Akhir-akhir ini Iqbal banyak melamun. Kalau tidak di belakang rumah, memandangi kebun warga, maka dia akan duduk seharian di teras. Irna yang menyadari perubahan sikap Iqbal, bukannya berusaha membujuk atau melakukan yang terbaik agar suaminya berubah, dia justru malah bersikap sebaliknya."Mas, kamu tuh gak ada usaha sama sekali, bukannya cari kerja malah duduk terus di teras!" omel Irna pada suaminya.Iqbal menghela napas panjang, kemudian bangkit dari teras, mengenakan sandal jepit milik mertuanya yang hampir putus."Iya, besok aku cari kerja!" balas Iqbal tak bersemangat."Boro-boro cari kerja, kepalaku saja hampir meledak saat ini, gara-gara perceraianku dan Lidya sudah di depan mata." Iqbal membatin. Dia terus melangkah keluar pekarangan rumah tanpa menghiraukan teriakan Irna."Pokoknya kamu harus cari uang banyak! Aku tak mau, acara syukuran anak kita diadakan kecil-kecilan! Bisa malu aku sama mantan-mantan kekasihku yang terkenal kaya raya." Dengan sengaja, Irna bergumam dia
MENGEMBALIKAN BARANG MILIK SUAMI DI ACARA PERNIKAHANNYA***"Li-Lidya, apa yang kamu lakukan di sini?"Wanita berkulit putih, berkebaya merah cerah, dipadukan dengan make up yang terkesan begitu berani tersebut. Berjalan menuju acara hajatan, di mana seorang pria berjas hitam tengah duduk di sebuah kursi pelaminan."Selamat atas pernikahan keduamu itu, Mas!" ucap Lidya dengan senyum merekah di bibir.Tak ada mimik wajah sedih, kecewa ataupun sebagainya. Lidya justru terlihat amat sangat bahagia, netranya berbinar-binar.Melihat hal tersebut, Iqbal--pria yang tengah berdiri mematung dengan mata membulat dan mulut menganga tersebut, langsung di rundung rasa penasaran yang amat sangat dalam.Di satu sisi, Iqbal amat sangat senang, karena sepertinya Lidya merestui pernikahan diam-diamnya itu. Tetapi, di sisi lain Iqbal juga merasa heran, kenapa Lidya bisa menerima semuanya dengan semudah ini.Karena pengeras suara sedang menyala, maka tidak ada satupun tamu yang curiga ataupun penasaran d
Acara hajatan yang seharusnya begitu meriah, mewah dan juga mengesankan bagi kedua belah keluarga. Justru harus berakhir dengan begitu mengerikan.Satu-persatu tamu beranjak pergi, meninggalkan tempat hajatan yang di laksanakan di lapangan yang cukup luas. Gunjingan serta cemoohan tak henti-hentinya keluar dari mulut mereka.Lilis menginginkan, agar para tamu undangan memuji dirinya, karena hajatan yang mewah. Sebab, dari jauh-jauh hari, keluarga Irna sudah menggembor-gemborkan soal Irna yang akan menikah dengan pria kaya raya.Akan tetapi, harapan hanya tinggal harapan. Lilis--Ibu kandung Irna tersungkur ke lantai, air matanya luruh begitu saja, ketika membayangkan pujian yang akan dia dapatkan dari warga, sirna seketika."Bu," lirih Irna seraya menghampiri Ibunya yang tengah terisak."Kenapa hal ini bisa terjadi?" hardik Lilis di sela-sela isak tangis. "Semuanya telah sirna. Apa kata orang nanti, aku benar-benar malu!"Lilis menangis meraung-raung, membayangkan cibiran yang akan war
Sementara itu, di tempat lain, Lidya tengah mematung di kamar, mengamati seisi ruangan yang penuh dengan barang-barang antik dan mahal.Sedari dulu, Lidya suka mengoleksi barang-barang tersebut, karena melihat Ibunya. Ya, mendiang Nyonya Jonathan adalah seorang wanita penyuka barang antik dan mahal. Hingga, tak disangka hobinya itu justru menurun pada Lidya--anak bungsunya."Sayang!"Sontak, Lidya berbalik badan, menatap Jonathan Pratama--Papa kandungnya yang sengaja berkunjung ke rumah."Iya, Pa. Kenapa?"Jonathan tersenyum kecut, netranya sempat menatap Lidya dengan lekat. Sebelum akhirnya, ikut menelisik seisi kamar."Apa yang sedang kamu lakukan, Nak?"Lidya memutuskan kontak mata dengan Jonathan, dia kembali mengamati sekeliling.Detik berikutnya, Lidya berjalan menuju sebuah pigura berukuran besar yang terpasang di dinding. Tanpa ragu, dia langsung mencopotnya dan meletakkannya di bawah."Aku mau membersihkan kamar ini. Maksudku melepas dan membuang yang seharusnya.""Apa Iqbal
Iqbal sudah resmi menjadi pengangguran, tabungannya mulai menipis, akibat resepsi pernikahan besar-besaran yang diadakan oleh keluarga Irna.Belum lagi, Ani terus meminta jatah uang pada Iqbal tiap minggunya. Itu karena Ani sudah menjadi janda, suaminya meninggal dua bulan setelah anak sulungnya itu menikah dengan Lidya.Sementara itu, Iqbal juga memiliki seorang adik perempuan yang masih bersekolah di tingkah akhir, membuat pengeluarannya semakin banyak saja."Mas, minta uang dong, aku mau beli rujak!"Iqbal yang tengah meratapi nasibnya di teras rumah, lantas mendongak, menatap Irna yang tengah menengadahkan tangan."Ini masih pagi, Sayang. Masa udah mau rujak aja, sih!" Tanpa sadar, Iqbal mengomel, membuat Irna langsung mengerucutkan bibirnya."Mas, ini kemauan calon anak kita, bukan kemauan aku. Masa kamu tolak gitu aja, sih!" Irna balik mengomelinya Iqbal, hingga membuat pria yang hanya memakai kaos oblong yang dipadukan dengan celana pendek tersebut bangkit dan bergegas masuk k
"Apa kamu tak bercanda, Lidya?"Reza--Kakak kandung Lidya tertawa terbahak-bahak, ketika adiknya itu menceritakan soal pesan yang dia dapatkan dari Irna.Malahan saking gelinya, Reza yang terkenal lebih kejam dan menyeramkan di bandingkan Jonathan, seketika kehilangan pamor tersebut di hadapan Lidya.Pria berkulit sawo matang, berambut hitam legam, serta berhidung mancung dan memiliki rahang kokoh tersebut, sesekali mengumpat pada Iqbal yang tak ada di hadapannya."Ah, s*al! Kalau saja ada Iqbal di sini, mungkin aku sudah menyuapi mulut besarnya itu dengan kolor polkadot milik Pak Abas."Sontak, Lidya yang tengah menyeruput segelas teh hangat, langsung terbatuk-batuk kala mendengar penuturan Reza yang bisa di bilang cukup aneh.Disimpannya kembali gelas tersebut di atas meja dengan kasar, lalu Lidya menyoroti Reza tajam."Apa maksudmu. Ke-kenapa kamu tahu Pak Abas memiliki kolor polkadot?"Jauh dari lubuk hatinya, Lidya sedikit curiga, kalau Reza tak sepenuhnya lurus. Mengingat siapa
"Sayang!" Iqbal terus memanggil Irna, berharap wanita itu membalikkan badan. Karena semenjak mereka merebahkan tubuh di ranjang, Irna langsung mengambil posisi membelakangi suaminya, membuat Iqbal amat sangat kesal di buatnya.Padahal sedari tadi, Iqbal sudah tak bisa menahan diri, ingin segera menuntaskan hasratnya yang terus tertunda sedari kemarin.Akan tetapi, Irna malah mengabaikan Iqbal, tak menjawab panggilan maupun sahutan yang keluar dari mulut suaminya."Sayang, jangan marah!" Iqbal merajuk, berharap Irna bisa luluh kali ini.Namun, Irna malah menepis tangan Iqbal dengan kasar, tanpa menoleh sedikitpun."Aku tahu kamu mau apa, Mas. Tetapi, aku takkan pernah memberikannya sampai perusahaan tempat Lidya bekerja kembali jatuh ke tanganmu!"Bak sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Iqbal begitu terperanjat ketika mendengar penuturan Irna, mulutnya membulat sempurna dengan mata membeliak."A-apa maksudmu, Sayang?" Dengan gelagapan, Iqbal bertanya pada Irna."Aku rasa kamu paham den
Dengan perasaan marah, kesal dan kecewa. Irna masuk kembali ke rumah seraya sesekali menghentakkan kaki ke lantai. Bibirnya mengerucut dan alis saling bertautan.Malahan Irna sampai tak mengindahkan pertanyaannya Ibunya, mengenai sayuran yang hendak dia masak. Wanita berusia dua puluh tahunan yang memakai piyama biru tua itu bergegas pergi ke kamar.Meskipun umur Irna dan Iqbal berjarak hampir sepuluh tahunan. Tetapi, Irna merasa tak masalah, karena memang umur bukanlah segalanya.Bagi Irna, Iqbal mencintainya serta kaya raya saja, sudah cukup menguntungkan dan membahagiakan.Akan tetapi, kali ini Irna tak berpikir seperti itu. Dadanya amat sangat sesak, ketika mendengar cemoohan ibu-ibu tentang dirinya. Sehingga timbul dalam hatinya, penyesalan karena telah menikah dengan Iqbal."Lah, Sayang, sejak kapan kamu berdiri di sana?"Iqbal yang baru saja bangun, lantas mengajukan pertanyaan kepada Irna yang tengah berdiri di bibir pintu seraya menyilangkan tangan di dada."Kamu tak perlu ta