"Aku tidak mengerti maksud mu, apakah sekarang, kamu menyesal sudah menjadi orang ketiga dari hubungan mereka?" tanya Farrel."Yaaa. Mungkin. Aku menyesal sudah merebut sesuatu yang bukan milikku, yang aku dapatkan justru tekanan dan penderitaan sementara Gina justru bahagia dengan kehidupan barunya.""Kalau begitu, sudah saatnya kamu melupakan semuanya, kan?""Memang, aku sudah bertekad untuk melupakan semuanya, aku pulang ke rumah orang tuaku, dan tidak akan lagi berhubungan dengan Haris dan ibunya.""Jadi, meski kamu menerima tawaranku pun seharusnya itu justru bagus, bukan? Mungkin dengan kita bersama, kita saling melupakan orang yang kita cintai tapi tidak bersyukur itu.""Kenapa harus kamu? Di dunia ini laki-laki banyak, kenapa aku harus menerima tawaran darimu? Aku enggak mau kamu seperti Haris, cuma menjadikan aku pelampiasan tapi sebenarnya otak kamu cuma untuk Karina.""Kenapa harus kamu, karena kamu menyukai aku, kan? Mungkin sekarang buatku lebih baik dicintai daripada men
"Aku? Hamil? Anak Haris? Ih! Enggak! Mami jangan aneh-aneh deh! Aku enggak mau! Enggak sudi!" teriak Jessica tidak terima dengan apa yang dikatakan oleh sang ibu. Membuat Jeny geleng-geleng kepala. "Kalau begitu, mungkin kamu sakit, jangan dianggap sepele, kita ke rumah sakit untuk periksa.""Enggak perlu, Mi. Aku itu cuma masuk angin, nanti juga sembuh, kok. Minum obat yang ada di rumah aja, beres!" kata Jessica masih kukuh untuk menolak apa yang dikatakan oleh sang ibu. "Kalau kamu sakit, kita bisa mengantisipasinya lebih awal, Jessica. Maag mungkin, jangan sulit diatur, kamu harus patuh!"Jessica akhirnya mati kutu, ia mengiyakan saja saran sang ibu agar ibunya tidak lagi memaksanya. Sang ibu mengatakan akan mengatur janji terlebih dahulu dengan dokter kepercayaan keluarga mereka. Sebenarnya, sang dokter bisa saja diminta untuk datang ke rumah seperti biasanya untuk memeriksa Jessica, tapi karena datang ke rumah sakit hasilnya lebih detail, lantaran Jeny ingin Jessica diperiksa
Mendengar apa yang diucapkan oleh sang ayah, Jessica mengepalkan telapak tangannya menahan emosi, tapi ia tidak bisa membantahnya karena apa yang dikatakan oleh sang ayah memang tidak ada yang salah. Hanya saja, jika diperjelas seperti itu, ia merasa sangat kesal pada dirinya sendiri hingga akhirnya ia ikut duduk di samping ibunya yang khawatir dirinya mengamuk akibat apa yang dikatakan oleh Jordan."Ya. Aku juga enggak ngerti, kenapa aku sampai bertindak sebodoh itu, kalau saja aku enggak merebut Haris dari Gina, mana mungkin, Gina bisa menjadi istri Bara pengusaha besar itu!"Dengan gamang, Jessica mengucapkan kalimat tersebut pada kedua orang tuanya dan membuat Jeny juga suaminya saling pandang sesaat. "Sekarang, kamu bisa bicara seperti itu, artinya kamu sudah tahu kalau apa yang kamu perbuat itu salah. Sebuah kesalahan harus diperbaiki, benar tidak?" ucap Jordan setelah beberapa saat terdiam."Ya. Aku salah. Aku sadar itu, makanya aku kembali ke rumah, aku enggak akan balik sa
"Gagal bagaimana? Meskipun mungkin usahamu tidak berhasil merubah Gavin, aku tidak akan mengatakan bahwa kau gagal."Bara menanggapi perkataan sang isteri dengan raut wajah yang sangat serius, hingga Gina tersenyum mendengarnya."Kamu ngomong gitu cuma buat menyenangkan aku aja, kan?" ucapnya sekedar memastikan. "Tidak. Aku benar-benar serius dengan hal itu. Gagal pun sudah ada proses dari usaha, bagiku itu sudah sangat luar biasa.""Kamu enggak akan bilang kalau caraku itu kampungan?""Tentu saja tidak.""Terima kasih. Kalau kamu keberatan, kamu sangat boleh mengatakannya enggak perlu sungkan, ya?"Bara mempererat genggaman tangannya di telapak tangan sang istri untuk menegaskan pada istrinya tersebut, bahwa ia menyanggupi apa yang dikatakan oleh sang istri padanya.***Jeny memperhatikan Jessica yang terlihat sibuk di dapur. Jam baru menunjukkan pukul setengah 6 pagi, tapi Jessica sudah sibuk di dapur dan tidak mengizinkan siapapun membantunya untuk membuat sarapan. "Jessica masa
"Semua hancur berantakan. Usahaku hancur berantakan, Ma!" keluh Haris dengan nada suara meninggi hingga membuat Hasmi mengarahkan pandangannya pada sang anak."Kau tidak bisa menahan emosi! Itu salahmu! Gina sudah nyaris tersentuh dengan apa yang dia lihat di rumah ini, tapi kau menggagalkan semuanya!"Hasmi mengkritik sang anak dengan nada meninggi pula pertanda ia juga kesal sejak tadi, anaknya tidak bisa dikontrol sama sekali."Bagaimana aku tidak kesal? Si Bara itu yang membuat aku kesal. Aku tidak bisa menahan emosi kalau ada dia.""Itu salahmu. Jika saja kau bisa menahan diri sedikit, mungkin kita akan berhasil membuat Gina goyah, kau itu sulit menahan emosi, Haris! Itu yang membuat Gina tidak mau kembali padamu.""Sudahlah, Ma! Mama selalu menyalahkan aku! Mama tahu tidak, kenapa aku sangat marah saat Bara menumpahkan gelas minuman Gina? Itu karena di gelas itu aku meletakan sesuatu agar Gina patuh padaku. Tapi belum sempat Gina minum, isinya tumpah, semua karena Bara!"Panjang
"Haris. Perubahan yang kamu lakukan itu untuk dirimu sendiri, karena nanti itu akan berguna ketika kamu berumah tangga dengan perempuan lain, bukan sama aku, aku senang kamu mau melakukan perubahan, tapi bukan berarti aku ingin rujuk lagi sama kamu!"Dengan tegas, Gina menanggapi apa yang dikatakan oleh Haris, meskipun aslinya ia sangat ingin marah karena sejak tadi, Haris selalu bersikap tidak baik pada Bara. "Kamu tidak kasihan dengan Raya?" kata Haris dan Gina menghela napas mendengar kalimat yang entah sudah berapa kali diucapkan oleh Haris padanya."Raya sekarang sudah hidup baik. Bara sayang sama dia, kamu lihat sendiri, dia mau digendong oleh Bara, itu tandanya dia sudah merasa nyaman dengan Bara.""Pria seperti dia memangnya apa yang bisa dia lakukan? Bilang saja bahwa kamu lebih memilih Bara karena dia lebih kaya daripada aku!""Aku capek berantem soal ini sama kamu. Aku pulang saja! Terima kasih untuk makan malamnya."Gina memilih tidak menanggapi perkataan sinis Haris. Ia