Share

Tuduhan Keji

 

Aku, Aris dan Ema saling pandang.

 

Sekarang keluar sifat aslinya, Aris dan Ema masih keheranan mendengar pertanyaan ibu sekaligus nenek ini yang mungkin tidak biasa bicara dengan nada keras seperti itu.

 

Aku tidak heran sama sekali, kurasa ingatannya masih baik dan benar. Mudah sekali ia menyimpulkan, berarti dia tahu siapa aku.

 

Lagi-lagi Aris tersenyum, berusaha menenangkan ibunya yang menurutku sudah hampir hilang kendali karena kaget atau mungkin juga frustasi karena anak kesayangannya ini belum juga beristri. Hhh.

 

"Ibu jangan khawatir, aku tahu batasan ku!" terang Aris pada ibunya.

 

 Cihh!

 

Aris!

 

Pandai sekali kamu berkilah, kalau jaga batasan tidak mungkin menyuruhku memasangkan dasimu tadi pagi. Aku yakin kamu sengaja membuatku kembali berharap padamu. Hah!

 

"Tunggu, sepertinya ibu ingat, dia ini kan mantan pacarmu yang berhianat itu kan, Ris?"

 

Wanita tua yang Aris sebut ibu itu semakin memperjelas pertanyaannya. 

 

Aris menunduk tanpa bisa memberikan jawaban apa pun. Kulihat ia sedang mengumpulkan keberanian untuk mengatakan iya pada ibunya, tapi masih tercekat. Mungkinkah ia sedang menjaga perasaanku?

 

Ema terlihat tegang.

 

"Iya, Bu. Akulah Yuke, aku yang dulu meninggalkan Aris demi laki-laki lain. Aku juga yang ibu lempar air dan uang receh dari balik kaca mobil di perempatan lampu merah Harmoni dulu!"

 

Tanpa hambatan aku mejelaskan dengan panjang lebar kejadian masa lalu itu. Kisah yang selalu membekas dalam hatiku ini.

 

Aris yang tak percaya aku bisa mengatakan hal itu pada ibunya berang. Ia menatapku dengan nanar. Suasana berubah panas.

 

"Yuke!" hardiknya dengan lantang.

  

Tidak ada ekspresi kaget apalagi takut dariku. Aku sudah sangat siap untuk segala kemungkinan.

 

Aku merasa kalah dua kosong saat ini, pertama dulu tak mendapat pembelaan dari almarhum Adi, sekarang Aris pun melakukan hal yang sama.

 

Cepat aku bangkit, tahu persis ini bukan tempatku. Sudah benar-benar tidak nyaman kalau harus bertahan di keluarga ini.

 

Aris mengejarku yang seperti kilat meninggalkan mereka yang masih dengan perasaan entah. Kuat dia mencengkeram bahu kananku, sampai terpaksa aku berhenti karena sakit yang mendera.

 

"Jelaskan padaku!" 

 

Aris memutar paksa tubuhku sampai kami saling berhadapan lurus.

 

"Apa?" jawabku sesadis mungkin.

 

"Apa maksudmu dengan lampu merah?"

 

"Tanyakan pada ibumu!" sungutku tanpa melihatnya.

 

Aris kembali menarik nafas berat, pasti kini dia sedang dilema. Lalu ia membiarkanku berlalu begitu saja menuju kamarku.

 

Entah apa yang terjadi selanjutnya antara ibu dan anak itu sekarang. Mungkin saja mereka sedang berperang atau sedang tertawa sembari memanggang ayam terus makan-makan, aku juga tidak tahu dan tidak perduli sama sekali.

 

Kubenamkan wajah ini di bantal busa lembut bersampul bunga-bunga mawar. Untung saja sarung batalnya bermotif, kalau polos pasti sudah membekas bercak ilerku karena kebanyakan tumpahan air mata.  

 

Kuambil ponselku, stop sementara untuk menangis. Segera kutambahkan deskripsi tentang kisah menyakitkanku hari ini sebagai tambahan di part cerita yang tadi belum selesai kuketik. 

 

Kubuat lebih dramatis lagi, agar pembaca semakin larut ke dalam alur cerita yang kusajikan. Menjual sakit hati untuk konten, hah, aku tidak perduli.

 

Klik!

 

Selesai kuunggah, semoga pembaca semakin membludak. Tidak lupa kuselipkan doa kemudahan rezeki untuk pembaca ceritaku agar bisa membuka gembok ke part selanjutnya. Dengan begitu cuan mengalir ke kantongku, dan dengan cepat pula aku meninggalkan rumah ini.

 

Tapi Aris?

 

Untuk yang satu itu aku ragu!

 

Ah, kenapa aku plin-plan begini, sih!

 

****

 

Duar!

 

Pintu terjengkang dengan keras. Aris yang melakukannya. Entah apalagi yang akan ia lakukan padaku.

 

Mungkin akan mengusirku?

 

Menikahiku tiba-tiba?

 

Ah, semua bisa saja, tapi untuk menikah, itu sangat tidak mungkin. Karena posisiku masih dalam masa Iddah.

 

Aris menarik tanganku kuat sampai ponselku jungkir balik dilantai dan terlihat berhamburan seperti puing-puing hatiku yang hancur.

 

"Aris! Lepaskan, sakit!" teriakku menghentak.

 

"Ikut aku!" dengusnya kasar.

 

Dia menyeretku keluar dari kamar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status