Langit di luar jendela kantor Dastan tampak kelabu, tapi bukan cuaca yang membuat suasana ruangan itu terasa berat. Di dalam ruang rapat utama yang dikelilingi panel kaca dan layar-layar besar, suara presentasi dari tim keuangan terdengar lantang. Namun, tak satu pun kalimat masuk ke kepala Dastan.Sosoknya yang biasanya tegas dan tajam dalam menanggapi setiap laporan kini hanya duduk membisu, jari-jarinya saling mengunci di atas meja panjang, tatapannya kosong.Kalimat Tommy dari malam sebelumnya terus memutar seperti loop tak berujung di kepalanya:“Apa kau tahu kebohongan apa yang dia sembunyikan demi memanfaatkanmu?!”“Dia telah mempermainkanmu. Aku bisa buktikan semuanya."Dastan memejamkan mata sejenak, menyembunyikan kekesalan yang mulai mengikis fokusnya. Rahasia? Rahasia macam apa yang dimaksud pria brengsek itu? Kalau itu hanya lelucon, Tommy memilih waktu dan tempat yang salah. Tapi jika dia sungguh-sungguh mengetahui sesuatu... maka Dastan harus mengetahuinya. Saat Dastan
Mata Lyra menatapnya, lama, dalam, seolah sedang merencanakan sesuatu.Lalu, perlahan, wajahnya mendekat. Bibirnya yang beraroma anggur menyentuh bibir Dastan dengan kelembutan yang membuat dunia di sekeliling mereka runtuh dalam sunyi.Tak ada suara. Tak ada angin. Hanya mereka berdua di dunia yang menggantung di antara realita dan mimpi.Tangan Dastan bergerak meremas pinggang Lyra, seperti enggan melepaskan. Jantungnya berdetak liar, denyutnya seolah menampar dinding dadanya sendiri.Apa yang baru saja terjadi?Ciuman itu bukan hanya sekadar sentuhan bibir. Ada sesuatu di sana. Sebuah rasa yang begitu dalam dan mengoyak logikanya dalam sekejap. Ketika bibir Lyra menyentuhnya, pertahanan dirinya pun jadi porak-poranda. Dia tak lagi bisa berpikir. Tak bisa bergerak sesuai nalar. Hanya hasrat dan keterkejutan yang bergemuruh dalam benaknya.Dastan bersiap membalas. Tangannya baru saja bergerak hendak menarik tubuh Lyra lebih dekat, ketika pelukan Lyra tiba-tiba mengendur.Pagutan mere
“Apa-apaan ini, Dastan?! Kami hanya bermain!” Rachel berteriak, buru-buru menghampiri Tommy yang tersungkur di lantai, memegang rahangnya yang berdarah. Dia menatap Dastan seolah pria itu sudah kehilangan akal sehat.Dastan tak menggubris tatapan marah Rachel. Matanya tajam menyorot Tommy, rahangnya mengeras. “Permainan kalian merugikan istriku.”Nada suaranya datar, nyaris tanpa emosi tapi terasa sangat mematikan.Rachel melirik ke arah Lyra yang kini berada dalam dekapan para sepupu wanita, tubuhnya sedikit limbung, wajahnya pucat. Gaun mewah yang dikenakannya justru membuat dirinya terlihat rapuh. Nafas Lyra terengah, menjelaskan bahwa dia baru keluar dari siksaan sosial yang tak kasat mata.“Dastan… kau menghajarku karena dia?” Tommy meringis, mencoba berdiri. “Kau serius? Aku sepupumu, sementara dia? Dia hanya orang asing yang meminjam namamu!”“Diam kau, brengsek!” Dastan mendesis tajam. Tangan kirinya terangkat, tapi bukan untuk memukul melainkan untuk menarik Lyra keluar dari
Pria itu tersenyum kecil, menyadari keterkejutan Lyra. Tatapannya tak berpaling, penuh penilaian. Rambutnya disisir rapi ke belakang, jasnya pas di tubuh, aroma cologne mahal samar-samar tercium ketika ia bersandar sedikit lebih dekat dari seharusnya."Maaf jika aku mengejutkanmu," lanjutnya sambil tersenyum tipis."Hai, Tommy... Kenapa kau ke sini? Bukannya bergabung di ruang pecinta cerutu?" Sapa Rachel mewakili sambutan untuk pria itu. Tommy tertawa kecil. "Aku bukan pecinta cerutu, aku pecinta wanita," jelasnya membuat bola mata Rachel berputar. "Dasar playboy." Rachel lalu menoleh pada Lyra. "Tommy ini sepupu kami yang juga tinggal di luar negeri. Dia seorang cassanova," bisiknya di akhir kalimat. Tapi cukup untuk memancing tawa Tommy. "Jangan dengarkan dia, Lyra... aku tak seburuk itu."Lyra mengangguk kecil, mencoba tetap sopan meski naluri dalam dirinya menuntut untuk segera mundur. Aura pria itu mengganggu. Cara dia menatap seolah menelanjangi setiap lapisan kepercayaan di
"Ya, itu sangat benar," Rachel menimpali dengan antusias. Tangan Lyra menggenggam telinga cangkir lebih erat, mencoba tetap tenang meskipun dadanya terasa sesak. Di sudut matanya, dia menangkap bayangan Leona duduk elegan di sisi jauh meja, menyesap wine dengan tatapan puas, seolah tahu siapa yang menyebar narasi di balik candaan itu."Ini candaan?" pikir Lyra dalam hati, atau "Isu ini sudah dibisikkan Leona ke telinga mereka lebih dulu?"Dastan meletakkan gelas anggur yang kosong dengan suara cukup keras hingga membuat tawa-tawa samar itu berhenti seketika. Semua mata sontak tertuju padanya. “Istriku bekerja bukan karena dia harus,” ucap Dastan datar. “Dia bekerja karena dia mampu.”Lyra menoleh, matanya perlahan membulat. Dastan tidak menatapnya, hanya terus berbicara dengan tenang namun jelas, “Dan aku sangat menghargai seseorang yang tidak hanya cantik, tapi juga bisa berpikir dan mempunyai prinsip hidup.”Tante Martha mengangkat kedua alisnya, tetapi tak bicara apapun.Dastan m
Suasana makan malam mendadak berubah tegang, semua kepala perlahan menoleh ke arah Rachel, layar ponsel, lalu ke Lyra.Lyra tak bereaksi untuk beberapa detik. Itu jelas dirinya. Duduk di sebuah kafe pagi tadi, masih dalam balutan coat tipis, bersama Gary yang hanya tampak dari belakang.Ia cepat menoleh ke Dastan. Ingin tahu bagaimana reaksi sang suami dengan hal itu. Namun pria itu hanya menatap sekilas ke arah ponsel lalu kembali sibuk dengan kursinya sendiri. Ekspresi wajahnya datar. Terlalu tenang.Sikap yang justru membuat Lyra makin goyah. Ia tak tahu, apakah itu pertanda Dastan marah padanya atau justru sebaliknya.Rachel menurunkan ponsel perlahan, lalu memperbaiki posisi duduk kembali, suaranya tetap ringan namun sarat makna.“Seorang teman putriku mengirim ini padanya tadi siang, bertanya apa ini benar-benar istri pamannya? Dia ingin memastikan. Kupikir, daripada menebak-nebak, lebih baik langsung kutanyakan saja, bukan?”Hening. Seolah semua yang hadir ikut menunggu jawaba