab,"Dari ibu saya Dok. Gurami asam manis."

"Oalah, baru datang ya paketnya. Padahal sudah saya tunggu-tunggu dari kemarin."

Hatiku mulai tumbuh kuncup.

"I-iya. Kan dokter Marzuki baru datang hari ini ke kampung kami."

"Iya sih. Maaf Ma kalau sedikit berantakan. Soalnya belum sempat membersihkan kemarin,"

Kuncup hatiku mulai berbunga.

"Mau dibantu menyapukah?"

"Wah, boleh Ma kalau tidak merepotkan."

'Wah, kesempatan untuk melakukan pendekatan pada dokter Marzuki nih.' Aku melihat ke penjuru ruang tamu dan melihat sapu ijuk yang tergantung.

"Tapi kalau Mama capek, nggak usah disapu ya."

"Nggak capek kok Dok, ini sehat dan semangat."

Aku mulai meraih sapu dan mengayunkannya ke lantai ruang tamu.

"Iya Ma, aku juga kangen banget."

"Aduh, Dokter. Kok belum apa-apa sudah berani bilang kangen, sih? Kan baru tadi sore lihat saya manjat pohon mangga?" tanyaku malu.

Bunga di hatiku mulai dikelilingi kupu-kupu.

"Kan baru kemarin berangkatnya. Iya doain bisa mengamalkan ilmu disini ya, Ma."

Aku tercekat. Tunggu ini ada yang aneh bin ajaib.

"Oh iya sudah kalau mau ke mall. Semoga sehat selalu Ma. Salam untuk Papa."

Aku bengong dan bunga di hatiku langsung layu.

"Iya, Marzuki tutup teleponnya ya Ma. Assalamu'alaikum."

Dowenggg...Gluduk gluduk jdier!

Mamp*s!

Tiba-tiba keluarlah sosok dokter Marzuki dari balik kamar sambil menyibak tirai.

Mata kami berpandangan dan dia menatap sapu yang ada di tanganku.

"Loh Mbak yang tadi jatuh dari pohon mangga, kenapa pegang sapu .di rumah saya?"

"Hahahaha," suara Rama sebagai ganti jawaban atas pertanyaan dokter Marzuki.

"Ya Allah, bolehkah saya pingsan sekarang?"

Next?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status