Share

Akhirnya Ketemu Ibumu Lagi

 

Hari berganti. Tiba waktunya untuk menjalankan tugas utama. Yaitu menyiapkan keperluan Aris sebelum ia berangkat kerja.

 

Pertama sekali aku harus mengurus diriku sendiri. Setelah selesai mematut diri di depan cermin dan kurasa sudah cukup rapi, aku segera meluncur ke kamar Aris.

 

Kubuka pintunya dengan perlahan, dia masih tengkurap tertutup selimut sebatas leher. Hanya kepalanya yang terlihat.

 

"Ris! Bangun!" suaraku agak keras.

 

Ia hanya bergerak-gerak sedikit merenggangkan tangannya.

 

"Ris!"

 

Kutambah satu oktaf suaraku supaya telinganya mendengar lebih jelas. Akhirnya, dengan malas ia bangun juga. 

 

Kulemparkan selembar anduk padanya, supaya ia bergegas mandi. Tanpa ada perlawanan Aris menurut saja.

 

Kurapikan tempat tidurnya, setelah itu aku menuju ruang pakaian. Kuambil beberapa kemeja supaya dia bisa memilih dan segala perlengkapannya. 

 

Selesai, aku pun keluar. Sekarang menuju meja rias, disana berjejer parfum yang kutakar hargnaya pasti mahal. Aku memilih satu di antaranya dan kupisahkan, tanda untuk di pakai Aris nanti.

 

Hhh, pekerjaan ini bahkan tidak pernah aku lakukan dulu saat masih punya suami. Ya, karena dulu Bang Umar hanya pulang kerumah paling cepat dua Minggu sekali, entah kemana dia nyangkut setiap harinya.

 

Sekilas aku melihat foto seorang wanita dengan paras cantik dan elegan. Rambut yang bergelombang membuatnya terlihat bukan kaleng-kaleng. Dia pasti Siska, wanita yang di sebut Ema kemarin, aku menerka-nerka.

 

Kalau benar, memang cocok sekali bila di sandingkan dengan Aris yang tampan.

 

"Sedang apa kamu disitu, Yuke?" tanya Aris dari belakang mengagetkanku.

 

"Eh- enggak. Aku hanya sedang menyiapkan parfummu saja, sudah aku sisihkan. Pakaianmu juga sudah aku siapkan di ruang ganti," jawabku tanpa menoleh.

 

Aris tak menjawab, tapi sesat kemudian dia sudah keluar dari rumah ganti dengan salah satu kemeja yang aku pilihkan tadi.

 

"Pasangkan dasiku!" titahnya memaksa.

 

"Pasang sendiri, Ris! Aku tidak bisa dan tidak biasa!" sergahku cepat. Apa-apaan dia menyuruhku seperti itu. Aku 'kan asisten bukan istrinya. Ck!

 

"Ini perintah!" sahutnya memaksa.

 

Baiklah, akan kulakukan tuan raja. Dag-dig-dug irama jantung ini berpacu, tanganku sedikit gemetaran memasang dasinya. Bukan karena apa, tapi memang aku tidak bisa.

 

"Makanya cari istri, Ris. Biar ada yang memasangkan dasimu!" 

 

"Iya, segera. Aku sedang berencana, Ke!" sahutnya tanpa beban membuatku penasaran. Benarkah wanita yang disebutkan Ema kemarin atau yang di foto itu.

 

"Dengan siapa? Apa yang di foto itu?" tanyaku penasaran. 

 

"Bagaimana penampilanku? Aku akan menemui wanita itu!" jawabannya sengaja ia alihkan.

 

Aris mematut dirinya didepan cermin, sedikit berputar. Sempurna, batinku.

 

"Boleh aku tahu, siapa wanita itu?" desakku pelan.

 

Aris menatapku licik, senyumnya kembali ia pamerkan. Senyum aneh itu, membuatku semakin penasaran.

 

"Nanti kamu juga tahu sendiri! Aku akan memperkenalkannya pada ibuku hari ini!"

 

Ekspresinya penuh kemenangan. Kulihat dari belakang dia berjalan meninggalkan kamar. 

Ris, sungguh! Hatiku sedikit terguncang. Seandainya benar wanita itu Siska. 

 

Ibu?

 

Kembali bayanganku pada ibunya Aris yang dulu pernah menghinaku di lampu merah itu. Seorang ibu yang menganggapku pengemis sehingga ia dengan sombongnya melempar uang recehan dan air mineral di cup plastik bening yang isinya tak sampai separuh tepat di mukaku. Hatiku masih sakit sampai kini bila mengingat itu, dan almarhum Bang Adi tak memberi pembelaan sedikitpun untukku. Almarhum Adi, kakaknya Aris yang waktu itu tahu bahwa aku ini kekasih adiknya tak berdaya atas kelakuan rendah ibunya.

 

****

 

Sampai di kantor tempat Aris bekerja dan menghabiskan waktu sepanjang hari. Aku yang terus membuntutinya sampai ke ruangan khusus untuknya menimbulkan sedikit kegaduhan.

 

Kusadari banyak karyawan yang memperhatikanku. Pasti mereka bertanya tentang siapa diriku. Ah, pasti mereka iri padaku karena bisa sedekat ini dengan Aris, sampai dengan leluasa masuk ke ruang kerjanya.

 

Tugasku hanya duduk dan menunggunya. Menungguinya bekerja dengan setumpuk map yang ada di atas meja.

 

Sembari menunggu, aku kembali menulis. Hobi yang sempat tertunda dan terkendala akibat kehabisan paket data. Waktuku lumayan banyak, sangat memungkinkan bagiku untuk melakukannya di ruangan ber-AC ini.

 

Akan kuperjuangkan lagi cita-citaku dulu. Menjadi penulis hebat, meskipun kini masih merangkak. Aku tahu, semua tidak mudah. Harus selalu semangat.

 

"Ke!"

 

Panggilan Aris memaksaku berhenti mengetik cerita yang hampir selesai satu part. Dengan segera aku mendekat, menanti tugas yang akan di berikannya untukku.

 

"Kita pulang cepat hari ini, ibu akan datang ke rumah!" katanya sambil menutup map yang ia pegang.

 

"Ibu?"

 

"Iya, Ibuku!" sahutnya meyakinkan.

 

Apa yang harus aku lakukan sekarang, mudah-mudahan saja dia tidak ingat padaku. Bila itu terjadi, bukan tidak mungkin aku di depak dari rumah itu. Bukan! Tidak cuma di depak dari rumah, tapi akan disingkirkan dari kehidupan Aris juga. Siapa aku? Si mantan anak jalanan.

 

Tiba-tiba tanganku tersentak. Aris menariknya kuat.

 

"Konsentrasilah kalau sedang kerja, ayo!" ajaknya setengah menyeretku.

 

Aku mengikuti langkah cepatnya sampai hampir tersangkut kaki ini. Dasar Aris! Apa tidak bisa dia berlaku lembut padaku, gumamku.

 

"Bisa! Tapi nanti!" sahutnya cepat, sambil memandangku lekat di tambah mendelik.

 

Hah? Bukankan aku tadi hanya berkata dalam hati, apa dia benar-benar bisa mendengarnya? 

 

****

 

Akhirnya sampai kembali di rumah megah ini. Rasanya lelah sekali, meskipun aku gak melakukan apa-apa di kantornya tadi. Ah, pasti Aris lebih lelah dariku.

 

Rupanya Ibunda Aris sudah menunggu di dalam. Duduk di sofa ruang tamu bersama Ema, cucu kesayangannya. Bahkan sekarang aku pun mulai menyayangi Ema. Bersenda gurau, tertawa lega. Sepertinya mereka sangat bahagia.

 

Melihat Aris memeluk dan mencium ibunya dengan penuh kasih membuatku iri. Tidak pernah sekalipun aku melakukannya pada ibuku. Ibu?

 

Ibu yang mana?

 

Aku tak pernah mengenal kata ibu dan ayah sepanjang hidupku, sedari kecil aku sudah hidup di jalanan bareng teman seperjuangan ku. Entah sejak kapan aku berada di sana, seingatku hanya teman-teman saja yang ada di dekatku.

 

Aku duduk jauh dari mereka, mataku terus memperhatikan. Ternyata seperti itu ya, kalau punya ibu. Bisa peluk, bisa cium. Seandainya saja aku juga punya! 

 

Sebuah panggilan menyadarkanku dari lamunan. Aris melambaikan tangannya, menyuruhku mendekat. Pelan-pelan kulangkahkan kaki. Melihat sosok wanita yang sedang bersama Aris yang ia sebut ibu, kembali hatiku bergolak. Satu kalimat yang terlintas di pikiranku saat ini, ibu itu jahat.

 

"Ke, ini ibuku! Ingat?"

 

Tentu saja aku ingat, Ris. Dia yang pernah menghinaku. Dan itulah alasan terbesarku meninggalkanmu dulu tanpa kamu ketahui. Dan itu juga yang selalu kusimpan sendiri selama ini, sampai kau mengira aku berhianat di belakangmu bersama Umar sahabatmu itu.

 

"Siapa dia, Ris?" tanya wanita itu dengan tutur lembut. 

 

Hah, dusta!

 

Aku masih tak bergeming. Berdiri di hadapan mereka.

 

"Dia ini Tante Yuke, Nek!" sahut Ema penuh semangat.

 

Kupaksakan tersenyum kecil.

 

"Duduklah, Ke," kata Aris pelan dengan ulasan senyum simpulnya, "Dia, asisten pribadiku, Bu!"

 

Jawaban Aris membuat ibunya terbelalak, mungkin kaget. Namun, aku berharap dia kena serangan jantung saja.

 

"Asisten pribadi? Apa dia mengurus semua keperluan pribadimu? Apa dia masuk ke kamarmu? Apa dia juga mengikutinya selalu, hah?" tanya wanita tua itu dengan tak sabar.

 

Aku, Aris dan Ema saling pandang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status