"Hari ini kepala unit pada rapat ya, Nu?" tanya Aya memastikan. Padahal ia sudah membaca undangan rapat yang dibagikan oleh Via di grup whatsapp kantor."Iya. Kamu sudah tahu tapi kenapa nanya lagi," sahut Wisnu, "nanti kamu pesan snack ke toko roti yang biasa ya," lanjut Wisnu.Aya memberikan hormat pada Wisnu tanda setuju. Sedang asyik mengecek beberapa nota pembelian yang menumpuk di mejanya, Aya melotot melihat formulir pengajuan cuti atas nama Via. Ia lantas menunjukkan formulir itu pada Wisnu."Astaga, aku lupa. Untung kamu lihat," ucap Wisnu mengambil kertas itu dan membacanya. Wisnu yang tadi awalnya biasa saja, tiba-tiba senewen. Pasalnya Via mengajukan cuti mulai besok dan itu artinya ia harus menyiapkan pengganti untuk menjadi sekretaris Eric.Aya pura-pura tidak mendengar saat Wisnu menghubungi Via dan bertanya siapa yang akan menggantikannya nanti.Sepuluh menit sebelum rapat dimulai, Aya sudah menyiapkan ruang rapat beserta dengan snacknya. Beberapa kepala unit sudah dat
Ini sudah hari ketiga Aya menggantikan Via sebagai sekretaris Eric. Ada-ada saja permintaan aneh Eric, mulai dari minta bersihkan meja setiap pagi sampai minta belikan nasi uduk pagi ini. Itu semua membuat Aya harus datang lebih pagi dari Eric.“Mana nasi uduknya?” tanya Eric mengagetkan Aya yang baru saja keluar dari ruangan Eric. Pria itu baru saja tiba saat jam di dinding menunjukkan pukul tujuh kurang lima belas menit. Suasana kantor juga masih sepi dari karyawan, hanya petugas kebersihan yang sedang melakukan tugasnya.“Ini, Pak. Sebentar saya antar ke ruangan Pak Eric,” ucap Aya menuju mejanya.Dari tempatnya berdiri, Eric dapat melihat ada dua wadah makan terletak di atas meja Aya.“Bawa punya kamu juga ke ruangan saya,” perintah Eric berjalan masuk ke dalam ruangannya.Aya berdecak, memanyunkan bibirnya. Niatnya mau sarapan pagi di ruangan atas malah batal karena permintaan Eric. Ia lantas membawa bungkusan yang berisi nasi uduk itu ke ruangan Eric.“Duduk. Makan di sini,” uca
“Anda siapa? Kenapa anda bisa masuk ke kamar saya?!” Kening gadis itu tampak berkerut saat melihat seorang pria berdiri di depan kamar hotelnya dan menerobos masuk ke dalam. Tidak seperti orang normal pada biasanya, pria itu tampak sempoyongan dengan tatapan mata yang sayu. Dengan langkah gontai ia mendorong tubuh gadis itu masuk ke dalam kamar. Gadis yang memiliki sapaan akrab Aya itu, hari ini memang sedang menggunakan voucher menginap gratis di sebuah hotel. Aya mulai gugup, tapi ia juga tidak bisa mengelak saat pria itu tahu-tahu telah menimpa dirinya. Cukup berat, sehingga Aya kesusahan untuk bergerak. “T-tunggu! T-tuan, anda siapa? Ini salah!” Sekuat tenaga Aya berteriak tepat di telinga pria itu, berharap pria itu bisa segera sadar. Dengan suasana kamar yang minim penerangan Aya sama sekali tidak jelas melihat wajah pria itu. “Fania, ini aku,” ucap pria itu setengah sadar dengan mata menatap Aya yang berada tepat di bawahnya. Senyum mengembang di bibir pria itu. Reflek Aya
Hari ini Aya resmi pindah ke cabang utama. Badannya masih terasa lelah akibat perjalanan darat yang cukup lama, tapi ia tidak mungkin untuk izin karena ini adalah hari pertamanya bekerja.Selesai memarkirkan motornya, ia bersiap untuk masuk.“Semoga hari ini baik-baik saja,” doa Aya dalam hati.Baru saja hendak melangkah masuk ke dalam kantor, ia bertemu tatap dengan seorang pria yang sedari tadi berdiri di depan pintu masuk. Pria itu menatap Aya dari ujung kaki hingga ujung kepala dengan seksama. Awalnya Aya berniat untuk menyapa, tapi karena ekspresi wajah pria itu sangat dingin, niat itu Aya urungkan.Dengan kepala sedikit menunduk, gadis itu melangkah masuk.Agenda rutin pagi ini adalah pengarahan dari manajemen. Kegiatan yang cukup membosankan tapi harus tetap dilakukan. Sepanjang pengarahan berlangsung, Aya terus menatap ke arah layar besar yang menyajikan data kinerja kantor cabangnya. “Ada yang ingin disampaikan, Pak Eric?” tanya moderator untuk yang kedua kalinya.Tanpa koma
Aya berbalik dan mengerutkan kening menatap Farah. Ia heran mengapa anak perempuan itu memanggilnya dengan sebutan mama. Aya kemudian memutar kepalanya ke kiri dan kanan, melihat ke sekelilingnya. Sejauh yang ia lihat tidak ada orang selain mereka di tempat itu.. Sudah pasti telinganyatidak salah dengar dengan apa yang anak kecil itu ucapkan. Ucapan yang tertuju untuknya.“Maaf, Mbak. Saya Ajeng, Omanya Farah,” ucap Ajeng memperkenalkan diri sambil menghampiri mereka berdua.Aya tersenyum menatap Ajeng sambil menyebutkan namanya.“Ayo sama Oma ya,” bujuk Ajeng mencoba melepaskan tangan Farah yang erat menggenggam tangan Aya.“Sudah. Gak apa-apa, Bu,” ucap Aya tidak tega melihat Farah yang tampak manyun.“Ini Mama kan, Oma?” Pertanyaan Farah membuat Aya dan Ajeng saling berpandangan bingung. Terlebih Aya.Tidak ingin membuat Farah menangis di tempat umum, Ajeng kemudian meminta tolong pada Aya untuk mengajak Farah ke toko mainan. Tentunya ia tetap mengikuti di belakang sambil menghubun
“Astaga. Apa-apa ini?.” Aya terbangun dengan nafas ngos-ngosan. Keringat terlihat mengalir membasahi tubuhnya, padahal pendingin ruangan di kamarnya berada dalam suhu sejuk. Tangannya meraih ikat rambut yang ada di atas meja, lantas ia beranjak dari atas kasur dan berjalan keluar kamar. Terdengar suara-suara dari arah dapur."Tumben kamu cepet bangun, Ay?" Mama yang sedang menyiapkan masakan di dapur heran melihat anak perempuannya sudah bangun di jam lima pagi ini. Biasanya Aya akan bangun kalau sudah mepet-meper waktu. "Mimpi buruk," lirih Aya menopang dagunya.Mendengar ucapan Aya, Mama menghentikan aktivitasnya kemudian mendekat. Ia jadi penasaran ingin tahu seburuk apa mimpi yang anaknya alami."Jangan diam aja dong, Ay. Mama juga mau dengar cerita mimpi buruk kamu itu," ucap Mama memaksa Aya yang dari tadi diam saja saat Mama bertanya."Ya mimpi buruk, Ma. Tempatnya gelap gitu, gak jelas," ucap Aya asal. Ia tidak mungkin menceritakan mimpinya secara gamblang pada Mama.Mimpi ya
Hari ini sudah hampir sepuluh hari, Farah dan Ajeng berada di kota tempat Eric bekerja. Itu artinya sebentar lagi mereka harus segera kembali ke Jakarta, karena Farah yang akan kembali masuk sekolah setelah libur dua minggu. Selama bekerja di luar kota Jakarta, Eric memang tidak membawa Farah untuk ikut dengannya. Sebaliknya Eric yang rutin akan pulang menemui anak perempuannya.“Jadi mau pulang hari apa, Ma?” tanya Eric yang mulai mencari-cari tiket pesawat di salah satu aplikasi online.“Lusa mungkin, Ric. Biar Farah sempat istirahat sebelum balik sekolah,” sahut Ajeng. Saat ini mereka sedang bersantai sambil menonton TV setelah selesai makan malam.“Papa,” ujar Farah beringsut mendekati Eric. Ia duduk di samping Papanya dan menatap.Perasaan Eric tiba-tiba saja tidak enak. Melihat tatapan Farah yang sepertinya menginginkan sesuatu.“Farah mau sekolah di sini aja, boleh kan?”Eric dan Ajeng saling menatap kaget saat mendengar permintaan Farah itu. Ajeng lantas mendekat dan mengelus r
Mumpung akhir pekan dan tidak ada kegiatan, Aya memilih untuk bermalas-malasan dibalik selimut hingga jam di dinding kamarnya menunjukkan pukul setengah sepuluh pagi. Sedikit berat membuka mata, gadis itu meraih ponsel yang ia letakkan di meja samping kasurnya. Panggilan masuk dari nomor yang tidak dikenal."Siapa ini ya?" tanya Aya bingung melihat panggilan masuk itu lantas membiarkannya hingga panggilan itu mati dengan sendirinya.Aya kemudian mengecek ponselnya. Keningnya berkerut melihat ada banyak panggilan tak terjawab dari nomor yang sama.+628xxxxAngkat. Ini Eric.Matanya melotot membaca pesan yang masuk itu. Beberapa detik setelah Aya membaca pesan itu, panggilan dari nomor yang sama kembali masuk.“Iya, P-pak,” ucap Aya menampilkan ponsel itu di telinga kirinya.“Tunggu.”Aya kaget melihat layar ponselnya berubah menjadi panggilan video dan ada satu nomor tidak dikenal yang bergabung.“Halo, Tante mama,” suara Farah begitu girang saat melihat wajah Aya di layar ponsel Ajeng