Share

Menuju Bandara

Hari ini sudah hampir sepuluh hari, Farah dan Ajeng berada di kota tempat Eric bekerja. Itu artinya sebentar lagi mereka harus segera kembali ke Jakarta, karena Farah yang akan kembali masuk sekolah setelah libur dua minggu. Selama bekerja di luar kota Jakarta, Eric memang tidak membawa Farah untuk ikut dengannya. Sebaliknya Eric yang rutin akan pulang menemui anak perempuannya.

“Jadi mau pulang hari apa, Ma?” tanya Eric yang mulai mencari-cari tiket pesawat di salah satu aplikasi online.

“Lusa mungkin, Ric. Biar Farah sempat istirahat sebelum balik sekolah,” sahut Ajeng. Saat ini mereka sedang bersantai sambil menonton TV setelah selesai makan malam.

“Papa,” ujar Farah beringsut mendekati Eric. Ia duduk di samping Papanya dan menatap.

Perasaan Eric tiba-tiba saja tidak enak. Melihat tatapan Farah yang sepertinya menginginkan sesuatu.

“Farah mau sekolah di sini aja, boleh kan?”

Eric dan Ajeng saling menatap kaget saat mendengar permintaan Farah itu. Ajeng lantas mendekat dan mengelus rambut hitam Farah. Perlahan mengulangi apa Farah katakan. Memastikan bahwa ia tidak salah dengar ucapan cucunya.

“Iya, Oma. Farah mau sekolah di sini aja sama, Papa,” ucap Farah begitu mantap.

Ajeng dan Eric terdiam. Bingung mau menjawab apa.

“Boleh kan, Pa?” tanya Farah lagi.

“Memangnya sekolah di sana kenapa, Farah? Bukannya Farah senang sekolah di sana. Teman-teman Farah kan banyak di sana,” ucap Eric membelai rambut anak perempuannya itu. Mencoba melunak.

“Iya, Farah. Nanti teman-teman Farah sedih kalau Farah gak sekolah di sana lagi,” kata Ajeng coba membujuk. Meski Eric adalah Papanya Farah, Ajeng sedikit ragu dengan kemampuan Eric menjaga anak.

Walau sangat kaget dengan permintaan Farah, tapi Ajeng tahu ini semua pasti disebabkan oleh Aya. Farah pasti ingin terus bertemu dengan Aya yang wajahnya sangat mirip dengan ibunya.

“Tapi kan nanti bisa ketemu lagi sama mereka kalau Farah ke sana.”

“Kalau Farah sekolah di sini, Oma gak bisa ikut pindah ke sini juga lo. Kan kerjaan Oma di sana,” ucap Eric memberikan gambaran. Sedari sepeninggal istrinya, Farah memang dijaga serta diasuh oleh Ajeng, dan sudah pasti ia sangat dekat dengan Omanya itu.

Farah terdiam mendengar ucapan Eric. Ia juga tak ingin pisah dengan Ajeng, tapi ia juga ingin terus bisa bertemu dengan Aya di sini.

“Nanti kalau Farah di sini, kalau Oma kangen gimana?” Ajeng merangkul cucunya itu dengan wajah sedih. Ia juga berat kalau harus berpisah dari Farah yang sudah bersamanya dari bayi.

“Tapi Farah… .” Raut wajah Farah sedih bercampur bingung. Anak sekecil itu tentu tidak tahu harus bersikap seperti apa dengan situasi yang ia hadapi.

“Oma temenin Farah tidur ya, sudah malam. Nanti kita bicara lagi,” ucap Ajeng mengajak Farah untuk masuk ke kamar.

“Bobo ya, Farah.” Eric mencium kening anak gadisnya itu.

Ia sendiri juga bingung harus seperti apa dengan permintaan Farah. Kalau Farah ikut dengannya, ia harus mencari orang untuk menemani Farah selama ia di kantor. Belum lagi ia harus menyiapkan semua keperluannya. Ia tidak mungkin mengajak Ajeng ikut pindah karena Ajeng sendiri punya kesibukan sendiri di Jakarta. Selain punya toko emas, Ajeng juga punya toko roti yang ia terjun langsung dalam proses pembuatan beberapa roti khas dari tokonya.

“Ini pasti gara-gara ketemu dengan dia,” gumam Eric mengingat Aya.

***

Setelah perdebatan alot dengan Farah, akhirnya anak perempuannya itu mau juga balik ke Jakarta dengan Ajeng. Eric berjanji akan pulang ke Jakarta dan mengurus kepindahan sekolah Farah, setelah mendapatkan persetujuan cuti dari kantor pusat. Tentunya Farah juga punya persyaratan sendiri. Ia mau pulang ke Jakarta dengan diantar Farah ke bandara. Ajeng sempat bingung bagaikan caranya mencari Aya, sementara mereka bertemu secara tidak sengaja.

“Kamu sebenarnya kenal ya sama Aya?” tanya Ajeng melihat Aya tiba di rumah dinas Eric dengan mengendarai motor maticnya. Belum sempat ia menjawab, Farah sudah heboh berlari keluar menghampiri Aya.

Tak berselang lama, setelah semua barang Ajeng dan Farah masuk ke dalam mobil, mereka pergi meninggalkan rumah dan menuju bandara. Perjalanan menuju bandara tidak memakan waktu yang terlalu lama. Eric sengaja berangkat lebih cepat agar bisa mengajak Farah untuk makan ayam di salah satu tempat makan siap saji yang ada di bandara.

“Nanti Farah bakal pindah sekolah di sini, Tante Mama Aya,” ucap Farah bersemangat sambil menyantap ayamnya.

Eric dan Ajeng reflek saling berpandangan mendengar sebutan yang Farah ucapkan.

“Wah, asyik dong,” sahut Aya terlihat antusias.

Selesai makan, mereka kembali masuk ke ruangan keberangkatan karena waktu terbang yang sudah dekat. Eric menggendong dan memeluk erat anak perempuannya itu.

“Mbak Aya, terima kasih banyak ya sudah mau direpotkan sama Farah,” ucap Ajeng merangkul pindah Aya sejenak. Berada dengan jarak yang sangat dekat, Ajeng bisa melihat jelas wajah Aya yang sangat mirip dengan mendiang menantunya. Sampai posisi tahi lalat yang letaknya ada di pipi kanan Aya juga sama persis dengan yang dimiliki oleh mendiang menantunya.

“Sama-sama, Bu. Maaf kalau tindakan saya ada yang kurang berkenan,” ucap Aya mengumbar senyum tulus.

Begitu Eric menurunkan Farah dari gendongannya, gadis kecil itu langsung memeluk Aya. Begitu erat seperti tak ingin lepas.

“Nanti kita ketemu lagi ya, Tante Mama Aya,” ucap Farah mengurai pelukan. Wajahnya begitu sedih dengan bibir yang sedikit manyun.

“Pasti, Farah sayang. Hati-hati ya,” kata Aya mengusap lembut rambut Farah.

Berdiri di samping Eric, Aya melambai kala Ajeng dan Farah masuk ke dalam. Begitu mereka tidak terlihat lagi, Eric menatap Aya kemudian berjalan lebih dulu.

Mengejar Eric yang hampir sampai di pintu keluar, Aya berniat untuk pulang sendiri. Rasanya aneh bersama dengan Eric di dalam satu mobil. Aya sudah membayangkan pasti akan sangat kikuk.

“Ayo,” ajak Eric.

“Saya jalan sendiri aja, Pak,” ucap Aya.

Eric menoleh dan kembali menatap Aya. Untuk kedua kalinya Eric mengajak Aya. Tak ada pilihan, ia mengikuti langkah Eric menuju parkiran mobil.

Seperti yang sudah Aya bayangkan sebelumnya, situasi di mobil sangat kikuk. Baik Eric dan Aya tidak terlibat pembicaraan apapun. Suara musik juga tidak ada. Sepanjang perjalanan mereka berdua seperti orang yang sedang mengheningkan cipta. Mendekati komplek rumah dinas Eric, gerimis mulai turun dan semakin deras saat mereka tiba di rumah. Turun dari dalam mobil, Aya berniat untuk langsung pulang.

“Hujan begini?” tanya Eric heran saat Aya pamit hendak pulang meski tidak membawa jas hujan. Eric lantas menyuruh Aya untuk menunggu hujan sedikit lebih reda. Namun saat Aya hendak melangkahkan kaki naik menuju teras, salah satu kakinya tak sengaja menginjak kulit pisang dan nyaris membuatnya terpeleset kalau saja Eric tak sigap menangkapnya.

“Matanya begitu familiar. Aku pernah ketemu Pak Eric di mana?” gumam Aya dalam hati kala mata mereka saling bertaut untuk beberapa saat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status