6
“Aku malah curiga kebakaran yang menimpa restoranku ada hubungan dengan Mama.” Elsa membalas sinis.
Mata Dinar melebar sempurna, bahkan seolah ingin loncat dari rongganya. Wajahnya merah padam dengan otot pelipis terlihat berdenyut. Wanita paruh baya itu ingin menyerang Elsa, tetapi dengan sigap Adrian menghadangnya. Memeluk sang ibu dan menenangkannya agar tidak terjadi keributan lain.
“Ma, sudahlah. Jangan tambah masalah lagi. Kasihan Elsa, lihat ia bahkan butuh pengobatan karena penyerangan wanita tadi.”
“Itu salahnya sendiri kenapa ia tidak becus, tidak perhatian terhadap karyawannya. Dan memang benar apa yang dikatakan wanita tadi, jika Elsa bodoh. Untuk apa mendirikan lagi restoran baru, padahal restoran peninggalan David sudah cukup untuk menghidupi dirinya dan Davina,” sergah Dinar yang sibuk ingin melepaskan diri.
“Sudah, sebaiknya Mama diam dulu untuk saat ini. Elsa baru saja tenang. Vivi juga ketakutan, kan? Jangan buat mereka semakin menderita,” ujar Adrian lagi bijak.
“Tapi semua ini terjadi memang karena kesalahannya sendiri, kok. Lihat saja semua masalah datang secara beruntun. Ini pasti hukuman Tuhan atas semua perbuatannya. Mama yakin jika Elsa sudah berbuat serong dengan mantan suaminya. Bahkan sebelum David—”
“Ma, sudah ya, lebih baik sekarang ikut aku melihat kondisi karyawan korban kebakaran itu. Mama sepertinya juga butuh udara segar,” bujuk Adrian lagi lembut sebelum melepaskan pelukannya. Kemudian lelaki itu berjalan mendekati Elsa yang masih duduk memeluk Davina.
“El, Abang mau melihat kondisi karyawan kamu, ya. Jika boleh istirahat di sini, istirahat saja. Atau mungkin sebaiknya kamu pulang saja diantar sopir. Bukankah di sini ada ibumu?” Adrian bertanya lembut setelah sebelumnya membungkuk, mensejajarkan diri dengan tubuh mungi Elsa yang duduk.
Elsa hanya mengangguk sebagai jawaban. Semua terjadi begitu cepat hingga membuatnya shock. Karenanya sejak tadi tak mampu berkat-kata. Untunglah Adrian sudah mengurus semuanya.
Adrian menyentuh kepala Elsa yang rambutnya berantakan. Kemudian membelainya singkat sebelum menegakkan tubuh.
“Mungkin Abang mengantar Mama pulang dulu. Nanti kesini lagi jemput kamu dan Vivi.”
Lagi-lagi Elsa hanya menganggukkan kepala, sebelum bibirnya bergerak pelan.
“Terima kasih, Bang.” Ucapan sangat lirih pun akhirnya terdengar.
Adrian balas mengangguk dengan ekspresi datar andalannya. Tidak ada senyum seperti biasa. Karena itulah pribadinya. Elsa sudah sangat mengenalnya. Adrian pria kaku, tetapi lembut dan penyayang. Sebenarnya, bukan ide buruk naik ranjang seperti keinginan ibu mertuanya, hanya saja ia sudah menganggap Adrian sebagai kakak kandung. Rasa kepada Adrian berbeda dengan perasaannya untuk David.
Tak lama berselang setelah Adrian dan Dinar pergi, Irma datang bersama Abyasa. Mungkin Adrian yang meminta Irma menemuinya. Sama seperti tadi, tidak banyak yang Elsa ucapkan. Ia tetap diam karena masih shok dan malu atas semua yang terjadi. Bahkan saat Abyasa kembali mengambil alih Davina, Elsa tak menampik. Ia membiarkan saja lelaki itu menggendong Davina. Ia sendiri berjalan dipapah sang ibu.
“Bapakmu sekarang di ruang operasi. Mungkin akan memakan waktu lumayan lama, kita ke kantin dulu, Sa. Kamu juga terlihat sangat lelah,” ujar Irma saat membawa Elsa keluar dari sana.
Lagi-lagi Elsa tidak menjawab. Hatinya remuk redam menyadari jika nanti sang ayah tidak akan memiliki kaki. Semoga sang ibu akan ridho mengurus dan mendampinginya walaupun suaminya menjadi pria cacat.
Mereka berjalan menuju kantin. Abyasa berjalan lebih dulu dengan terus menggoda Davina dalam gendongannya hingga sedikit demi sedikit anak tersebut tak lagi ketakutan.
Elsa tak memungkiri, Abyasa sangat baik terhadap Davina. Perlakuannya layaknya ayah kandung. Di saat seperti ini ia bersyukur ada orang-orang yang bersedia membantunya tampa pamrih. Adrian yang membantu mengurus segala sesuatu terkait kebakaran itu. Juga Abyasa yang terus mendampingi dan membuat Davina nyaman. Namun, lagi-lagi itu bukan alasan ia bisa menerima dan menikah dengan salah satu dari mereka.
Di sini mereka sekarang. Duduk di kantin yang berkonsep outdoor. Bangunan yang hanya memiliki tembok rendah itu memudahkan Elsa dan ibunya mengawasi Davina yang diasuh Abyasa di taman depan.
“Makanlah dulu, Sa. Kamu pasti lapar.” Irma mendekatkan semangkuk soto yang masih mengepulkan asap. Juga nasi dalam piring.
Elsa diam saja seraya kembali mendorong piring di hadapannya agar lebih dekat dengan sang ibu.
“Ibu saja yang makan. Aku belum lapar.”
Irma menghela napas. Kondisi saat ini memang membuat napsu makan pergi jauh. Ia pun sebenarnya terpuruk mendapati suaminya yang harus kehilangan kaki. Namun, mereka butuh kekuatan untuk tetap bertahan.
“Bu, menurut Ibu apa yang harus kita lakukan setelah ini?” Akhirnya Elsa bertanya. Dan ini kalimat terpanjang yang keluar dari mulutnya pasca penyerangan tadi.
“Ruko itu sudah terbakar. Padahal itu satu-satunya aset asli milikku. Kita tidak punya apa-apa lagi, Bu. Semua tabunganku sudah terkuras untuk membuka restoran itu. Bapak juga memerlukan prawatanan lanjutan setelah ini.” Elsa berkata dengan suara lirih, keputusasaan tersirat jelas di sana.
Sang ibu mengembus napas kasar. Ia prihatin dengan nasib sang anak yang didera musibah beruntun seperti ini.
“Tapi masih ada restoran milik mantan suamimu, kan?” Irma menggenggam tangan sang anak di atas meja.
Elsa memejam lemah. Desahan putus asa meluncur dari mulutnya.
“Mungkin Mama Dinar akan benar-benar mengambilnya, Bu. Karena semua itu memang bukan milik kita,” lirih Elsa lagi.
Irma kembali mengembuskan napas kasar.
“Tapi semua itu sudah menjadi milik Vivi. Ayahnya sudah mewariskan semunya.”
Elsa menggeleng. Tatapannya yang sayu menyiratkan beban yang ia tanggung begitu berat.
“Aku tidak mungkin menikah dengan Bang Adrian, Bu. Dia sudah seperti kakak sendiri. Aku tidak akan bisa mencintainya. Tapi itu satu-satunya syarat agar Mama Dinar tidak akan mengusik kita lagi.” Elsa menjeda kalimat. Sementara Irma masih menatap prihatin.
“Kalau aku menikah dengan Bang Adrian, aku hanya akan mencintainya sebagai Bang David, bukan dirinya sendiri. Itu tidak adil untuknya, Bu. Bang Adrian sangat baik padaku dan Vivi, ia pantas mendapatkan lebih.” Elsa meremas pelan tangan sang ibu yang masih menggengamnya untuk mencari kekuatan.
Irma berkedip lemah. Sebagai perempuan yang tidak mengenyam pendididkan tinggi dan papa harta, ia tidak bisa memberi solusi yang yang terbaik. Hidupnya beberapa tahun terakhir justru hanya tergantung dari Elsa.
“Bagaimana kalau kamu menerima tawaran Pak Abyasa saja, Sa?” tanya Irma akhirnya setelah melirik keluar bangunan kantin. Di sana lelaki itu masih mengajak Davina bermain.
Di depan kantin ada taman kecil dengan kolam dan air mancur mini. Di kolamnya sendiri ada banyak ikan hias berwarna-warni yang menarik perhatian. Dari dalam sini terlihat Davina senang bermain di sana. Terlebih Abyasa menemaninya dengan sabar. Gadis kecil itu sudah terlihat kembali riang, sesekali menepuk air kolam dengan kakinya.
Elsa memejam mendengar pertanyaan sang ibu.
“Itu lebih tidak mungkin lagi, Bu. Cerita kami sudah selesai.” Elsa menyilangkan kedua tangan di depan dadanya. Pandangan putus asa berubah kelam dalam sekejap. Seperti yang Irma lihat setiap kali mereka membahas Abyasa.
“Kalian bisa memulainya lagi, Sa. Bukakah Pak Abyasa sudah menyesali semuanya? Ia bahkan sudah menerima hukuman lebih pahit dari apa yang ia lakukan padamu. Pak Abyasa pernah bersumpah kepada Ibu tidak akan menikah lagi seumur hidup jika bukan dengan kamu.”
Elsa mendengus. Salah satu sudut bibirnya terangkat.
“Ibu tidak tahu apa yang terjadi padaku dulu. Lelaki itu menceraikan dan membuangku tengah malam buta, Bu. Padahal ia sendiri yang berselingkuh!” Suara Elsa meninggi walaupun tidak berteriak. Wajah Irma memucat. Sang ibu memang tidak tahu apa yang terjadi dengan hubungan Elsa dan Abyasa karena mereka baru bertemu lagi saat Elsa tengah hidup bahagia bersama David.
“Sa ….” Bibir Irma bergetar. Keningnya berkerut dalam.
Elsa mengibaskan tangan. Ia memang tidak pernah menceritakan detail penyebaab perceraiannya kepada ibunya karena tak ingin mengungkit luka masa lalu. Toh ia sudah memiliki David saat itu. Namun, luka itu selalu terbuka tatkala David pergi dan Abyasa kembali gencar mendekatinya.
“Sudahlah Bu, bukan waktu yang tepat membahasnya. Yang penting sekarang kita pikirkan bagaimana hidup kita setelah ini. Kita tidak mungkin terus tinggal di rumah Bang David.”
“Jadi kita akan pergi dari sana, Sa?’’
Elsa tengah megangguk saat jeritan Davina terdengar memekkan telinga. Anak itu berlari menyongsongnya dengan tangisan dan ocehan yang berbaur.
“Ma, Bapak polisi mau membawa Papa Aby.”
7“Ma, aku mohon sudahi semua.”Sore ini Elsa sengaja mendatangi rumah sang ibu mertua setelah proses operasi sang ayah dinyatakan lancar. Walaupun pria paruh baya yang hampir seluruh tubuhnya dipenuhi luka bakar itu belum sadarkan diri, tetapi setidaknya dokter menyatakan masa kritisnya telah lewat.Elsa bisa meluangkan waktu untuk mengurus kasus yang tiba-tiba saja menimpa Abyasa.Lelaki itu ditangkap polisi di sekitar rumah sakit dengan alasan yang tidak masuk akal. Dalang kebakaran rukonya, juga penculikan anak. Padahal Abyasa tengah mengasuh Davina saat itu. Dan Davina sendiri sangat riang bermain ditemani laki-laki itu.Belakangan Elsa tahu jika sang ibu mertua yang melaporkan Abyasa ke polisi. Sangat tidak masuk akal. Hanya karena tidak ingin ia menikah dengan laki-laki itu, sang ibu mertua sampai membuat laporan palsu. Ya, palsu menurut Elsa karena Abyasa tidak pernah menculik Davina sama sekali. Anak itu sangat senang jika bersama Abyasa. Saat penangkapan kemarin, gadis kecil
8“Apa yang Mama lakukan?” Adrian yang beberapa detik lalu hanya mematung, gegas mengambil tas Elsa. Lalu memasukkan barang-barang yang dibuat berantakan oleh sang ibu kembali ke dalam tas.Sementara Elsa yang masih kaget dan tidak percaya dengan yang baru saja terjadi, masih bediri dengan wajah pias dan jantung yang bekerja lebih cepat. Semua terjadi begitu cepat, hingga ia tak bisa berubuat apa-apa. Matanya mengerjap setelah beberapa lama, kedua tangan memegangi dada di mana di dalamnya ramai berbagai perasaan yang berbaur.“Ma, kembalikan semua milik Elsa. Ini tidak benar.” Adrian maju setelah barang-barang yang semula berserakan di lantai telah kembali berada di dalam tas. Kemudian menadahkan tangan, meminta sang ibu mengembalikan semua yang sudah dirampasnya dari dompet Elsa.Alih-alih menuruti permintaan Adrian, Dinar melipat kedua tangan di dada. Salah satu ujung bibirnya terangkat, hingga menciptakan lengkungan sinis di sana.“Enak saja, Mama tidak akan mengembalikan semuanya.
9“Pemilik rumah? Siapa maksud kalian?” Elsa menatap tajam semua orang itu dengan kening yang berkerut. Pun dengan Adrian yang sudah menyusul.“Aku pemilik rumah ini. Ini rumah suamiku. Aku bahkan bisa menunjukkan surat-surat resminya.” Elsa nyolot. Tentu saja ia tidak terima tiba-tiba diusir dari rumahnya sendiri. Oleh orang-orang asing pula yang ia yakin mereka bodyguard. Terlihat dari perawakannya yang mirip satu sama lain.“Kami tidak perlu mengatakannya. Silakan pergi dari sini. Kami sudah membereskan barang-barang Anda semua.” Salah satu dari mereka yang menjadi perwakilan menunjuk beberapa koper yang ditumpuk asal.“Enak saja kalian bicara. Aku pastikan tidak akan pergi dari rumah ini. Aku bahkan bisa mempolisikan kalian atas tindakan ini!” Elsa mulai tersulut emosi. Lelah jiwa raga membuatnya cepat terpancing. Wanita itu ingin merangsek masuk, mencoba menembus para pengawal itu. Sayangnya mereka tidak memberi jalan, bahkan salah satunya ingin menyentuh tangan Elsa untuk ditari
10“Maukah Abang menikahiku?” Elsa bahkan harus menahan perih di hatinya saat mengatakan kalimat terebut.Namun, ia harus melakukannya. Demi keluarganya. Lihatlah Vivi yang tidak nyaman tidur di rumah sakit. Juga sang ibu yang wajah lelahnya sangat kentara dan matanya yang menghitam karena hanya tidur sebentar-sebentar sembari duduk. Terlebih sang ayah yang kini tidak punya kaki dan masih harus mendapatkan perawatan akibat luka bakar di seluruh tubuhnya.Mereka semua menjadi alasan ia akhirnya memutuskan menerima pernikahan itu. Mereka semua tangung jawab Elsa, dan alangkah tega bila ia bertahan dengan keegoisan, tidak mau memenuhi keinginan Dinar padahal keluarganya berhak mendapatkan kenyamanan.Yang terpenting bagi Elsa saat ini adalah keluarganya. Tidak mungkin seterusnya membawa Davina tidur di rumah sakit. Belum lagi jika sang ayah sudah diperbolehkan pulang nanti, mereka akan tinggal di mana? Rumah dan semua aset peninggalan David sudah dirampas ibu mertuanya, dan hanya akan di
11“Bapak sebaiknya istirahat saja, ya. Atau mau makan? Aku suapin, ya.” Elsa membetulkan selimut Fadli, kemudian mencium punggung tangannya. Ia tak ingin membebani sang ayah yang mungkin belum tahu kodisi dirinya saat ini.“Kamu jangan menikah dengan Adrian, Sa.” Tanpa mendengarkan ucapan Elsa, pria paruh baya tetap menyuarakan pendapatnya.“Pak, sudahlah. Kita bahas itu nanti saja. Bapak baru sadar, dan mungkin belum tahu kalau ….” Elsa menggantung kalimat, tidak sanggup menyampaikan jika sang ayah kini tidak lagi memiliki kaki.“Kalau apa, Sa?” Sang ayah seolah menyadari sesuatu. Ia mengangkat tangannya walaupun lemah. Keningnya langsung berkerut. Antara heran dan tengah mengingat sesuatu. Bola matanya berputar sebelum meraba wajah dengan kedua tangan, di mana salah satunya terhubung ke botol infus melalui selang kecil.Fadli menoleh dan menatap sang anak yang baru disadarinya, berwajah pucat dan sayu.“Bagaimana restoranmu, Sa? Apinya—” Pria tersebut seolah sedang mengingat apa ya
12“Kenapa Papa ndak pulang-pulang, Ma?”Elsa menggeleng cepat dengan gerombolan air di sudut matanya yang sudah tidak bisa dibendung. Tidak ada yang lebih menyakitkan selain menjadikaan anak sekecil itu seorang yatim. Namun, bila takdir sudah berkehendak, siapa yang dapat menampik?Jika boleh meminta, Elsa juga ingin David hidup lebih lama lama lagi. Membersamainya dan Davina sampai mereka tua dan anak-anak dewasa. Sampai mereka melihat anak-anak mandiri, sukses dan menemukan kebahagiaan hidup dengan pasangan. Atau jika boleh menawar, ia ingin mereka bertiga meninggal bersama-sama dalam kecelakaan itu. Agar tidak ada hati yang menyandang luka karena ditingggalkan.Namun, lagi-lagi takdir sudah menentukan. Manusia hanya menjalani. Semua sudah digariskan sejak di Lauhul Mahfud sana sebelum setiap nyawa terlahir. Paling tidak, itu yang selalu diyakini Elsa.**Hari-hari berlalu. Elsa dan keluarganya sudah bisa kembali ke rumah pasca Elsa menyetujui menikah dengan Adrian. Sebenarnya, Din
13 “Pak Abyasa?” Irma bergumam antara lirih dan senang. Pun dengan Fadli yang duduk di kursi roda. Beda halnya dengan Elsa yang kebenciannya bertambah berkali-kali lipat melihat kedatangan lelaki itu. Bagaimana bisa lelaki itu datang mengacaukan pernikahannya? Baginya itu sangat tidak tahu malu dan tidak punya … hati. Setelah apa yang dilakukannya di masa lalu terhadapnya, kini Abyasa datang untuk menghancurkan pernikahannya. Hanya karena ia lebih memilih Adrian daripada laki-laki itu. “Apa yang diinginkan laki-laki itu?” geram Dinar yang berdiri sembari mengangkat kain kebayanya. Wajah wanita itu merah padam. Ia hendak maju, tetapi Adrian menahannya. “Elsa, maaf aku mengganggu hari pernikahanmu, tapi sebaiknya kau tunda dulu sampai benar-benar yakin. Aku membawa sebuah kabar untukmu.” Abyasa yang tangannya dipegangi beberapa orang, berteriak dari jarak tidak begitu jauh. Elsa yang wajahnya merengut, melirik Adrian yang sama-sama berwajah merah. Sang mempelai laki-laki pun maju s
14“Jika Pak Abyasa datang membawa kebenaran, aku mungkin akan membatalkan pernikahan ini. Tapi kita lihat, bila ia datang membawa omong kosong, maka aku sendiri yang akan melaporkannya ke polisi karena sudah membuat keributan.”Hening sesaat. Berbagai mimik berbeda terpancar dari wajah keluarga inti pasca ucapan tegas Elsa barusan. Irma tak terasa menyunggingkan senyum tipis, sedangkan suaminya hanya berekspresi datar. Reaksi keras tentu saja datang dari mempelai laki-laki dan ibunya.“El, apa-apaan ini?” Adrian menatap tidak suka.“Iya, apa maksudmu menunda pernikahan dan kemungkinan membatalkan? Kau pikir semudah itu? Kami sudah membayar semua ini. Apa kau punya uang untuk ganti rugi jika pernikahan batal?” timpal Dinar lebih marah.Elsa memejam sebentar, kemudian melirik kedua orang tuanya. Wajah Irma kembali memucat mendengar ucapan calon besannya. Sementara Fadli tetap saja memasang wajah datar tanpa ekspresi.Elsa kembali menatap calon suami dan calon ibu mertuanya tenang. Enta