Share

Nasib Buruk Menimpa Iqbal

Iqbal sudah resmi menjadi pengangguran, tabungannya mulai menipis, akibat resepsi pernikahan besar-besaran yang diadakan oleh keluarga Irna.

Belum lagi, Ani terus meminta jatah uang pada Iqbal tiap minggunya. Itu karena Ani sudah menjadi janda, suaminya meninggal dua bulan setelah anak sulungnya itu menikah dengan Lidya.

Sementara itu, Iqbal juga memiliki seorang adik perempuan yang masih bersekolah di tingkah akhir, membuat pengeluarannya semakin banyak saja.

"Mas, minta uang dong, aku mau beli rujak!"

Iqbal yang tengah meratapi nasibnya di teras rumah, lantas mendongak, menatap Irna yang tengah menengadahkan tangan.

"Ini masih pagi, Sayang. Masa udah mau rujak aja, sih!" Tanpa sadar, Iqbal mengomel, membuat Irna langsung mengerucutkan bibirnya.

"Mas, ini kemauan calon anak kita, bukan kemauan aku. Masa kamu tolak gitu aja, sih!" 

Irna balik mengomelinya Iqbal, hingga membuat pria yang hanya memakai kaos oblong yang dipadukan dengan celana pendek tersebut bangkit dan bergegas masuk ke rumah.

Sesekali Iqbal mengacak-acak rambutnya, frustasi dengan kehidupannya yang tiba-tiba berubah seratus delapan puluh derajat.

Jas kantoran yang rapih, bersih, serta wangi biasa dia kenakan dulu. Belum lagi, rambut hitamnya pun selalu tertata rapih. Di tambah harum masakan lezat selalu memenuhi rongga hidungnya tiap pagi.

Tak seperti saat ini, bahkan ketika matahari sudah condong ke depan pun, Iqbal belum menyantap apapun, selain kopi hitam yang Bapak mertuanya beli dari warung.

"Memangnya berapa harga rujaknya, Irna?" tanya Iqbal dengan sedikit malas. Suasana hatinya sudah hancur di pagi ini.

"Cuma dua puluh ribu saja, Mas. Memangnya kenapa?"

Iqbal menggeleng, dia bergegas mengambil dompet yang sengaja dia simpan di laci rak baju yang ada di kamar.

Akan tetapi, ketika Iqbal baru saja membuka dompet, seketika saja matanya hampir meloncat dari tempatnya berada.

"Irna, kapan kamu ambil uang dari dompet, Mas?"

"Apa maksudmu, Mas?" Irna yang tak terima dengan tuduhan Iqbal, lantas ikut masuk ke kamar.

"Ya, kamu lihat sendiri, dompet Mas semakin kering saja. Padahal kemarin isinya ada sekitar dua jutaan, tetapi kenapa sekarang tinggal lima ratus ribu saja?!"

Sontak, Irna langsung membeliakkan mata dengan bibir sedikit terbuka.

"Jadi, kamu menuduhku mengambil uang tersebut begitu, Mas?" 

Gegas, Iqbal menggeleng, menepis pertanyaan yang baru saja Irna lontarkan. 

"Ti-tidak, bukan seperti itu, Sayang. Mas, hanya bertanya saja, siapa tahu kamu yang mengambilnya. Jadi, Mas, rasa tak apa."

Iqbal tersenyum getir, kala dia menjelaskan semuanya pada Irna. Sesekali dia pun menggaruk lehernya yang tak gatal seraya membasahi bibirnya yang kering.

Sejujurnya hari Iqbal begitu gundah, karena memang dia tak memiliki cukup uang untuk saat ini. 

"Ah, itu, aku baru ingat," ucap Irna hingga membuat Iqbal membulatkan mata dengan mimik terkejut.

"Ingat apa, Sayang?"

"Ya, kalau tadi Ibuku masuk ke kamar kita dan setelah keluar, wajahnya terlihat berseri-seri."

"Jadi?" Dengan tampang b*d*hnya, Iqbal malah mengajukan pertanyaan yang jawabannya pun sudah dia ketahui.

"Ya, aku rasa Ibu yang mengambilnya, Mas."

Deg!

Dada Iqbal langsung berdenyut saat itu. Bak ada meriam berukuran besar yang menghantam dadanya, meninggalkan lubang besar yang amat sangat menyakitkan.

Iqbal tertegun di tempat, mulutnya terbuka. Terlihat jelas, jika pria berambut layaknya sangkar burung itu, begitu syok ketika mendengar penuturan istrinya. 

"Mas, kamu baik-baik saja, 'kan?"

Dengan sengaja, Irna menggerakan satu tangannya di depan wajah Iqbal, mengetes apa suaminya itu baik-baik saja atau tidak.

Namun, seketika saja helaan napas panjang keluar dari mulut Irna, kala melihat Iqbal mengerjapkan mata seraya menoleh ke arahnya.

"Aku baik-baik saja!" ketus Iqbal dengan dada kembang-kempis.

Irna yang tak terima dengan sikap suaminya, malah balik bersikap ketus. 

"Lah, kok malah gitu, sih, sama aku?!"

Iqbal yang masih dirundung amarah, langsung menghempaskan tubuhnya sendiri ke sisi ranjang, kemudian meremas rambutnya kasar.

Kentara sekali, jika Iqbal tengah sangat frustasi kali ini. Wajahnya murung, penampilannya pun ikut acak-acakan, tak seperti seorang yang pernah bekerja di kantor besar.

"Kenapa kamu gak cegah Ibu saja, Irna. Apa kamu tak tahu bagaimana susahnya mencari uang?"

Irna memutar matanya ke atas, bibirnya mengatup rapat dengan kedua tangan yang sudah menyilang di dada.

"Lah, tentu saja aku tak tahu, 'kan aku tidak pernah bekerja dan satu hal lagi, kenapa kamu tak minta uang pada istri tuamu itu, Mas?"

"Maksudmu apa, Irna?" Iqbal bertanya dengan kening mengkerut, pandangan menyorot langsung pada Irna yang tengah mematung seraya menyandarkan tubuhnya pada tembok.

"Mas, kamu 'kan selalu bilang padaku, kalau kamu punya andil besar dalam perusahaan tersebut. Jadi, kenapa kamu tak ambil hakmu saja?"

Sontak, Iqbal langsung menelan ludah, ketika mendengar pertanyaan Irna. Malahan dia sampai memalingkan wajah seraya terpejam dengan waktu yang cukup lama, karena takut ketahuan bohong oleh Irna.

Andai saja Irna tahu, kalau Iqbal tak memiliki peran apapun dalam perusahaan milik Jonathan, serta kualitas kerjanya yang buruk, pasti Irna akan berpikiran yang lain-lain.

"La-lalu?" Iqbal terbata-bata, wajahnya pucat pasi dengan bibir yang sudah pias.

Dalam hati, Iqbal terus berdoa, agar Irna tak sadar dengan raut wajahnya yang sudah berubah drastis.

"Ya, kalau saja istri tuamu tak mau memberikan haknya padamu. Maka aku akan datang ke kantornya dan melakukan demo!" 

Mata Irna amat sangat berbinar, wajahnya terlihat penuh harap. Berbanding terbalik dengan Iqbal yang justru terperanjat, mulut menganga dan keringat dingin membasahi tubuh.

"Ma-maksudnya, kamu mau datang ke kantor Lidya dan melakukan protes di sana?"

Dengan polosnya Irna mengangguk, hingga membuat Iqbal menghela napas berat, kemudian meneguk ludah susah payah.

Kepalanya sudah tak mampu memikirkan apapun lagi, Iqbal sudah amat syok dengan apa yang Irna rencanakan dan bila hal itu terjadi, Iqbal yakin jika Lidya pun tak akan tinggal diam.

Wanita yang masih berstatus sebagai istrinya itu, pasti akan membongkar semua boroknya di hadapan Irna dan mungkin di hadapan orang-orang yang akan Irna ajak nantinya.

"Sayang ...." Iqbal bangkit dari posisi duduk, dia menghampiri Irna dan mendekap tubuh wanita muda itu dengan erat. 

"Kamu jangan melakukan hal tersebut, ya?!" pinta Iqbal tepat di samping telinga Irna.

Irna yang amat sangat tak paham dengan isi kepala suaminya, lantas menjauh dan menatap Iqbal tajam.

"Lah, apa maksudmu, Mas? Pokoknya aku tak akan tinggal diam dan jika perlu, aku akan tetap pergi ke sana! Lagipula, Lidya sudah tahu dan dia malah menantangku balik," hardik Irna dengan penuh penegasan.

Sontak, Iqbal langsung memalingkan wajah seraya bergumam, "Ah, mampus!"

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status