PoV EndahSetelah melalui banyak pertimbangan, akhirnya kami memutuskan untuk mengundang bapak dan ibu serta Kak Sitha dari kampung. Awalnya aku tidak mau mengundang mereka karena khawatir jika mereka datang hanya akan mengacaukan acaranya nanti, tetapi Mas Wiji berusaha meyakinkanku kalau semua akan baik-baik saja. "Mereka itu orang tuamu, Ndah. Biarkan mereka ikut merasakan kebahagiaanmu juga," ucap papa mertua saat kami tengah berkumpul di ruang keluarga. "Benar, Papa tidak keberatan jika orang tua saya hadir di pesta pernikahan kami nanti?" Aku menggenggam erat tangan Mas Wiji yang duduk di sampingku. "Endah, buat apa kami keberatan? Mereka itu orang tuamu dan itu artinya mereka adalah besan kami," sahut mama mertua. Wanita yang selalu tampil cantik itu tersenyum manis yang menyejukkan hati. "Iya, tetapi orang tuaku miskin. Apakah tidak malu di hadapan para tamu nanti? Apalagi katanya nanti papa akan membuat acara semeriah mungkin dan mengundang rekan bisnis papa yang sudah
"Kamu kenapa, Ndah? Mukanya pucat? Sakit?" tanya Mas Wiji. Saat ini kami baru saja selesai melaksanakan salat Isya dan seperti biasa ia menjadi imamku dengan suaranya yang menyejukkan hati. Aku tersenyum dan menggeleng. Ini hanya kecapekan karena beberapa hari ini kami harus datang ke pengadilan agama untuk isbat nikah guna mendapatkan buku nikah yang ternyata cukup rumit dan tidak selesai dalam sehari. Untuk urusan persiapan resepsi, kami sudah tidak perlu ambil pusing karena sudah ada yang mengurusnya dan kami tinggal terima jadi. "Kening kamu panas sekali." Raut wajah lelaki pemilik mata teduh itu mendadak panik setelah menyentuh keningku dengan telapak tangan. Kutahan tangannya yang hendak membuka mukena yang kupakai, "Aku bisa sendiri, Mas." Kubuka mukena dan melipatnya, "Aku nggak apa-apa, Mas." "Nggak apa-apa gimana, sih? Sudah jelas kalau pucat gitu, kok. Ya udah, kamu istirahat saja. Ayo." Tanpa menunggu persetujuanku, ia mengangkat tubuhku dan membaringkannya di tempat
Akhirnya hari bahagia itu tiba. Aku dan Mas Wiji sudah bersiap ke lokasi di mana resepsi itu akan digelar. Acara ini kami sebut dengan tasyakuran pernikahan setelah kemarin Mas Wiji mengundang teman-temannya secara bergantian. Ya, ia benar-benar menepati janjinya menghadirkan semua temannya dari kecil hingga dewasa yang jumlahnya tentu sangat banyak. Sekarang adalah puncak dari semua acara yang sudah kami lewat kemarin. Aku tersenyum saat melihat bayangan wajah ini di cermin usai dirias. Kuraba wajahku yang hampir tidak kukenali. Make up pada sesi pertama ini terlihat cukup simple. Didominasi dengan warna orange menambah kesan fresh pada wajahku yang sebelumnya tidak pernah tersentuh bedak selain tepung terigu. Tasyakuran pernikahan kami digelar dari pagi hingga sore hari nanti dan terbagi menjadi dua tema, yaitu tasyakuran pernikahan modern di pagi hari dan tasyakuran pernikahan penutup dengan adat Jawa di sore hari. Aku dan Mas Wiji datang ke lokasi pernikahan dengan menaiki mob
Acara adat Jawa yang digelar pada sore hari ini sungguh melelahkan. Aku yang sudah dirias bak putri keraton dengan sanggul palsu di kepala plus sindik mentul yang cukup berat harus mengikuti serangkaian prosesi adat yang cukup panjang mulai dari sungkeman hingga dulangan yang sungguh menguras tenaga. Namun, aku tetap merasa bahagia meski rasa lelah yang mendera. Saat acara sungkeman, ibu dan bapak hanya diam saja. Sepertinya rasa syok belum juga hilang dari pikirannya. Saat aku meminta do'a restu, beliau hanya berkata, "Semoga kamu bahagia, Ndah." Sedangkan ibu juga tidak mengeluarkan sepatah kata pun meski akhirnya ia menangis hingga tersedu-sedu. Saat acara foto bersama pun, bapak tidak tersenyum sama sekali, beliau malah menunjukkan muka masam dan menghindar saat tanganku ingin menggandengnya. Ada apa ini? Kenapa beliau sepertinya tidak bahagia melihat aku menikah? Syukurkah Kak Sitha tidak muncul lagi. Entah di mana dia sekarang? Apa mungkin ia masih saja makan hingga sekarang.
"Acara ini sudah selesai, kan? Kenapa kita tidak pulang saja agar bisa beristirahat," ucap bapak sambil menarik tanganku."Bapak mau pulang ke mana?" tanyaku sambil melepaskan pegangan tangannya. Lelaki yang seharusnya menjadi pelindungku itu tampak mendengkus kesal. Berulang kali ia menghela napas kasar dan cemberut."Ibu tadi sudah minta izin untuk tinggal di rumah suamimu, kan? Apa kamu lupa dengan apa yang ibumu katakan?" tanya bapak dengan nada tinggi. "Aku belum meminta izin pada suamiku, apakah ia mengizinkan atau tidak," Aku melirik Mas Wiji, tidak enak rasanya, kami baru saja melangsungkan acara syukuran pernikahan, tetapi sudah ribut seperti ini. "Ya, udah sekarang ayo bilang sama suamimu kalau kami ingin ikut tinggal dengan kalian. Ingat, ya, Ndah, tanpa kami kamu tidak akan bisa seperti ini." Bapak mencengkeram bahuku dengan kasar. "Begini, Ndah. Kita lupakan saja semua yang telah lalu dan kita mulai semuanya dari awal. Aku ini orang tuamu yang sudah merawatmu sejak ke
Mobil yang berada dalam kemudi Arka terus melaju sementara Mas Wiji berusaha menghentikannya. Aku terus berteriak agar Arka mau menghentikan mobilnya, tetapi lelaki itu malah tertawa terbahak-bahak, "Aku tidak bahagia hidup bersama Sitha, Ndah." "Hentikan mobilnya, Ar!" Aku panik saat mobil berjalan tidak beraturan, oleng ke kanan dan ke kiri sehingga siap menabrak apa saja yang ada di depannya. Mas Wiji dan Arka saling berebut untuk mengemudikan mobil ini. Aku memejamkan mata sambil terus berdo'a agar selamat.Aku berteriak histeris dan memegang erat lengan Mas Wiji. Jantungku jumpalitan tidak karuan, lututku gemetar dan keringat dingin membasahi sekujur tubuhku. Saat ini aku melihat mobil yang kami tumpangi keluar dari jalan kemudian melayang ke udara setelah tergelincir dan tidak lama kemudian mobil itu jatuh ke sungai yang berada tidak jauh di bawah bahu jalan setelah itu semuanya menjadi gelap. Ya, hanya kegelapan yang kurasa saat ini. ***"Akhirnya kamu sadar, Sayang?" Sa
Dalam hati aku terus bersyukur karena dijauhkan dari mertua seperti ibunya Arka yang sepertinya egois. "Ndah, kami sudah memutuskan untuk membawa masalah ini ke jalur hukum," ucap papa sambil menggenggam tanganku. Aku mendongak memandang lelaki yang masih terlihat aura ketampanan dan kegagahannya di usianya yang sudah tidak muda lagi itu. Orang kaya memang selalu perawatan sehingga dapat mencegah penuaan dini--terlihat lebih muda dari usia yang sebenarnya. "Maksud papa?" "Arka sudah merencanakan kecelakan ini. Dia harus dilaporkan ke pihak yang berwajib agar mendapatkan hukuman yang setimpal," jawab papa dengan tangan mengepal dan gigi gemeletuk. "Benar, Ndah. Orang jahat harus mendapatkan hukuman agar jera. Kamu tidak keberatan, kan, kalau Arka dipenjara?" tanya Mas Wiji. Aku tersenyum dan menggeleng. Buat apa keberatan. Orang bersalah memang harus mendapatkan hukuman. Itulah gunanya undang-undang. Jika tidak ada hukum di negara ini, orang tentu akan berbuat semaunya sendiri. S
Dua hari sudah kami berada di rumah sakit, meski belum sembuh sepenuhnya, tetapi dokter sudah mengizinkan kami pulang dan bisa rawat jalan. "Jangan lupa dua hari lagi kontrol, ya?" Dokter berwajah tampan itu tersenyum. "Baik, Terima kasih, Dok," jawab Mas Wiji. "Semoga ini terakhir kalinya aku berada di sini." Aku menepuk ranjang tempat tidur dengan sprei berwarna putih itu. "Kenapa? Bukankah kemarin kamu bilang kalau kamar ini nyaman, ya? Full AC, ada televisi besar, kamar mandi pribadi, setiap makan ada yang melayani?" tanya Mas Wiji yang sudah siap pulang juga meski kepalanya masih tertutup perban dan tangannya masih digendong dengan kain yang dililitkan ke leher untuk menyangga tangannya. "Ini rumah sakit, Mas. Meski mewah, tetapi tetap lebih nyaman tidur di kamar sendiri. Lebih bebas sepertinya." Aku mengendikkan bahu. "Benar juga, sih. Aku juga nggak tahan lama-lama berada di sini karena nggak bisa peluk kamu tiap malam. Habis bed ini terlalu sempit untuk kita tempati ber