Belum juga ucapan salam pembukanya selesai, Suara keras Talia sudah lebih dulu mendobrak gendang telinganya. “APA YANG KAU LAKUKAN, LYRA?!” teriakan Talia membelah udara seperti cambuk petir. “Kenapa belum ada pemberitahuan apa pun dari perusahaan Adiwangsa? Kau tidak bicara pada Dastan?!” Lyra mencoba menarik napas, bersiap menjelaskan, tapi Talia tak memberinya ruang.“Kenapa nama perusahaan kita TIDAK ada dalam daftar? HAH?! “Ma... dengar dulu—”“DENGAR APA?!” sembur Talia, memburu tanpa ampun. “Dua sosialita di grup sudah memamerkan undangan langsung dari Adiwangsa Corp! Undangan EKSKLUSIF! Kau tahu apa artinya?! Kita disingkirkan, Lyra! KITA TIDAK DIANGGAP!”Lyra terdiam. Kepalanya mulai pening mendengar amukan ibunya.“Kau tinggal dengan Dastan! Kau tidur dengannya! Tapi bahkan satu undangan proyek pun TAK BISA KAU DAPATKAN?! APA GUNANYA KAU DI SANA?!”Lyra sontak memejamkan mata. Suara ibunya tak hanya menusuk telinga, tapi juga menusuk ulu hati.“Ma, tolong—”“Kau gagal, Ly
Ibunya pasti menuntut penjelasan kalau mereka gagal dan... dia tak siap.Langkah kaki Dastan kembali terdengar dari dalam walk-in kloset. Lyra langsung berpura-pura sibuk dengan tabloid, meski hanya asal membuka lembaran tanpa melihatnya. Ia bahkan tak sadar bahwa napasnya mulai pendek karena tegang.Dastan berdiri di depan cermin, mengenakan kemeja putih dan celana bahan gelap. Jemarinya sibuk menyesuaikan dasi navy bergaris halus, seraya menahan ponsel di antara pipi dan bahu.“Tidak ada tender terbuka,” katanya tenang pada lawan bicara di telepon. “Aku sudah menetapkan sendiri siapa yang akan jadi subkontraktor, pemasok, dan mitra teknis utama. Biarkan yang lain berisik di media, aku hanya butuh hasil.”Di tempat tidur, Lyra duduk menegakkan tubuh, pura-pura tenggelam dalam tabloid. Padahal matanya hanya tertuju ke arah suara Dastan berasal. Sejak percakapan pagi mereka kemarin, Dastan belum memberi kejelasan apa pun soal keputusan proyek besar itu. Dan sekarang... dia masih tidak
Setelah beberapa detik yang mencekam.Dastan akhirnya berkata lebih lanjut, “Ada beberapa perusahaan yang diajukan oleh para investor. Mereka punya rekam jejak bagus juga kredibilitasnya solid. Semua sudah menyetujuinya.”Hati Lyra mencelos. Dastan belum menyebut nama-nama perusahaan itu, tapi ia tahu, salah satunya bukan perusahaan keluarga Sasmita.Ibunya pasti akan murka. Dia gagal. Misi yang ditekankan sejak awal agar Dastan melibatkan keluarga Sasmita dalam proyek prestisius ini, tampaknya benar-benar menggelinding ke jurang.Lyra menunduk, tak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Ia bisa merasakan tekanan ibunya sudah menunggu di ujung harinya. Kegagalan ini akan punya harga.Dastan memperhatikan perubahan raut wajah Lyra. Dia diam sejenak sebelum melanjutkan dengan nada datar, “Tapi aku belum memutuskannya.”Lyra kembali mendongak, matanya membulat. "Kenapa?"“Aku masih mempertimbangkan satu opsi lain,” jawab Dastan sambil melangkah masuk dan menurunkan Lyra hati-hati. Matanya me
"Lyra!"Panggilan panik itu menyadarkan Lyra.Matanya terbuka lebar menatap wajah Dastan yang sangat cemas."Kau mimpi buruk?"Lyra langsung terbangun lalu memeluk Dastan dengan erat. Napasnya memburu, tubuhnya dibanjiri keringat dan bergetar hebat seperti baru ditarik dari tepi jurang."Ada orang... ada orang di luar jendela... kotak merah itu..." bisiknya terbata, wajahnya kini terkubur di dada Dastan.Dastan mengusap punggung Lyra perlahan, mencoba menenangkan. "Tenang, Lyra. Tidak ada siapa-siapa. Itu cuma mimpi."Namun pelukan Lyra justru menguat. Matanya mengintip ke arah jendela. Hari masih senja. Benar, dia hanya mimpi buruk karena trauma. Dastan menghela napas pelan. Ia tahu Lyra sedang tidak dalam kondisi baik. Tangannya menggenggam tengkuk Lyra, memeluknya lebih erat."Aku akan periksa semuanya. Kau tidak perlu takut. Aku di sini."Lyra mengangguk. Menahan tangis yang mendesak keluar. Dia tak mau terlihat cengeng di depan Dastan. Tapi saat pria itu hendak bangkit, kedua ta
Waktu seolah berhenti berputar. Napas Lyra tercekat dengan mata membelalak menatap isi kotak dan kemudian...“AAAH!”Jeritannya mengguncang ruangan. Lyra nyaris melompat dari ranjang. Kotak tadi terlempar dari tangannya, jatuh ke lantai dengan isi yang terguling keluar:Para pelayan terlonjak kaget.Seekor bangkai tikus tergeletak dengan bercak merah menodai bulunya. Di bawahnya, ada selembar foto polaroid—wajah Lyra—yang dicetak dalam warna pudar dan penuh baret. Bekas goresan benda tajam.Semua orang terdiam. Terpaku ketakutan."Nyonya!" Alba yang bergerak pertama kali memeluk Lyra. Nyonya mereka itu kini terisak tak terkendali, tubuhnya gemetar hebat karena terkejut.Dastan bangkit dari sofa, melangkah cepat dengan sorot mata berbahaya. Ia mengambil sarung tangan kulit di sisi meja, mengenakannya sebelum mendekat dan jongkok di depan isi kotak. Ujung jarinya menjungkirkan binatang kecil itu lalu bergumam, "Ini mainan yang disiram cat merah.” "Jadi bukan sungguhan?” Alba terdenga
Lyra menaruh ponsel di atas meja tepat saat suara langkah kaki Dastan mendekat.Ia buru-buru mengatur napas, berusaha menghapus jejak kecemasan di wajahnya. Tapi tatapan tajam Dastan saat berdiri di dekatnya, langsung mengintimidasinya.“Kau bicara dengan ibumu?” tanya Dastan. Nada suaranya datar tapi tegas, membuat Lyra tak bisa berkelit.Lyra menggigit bibir, lalu mengangguk kecil. “Iya. Hanya sebentar.”Tatapan Dastan menyipit sedikit. “Apa yang dia tanyakan? Kesehatanmu? Atau...”Lyra mencoba tersenyum. “Katanya, dia khawatir soal kakiku... dan juga mengingatkan soal pesta sosialita minggu depan.”Dastan menyeringai miring, sinis. “Dia menanyakan kakimu karena khawatir keadaanmu? Atau karena khawatir kau melewatkan pestanya?”Kepala Lyra tertunduk. Kata-kata Dastan menampar tepat sasaran. Bahkan pria itu pun menyadari bahwa sang ibu tak pernah benar-benar peduli padanya. Hanya citra. Hanya tampilan luar untuk mengesankan orang lain.Ingin rasanya Lyra menghilang di balik selimut k