Share

Pisah Ranjang

Cukup lama keduanya sama-sama diam, jika boleh jujur. Ayuna tidak ingin suaminya menikah lagi, tapi perbuatannya itu harus dipertanggung jawabkan. Sedangkan Sandy sendiri menyesal karena sudah menodai pernikahannya dengan Ayuna. Wanita yang telah mengangkat derajatnya. Andai bukan karena Ayuna, mungkin saat ini Sandy masih terpuruk.

"Ayuna, tolong jangan paksa mas untuk menikah dengan Renita. Mas memang salah karena sudah menghianati kamu, mas khilaf." Sandy menggenggam erat tangan istrinya. Sedangkan Ayuna masih diam.

"Ayuna, kamu sedang hamil. Kamu tidak boleh berpikir yang macam-macam," ucap Sandy. Mendengar itu Ayuna lamtas tersenyum. 

"Aku tidak akan pernah berpikir macam-macam kalau saja kamu tidak berulah, mas." Ayuna bangkit dan meninggalkan suaminya yang masih diam.

Ayuna melangkah keluar dari kamarnya, wanita itu memilih untuk melihat putrinya, apakah sudah siap untuk berangkat ke sekolah atau belum. Setibanya di kamar Sabrina, terlihat jika bocah perempuan itu tengah memakai sepatunya. Ayuna tersenyum, lalu melangkah masuk ke dalam. Menyadari akan kehadiran ibunya, Sabrina mendongak.

"Sudah siap?" tanya Ayuna.

"Sudah, bun." Sabrina mengangguk. Lalu bangkit dan mengambil tas miliknya. 

"Ya sudah ayok." Ibu dan anak itu segera keluar dari kamar, lalu turun ke bawah.

Setibanya di lantai bawah, terlihat jika Sandy sudah menunggu di meja makan. Sejak pulang liburan kemarin, hubungan mereka sedikit renggang. Sabrina yang biasanya selalu menempel dengan ayahnya saja, sekarang menjauh. Sedangkan untuk Ayuna sendiri, wanita itu memilih untuk diam. Tapi dia akan mencari bukti yang lebih kuat tentang perbuatan suaminya itu.

"Sayang, nanti berangkat sekolah di antar sama mang Ujang ya. Soalnya papa ada meeting, sekalian mampir ke rumah Killa, mau lihat kondisinya," ujar Sandy setelah putrinya mengambil duduk di sebelah kiri. Mendengar itu Sabrina hanya mengangguk.

Sementara Ayuna memilih untuk mengambil piring yang ada di hadapan putrinya, lalu diisi dengan nasi goreng. Setelah itu giliran piring milik suaminya, Ayuna sendiri memilih untuk memakan buah. Sejak semalam nafsu makannya berkurang. Engga itu efek masalah yang kini tengah menimpa rumah tangganya, atau bawaan hamil.

"Kamu nggak sarapan?" tanya Sandy.

"Belum lapar, mas." Ayuna menjawab seraya memotong buah apel.

Usai sarapan, Sabrina segera bersiap untuk berangkat ke sekolah. Tentunya dengan diantar oleh mang Ujang, Sandy pun segera bersiap untuk berangkat ke kantor. Dan sesuai rencana, ia akan ke rumah mantan istrinya terlebih dahulu untuk melihat kondisi putrinya. Berharap keadaan Killa sudah membaik.

"Oya, kapan jadwal kamu untuk ke dokter kandungan lagi?" tanya Sandy seraya bersiap untuk pergi.

"Hari ini, mas. Kamu juga sudah janji buat nemenin aku ke dokter." Jawaban yang Ayuna berikan mampu membuat Sandy diam. Laki-laki itu mendesah pelan, kenapa Sandy bisa lupa dengan janjinya sendiri.

"Kamu pergi sendiri nggak apa-apa kan? Soalnya mas mau lihat kondisi Killa dulu. Insya Allah nanti mas nyusul," kata Sandy. Sejujurnya ia tidak tega membiarkan istrinya pergi ke rumah sakit sendirian. Tapi Sandy tidak punya pilihan lain, Killa juga tanggung jawabnya.

"Tidak masalah, mas. Lagi pula, mulai sekarang aku harus belajar mandiri. Tidak selamanya aku harus bergantung sama kamu, mas. Karena kamu bukan hanya milikku saja, tapi juga milik Renita." Ayuna tersenyum, lalu melangkah meninggalkan suaminya yang masih berdiri mematung di ruang tengah.

Sandy hendak mengejar istrinya, tapi tiba-tiba saja gawai miliknya berdering. Laki-laki itu lantas mengambil benda pipih tersebut, lalu menggeser tombol berwarna hijau untuk menerima panggilan.

[Iya, aku ke sana sekarang]

[ …. ]

[Iya, aku sudah di jalan kok]

Sambungan telepon terputus, Sandy menghembuskan napasnya. Setelah itu Sandy memutuskan untuk pergi ke rumah mantan istrinya. Melihat suaminya yang sudah pergi, Ayuna kembali melangkah menuju ruang tengah. Pandangannya kini tertuju pada sebuah foto pernikahannya dulu.

"Aku berharap pernikahan kita langgeng. Tapi kenyataannya seperti ini, aku mengalah bukan berarti kalah. Aku hanya ingin menjaga kewarasanku saja." Ayuna bergumam.

"Keputusanku untuk menikahkan mereka memang sudah tepat. Mas Sandy harus mempertanggung jawabkan perbuatannya itu. Andai saja kamu hanya selingkuh dan tidak sampai berzina, mungkin aku masih bisa memaafkan. Tapi perbuatan kamu sudah tidak bisa dimaafkan lagi, meskipun bisa, tapi untuk tetap bersama itu tidak mungkin." Ayuna menghembuskan napasnya. Setelah itu ia memutuskan untuk bersiap-siap. 

***

Bukti serta pengakuan Sandy akan perbuatannya, membuat laki-laki itu tidak bisa berkutik lagi. Sesuai rencana, Ayuna akan menikahkan suaminya dengan mantan istrinya. Dari raut wajah Sandy, laki-laki itu seperti menyesali akan perbuatannya. Tapi tidak dengan Renita, wanita itu nampak bahagia.

Regina, ibu mertua Ayuna yang mendengar kabar itu cukup terkejut. Bahkan Regina sempat memarahi Sandy, wanita setengah abad itu merasa gagal dalam mendidik anak. Jika boleh meminta, Regina tidak setuju kalau putranya kembali menikah dengan mantan istrinya. Tapi keputusan itu sudah Ayuna buat dan tidak bisa diganggu gugat.

"Ayuna, kamu tidak menyesal dengan keputusan ini?" tanya Regina sebelum ijab kabul dimulai.

Ayuna tersenyum. "Insya Allah tidak, ma. Aku sudah memikirkannya secara matang, dan keputusan ini yang paling tepat. Mas Sandy harus mempertanggung jawabkan perbuatannya. Jika boleh memilih, aku lebih rela jika mas Sandy diambil oleh Tuhan ( Allah) dari pada harus diambil oleh wanita lain. Meskipun dia mantan istri mas Sandy sendiri."

"Mama minta maaf, karena mama sudah gagal dalam mendidik anak." Regina menggenggam erat tangan menantunya itu.

"Mama tidak bersalah, mas Sandy saja yang tidak bisa menahan hawa nafsunya. Dan mungkin memang harus seperti ini jalannya. Mungkin jodoh kami hanya sampai di sini." Ayuna tetap tersenyum, meskipun hatinya sakit.

"Kamu memang wanita yang sangat baik dan mulia. Percayalah, Sandy pasti akan menyesal telah menghianati kamu." Regina mengusap punggung tangan menantunya itu.

Setelah itu, ijab kabul akan dilaksanakan. Ayuna duduk tepat di belakang suaminya, tentunya bersama dengan Regina, ibu mertuanya. Sementara Sabrina memilih untuk mengurung diri di kamar. Bocah perempuan itu sudah terlanjur kecewa dengan ayahnya. Itu sebabnya Sabrina tidak mau menyaksikan sang ayah menikah lagi.

Acara ijab kabul berjalan dengan lancar, acara yang hanya dihadiri oleh tetangga dekat dan keluarga saja. Ayuna memejamkan matanya ketika mendengar suaminya kembali melafadzkan janji suci itu. Berharap dirinya menjadi wanita satu-satunya yang akan mendampingi suaminya. Tapi ternyata takdir tidak berpihak kepadanya. Menyesal … tidak. Ayuna tidak akan menyesal dengan keputusannya itu.

"Selamat, sekarang kalian sudah menjadi suami istri." Ayuna memberikan selamat untuk suaminya. Renita tersenyum mendengar itu, tapi tidak dengan Sandy. Entah kenapa hatinya terasa sakit ketika mendengar Ayuna memberikan ucapan selamat padanya.

***

Malam harinya, setelah ijab kabul selesai, Sandy langsung mengantarkan Renita ke rumahnya. Awalnya Renita menolak dan memaksa untuk tinggal di rumah Ayuna. Tapi Sandy melarangnya, ia tidak akan membiarkan keduanya istrinya tinggal satu atap. Sandy tahu betul bagaimana sifat Renita, ia tidak ingin Ayuna tertekan dengan keberadaannya.

"Ayuna, kamu sedang apa?" tanya Sandy. Laki-laki itu baru saja selesai mandi.

"Mulai malam ini kamu tidur di kamar sebelah, mas. Kita pisah ranjang." Ayuna memberikan koper milik suaminya yang berisi baju. Sandy yang mendengar itu cukup terkejut.

"Ayuna, kenapa harus pisah ranjang." Sandy menatap wanita yang ada di hadapannya itu.

"Karena aku ingin belajar mandiri, aku ingin membiasakan diri tanpa kamu, mas. Sekarang kamu bukan sepenuhnya milikku, tolong hargai keputusan aku, mas. Lagi pula, seharusnya kamu berada di rumah Renita, ini malam pengantin kalian," ungkap Ayuna. Setelah itu ia memilih untuk keluar dari kamarnya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status