Share

Kena Mental!

"Apa kamu tak bercanda, Lidya?"

Reza--Kakak kandung Lidya tertawa terbahak-bahak, ketika adiknya itu menceritakan soal pesan yang dia dapatkan dari Irna.

Malahan saking gelinya, Reza yang terkenal lebih kejam dan menyeramkan di bandingkan Jonathan, seketika kehilangan pamor tersebut di hadapan Lidya.

Pria berkulit sawo matang, berambut hitam legam, serta berhidung mancung dan memiliki rahang kokoh tersebut, sesekali mengumpat pada Iqbal yang tak ada di hadapannya.

"Ah, s*al! Kalau saja ada Iqbal di sini, mungkin aku sudah menyuapi mulut besarnya itu dengan kolor polkadot milik Pak Abas."

Sontak, Lidya yang tengah menyeruput segelas teh hangat, langsung terbatuk-batuk kala mendengar penuturan Reza yang bisa di bilang cukup aneh.

Disimpannya kembali gelas tersebut di atas meja dengan kasar, lalu Lidya menyoroti Reza tajam.

"Apa maksudmu. Ke-kenapa kamu tahu Pak Abas memiliki kolor polkadot?"

Jauh dari lubuk hatinya, Lidya sedikit curiga, kalau Reza tak sepenuhnya lurus. Mengingat siapa Pak Abas tersebut.

Reza yang paham akan kekhawatiran Lidya, ikut membeliakkan mata seraya menggeleng cepat.

"Astaga, bukan seperti itu, Lidya. Hanya saja, ketika aku melintas di hadapan beberapa orang karyawan, mereka sering membahas hal tersebut."

"Jadi, kamu menguping?"

Untuk yang kedua kalinya, Reza menepis pertanyaan Lidya. Malahan saking frustasinya, dia sampai memijat pelipisan yang terasa berdenyut.

"Tidak seperti itu, Lidya. Sudahlah, itu tak penting." Reza menghela napas panjang, dia menyesal karena telah membawa nama Pak Abas dalam obrolannya kali ini, sehingga menimbulkan sebuah fitnah.

"Ngomong-ngomong, apabila istri Iqbal datang kemari, apa yang kamu lakukan?"

"Aku tidak akan melakukan apapun!" sahut Lidya seraya menyandarkan tubuhnya pada punggung kursi.

"Tetapi, aku akan tetap membiarkannya datang ke sini saja sampai lelah, meminta hak yang tak pernah ada tersebut. Lagipula, apa urusannya denganku?"

Reza mengangguk paham. Semua yang di katakan Lidya ada benarnya juga, dirinya sudah tak ada urusan lagi dengan Iqbal dan keluarga.

Ya, nyaris tak ada urusan. Karena memang, ada satu hal lain yang harus Lidya urus.

"Lalu, bagaimana dengan surat cerai yang akan kamu ajukan pada Iqbal?"

Lidya yang sempat memejamkan mata rapat-rapat, lantas membukanya kembali, menoleh dan menatap Reza lekat.

"Kamu tak usah khawatir, Bang. Aku sudah mengurus hal tersebut, sebentar lagi akan beres!"

"Baguslah, adikku ini memang pintar! Ngomong-ngomong, apa kontribusi terbesar Iqbal di perusahaan ini?"

Dengan setelah tertawa, Reza kembali melontarkan pertanyaan menggelitik pada Lidya.

Pria pemilik bibir tebal sedikit menghitam itu, akibat sering mengonsumsi rokok. Terlihat mengatup rapat, berusaha menahan gelak tawa yang mungkin akan meledak kapan saja. 

Namun, hal itu berbanding terbalik dengan Lidya. Wanita dengan riasan tipis dan rambut tergerai tersebut, sudah tak bisa menahan tawanya lagi. 

"Ah, s*al*n! Hampir saja aku mengumpat pada Irna karena saking b*d*hnya dan Iqbal yang terlalu banyak tingkah."

"Lidya-Lidya, kenapa suamimu sangat kocak? Dia pasti pernah menipu beberapa orang di waktu yang bersamaan, hanya saja Irna saja yang sedang terkena apes," cemooh Reza seraya sesekali mengusap ujung matanya.

"Pantas saja, tiap kali aku berpapasan dengan Iqbal di luar. Dia selalu berpakaian rapih, bersih dan wangi. Tak sepertiku yang berpenampilan apa adanya."

Reza melanjutkan kembali ucapannya, dia tersenyum getir kala melihat penampilannya hari ini yang terkesan jauh dari setelan anak orang kaya pemilik perusahaan besar.

Ekor mata Lidya sedikit berputar, mengamati penampilan Reza yang jauh dari kesan mewah. 

Pria itu hanya mengenakan kaos putih polos, celana pendek hitam, serta rambut acak-acakan.

Andai saja satpam dan karyawan lainnya tak tahu, kalau pria yang ada di ada di hadapannya adalah seorang Reza Pratama--anak sulung Jonathan Pratama--penerus perusahaan inti, mungkin Reza sudah di usir saat itu juga, karena memang penampilannya tak mencerminkan orang kaya sama sekali.

***

Drrt ... drrt ....

Lidya berdecak, diliriknya dengan sinis ke arah gawai yang menyala, menampilkan sebuah panggilan masuk dari nomor yang dia tahu milik siapa.

Tak ada niatan sedikitpun bagi Lidya untuk mengangkatnya, bahkan mengobrol dengan Irna. Karena Lidya sudah tahu, apa yang akan Irna katakan.

Tidak lama kemudian, sambungan telepon tersebut mati. Lidya menghela napas panjang dan kembali menikmati kesendirian di ruang kerja. 

Hidupnya hampa, tak ada yang terasa membahagiakan, semuanya tetap sama. Semenjak Lidya menikah dengan Iqbal, memang ada sedikit kebahagiaan dalam dirinya. 

Ting!

Ekor mata Lidya kembali berputar dan kali ini dia mendapati sebuah pesan dari Iqbal. Lidya menarik napas berat, kenapa kedua orang itu terus mengusik hidupnya yang perlahan tentram ini.

[Lidya, aku ingin meminta sesuatu padamu.]

"Kira-kira apa, ya?" Iseng Lidya pun mengetikkan balasan untuk Iqbal. Karena saking penasarannya, bukan ada keinginan untuk membantu.

[Apa?]

Tidak butuh waktu lama, bagi Iqbal untuk membaca pesan dari Lidya. Buktinya centang biru sudah terlihat.

[Tolong jangan katakan hal yang macam-macam pada Irna. Karena memang, dia bersikeras ingin menemuimu!]

Sontak, tubuh Lidya langsung bergetar akibat menahan tawa. Malahan saking lucunya, Lidya sampai menepuk jidatnya sendiri.

[Lantas, apa aku harus menuruti kemauanmu?]

[Tentu saja! Karena kamu istriku, aku harap kamu mau melakukannya demi kebahagiaanku.]

Netra Lidya membulat, mulutnya menganga lebar. Di mana sesekali dia berdecak, merasa konyol dengan permintaan Iqbal.

"Demi kebahagiaan dirinya sendiri. Lantas, bagaimana denganku? Ah, benar-benar pria tak punya otak. Aku menyesal telah menikah denganmu!" 

Lidya berkata dengan nada tinggi, meskipun begitu bukan berarti kalau dirinya merasa sakit akan perbuatan Iqbal. 

Justru Lidya bersyukur, karena sebelum rasa cintanya benar-benar tumbuh. Tuhan, sudah memperlihatkan seperti apa Iqbal sebenarnya, sehingga Lidya merasa jauh lebih lega lagi.

Di tambah lagi, Iqbal belum mengambil sedikit pun harta dari keluarganya. Mengingat dulu Iqbal pernah meminta agar sertifikat rumah dan barang-barang lainnya dialihkan atas namanya.

Namun, untungnya Lidya tak b*d*h. Dia tak pernah melakukan hal tersebut hingga detik ini. Hingga jika suatu saat nanti Iqbal pergi, dia tak akan bisa membawa sepeserpun harta benda milik Lidya dan keluarga.

[Sepatutnya kamu jujur dari awal pada Irna, kalau kamu hanya pria miskin yang menumpang pada keluargaku. Sudah miskin, belagu lagi! Giliran ketahuan belangnya, malah ketar-ketir. Mampus!]

Lidya menyeringai dan tanpa ragu, dia mengetikkan balas tersebut pada Iqbal, kemudian menekan tombol kirim.

"Pasti si Iqbal langsung kena mental!" Lidya membatin.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status